Hukum dan HAM : Pembahasan tentang HTN dan hubungannya



A. Jurnal tentang Hukum dan HAM
1. Embrio dan Perkembangan Pembatasan Ham Di Indonesia
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

 
Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
2. Rujukan Dasar Hukum dan HAM
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.
Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
3. Konstitusionalisme Hukum dan HAM di Indonesia
Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
b. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
c. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
d. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
a) Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
b) UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares.
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
4. Pembatasan tentang Hukum dan HAM
Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.
Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.

B. Jurnal tentang Ilmu Administasi Negara

a. Ilmu Administasi Negara

Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber (1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟ dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).

b. Perubahan administrasi negara ke administrasi publik

Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:
1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
4. munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

c. Manajemen public

Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.

Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain:

[…] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well.
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more limited function than management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary, Webster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once administrators‘ was used.
Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:
1. semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
2. bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
3. perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi;
4. terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government
Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

d. Dinamika administrasi publik di Indonesia

Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi negara di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut. Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari research interest dan arus pemikiran mereka. Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara yang terjadi pada aras internasional.
Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat civitas akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam naskah ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan perubahan nama Jurusan, yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama Jurusan yang baru tersebut secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.

e. ADMINISTRASI NEGARA

PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA
a) Terminologi Administrasi
· Administrasi dalam arti sempit
· Administrasi dalam arti luas
· Administrasi dijumbuhkan dengan manajemen
1. Pengertian Administrasi
Administrasi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata “ad” yang berarti intensif, dan kata “ministrate” yang berarti melayani. Dengan demikian secara etismologis administrasi berarti melayani secara intensif.
2. Pengertian Administrasi dalam arti sempit
1) Administrasi adalah sebagai tata usaha yaitu pekerjaan yang berkenan dengan korespedensi, soal pencatatan/dokumentasi, kearsipan dan lainnya.
2) Administrasi adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan dan sebagainya yang bersifat tekhnis ketata usahaan.
3. Pengertian Administrasi dalam arti luas
· Pengertian administrasi dalam arti luas yaitu:
ü Administrasi adalah kegiatan manusia yang kooperatif yang terdiri dari 8 unsur: Organisasi, Manajemen, Komunikasi/Tata hubungan, Informasi/Tata Usaha, Personalia/Kepegawaian, Finansia/Keuangan, Materia/Perbekalan, dan Humas (hubungan Masyarakat).
ü Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan-keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
ü Administrasi adalah serangkaian kegiatan usaha kerja sama manusia secara rasional atau efesien untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
4. Pengertian Administrasi dijumbuhkan dengan manajemen.
Istilah administrasi yang digunakan silih berganti dengan manajemen, diamana administrasi disamakan dengan manajemen, dengan kata lain ada hubungan timbal balik antara manajemen dengan administrasi.
b) Negara
· Pengertian Negara secara umum
Negara adalah suatu wilayah dipermukaan bumi yang kekuasaannya baik, politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada diwilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu diwilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
· Pengertian Negara menurut para Ahli:
ü Prof. Farid S
Negara adalah suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
ü Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman diwilayah tertentu.
ü Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara adalah suatu organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
ü Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama.
ü Prof. Mr. Soenarko
Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagau sebuah kedaulatan.
· Syarat Primer Negara:
ü Memilili penduduk atau rakyat.
ü Memiliki wilayah.
ü Memiliki pemerintah yang berdaulat
ü Mendapat pengakuan dari negara lain.
c) Pengertian Administrasi Negara
Administrasi negara adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan aparatur negara/aparatur pemerintah untuk mencapai tujuan negara secara efisien. Administrasi adalah sebuah istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang kehidupan. Administrasi negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal-hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan publik, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara. Terdapat hubungan interaktif antara administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Diantara berbagai unsur lingkungan sosial, unsur budaya merupakan unsur yang paling banyak mempengaruhi penampilan (perfomance) administrasi negara.

ü Pengertian Administrasi Negara menurut para ahli:
· Pfiffner dan Presthus.
Public administrastion is a procces concerned with carrying out public policies ( Administrasi Negara adalah suatu proses yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan negara).
· Dimocks
Menurut dimocks Public Administration is the activity of the state in the exercise of its political power atau Administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan/wewenangan politiknya.
· John M. Pfiffer dan Robert V.
Administrasi Negara adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pengarahan kecakapan dan tekhnik-tekhnik yang tidak terhingga jumlahnya, memnerikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
· Menurut Dwight Waldo.
Menyatakan bahwa Administrasi negara mengandung dua pengertian yaitu:
Administrasi negara yaitu organisasi dan manajemen dari manusia dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah.
Administrasi negara adalah suru seni tentang manajemen yang dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
· Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo.
Mengatakan bahwa, Administrasi negara adalah bantuan penyelenggaraan dari pemerintah artinya pemerintah (pejabat) tidak dapat menunaikan tugas-tugas kewajibannya tanpa administrasi negara.
· Administrasi negara adalah segenap proses penyelenggaraan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah suatu negara untuk mengatur dan menjalankan kekuasaan negara, guna menyelenggarakan kepentingan umum.
Kalau defenisi-defenisi diatas dikaji secara seksama, dapat dikemukakan beberapa pokok pikiran bahwa:
ü Administrasi negara adalah merupakan kegiatan yang bersifat penyelenggaraan.
ü Administrasi negara disusun untuk mengatur kerja sama antar bangsa.
ü Administrasi negara diselenggarakan untuk oleh aparatur pemerintah oleh dari suatu negara.
ü Administrasi negara diselenggarakan untuk kepentingan umum.   
d) Unsur-Unsur Administrasi Negara
· ORGANISASI: Kesatuan-kesatuan sosial atau pengelompokkan manusia yang dibentuk kembali secara sadar/ sengaja untuk mencapai tujuan tertentu.
· MANAJEMEN: Sesuatu yang dikerjakan melalui usaha orang lain.
· KOMUNIKASI/ TATA HUBUNGAN: Penyampaian warta/ message dari satu orang kepada orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
· INFORMASI/ TATA USAHA: Aktivitas yang berupa menghimpun, mencatat, menggandakan, mengolah mengirim, menyimpan dan semacamnya dari suatu data.
· PERSONALIA/ KEPEGAWAIAN: Kegiatan yang berkenaan dengan recruitment, menematkan, mengembangkan dan memberhentikan pegawai.
· FINANSIA/ KEUANGAN: Kegiatan yang berkenaan dengan penerimaan, pengolahan, pengeluaran uang.
· MATERIA/ PERBEKALAN: Kegiatan untuk mengadakan, menyediakan, menyimpan dan mengeluarkan barang-barang dan lain-lain.
· HUMAS: Kegiatan pengenalan aktivitas administrasi kepada lingkungan sekitarnya

ADMINISTRASI
1. Siagian (1992:2) mengemukakan administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Wayong yang dikutip The Liang Gie (1992:15) mengemukakan bahwa administrasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan suatu usaha. Kegiatan itu bersifat merencanakan,mengorganisir,dan memimpin.
3. Simon sebagaimana dikutip Handayaningrat (1996:2)mengemukakan administration is the activities of groups cooperating to accomplish common goals ( administrasi sebagai kegiatan daripada kelompok yang mengadakan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama).
4. Menurut BPA (Balai Pembinaan Administrasi) administrasi merupakan segenap proses penyelenggaraan atau penataan tugas – tugas pokok sesuatu usaha kerjasama sekelompok orang dalam mencapai tujuan bersama.
5. Ordway Tead (1951) Administrasi meliputi kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh pejabat-pejabat eksekutif dalam suatu organisasi, yang bertugas mengatur, memajukan dan melengkapi usaha kerjasama sekumpulan orang yang sengaja dihimpun untuk mencapai tujuan tertentu.
6. Menurut pendapat saya,administrasi adalah sekelompok orang yang melakukan penataan kegiatan dalam usaha yang dijalankan untuk mencapai suatu tujuan bersama yang telah ditentukan sebelumnya.

DEFINISI ADMINISTRASI NEGARA
1. Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa: Administrasi Negara adalah fungsi bantuan penyelenggaraan dari pemerintah artinya pemerintah (pejabat) tidak dapat menunaikan tugas – tugas kewajibannya tanpa Administrasi Negara.
2. Menurut Utrechterheidstak) fungsi administrasi yang tidak ditugaskan kepada badan–badan pengadilan, badan legeslatif (pusat) dan badan pemerintah (overheidsorganen) dari persekutuan – persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Negara” mengatakan bahwa : Administrasi Negara adalah gabungan jabatan (compleks van kambten) “Apparaat” (alat) Administrasi yang dibawah pimpinan Pemerintah (Presiden yang dibantu oleh Menteri) melakukan sebagian dari pekerjaan Pemerintah (tugas pemerintah, ov) yang lebih rendah dari Negara (sebagai persekutuan hukum tertinggi) yaitu badan – badan pemerintah (bestuurorganeen) dari persekutuan hukum Daerah Swantatra I dan II dan Daerah istimewa, yang masing – masing diberi kekuasaan untuk berdasarkan suatu delegasi dari Pemerintah Pusat (Medebewind) memerintah sendiri daerahnya.
3. Dwight Waldo:Public Administration is the organization and management of men and materials to achieve the purposes of government (Administrasi Publik adalah organisasi dan manajemen dari orang-orang dan bahan-bahan untuk mencapai tujuan pemerintah)
4. Gerald Caiden:Administrasi negara meliputi setiap bidang dan aktifitas yang menjadi sasaran kebijaksanaan pemerintah; termasuk proses formal dan kegiatan-kegiatan DPR, fungsi-fungsi yang berlaku dalam lingkungan pengadilan dan kegiatan-kegiatan dari lembaga militer.
5. Administrasi Negara adalah segenap proses penyelenggaraan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah suatu Negara, untuk mengatur dan menjalankan kekuasaan Negara, guna menyelenggarakan kepentingan umum.
6. Menurut pendapat saya, administrasi Negara merupakan gabungan kerjasama antara aparatur Negara untuk mencapai tujuan Negara.
PERBEDAAN ADMINISTRASI DALAM ARTI LUAS DAN SEMPIT
1. Administrasi dalam arti luas meliputi pengendalian organisasi yang telah hidup jadi organisasi yang telah diarahkan kepada maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Jadi dalam Arti luas mencakup seluruh aspek kehidupan dalam suatu organisasi yaitu aspek organisasi, manajemen, komunikasi, informasi, personalia, keuangan, perlengkapan dan hubungan publik.
2. Administrasi dalam arti sempit meliputi semua penataan dan penertiban secara tertulis,t eratur dan berketentuan yaitu usaha – usaha yang lazim disebut tata usaha. Jadi administrasi dalam Arti sempit sering disamakan dengan kegiatan ketatausahaan. 

ADMINISTRASI SEBAGAI ILMU DAN SEBAGAI SENI
1. Administrasi sebagai  ilmu
Pengertian Ilmu Administrasi Terkumpulnya sekelompok pengetahuan teratur yang mengandung sistem, asas, prosedur, teknik, dan pedeoman kerjasama itu. Pengetahuan teratur yang berasaskan administrasi ini disebut Ilmu administrasi Sarjana Luther Gulick memberi ketegasan mengenai ilmu administrasi sebagai berikut ilmu administrasi adalah sistem pengetahuan, dengan pengetahuan tersebut manusia dapat mengerti hubungan-hubungan, meramalkan akibat-akibat, dan mempengaruhi hasil-hasil pada sesuatu keadaan dimana orang-orang secara teratur kerjasama untuk tujuan bersama.
Ilmu administrasi adalah bagian dari ilmu sosial. Ilmu sosial dalam kuantitatif jarang diterima, karena ilmu administrasi tidak mempunyai hukum-hukum eksakta maka ditolak sebagai ilmu. Maka dari itu ilmu sosial membuat seperti A = 4 B = 3 C = 2 D = 1 Jadi sama seperti ilmu-ilmu eksakta bisa dimegerti atau dipahami banyak orang. Maka kuntitatif dirubah menjadi kualitatif. Mosher memberi pendapat bahwa pengetahuan tentang administrasi merupakan bidang yang berhak mendapat pengakuan tersendiri karena mempunyai kegunaan, cara-cara penelahaan ilmiah, titik tinjauan, dan kebulatan yang cukup. Penjelasan dari beberapa pendapat para ahli tersebut membuktikan administrasi adalah sebagai berikut: Penelahaan terhadap administrasi mengenal cara-cara yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan. Pengetahuan pada dasarnya yang paling sederhana berarti sesuatu yang diketahui. Pokok soal saja tidak memadai untuk menjelaskan selengkapnya pengertia ilmu, apalagi untuk membahas perbedaan antara ilmu-ilmu khusus yang satu dengan yang lainnya.  Lebih lanjut ilmu bercirikan empiris, sistematis, objektif, dan analistis.
Menurut Seligman, ilmu-ilmu yang benar-benar tergolong sebagai ilmu sosial ada 7 macam, yaitu ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, ilmu hokum,Antropologi, ilmu tentang kejahatan, dan sosiologi. Karena ilmu administrasi juga berkenaan dengan kegiatan-kegiatan manusia dalam hidup berkelompok, maka ilmu ini juga tergolong sebagai ilmu sosial. Karerna itu adalah mengherankan bahwa Seligman dalam ensiklopedianya sampai cetakan ke-12 tahun 1957 belum mencantumkan ilmu administrasi sebagai salah satu cabang tersendiri dalam ilmu sosial. Ilmu administrasi sebagai cabang ilmu sosial yang kedudukanya setaraf dengan cabang-cabang ilmu sosial lainya telah dikembangkan sejak beberapa puluh tahun yang lampau. Sasaran ilmu administrasi sangat luas. Kerjasama sekelompok menusia dapat mempunyai ciri-ciri yang bermacam-macam. Segenap metode ilmiah yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial dapat dipergunakan untuk ilmu administrsi sesuai dengan kebutuhannya pada sesuatu waktu. Metodemetode ini antaras lain ialah metode pengamatan, metode statistik, metode perbandingan, metode perbandingan, metode pemeriksaan, dan metode kasus.
2. Administrasi Sebagai Seni
1) Administrasi sebagai ilmu (Science) atau ilmu terapan, karena kemanfaatannya dapat dirasakan apabila prinsip-prinsip, rumus-rumus, dalil-dalil diterapkan untuk meningkatkan mutu pelbagai kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
2) Administrasi sebagai seni (Art) merupakan karya seseorang yang dipraktekkannya dengan baik yang diperolehnya dari pengalaman tanpa sebelumnya mempelajari teori-teori administrasi.  la berhasil dan sukses melaksanakan tugasnya tanpa memperoleh pendidikan tentang teori-teori dan asas-asas yang berkenaan dengan administrasi. Walaupun demikian ia memperoleh kemahiran di dalam bidang administrasi berdasarkan pengalaman di dalam melaksanakan tugasnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Administrasi itu sebagai Ilmu dan juga sebagai Seni. Administrasi merupakan seni yang memerlukan bakat, dan Administrasi juga merupakan ilmu yang memerlukan pengetahuan ataupun pengalaman.
PENTINGNYA ADMINISTRASI NEGARA
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Administrasi Negara adalah segenap proses penyelenggaraan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah suatu Negara, untuk mengatur dan menjalankan kekuasaan Negara, guna menyelenggarakan kepentingan umum. Jadi administrasi Negara adalah kunci dari suatu Negara. Bila proses Administrasi Negara Dalam proses pemerintahan suatu Negara itu baik, maka bisa dipastikan kinerja aparatur Negara baik dan tujuan Negara bisa tercapai dengan baik. Begitu pula sebaliknya.
Charles A.Beard pernah membuat pernyataan yang menggegerkan. Beliau mengatakan bahwa ”Tak ada subyek lain yang lebih penting daripada administrasi”.Beliau juga mengatakan bahwa masa depan masyarakat beradab bahkan peradaban itu sendiri tergantung pada kemampuan untuk memperkembangkan ilmu dan filosofi serta praktek administrasi yang kompeten untuk membawa fungsi-fungsi public. Untuk itu, ilmu dan teknologi yang diadaptasi oleh administrasi Negara dimaksudkan semata-mata untuk memberikan kemudahan hidup dan untuk meningkatkan kualitas hidup. Dengan kata lain, administrasi Negara merupakan penyelenggaraan dalam cita-cita suatu masyarakat modern. Eksistensi Administrasi Negara dalam kehidupan masyarakat modern terlihat dalam dua hal, yaitu :
1. Dalam masyarakat modern setiap orang selalu dipengaruhi oleh keputusan dalam Administrasi negara.
2. Tersedianya berbagai macam kontrol social terhadap penampilan Administasi Negara.
Jadi sudah jelaslah Administrasi Negara itu penting dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan yang telah ada.

POKOK- POKOK PIKIRAN ADMINISTARSI DAN UNSUR-UNSUR ADMINISTRASI

A. Pokok- pokok Pikiran Administarsi
1. Administrasi merupakan rangkaian kegiatan penataan
Kegiatan penataan ini merupan kegiatan menyusaun atau mengarsipakan surat-surat untuk dapat di jadikan sebagai sumber informasi, merencanakan kegiatan-kegiatan yang perlu di kerjakan, menyusun dan membagi kerja dalam urusan logis.
2. Rangkaian kegiatan penataan itu oleh sekelompok orang
Kesluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia  atau lebih atau banyak orang yang di dasarkan atas rasionalitas tertentu. Administrasi sebagai proses kerjasama oleh sekelompok orang.
3. Administrasi merupakan usaha kerjasama  dari sekelompok orang tersebut
Suatu proses yang umum ada pada setiap usaha kelompok-kelompok baik pemerintah maupun swasta, sipil, maupun militer, dalam ukuran yang besar maupun kecil. Rangkaian perbuatan  yang di lakukan secara bersama-sama secara teratur oleh dua orang atau sekelompok orang yang menimbulkan akibat yang sebenarnya tidak akan terjadi apabila di lakukan oleh masing- masing seorang diri.
4. Usaha kerjasama itu mempunyai tujuan tertentu yang ingin di capai.
Segala kegiatan dan tidakan yang di lakukan untuk mencapai tujuan (termasuk juga di dalamnya tindakan untuk menentukan tujuan itu sendiri, atau dengan kata lain bersifat melihat ke depan artinya kepada pencapaian tujuan pada masa yang akan datang). Rangkaian perbuatan manusia yang mengandung maksud tertentu yang memang di kehendaki oleh orag yang melakukan perbuatan itu. Di sini pula segenap aktifitas yang terjadi sebagai akibat perbuatan tersebut.
B. Unsur-unsur Administrasi
1. Organisasi
Adalah rangkaian kegiatan penataan yang berupa penyusunan suatu  kerangka yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan kerjasama dengan cara mengelompokkan pekerjaan – pekerjaan yang harus dilakukan, membagi tugas diantara para pejabat yang harus melaksanakan, menetapkan wewenang dan tanggung jawab masing – masing, serta menyusun jalinan hubungan diantara para pejabatnya. Adalah sistem usaha kerjasama sekelompok orang yang terikat secara formal untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
2. Manajemen
Adalah rangkaian kegiatan penataan yang berupa penggerakkan orang –orang dan pengarahan fasilitas kerja agar tujuan kerjasama benar – benar tercapai. Adalah kemampuan manajer untuk menggerakkan orang dan mengerahkan segenap fasilitas yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Komunikasi
Adalah rangkaian kegiatan penataan yang berupa penyampaian warta dari seseorang kapada pihak lain dalam kerjasama dalam mencapai tujuan tertentu. Adalah proses penyampaian informasi atau berita dari satu pihak kepada pihak lain melalui media sehingga timbul adanya timbal balik dan saling pengertian.
4. Kepegawaian
Adalah rangkaian kegiatan penataan yang berupa penghimpunan, pencatatan, pengolahan, penggandaan, pengiriman, penyimpanan, pemeliharaan, penyusutan, dan pemusnahaan informasi. Adalah suatu prsoses untuk merencanakan, mengembangkan dan memelihara potensi yang ada pada manusia untuk mencapai tujuan.
5. Perbekalan
Perbekalan adalah salah satu unsur administrasi ysng merupakan aktifitas yang menyangkut paut tentang peralatan yang dibutuhkan dalam suatu usaha karja sama atau organisasi, yang meliputi proses pengadaan, penyimpanan, sampai kepada penyingkiran barang-barang yang sudah tidak dipergunakan lagi.
6. Keuangan
Keuangan merupakan unsur administrasi yang menyangkut paut tentang masalah pembiayaan dalam suatu usaha kerjasama, yaitu yang berkenaan dengan penataan pengelolaan segi-segi pembiayaan, yang meliputi penentuan sumber-sumber biaya, cara memperoleh serta mempertanggungjawabkannya. Kesemuanya itu merupakan fungsi keuangan. Masalah keuangan adalah masalah yang sangat penting bagii   setiap usaha kerja sama, setiap usaha kerja sama atau organisasii selalu memerlukan pembiayaan.


7. Ketatausahaan
Tata usaha sebaga salah satu unsur dari   administrasi merupakan kegiatan pelayanan terhadap penyelenggaraan usaha kerjasama, yang meliputi kegiatan pencatatan, pengiriman dan penyimpanan bahan keterangan. Wujud dari pada keterangan-keterangan yang merupakan sasaran pokok dari kegiatan tata usaha dapat berupa surat-surat, formulir, kartu-kartu, daftar-daftar, gambar foto-foto dan benda lainnya yang dapat memberi keterangan.
8. Hubungan Masyarakat
Hubungan masyrakat yang diistilahkan pula dengan “ Public Relation “ merupakan kegiatan usaha kerja sama untuk menciptakan hubungan baik dengan masyarakat atau pihak lain di sekitarnya agar mendapatkan dukungan secara sadar dan suka rela.




















Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan HUKUM ADMINISTRASI NEGARA dengan HAM memiliki suatu keterkaitan satu dengan yang lainnya dimana pada Administrasi Negara di katakana jelas bahwa administrasi Negara merupakan penyelenggaraan dalam cita-cita suatu masyarakat modern dan disebutkan pula  Administrasi Negara itu penting dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan yang diidamkan oleh seluruh masyarakat dengan dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia yang pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan terhadap individu tesebut.
Namun HAM disini juga tudak dapat diartikan sebagai suatu kebebasn yang mutlak dimana tertera jelas pula pada materi diatas bahwasanya dikatakan bahwa dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.