HAM di tengah-tengah Tenaga Kerja







1. Catatan atas Pembatalan Aturan Daluarsa Hak Pekerja
MK kembali membuat kejutan baru. Melalui putusan No. 100/PUU-X/2012, MK mempreteli kembali pasal krusial dalam UU Ketenagakerjaan. Kali ini, MK membatalkan Pasal 96 yang mengatur daluwarsa hak pekerja/buruh menuntut pengusaha untuk membayar kekurangan hak untuk waktu paling lama dua tahun.
Permohonan uji materi ini diajukan Marten Boiliu, seorang Satpam yang mengaku bekerja dan sudah menandatangani tujuh kali kontrak kerja dengan PT Sandhy Putra Makmur. Saat uji materi diajukan, hubungan kerja Marten dengan PT Sandhy Putra Makmur sudah putus. Marten mendalilkan masih ada sejumlah hak yang harus dibayarkan PT Sandhy Putra Makmur sebelum PHK itu terjadi.
Pada pertimbangan hukumnya, MK menilai Pasal 96 yang menjadi objek permohonan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Konklusi itu mengakomodasi dalil Pemohon. Relevan dengan dampak yang ditimbulkan Pasal 96, MK menutup pertimbangan hukumnya dengan mengatakan:
…upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja….Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu….Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan perundang-undangan….
Pasal spekulasi
Memperhatikan redaksi Pasal 96 UU Ketenagakerjaan secara cermat, ketentuan itu memberi kesempatan kepada pengusaha untuk berspekulasi dengan cara mencoba tidak membayar hak pekerja.
Ketika pekerja meminta pembayaran hak sesuai peraturan, pengusaha melaksanakannya. Namun bila pekerja tidak menuntut hak atau kekurangan hak, sikap diam pekerja otomatis memberi keuntungan kepada perusahaan.
Ilustrasinya seperti ini. Kalau pengusaha tidak membayar upah lembur selama 10 tahun, atau membayar upah lebih rendah dari upah minimum propinsi (UMP), pekerja hanya boleh menuntut haknya selama dua tahun. Sisa delapan tahun hangus karena dianggap daluwarsa. Keuntungan selama delapan tahun dikategorikan sebagai tindakan spekulasi yang menguntungkan pengusaha.
Ketika pelanggaran hak buruh berlangsung lebih dari dua tahun, sulit mengatakan tindakan itu sebagai kehilafan belaka.Terhadap realita seperti itu, yang patut disalahkan adalah pengusaha. Sikap diam buruh terhadap pelanggaran haknya tidak bisa dikualifikasi sebagai pelepasan hak. Dalam praktik hubungan kerja, pekerja tidak menagih haknya dalam waktu yang singkat karena :
a.     Tidak mengetahui dasar hukum dari haknya;
b.     Takut dikenakan hukuman mutasi, demosi dan PHK;
c.      Tidak mengerti mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU.
Kerugian yang muncul dalam dugaan di atas paralel dengan penjelasan Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa daluwarsa dapat menghapuskan hak karena lampaunya waktu (Sudikno Mertokusumo, 2006:113).
Bicara soal kerugian yang dialami buruh, Marten sang pemohon judicial review tak perlu repot-repot. Sebab, pihak pengusaha yang diwakili Apindo sudah lebih dulu menyodorkan sejumlah putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan MA yang menunjukkan bahwa pada praktiknya pengadilan mengakui keberadaan pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini.
Namun, Apindo tampaknya tidak menyadari bahwa putusan yang disajikan itu justru akan memperkuat dalil pemohon (pekerja). Dalam pandangan MK, penerapan hukum yang kurang tepat dalam putusan PHI, dinilai sebagai pembenar atas dalil pemohon uji materi.
Mencermati beberapa putusan MK terdahulu, penilaian seperti itu bukan yang pertama terjadi. Hal ini terjadi misalnya dalam putusan MK tentang upah proses, putusan tentang efisensi karena perusahaan tutup sebagai alasan PHK, dan putusan tentang alasan PHK karena perusahaan tak membayar upah selama tiga bulan berturut-turut.
Dalam ketiga putusan itu, MK menggunakan putusan PHI dan MA sebagai alasan pembenar untuk mengatakan bahwa ketentuan yang diuji terbukti merugikan hak konstitusional para pekerja/buruh.
Perdebatan baru
 
Dalam hukum ketenagakerjaan substansi Pasal 96 bukan hal baru. Hakikat  ketentuan itu sudah dikenal sejak pemerintah memberlakukan PP No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang masih berlaku sampai sekarang. Ketentuan Pasal 96 merupakan ‘copy paste’ dari Pasal 30 PP No. 8 tahun 1981.
Keberadaan PP Perlindungan Upah bisa memicu perdebatan baru. Pengusaha berpeluang mengatakan, masa daluwarsa hak selama dua tahun masih berlaku dengan mendasarkan argumen pada Pasal 30 PP Perlindungan Pemerintah.
Pekerja bukan pihak yang tepat disalahkan manakala pengusaha tidak membayar sesuai peraturan yang berlaku. Otoritas membayar hak pekerja berada di tangan pengusaha.
Anggapan negatif terhadap penerapan daluwarsa sudah mengemuka sebelum putusan MK dibacakan. Pemikiran untuk meninjau ulang ketentuan daluwarsa dalam hubungan kerja dijelaskan dalam buku yang dibuat oleh penulis terkait tentang ulasan atas putusan MK di bidang ketenagakerjaan. Penulis mengatakan, ketentuan daluwarsa merugikan buruh. Ketentuan
daluwarsa bisa digunakan melanggar hak buruh dan melindungi pengusaha menggelapkan hak buruh. Penulis menegaskan, tidak ada daluwarsa terhadap  hak normatif (Juanda Pangaribuan, 2012:89).
Uraian di atas meretas delapan catatan penting. 

Pertama, ketentuan daluwarsa   tentang hak normatif terakhir kali berlaku pada tanggal 18 September 2013. 

Kedua, berdasarkan asas lex superiori derogat legi inferiori, ketentuan daluwarsa hak dalam Pasal 30 PP Perlindungan Upah tidak dapat diberlakukan sebagai pengganti dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan.

Ketiga, perusahaan tidak perlu resah dengan pembatalan ketentuan daluwarsa sebab dalam perkembangan masyarakat dan industri, pemerintah dan masyarakat mengharapkan kepatuhan pengusaha menjalankan peraturan yang berlaku.

Keempat, pihak yang keberatan dengan pembatalan ketentuan daluwarsa, secara a contrario dianggap sebagai pihak yang berkeinginan membayar hak pekerja/buruh menyimpang dari peraturan yang berlaku.

Kelima, putusan MK dapat dimaknai sebagai motivator ke arah perubahan budaya hukum di sektor ketenagakerjaan sehingga di masa mendatang akan muncul pengusaha-pengusaha yang taat hukum. Ketiadaan peraturan mengatur batas daluwarsa hak pekerja/buruh justeru akan mendorong 
pengusaha mematuhi semua norma hukum dan bertindak secara hati-hati.

Kenam, MK tidak mengatakan putusan itu berlaku surut (retroaktif). Terhitung sejak putusan itu dibacakan, pekerja tidak boleh menggunakan putusan itu sebagai dasar menuntut pengusaha untuk membayar hak atau kekekurangan pembayaran hak sampai waktu tidak terbatas.

Ketujuh, putusan MK berlaku di masa yang akan datang, sepanjang pembentuk UU tidak mengatur lain dalam regulasi terbaru. 

Kedelapan, pasca putusan MK pengusaha tidak perlu kuatir menghadapi tuntutan pekerja. Karena pekerja tidak mungkin mengajukan tuntutan bila pengusaha sudah membayar hak pekerja sesuai hukum yang berlaku. Oleh: Juanda Pangaribuan: Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.