David Hume dan Pengaruhnya Pada Empirisme



“Tapi menurut Hume, bukan akal yang menentukan apa ya kita katakan dan kita lakukan, melainkan ‘perasaan’. “ (Dunia Sophie –Hal. 437)
                Pernyataan tersebut dikutip dari novel karangan Jostein Gaardner, Dunia Sophie.  Sebuah novel best-seller yang menceriterakan sejarah filsafat dunia terutama filsafat Barat. Pernyataan itu merupakan suatu pemikiran dari David Hume, seorang  filsuf yang berasal dari Skotlandia. Jika dilihat dari zamannya, Hume bisa dibilang adalah seorang filsuf yang hidup di zaman pencerahan. 


Zaman pencerahan yang terjadi pada abad ke-18 di benua Eropa dimana ketika itu terjadi revolusi pemikiran dalam berbagai macam bidang. Para Intelektual mulai menantang kekuasaan tradisional dan mengembangkan pemikiran baru menentang tradisi dan menggantinya dengan suatu cara berpikir kritis, skeptis terhadap keyakinan-keyakinan yang telah ada. Disinilah, Hume yang gaya pemikirannya dipengaruhi oleh John Locke dan George Berkeley, ikut serta memberikan gagasannya terhadap perkembangan yang terjadi saat itu. Suatu pemikiran yang menjadi pijakan baru akan suatu paham, paham yang kita kenal dengan paham empirisme.
                Jika kita lihat lebih jauh, paham empirisme sudah ada sejak zaman Yunani. Aristoteles terlebih dahulu yang mengeluarkan pemikiran ini. Walaupun pemikiran Aristoteles itu tidak seperti empirisme yang ada saat ini. Tapi itu menentang pemikiran dari Plato bahwa akal manusia sudah ada sebelumnya. Istilah tabula rasa (kertas kosong) mengilhami pemikiran pemikiran hingga akhirnya John Locke menggunakan istilah “kertas putih” untuk menyampaikan maksudnya. Locke bisa dikatakan sebagai Bapak aliran Empirisme. Locke, Berkeley dan Hume dikenal sebagi tokoh penting Empirisme pada abad pencerahan. Pemikiran Locke sangat kontras dengan pemikiran Plato mengenai “dunia ide” ketika itu.  Tergantung pada manusia itu sendirilah dalam mengisi “kertas putih” itu sesuai dengan pengalaman manusia itu sendiri.  Locke juga beranggapan bahwa pemikiran kita berasal dari refleksi dan sensasi. Sensasi mengajarkan kita mengenai hal diluar kita. Sedangkan refleksi mengajarkan tentang keadaan dari pribadi diri kita sendiri. Contoh dari Teori tabula rasa yang dikemukakan oleh John Locke. Ia menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya adalah seperti kertas kosong, pengalamanlah yang mengisi jiwa atau pikiran itu. Misalnya, seseorang tumbuh menjadi manusia yang jahat ketika ia tinggal di lingkungan yang memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi, karena pengetahuan yang dimilikinya itu berhubungan dengan kejahatan.
David Hume dikenal sebagai seorang yang sangat skeptis dan kritis terhadap apa yang terjadi dunia. Dia tegak berdiri menentang pemikiran Rasionalisme yang melanda pada Abad ke-17. Dia menentang pemikiran dari Rene Descartes, seorang filsuf Perancis yang terkenal dengan teorinya cogito ergo sum.  Hume percaya bahwa pengalaman adalah hal penting dalam manusia ketika manusia ingin memutuskan suatu hal.  Dia juga percaya bahwa adanya dualisme dalam pengetahuan dan pengalaman.  Hume sendiri sebenarnya pemikiran tidak terlalu jauh berbeda dengan gaya pemikiran Locke. Tetapi, Hume memunculkan suatu pemikiran skeptisisme terhadap empirisme itu sendiri. Hume, hidup pada zaman yang sama dengan tokoh dari Perancis seperti Voltaire dan Rousseau. Pada usia 28 tahun, Hume menerbitkan buku berjudul A Treatise of Human Nature.  Dia menentang keras konsep bahwa Intelektualitas sudah ada manusia lahir.  Hume juga berpendapat bahwa moral hanya berdasarkan pada perasaan. Moral lebih ditekankan pada aspek subjektivitas. Selain itu, Hume juga menjelaskan bahwa tidak ada kausalitas. Segala sesuatu terjadi dengan sendirinya yang memang tampak bersama-sama. Pemikirannya sangat menghentak pengetahuan yaitu penolakannya terhadap teori kausalitas. Ia beranggapan bahwa itu bukan kausalitas melainkan hanya sebuah urutan kejadian saja.  Penolakannya terhadap teori kausalitas ini justru menjadikan Hume sebagai seorang filsuf  skeptis yang radikal
Teori Hume ini meruntuhkan teori Rasionalisme dan merupakan pijakan penting untuk paham empirisme. Hume beranggapan bahwa pengetahuan itu bersumber dari pengalamn yang diterima oleh kesan inderawi. Hal itu mendorong manusia untuk menemukan suatu pengetahuan kita memerlukan melihat kembali akan pengalaman kita. Hal itu mendorong adanya observasi dan penelitian di masa-masa yang akan datang dan hal itu merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia
                Lalu setelah mengetahui bagaimana pemikiran Empirisme terbentuk dan bagaimana Hume merumuskan suatu pijakan penting dalam konsep tersebut, apakah sebenarnya empirisme itu?  Jika berdasarkan pada rumusan pemikiran Hume di atas dapat disimpulkan bahwa empirisme adalah suatu paham pemikiran dimana suatu pemikiran berasal dari pengalaman manusia.  Empirisme sangat mengutamakan peran dari suatu bukti ilmiah dan peran dari pengalaman dalam membentuk suatu ide baru. Empirisme menentang konsep bahwa pemikiran sudah ada dari kita lahir atau konsep tradisi.  Seperti jika kita makan buah jeruk, buah jeruk yang kita makan pertama rasanya manis. Buah jeruk yang kedua kita makan rasanya manis juga, buah jeruk yang ketiga kita makan rasanya juga manis. Dapat kita simpulkan bahwa jeruk yang kita makan semuanya manis. Itulah cara berpikir empirisme dalam menggapai suatu pengetahuan. Empirisme sangat berperan penting dalam dalam revolusi sains. Paham empirisme adalah paham yang digunakan para Ilmuwan dalam melakukan penelitian atau dalam suatu eksperimen. Dalam suatu penelitian ilmiah, suatu teori atau hipotesis harus dibuktikan melalui observasi terhadap dunia dibandingkan berdasarkan intuisi semata.
                Selain Locke, Berkeley dan Hume ada pula tokoh lain yang merintis paham empirisme. Francis Bacon seorang negarawan Inggris dan juga seorang filsuf mengemukakan bahwa metode ilmiah yang benar adalah untuk mendapatkan kebenaran yaitu dengan berpangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu menuju suatu kesimpulan umum. Cara berpikir inilah yang kita sebut dengan cara berpikir induktif. Disini dapat kita lihat bahwa hubungan antara empirisme dengan penelitan ilmiah dan revolusi sains sangat berkaitan erat.  Bagi para empiris untuk menemukan pengetahuan di dunia, manusia melakukan pengamatan atas dunia atau Aposteriori. Seperti kita jika ingin mengetahui bagaimana kehidupan para narapidana dalam penjara, kita tidak bisa menggunakan rasio kita bahwa penjara adalah tempat seperti yang telah kita pikirkan sebelumnya. Tetapi kita harus melakukan observasi ke dalam penjara, bertanya kepada sipir dan pada narapidana bagaimana kehidupan di dalam penjara.
                Ketika rasionalisme lebih menekankan pada penggunaan rasio, empirisme justru lebih menekankan pada pengalaman bisa membentuk suatu pengetahuan. Seperti yang Hume katakan pada pembuka esai ini bahwa perasaan kita, rasa subyektivitas dalam hidup kita, pengalaman dalam hidup kita yang akan menentukan bagaimana kita nantinya.


Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
a. John Locke (1632-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).
b. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut:
Beberapa Jenis Empirisme
1. Empirio-kritisisme
Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan. Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
Filsafat Ilmu Aliran Rasionalisme dan Empirisme
OPINI | 09 December 2012 | 10:31 Dibaca: 13283   Komentar: 0   0
RASIONALISME
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
EMPIRISME
Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.










melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai adat. Dengan ini para filosof banyak mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu diperoleh manusia. Dan pada zaman kemodernan filsafat muncullah beberapa aliran dalam hal ini. Dan ada dua kelompok besar yang saling berlatar belakang berbeda dan beradu argumentasi untuk eksistensi masing – masing, yaitu aliran Rasionalisme dan Empirisme.
RASIONALISME
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal manusia.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Kerjasama ini akan melahirkan metode sains (Scientific Methods) dan dari metode ini melahirkan pengetahuan sains (Scientific Knowledge) yagn dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pengetahuan Ilmiah.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya. Sejarah Rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini jelas kemudian dilajutkan oleh orang – orang sofis dan tokoh – tokoh penentangnya yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke 17 dan lebih lagi selama abad 18 antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad 18 disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Tokoh – tokoh Rasionalisme
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Rene Descartes
Dan yang paling menonjol diantara mereka adalah Rene Descartes, sebagai orang pertama dalam zaman modern yang meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Yaitu dengan jargon yang dibawanya “aku berpikir maka aku ada” yang dalam bahasa Latin kalimat ini adalah “Cogito Ergo Sum” sedangkan dalam bahasa Prancis adalah “Je Pense Donc Je Suis”. Sehingga iapun layak diberi gelar sebagai Bapak Filsafat Modern. Kata modern di sini hanya mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat abad pertengahan Kristen.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia editations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644; dan Les Passiones de L’ame (1650).
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Dalam aliran ini Descartes tersirat sebagai seorang yang subjektif dengan menilai sesuatu dengan ukuran dia sendiri, individualis dengan melakukannya seorang diri, dan humanis dengan mengedepankan kemanusiaanya.
Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar – dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri. Tahapan berpikir Descartes di atas dapat diringkaskan sebagai berikut :
Benda indrawi tidak ada

Gerak, jumlah, besaranTidak ada

Saya sedang ragu, ada

Saya ragu karena saya berpikir

Jadi, saya berpikir ada
Gotifried Wilhelm von Liebniz
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Leibniz. Nama lengkapnya Gotifried Wilhelm von Liebniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig, Jerman. Dan menempuh sekolahnya dalam waktu singkat hingga pada umur yang ke 15 ia sudah tercatat sebagai seorang mahasiswa di Universitas Leipzig. Dan belum cukup umurnya 21 tahun, ia menerima ijazah doktor dari Universitas Altdorf dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (On Complex Cases at Law). Setelah itu dia berpindah – pindah tempat dari Leipzig ke Nurenberg, kemudian ke London, terus ke Hannover kemudian ke Amsterdam dan disetiap kesempatannya bepergian ia bertemu dengan ilmuwan, salahsatunya adalah Spinoza ketika ia berada di Amsterdam.
Metafisika Liebniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Sementara Spinoza menyimpulkan bahwa substansi itu satu, tetapi menurut Liebniz substansi itu banyak. Ia menyebutkan substansi itu sebagai monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu.
Dengan membaca teks tentang monad kita kan menemukan bahwa apa yang dikemukakan oleh Liebniz banyak mengandung keraguan dan terasa ganjil. Sebagai contoh tentang pertanyaan “Apakah ruang dan waktu itu substansi?” menurut Liebniz bukan. Dalam masalah ini ia berbeda pendapat dengan Newton. Adakah “monad” di dalam ruang? Kata Liebniz : tidak. Ia juga memberikan jawaban yang cukup mengagetkan tatkala ia berkata bahwa monad tidak hanya tidak ada dalam ruang tetapi juga tidak ada dalam waktu. Bukan monad yang berada dalam waktu tetapi waktulah yang berada dalam monad .
Pada Newton, alam semesta adalah gerakan atom di dalam ruang kosong, bergerak satu sama lain menuruti hukum gerak dan grafitasi. Dalam kali ini Newton gagal dalam menyesuaikan teorinya dengan ajaran tentang Tuhan dan makhluk.
Perbedaan besar antara Newton dan Liebniz terletak pada soal ruang dan waktu. Pendapat keduanya tentang ada ruang kosong yang di sana objek – objek bertempat, sulit untuk diterima. Sama halnya dengan Newton tentang pendapatnya waktu yang absolut, yaitu waktu yang adanya terpisah dari sesuatu yang terjadi di “dalam” nya. Setelah menelaah kembali akhirnya Liebniz menyatakan bahwa tidak ada waktu absolut begitu juga ruang absolut. Menurutnya Space dan time adalah relatif tergantung persepsi masing-masing.
Di atas muncul dua metafisikawan terbesar Zaman Modern Spinoza dan Liebniz. Keduanya memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Keduanya memulai dari basis yang sama, metode yang sama tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan. Orang – orang akan bingung untuk menentukan yang benar di antara keduanya, sehingga terjadilah masa relativisme kebenaran. Keadaan ini sama persis dengan situasi umu filsafat sofisme Yunani. Kebenaran sains diragukan; ajaran agama digoyahkan. Itu digambarkan dengan sebuah kalimat pendek ; kebenaran itu relatif.
Analisis Kritis Rasionalisme
Kelebihan
Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah seba-akibat, akiba kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut.
EMPIRISME
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalamanmanusia. Dan merupakan salah satu konsep mendasar tentang filsafat sains. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alamai selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengamalan. Dan sebuah hipotesa ilmiah akan dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah itu dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangakan teori – teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. . Empirisme mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori tentang makna dan tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, sehingga muncul sebuah rumusan “ Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu” yang artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Ini merupakan bantahan keras yang dilontarkan Locke untuk melawan para ilmuwan rasionalis.
Akan tetapi Descartes tak bisa tinggal diam, dengan sanggahan yang ia siapkan ia membedakan dua fungsi akal: fungsi diskursif yang menajdikan kita mampu membuat konklusi dari premis, dan kedua fungsi intuitif yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap konsep secara langsung.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “sesuatu kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika yang sering dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh melalui intuisi rasional. Akan tetapi Empirisme menolaknya dengan alasan bahwa kemampuan intuisi rasional itu tidak ada. Semua kebenaran tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a poteriori.
Menurut empirisme lagi, bahwa manusia tidak mempunyai gagasan atau konsepsi bawaan mengenai dunia sebelum ia melihatnya. Jika kita benar-benar mempunyai konsepsi atau gagasan yang tidak dapat dikaitkan dengan fakta –fakta yang telah dialami, itu merupakan suatu knsepsi yang salah. Jika kita menggunakan kata – kata seperti “Tuhan”aran a poteriori. alui intuisi rasional.gsi intuit, “keabadian”, atau “ substansi”, itu berarti akal telah disalahgunakan, sebab tidak ada yang pernah mengalami Tuhan, keabadian, atau apa yang disebut oleh para filosof sebagai substansi.
Tokoh – tokoh Empirisme
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
John Locke
John Locke adalah seorang filosof Inggris. Lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647 – 1652 ia belajar di Westminster. Pada tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford.
Filsafat Locke bisa dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diusung oleh Descartes. Tetapi ia tidak setuju dengan intuisi dan metode deduktif dan menggantikannya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau induksi.
Ia banyak mengkritisi pemikiran – pemikiran kaum rasionalis seperti Descartes dengan Clear and distinc idea, Adequate idea oleh Spinoza, Truth of reason oleh Leibniz. Karena menurutnya sesuatu yang innate (bawaan) tidak ada dengan berbagai argumen yang ia munculkan. Dan lebih jauh dalam teori tabula rasa ia mengatakan:
Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong, tidak berisi apa – apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan : dari pengalaman; didalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal”.
Di dalam teori ini Locke menggunakan tiga istilah: sensasi, ide-ide, sifat atau kualitas. Dan iapun membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Yang termasuk dalam kualitas primer adalah yang menyangkut luas, berat, gerakan, jumlah, dan lainnya. Sedangkan yang termasuk dalam kualitas sekunder warna, bau, rasa dan suara yang tidak meniru kualitas – kualitas sejati yang melekat pada sebuah benda. Dan penilaian kualitas sekunder banyak tergantung akan oleh indrawi seorang manusia.
David Hume
Tokoh lain pada aliran empirisme adalah David Hume. David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.
Sebagaimana Descartes, Hume juga meninggalkan banyak tulisan berikut: A Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality of the Soul, 1783.Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.
Hume mengajukan tiga argumen untuk menganalisis sesuatu, pertama, ada ide tentang sebab akibat (kausalitas). Kedua, karena kita percaya kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan masa lalu dan masa depan kejadian. Ketiga, dunia luar diri memang ada, yaitu dunia bebas dari pengalaman kita. Dari tiga dasar kepercayaan Hume tersebut, ia sebenarnya mengambil kausalitas sebagai pusat utama seluruh pemikirannya. Ia menolak prinsip kausalitas universal dan menolak prinsip induksi dengan memperlihatkan bahwa tidak ada yang dipertahankan, baik itu relations of ideas dan matter of fact.
Jadi, Hume menolak pengetahuan apriori, lalu ia juga menolak sebab-akibat, menolak pula induksi yang berdasarkan pengalaman. Segala macam cara memperoleh pengetahuan, semuanya ditolak. Inilah skeptis tingkat tinggi. Sehingga Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic. Dikarenakan sifat skeptisnya yang berlebihan Hume juga tidak mengakui adanya Tuhan.
Dari berbagai penjelasan yan disimpulkan oleh Hume sebenarnya merupakan bentuk dari penentangannya terhadap paham rasionalisme. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berpikir, tanpa informasi dari pengalaman indera, kita tidak mengetahui apa – apa tentang dunia. Tapi dengan bantuan pengalaman juga kita tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Ini jelas menunjukkan sikap skeptis yang ada pada Hume.
Karena ilmu pengetahuan dan filsafat sama sekali berdasarkan kausalitas, Hume harus menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu mencapai kepastian dan tidak pernah melebihi taraf probabilitas.
Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Analisis Kritis Empirisme
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt dan Suriasumantri terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dewey menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya terhadap sikap mental manusia. Beberapa bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara lain: sikap kemalasan dan konservatif yang salah. Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar memberi kesimpulan yang salah. Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan. Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat dibesar-besarkan.
Terhadap empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan yang kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.
ANALISIS ATAS METODE ILMIAH DESCARTES DAN HUME
Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode ilmiah. Kelemahan – kelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Pada Rasionalisme mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Kelemahan-kelemahan dari masing-masing pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi kelemahan – kelemahan tadi. Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan tadi adalah dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari aliran tersebut. Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan para ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan empiris. Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan sehingga terjadi perkawinan antara pandanganRasionalisme Descartes dengan Empirisme Hume.
Perkawinan inilah yang penulis maksudkan dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur – prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Menurut Kattsoff proses metode ilmiah dimulai dengan pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri dengan pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanya sebuah pembagian yang bersifat nisbi.
Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri, harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:
1. Perumusan masalah; berisikan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan berbagai faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan hipotesis; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian pengetahun ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya secara korespondensi.
Terlihat bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif yang ditandai dengan Rasionalisme dan Empirisme hidup secara berdampingan dengan sebuah mekanisme korektif.

PENUTUP
Sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan, baik Rasionalisme yang diusung oleh Descartes maupun Empirisme yang didukung oleh Hume masing - masing memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode lain yang lebih dapat dimunculkan sebagai sebuah metode yang handal untuk pencarian pengetahuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengawinkan Rasionalisme dengan Empirisme sehingga kelemahan – kelemahan masing-masing aliran sebagai sebuah metode dapat diatasi.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.