bentuk | The Daily Star
Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik, yang oleh Almond dikatakan sebagai kegiatan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan. Mengikuti organisasi biasanya dimaksudkan untuk turut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengambilan Keputusan (sudjionosastroatmodjo,1995:74).
Secara umum,Almond mengungkapkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional-legal dan nonkonvensional-ilegal. Konvensional, artinya berdasarkan kesepakatan umum atau kebiasaan yang sudah menjadi tradisi. Legal, artinya sesuai dengan undang - undang atau hukum yang berlaku. Jadi, partisipasi yang konvensional-legal berarti kegiatan politik yang dilaksanakan secara lazim berdasarkan peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum yang berlaku. Inkonvensional-ilegal atau partisipasi politik konstitusional dengan cara kekerasan atau revolusi. Kekurangan politik yang melaksanakan partisipasi politik demikian biasanya tidak pernah mengindahkan etika berpolitik. Mereka lebih menyukai tindakan kekerasan (anarkis).
Disamping itu, partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk, kita dapat membedakan jenis-jenis perilaku yang berbentuk wujud nyata kegiatan politik berkaitan dengan partisipasi politik, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :
Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga menyangkut sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam sebuah pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
1). Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
2). Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi individu sebagai anggota atau pemimpin dalam sebuah organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
3). Mencari koneksi(Contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu atau segelintir orang.
4). Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi:
1). Opini publik;
2). Polling;
3). Pemilihan umum; dan
4). Demokrasi langsung.
Opini Publik, adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh pembayar pajak dan konstituen pemilu. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatuisu. Polling, adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya.
Pemilihan Umum, Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel).
Demokrasi Langsung,Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas Plebisit dan Referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu.
Misalnya, dalam kasus isu kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock (kondisi dimana proses tidak berjalan lagi ataupun tidak ada komunikasi lagi antar proses) dengan eksekutif, diambillah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka menurut Sastroatmojo (dalam Soeharno: 2004; 104) dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1). Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
2). Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya Lester Milbrath mengajukan tiga tipe partisipasi politik, yaitu tipe penonton, tipe transisional, dan tipe gladiator. Berikut penjelasannya :
1). Tipe penonton meliputi ketertarikan diri sendiri pada stimulan politik, mengikuti pemilihan umum (legislatif dan eksekutif), menginisiasi suatu diskusi politik, berusaha mendekati orang lain untuk ikut memilih dengan cara tertentu, dan menempelkan stiker pada kendaraan.
2). Tipe transisional mencakup kegiatan menjalin kontak dengan pejabat publik atau pemimpin politik, memberikan sumbangan finansial pada partai politik atau kandidat, dan mengikuti suatu pertemuan atau penjalanan politik.
3). Tipe gladiator terdiri dari berbagai kegiatan antara lain menghabiskan waktu dalam suatu kampanye politik, menjadi anggota aktif dalam suatu partai politik, menghadiri suatu kaukus atau pertemuan strategi, memajukan pengumpulan dana politik, menjadi kandidat untuk suatu jabatan, dan menjadi pejabat publik dan partai politik.
Bertolak belakang dengan pendapat Lester Milbrath, Agger dan Lane mengatakan ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.
1). Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala politik.
2). Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3). Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikirmengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.
4). Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduliyang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
Berbagai bentuk partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain :
1). Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
2). Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan (input) terhadap kebijakan pemerintah.
3). Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya berkampanye dan menjadi pemilih aktif.
4). Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa dan demonstrasi.