Agama di Ruang Politik Sektarian Pasca Reformasi

 

Ruang Politik | Voxpop.id
Penulis       : Agus Ryadi
Penyunting : Wahyu Agung Saputra 

               Agama dan kepercayaan merupakan hal fundamental bagi setiap manusia. Tak luput dalam instrumen  Hak Azazi Manusia (HAM) juga termaktub hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

Tentunya, bagi bangsa Indonesia Agama merupakan identitas bagi setiap warga negaranya. Hal ini sesuai dengan ditetapkannya "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai point pertama dasar bangsa Indonesia. Tidak terlepas begitu saja, sebagai kontitusi tertinggi Negara Indonesia di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga di bubuhkan pasal yang mengatur kehidupan beragama setiap warga negara, yakni pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang menyatakan:

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Agama dan pemuka agama bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Islam dan Ulama bagaikan satu kesatuan yg melekat erat. Islam ialah keyakinan yang hakiki bagi ulama, sementara itu Ulama merupakan mesin dan amunisi untuk penggerak perkembangan demi kejayaan Islam tersebut. Sebagai negara dengan kompisisi penduduk Islam terbanyak di muka bumi yang menembus angka 12,7 % penduduk dunia atau setara dengan 88,1% dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam konteks pluralisme kerukunan umat beragama harus di jaga tanpa batas ruang dan waktu demi terciptanya harmonisasi dalam kemajemukan bangsa.
http://bodelen.com/afu.php?zoneid=2353122Tahun silih berganti, musim berubah, suasa politik negara terus bergulir hingga abad ke-21. Bagi Indonesia, seharusnya menjadikan warga negaranya sebagai insan yang beridentitas, integritas dan religius. Namun, fakta yang tidak dapat dihindari bahwa perubahan struktur dan tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia juga mempengaruhi sensitifitas kehidupan beragama di skala yg berbeda, tidak hanya antara umat seagama, namun juga antar umat lintas agama, tidak hanya di kalangan pemuka agama bahkan sampai pada semua kalangan pemeluk agama.
Politik sejatinya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, ia akan bisa jadi sebuah alat untuk mencapai kesejahteraan namun juga bisa sebagai alat yang mendatangkan kesengsaraan. semantara itu agama sejatinya berorientasi pada kedamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Hal ini dapat kita pahami bahwasanya agama dan politik berdiri sejajar tanpa saling mendahului, saling melengkapi untuk mencapai rakyat yang sejatera dan adil. Agama dan politik tidak bisa saling melupakan karena masih dengan erat melekatnya simbol-simbol keagamaan dalam proses politik kenegaraan, seperti adanya partai politik dengan simbol islami, adanya gerakan kelompok-kelompok keagamaan dalam pergerakan politik. Tentunya dengan fenomena demikian akan menjadikan ulama sebagai seorang tokoh yang mempunyai power untuk mengakomodasi kekuatan politik tertentu.
Femonena yang tumbuh-berkembang saat ini menjadikan isu politik Indonesia merupakan  politik identitas yang menyeret agama masuk kedalam poros politik praktis kenegaraan. Agama semulanya hanya sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral maupun tatanan sosial justru di tarik ulur untuk kepentingan politik sectarian yang dilakukan oleh sekelompok orang. Maka tak ayal terjadi pemerkosaan agama untuk melancarkan jalannya politik praktis sectarian untuk kepenting kelompok. 
Indonesia sebagai Negara demokrasi dengan kedaulatan tertinggi ditangan rakyat termanifestasi dalam pemilihan langsung di lembaga legislative dan eksekutif. Setelah lengsernya rezim Orde Baru dari sejarah perjalanan negara Indonesia merupakan babak baru terbukanya pemilihan langsung sebagai implementasi dari kedaulatan ditangan rakyat. Realitanya upaya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan strategi yang dinamis terus dilakukan oeh actor politik yang berkompetisi dalam pesta lima tahunan tersebut.
Ulama sebagai orang yang mempunyai power tersendiri dalam mengakomodasi kekuatan politik mempunyai kharismatik dikalangan keagamaan tidak luput dar pandangan actor politik praktis tersebut, tidak asing lagi bagi kita jika ulama menjadi sorotan dan dijadikan mesin untuk mendulang kekuatan demi kemenangan. Langgar dan pondok pesantrenpun acapkali dijadikan sebagai wahana untuk melakukan sosialisasi politik ke lintas generasi.
Kongritnya ulama tetap sebagai warganegara yang mempunyai hak konstitusional dan kebebasan yang sama denga warga negara lainnya, kebebasan yang menuntun ulam untuk berbeda pandangan untuk memberikan support pada competitor yang mengikuti kontetasi politik tersebut. Kuatnya pengaruh ulam dan perbedaan pandangan yang ada pada ulama tersebut tidak jarang menjadi amunisi tersendiri untuk memancing lahirnya gesekan-gesekan di dalam tatanan kehidupan umat beragama. Masih segar dalam ingatan kita dahsyatnya gerakan islami yang di pelopori para ulama pada tangal 2 Desember 2017 yang dinamai dengan Gerakan 212, gerakan didasari semangat kesatuan umat islam untuk menuntut Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang juga sebagai calon Guberbur DKI Jakarta  atas kasus penistaan agama.
Problematika tersebut ternyata mampu melumpuhkan harapan Ahok untuk meduduki kursi DKI 1 untuk periode ke-2.
Semangat persatuan umat islam yang dipelpori ulama tersebut juga tidak henti begitu saja, nuansa kekeluargaan dan rasa patriotiknya masih kental hingga kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sejalan dengan proses politik yang bergulir faktanya melahirkan 2 pasangan calon yakni, Ir. Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin yang merupakan sosok ulama nasional yang menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan pasangan Probowo Subianto – Sandiaga Uno yang menggalang dukungan oleh para ulama malalui Ijtima ulam I dan II.
Ada dua penafsiran yang timbul ketua pencalonan itu dimulai. Pertama, ulama masih mempunyai peran yang sangat kuat dalam proses politik Indonesia. Kedua, terjadinya perpecahan suara ulama atas dasar kebebasan dan perbedaan pandangan politik tersebut. Ironisnya ada berbagai organisasi kegamaan yang menunggangi kekuatan masing-masing calon yang terus mendeklrasikan dukungannya, sehingga memicu terjadinya konflik antar umat sesama agama. Ada perbedaan pandangan, perbedaan sikap yang memicu pada tarik ulur agama dalam kepentingan politik.
Atas dasar itu terjadinya berbagai gerakan yang tidak mencerminkan identitas ketimuran kita sebagai bangsa Indonesia yang toleran dan saling menghargai. Persekusi, kriminalisasi dan intimasi terjadi di berbagai daerah. Gerakan makar, anti pancasila, inteloran semakin kontras dalam kehidupan berbangsa saat ini. Pluralis dan multikulturalisme seakan menjadi boomerang untuk mebombardir kerukunan umat beragama. Mulai lahirnya paham-paham keislaman yang berbeda dikalangan ulama dengan gerakan Islam Nusantara, Islam Radikal dengan semangat khilafah. Konflik dan perseteruan antar sesama dinasti Islam pun tak pernah surut, masih berkecamuk sampai hari ini. Terjadi perebutan politik dan kekuasaan yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya dari agama. Contoh paling kasat mata adalah perseteruan antara sekutu Saudi Arabia dan sekutu Iran yang memiliki andil besar bagi munculnya konflik di Timur Tengah. Keduanya mengaku sama-sama pembela Islam, namun berbeda agenda politiknya. Lebih parah lagi konflik Israel dan Palestina yang berbeda agama dan berbeda agenda politiknya.
Dalam situasi dilematis seperti yang tengah dihadapi rakyat dan negara Indonesia sekarang ini, maka perlu segera dilakukan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah, pertama, menghimpun dan menggalang kekuatan politik yang masih waras yang mampu menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok. semua elemen bangsa, khususnya pemerintah harus melakukan penyadaran bagi semua pihak tentang pentingnya persatuan dalam Indonesia yang bhineka, dan mendudukan Pancasila sebagai kepribadian bangsa untuk semua generasi.