Agama di Ruang Politik Sektarian Pasca Reformasi

 

Ruang Politik | Voxpop.id
Penulis       : Agus Ryadi
Penyunting : Wahyu Agung Saputra 

               Agama dan kepercayaan merupakan hal fundamental bagi setiap manusia. Tak luput dalam instrumen  Hak Azazi Manusia (HAM) juga termaktub hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

Tentunya, bagi bangsa Indonesia Agama merupakan identitas bagi setiap warga negaranya. Hal ini sesuai dengan ditetapkannya "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai point pertama dasar bangsa Indonesia. Tidak terlepas begitu saja, sebagai kontitusi tertinggi Negara Indonesia di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga di bubuhkan pasal yang mengatur kehidupan beragama setiap warga negara, yakni pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang menyatakan:

Kegiatan dan Subjek Partisipasi Politik


Budiarjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (publicpolicy).
Subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara preman ( Private Citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional dibidang politik seperti pejabat pemerintah, pejabat partai, calon politikus, lobbi professional.

Konsep dan Pengertian Partisipasi Politik


Partisipasi Politik

Secara etimologi Partisipasi berasal dari bahasa latin, yaitu pars yang berari bagian dan capere yang berarti mengambil. Bila digabungkan maka dapat kita artikan “ mengambil “. Dalam bahasa inggris,participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Jadi partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara (Soeharno: 2004; 102).

Fungsi Partisipasi Politik di Indonesia



Fungsi | acch-kpk


Menurut Robert Lane ( dalam Rush dan Altohof dalm Suharno, 2004: 107) partisipasi politik memiliki empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu yaitu :

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

bentuk | The Daily Star

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik, yang oleh Almond dikatakan sebagai kegiatan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan. Mengikuti organisasi biasanya dimaksudkan untuk turut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengambilan Keputusan (sudjionosastroatmodjo,1995:74).

Secara umum,Almond mengungkapkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional-legal dan nonkonvensional-ilegal. Konvensional, artinya berdasarkan kesepakatan umum atau kebiasaan yang sudah menjadi tradisi. Legal, artinya sesuai dengan undang - undang atau hukum yang berlaku. Jadi, partisipasi yang konvensional-legal berarti kegiatan politik yang dilaksanakan secara lazim berdasarkan peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum yang berlaku. Inkonvensional-ilegal atau partisipasi politik konstitusional dengan cara kekerasan atau revolusi. Kekurangan politik yang melaksanakan partisipasi politik demikian biasanya tidak pernah mengindahkan etika berpolitik. Mereka lebih menyukai tindakan kekerasan (anarkis).

Disamping itu, partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk, kita dapat membedakan jenis-jenis perilaku yang berbentuk wujud nyata kegiatan politik berkaitan dengan partisipasi politik, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :

Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga menyangkut sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam sebuah pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.

1). Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak.

2). Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi individu sebagai anggota atau pemimpin dalam sebuah organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

3). Mencari koneksi(Contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu atau segelintir orang.

4). Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi:

1). Opini publik;

2). Polling;

3). Pemilihan umum; dan

4). Demokrasi langsung.

Opini Publik, adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh pembayar pajak dan konstituen pemilu. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatuisu. Polling, adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya.

Pemilihan Umum, Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel).

Demokrasi Langsung,Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas Plebisit dan Referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu.

Misalnya, dalam kasus isu kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock (kondisi dimana proses tidak berjalan lagi ataupun tidak ada komunikasi lagi antar proses) dengan eksekutif, diambillah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.

Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka menurut Sastroatmojo (dalam Soeharno: 2004; 104) dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1). Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

2). Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.

Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya Lester Milbrath mengajukan tiga tipe partisipasi politik, yaitu tipe penonton, tipe transisional, dan tipe gladiator. Berikut penjelasannya :

1). Tipe penonton meliputi ketertarikan diri sendiri pada stimulan politik, mengikuti pemilihan umum (legislatif dan eksekutif), menginisiasi suatu diskusi politik, berusaha mendekati orang lain untuk ikut memilih dengan cara tertentu, dan menempelkan stiker pada kendaraan.

2). Tipe transisional mencakup kegiatan menjalin kontak dengan pejabat publik atau pemimpin politik, memberikan sumbangan finansial pada partai politik atau kandidat, dan mengikuti suatu pertemuan atau penjalanan politik.

3). Tipe gladiator terdiri dari berbagai kegiatan antara lain menghabiskan waktu dalam suatu kampanye politik, menjadi anggota aktif dalam suatu partai politik, menghadiri suatu kaukus atau pertemuan strategi, memajukan pengumpulan dana politik, menjadi kandidat untuk suatu jabatan, dan menjadi pejabat publik dan partai politik.

Bertolak belakang dengan pendapat Lester Milbrath, Agger dan Lane mengatakan ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.

1). Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala politik.

2). Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap  partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3). Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikirmengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.

4). Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan  dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduliyang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.

Berbagai bentuk partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain :

1). Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.

2). Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan (input) terhadap kebijakan pemerintah.

3). Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya berkampanye dan menjadi pemilih aktif.

4). Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa dan demonstrasi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Faktor | Kantor Staf Presiden

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan pengetahuan seseorang ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah ialah penilaian seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak.
Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor tersebut.

Paige membagi partisipasi menjadi empat tipe.Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif.Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis).Tipe partisipasi ketiga berupa militan radikal, yakni apabila kesadaaran politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah tinggi, maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif) (dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72-73).

Sebagai sebuah kegiatan tentu partisipasi politik memiliki banyak factor yang dapat mempengaruhinya, menurut Surbakti( dalam Suharno,2004: 108) terdapat dua variabel yang dapat memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, dua variable tersebut yaitu :

1). Aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapatkan perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewaiban-kewajiban seperti kewajiban dalam system politik, kewajiban kehidupan sosial dan kewajiban lainnya.

2). Menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasi terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.

Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya.Hal itu di samping berkaitan dengan sistem politik, juga berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Meluasnya partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal yang menurut Weimer(dalam sudjiono sastroadmodjo, 1995: 89-90) disebutkan paling tidak terdapat lima faktor.
Kelima faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik itu, sebagai berikut :

1). Faktor yang pertama ialah modernitas. Modernitas di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian industrilisasi,meningkatnya arus urbanisas, peningatan kemapuan baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa/ media komunikasi secara lebih luas. Kemajuan itu berakibat pada partisipasi warga kota baru seprti kaum buruh kaum pedangang, dan profesional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadaran bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.

2). Faktor yang ke dua adalah terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industriliasi dan modernitas. Dari hal itu muncul persoalan yaitu siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-keputusan politik yang berakhir membawa perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. Kelas menengah baru itu secara kritis menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat yang terkesan secara demokratis.

3). Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor meluasnya partisipasi masyarakat. Ide-de baru seperti nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide itu dalam seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang belum maju sekalipun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara cepat. Hal itu berimplikasi pada tuntutan-tuntutan rakyat dalam ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

4). Faktor ke empat ialah adanya konflik antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan masa. Dalam konteks ini mereka beranggapan adalah sah apabila yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat dan dalam upaya memperjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, baik hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi, maupun isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah terhadap kaum bangsawan yang memegang kekuasaan mengakibatkan perluasaan hak pilih rakyat.

5). Sebab kelima, menurut weimer ialah adanya keterlibatan pemerintah yang semakin mmeluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasanya ruang lingkup aktifitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

Dalam kenyataan pada kehidupan politik, tidak sedikit warga negara yang menghindari atau tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap aktivitas politik. Kenapa demikian? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan oleh Morris Rosenberg (1954) dalam Rush dan Althoff (2003: 144-146), menyatakan ada tiga alasan kenapa orang bersifat apatis dalam aktivitas politik.

Aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Setiap keputusan pasti ada biaya atau risikonya. Oleh sebab itu, jika seseorang menganggap bahwa keterlibatan dalam aktivitas politik akan mendatangkan risiko bagi berbagai aspek kehidupannya, maka apatis merupakan pilihan terbaik bagi dirinya. Aktivitas politik dipandang sebagai suatu kerja yang sia-sia. Interpretasi individu terhadap realitas politik sebagaisuatu kerja yang bermanfaat atau sebaliknya sesuatu hal yang sia-sia, akan memengaruhi keterlibatan seseorang dalam politik.

Ketiadaan faktor untuk “memacu diri untuk bertindak” atau disebut juga sebagai “perangsang politik”. Sebagai makhluk yang rasional setiap individu tahu apa yang diinginkannya. Apabila kebutuhan material dan immaterial tidak akan diperolehnya ketika akan melakukan aktivitas politik, maka tidak ada rasional atau faktor yang mendorong individu beraktivitas politik.
Adapun bentuk faktor-faktor pendukung dalam partisipasi politik di antaranya yaitu :

1. Pendidikan Politik

Pendidikan politik sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan atau setidak-tidaknya menyiapkan kader-kader yang dapat diandalkan untuk memenuhi harapan masyarakat luas, dalam arti yang benar-benar memahami semangat yang terkandung dalam perjuangan sebagai kader bangsa.Disamping itu pendidikan politik berusaha untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara.

2. Kesadaran Politik

Kesadaran politik rakyat tidak hanya dapat diukur dari tingkat partisipasinya pada pemilu (memberikan suara dibilik suara atau ikut meramaikan kampanye pemilu) melainkan juga sejauh mana mereka aktif mengawasi atau mengoreksi kebijakan atau perilaku pemerintah didalam mengambil kebijakan dan melaksanakan kebijakan tersebut. Inilah yang lazim disebut gerakan ekstraparlementer (gerakan turun ke jalan).

3. Budaya Politik

Budaya politik merupakan perwujudan nilai-nilai politik yang dianut oleh sekelompok masyarakat, bangsa dan negara yang diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan politik kenegaraan.

4. Sosialisasi Politik

Usaha untuk memasyarakatkan partisipasi politik kepada seluruh warga masyarakat agar memiliki kesadaran politik yang tinggi terutama akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partisipasi Politik dan sejarah singkatnya di Indonesia


partisipasi politik | Qureta

Partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang mempunyai perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap politik pemerintah. Di mana individu dan masyarakatnya mampu memainkan peran politik baik dalam proses input (berupa pemberian dukungan atau tuntutan terhadap sistem politik) maupun dalam proses output (melaksanakan, menilai, dan mengkritik terhadap kebijakan dan keputusan politik pemerintah).

Kategori

Kategori