partisipasi politik | Qureta
Partisipasi politik merupakan
kegiatan warga negara yang mempunyai perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi
terhadap politik pemerintah. Di mana individu dan masyarakatnya mampu memainkan
peran politik baik dalam proses input (berupa pemberian dukungan atau tuntutan
terhadap sistem politik) maupun dalam proses output (melaksanakan, menilai, dan
mengkritik terhadap kebijakan dan keputusan politik pemerintah).
Partisipasi politik Indonesia
berawal dari munculnya organisasi yang kemudian menjadi partai politik dengan
berbagai macam idealis baik yang bersifat Nasionalis, Sosialis, Komunis, Agama
dan Tradisional Jawa. Pada tahun 1955 adalah momen dalam bentuk partisipasi
rakyat dalam pemilu pertama yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia.Dalam
pemilihan umum pertama tahun 1955 yang dilaksanakan dalam suasana yang khidmat
karena merupakan pemilihan umum pertama yang pernah diadakan, presentasenya
adalah 91%, yaitu 39 juta dari total jumlah warga negara yang berhak memilih
sejumlah 43 juta.Dimana pada pemilu 1955 dianggap pemilu yang paling demokratis
yang terjadi di Indonesia. Hingga masuk pada masa orde baru kepemimpinan
Soeharto, kegiatan politik semakin tertutup bagi kalangan masyarakat pada
umumnya.
Partisipasi pada masa Orde Baru ini
juga bisa dikatakan merupakan partisipasi yang dimobilisasi, melalui
penggiringan opini oleh penguasa kepada masyarakat sehingga masyarakat akan
mengikuti kehendaknya. Partisipasi yang dimobilisasi bisa dikatakan merupakan
suatu kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam memberikan suara, berdemonstrasi ataupun mengambil tindakan-tindakan
lainnya untuk mempengaruhi pengambil-pengambil keputusan pemerintah tetapi
keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut tidak berasal dari pribadinya
sendiri.Untuk partisipasi yang dimobilisasi ini bisa dicontohkan ketika pada
setiap pemilihan umum yang akan dilakukan untuk memilih calon presiden pada
masa orde baru ini, setiap anggota PNS atau setiap masyarakat yang bekerja
sebagai PNS, diwajibkan untuk memilih Partai Golkar dalam pemilu, karena bila
tidak kebanyakan dari mereka akan dikenakan sanksi bila memilih partai lain
seperti pemecatan ataupun sanksi lainnya yang sangat memberatkan para pekerja,
oleh karena itu mau tidak mau masyarakat yang bekerja sebagai PNS akan memilih
partai Golkar dalam setiap pemilu, sehingga hal itu memungkinkan partai ini
selalu memenangkan pemilu dan memerintah pada masa orde baru.
Pada tahun 1992 persentase
partisipasi adalah 95% atau 102,3 juta. Pada pemilihan umum 1999 dan
tahun 2004 partisipasi menurun. Partisipasi dalam pemilu legislatif 2004 turun
menjadi 84% dan pemilihan umum presiden putaran kedua turun menjadi 77,4 %.
Penurunan juga terjadi pada tahun 2009 dan 2014. Pada pemilu 2009 mencapai
70,99 persen (Pileg) dan 71,7 persen (Pilpres) sementara pada tahun 2014 Daftar
Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang
menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara. Sebagian masyarakat
memutuskan untuk tidak ikut serta dalam pemilu 2014 atau yang sering disebut
sebagai Golput. Dikutip dari sebuah surat kabar online bahwa Tingkat golput
dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka
golputPilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%.
Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 yang hanya mencapai
24%.(Harianterbit.com).