Politik Luar Negeri dan hubungannya dengan HAM



INDONESIA DAN TIMOR TIMUR
INDONESIA DAN INTEGRASI TIMOR TIMUR
Revolusi Bunga di Portugal tahun 1974 dan perang saudara di Timor Timur 1975 membuka jalan integrasi Timor Timur ke dalam Indonesia. Pada tanggal 25 April 1974 terjadi kudeta militer di Portugal yang dipimpin oleh Jendral Spinola. Kudeta ini dinamakan revolusi bunga atau Red Flower’s Revolution. Pemerintahan dictator Salazar diambil alih oleh Jendral Antonio de Spinola. Revolusi tersebut tidak hanya membawa pengaruh pada dalam negeri Portugal teatapi juga terhadap daerah-daerah koloninya. Jendral Spinola berjanji untuk segera memberikan kebebasan menentukan nasib sendiri bagi daerah koloni Portugal, termasuk Timor Timur.


Dua minggu kemudian, Gubernur Timor Portugis memberikan kebebasan bagi warga untuk mendirikan partai politik. Pada kesempatan tersebut rakyat Timor Timur membuat beberapa partai politik yaitu UDT (Uniao Democratica Timor), Fretilin (Frente Revoluucianora Do Timor leste Independente), Apodeti (Associao Popular Democratica Timor), KOTA (Klibur Oan Timor Aswaini), Trabhalista dan Adlita guna menyalurkan aspirasinya masing-masing. Dalam situasi menentu di Portugal, maka pemerintahan Portugal di Timor Timur semakin kacau dan meninggalkan Timor Timur tanpa kepastian dan kejelasan.
Pada 11 Agustus 1975, UDT melakukan kudeta yang kemudian memicu perang antara UDT dengan Fretelin. Pemerintahan Portugal secara jelas memihak pada Fretelin yang menyatakan diri sebagai satu satunya wakil Timor Timur. Hal ini bertentangan dengan undang-undang dekolonisasi Timor Timur yang dikeluarkan oleh pemerintah Portugal. Dalam keadaan perang saudara, rakyat Timor Timur menginginkan bersatu kembali dengan menggabungkan partai UDT, Apodeti, Kota dan Trabhalista dalam satu tujuan untuk menghadapi Fretelin dan mendesak pemerintahan Indonesia untuk menerima Timor Tjmur sebagai bagian integral dari NKRI. Selain itu, pengaruh Fretelin yang berhaluan kiri di Timur Portugis menimbulkan kecemasan blok barat khususnya AS dan Australia terhadap kemungkinan perluasan kekuatan komunis di Asia Tenggara dan Pasifik juga memunculkan dukungan barat bagai keterlibatan langsung Indonesia di Timor Timur.
Bagi Indonesia, pada saat Fretelin mengumumkan pemerintahan atas Timor Timur, dianggap sebagai suatu ancaman karena Fretelin berhaluan komunis dan Indonesia khawatir akan muncul Negara Kuba yang baru di Asia Tenggara. Selain Indonesia melakukan manipulasi imej Fretilin dengan menganggap Fretilin berhaluan Marxist sehinggap posisi Fretilin pun terdiskredit dalam dunia internasional Indonesia[1], kemudian merekayasa Deklarasi Balibo dan juga melakukan invasi secara besar-besaran  ke wilayah Timor Timur pada 7 Desember 1975. Ini semata-mata merupakan kampanye terbesar yang digagaskan oleh Ali Murtopo sehinggat tampak nyata Indonesia menggunakan propaganda US anti-communism untuk menganeksasi Timor timur.Untuk itu invasi ini mendapatkan dukungan dari AS dan Australia sebagai ungkapan good will Indonesia pada kesempatan yang sama Indonesia melakukan peningkatan aktivitas militer secara rahasia sementara bekerjsama dengan Apodeti untuk mempersiapkan serangkaian cara menganeksasi Timor timur.[2].
Akibatnya sekurang-kurangnya terdapat 125,000 warga sipil meninggal karena perang saudara dan kelaparan. Enam jurnalis asing tewas di tangan militer Indonesia. Insiden penembakan jurnalis asing ini memicu aksi protes internasional. 25 tahun lamanya Indonesia memiliki Timor timur, seakan insiden jurnalis asing seakan terlupakan baik oleh US, Australia, apalagi Indonesia. Selama 25 tahun juga, Timor timur diyakini menjadi implementasi latihan militer Indonesia sehingga sejarahnya bisa dilacak kembali melalui pelatihan militer dari program CIA serupa dengan Vietnam dengan kode militer ‘Phoenix’.
Selanjutnya terjadi pergantian posisi decision maker yang mana Ali Murtopo karena sakit, digantikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik.
JAJAK PENDAPAT TIMOR TIMUR
Jajak pendapat Timor timur berakar dari kekerasan yang terus menerus dilakukan oleh militer Indonesia, yakni sebagai tempat latihan militer. Tidak hanya warga sipil meninggal, namun korban meninggal banyak dari pihak Fretilin. Adanya reformasi mengakibatkan presiden Soeharto jatuh, ada krisis dimensional sosial ekonomi. Melihat situasi domestik Indonesia yang melemah, akhirnya beberapa pemuda sering mengadakan demo di banyak tempat menuntut keadilan, kebebasan, dan kemerdekaan Timor timur dari agresivitas. Dalam salah satu demo tersebut, dicatat seorang mahasiswa meninggal dan dimakamkan di Santa Cruz. Sekaligus mahasiswa melakukan demo, militer Indonesia serta merta menembaki para demonstran, mengakibatkan beberapa jurnalis asing tewas, dan sayangnya aksi brutal Indonesia ini kemudian terekam dalam kamera salah satu jurnalis dan tersebar secara internasional.
Jajak pendapat pada tahun 1999, terjadi pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie. Jajak pendapat ini dikeluarkan karena, terjadi pertentangan dari pihak Timor Timur (sekarang Timor Leste) untuk mendesak pemerintahan Republik Indonesia (RI) agar segera melepaskan wilayah Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam jajak pendapat ini, diketahui terdapat 3 anggota yang ikut serta, antara lain Portugal, Indonesia, dan PBB yang dibentuk pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Dalam perjanjian ini, ditujukan dalam rangka penyelesaian konflik yang terjadi di Timor-Timur. Dari tanggal 5 Mei 99 tersebut, merupakan sebuah titik awalan untuk mengetahui apakah Timor-Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Ketika memahami jajak-pendapat di tahun 1999 ini, diketahui bahwa kondisi awal yang terjadi adalah keadaan yang dialami di daerah Timor-Timur mengalami suatu kompleksitas yang cukup tinggi, sehingga memicu peran internasional untuk menanggapi hal ini sebagai suatu permasalah internasional yang perlu diselesaikan di bawah naungan PBB.
Kemudian, pada tanggal 11 Juni 1999, muncul badan organisasi di bawah naungan PBB yang bertugas mengkoordinir serta menyelenggarakan jajak pendapat ini. Badan Organisasi ini kemudian dikenal dengan United Nations Mission in East Timor (UNAMET). Untuk dapat memastikan sistematika jajak pendapat ini dilakukan, yang memungkinkan keadaan timor-timur berada dalam kondisi yang aman. Dan ketika jajak pendapat ini akan dilangsungkan, semua warga Timor-timur mengikutinya. Baik warga yang sedang berada di Timor-Timur maupun yang berada di belahan dunia lainnya, semua ikut serta dalam mengikuti jajak pendapat ini. Dalam jajak pendapat ini, jumlah pemilihnya adalah 451,792 jiwa. Dan ketika jajak pendapat dilangsungkan pada tanggal 30 Agustus 1999, beberapa hasil yang diperoleh dengan kondisi apakah masyarakat Timtim menyetujui status otonomi, namun tetap menjadi NKRI atau menolak status otonomi, yang berarti Timtim merdeka dari Indonesia, dan hasil dari jajak pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Terdapat 94,388 jiwa atau 21.5% warga Timor-Timur menyetujui dan mendukung status otonomi dan tetap berada dalam bagian NKRI,
2. Terdapat 344,580 jiwa atau sekitar 78,5 % warga Timor-Timur menolak otonomi dan menginginkan kemerdekaan.
Ketika pasca jajak pendapat itu usai dan diketahui hasilnya, kondisi yang ada ketika itu justru mengalami perkembangan berbagai macam antara lain, banyaknya ribuan pengungsi, digelarnya pasukan Interfet, reaksi masyarakat terhadap Interfet khususnya dari Australia, dan pembentukan Tim Penyelidik Internasional oleh Komisi Tinggi HAM PBB. Hal ini menimbulkan keragu-raguan dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh MPR ketika itu. Hal ini menyebabkan MPR ragu-ragu untuk mencabut Ketetapan MPR No. VI Tahun 1978 tentang Pengukuhan Pengintegrasian Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini kemudian didesak oleh Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (SOLIDAMOR), yang beranggapan bahwa status Timor-Timur memang mengalami kontroversi yang perlu dipertanyakan berdasarkan asal-usul sejarahnya apakah memang telah diakui oleh Internasional sebagai suatu kesatuan dari Republik Indonesia atau tidak, dan beberapa pendapat mereka yang menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat Timor-Timur, terkait jajak pendapat tersebut yang menyetujui untuk merdeka, mendapati bahwa hasil ini menjadi suatu yang harus segera dilakukan karena rakyat Timor-Timur menginginkan kemerdekaan negara Timor-Timur

Saturday, July 2, 2011

2. POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PASCA ORDE BARU


MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)  setelah lengsernya Soeharto dari jabatannya. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.
            Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID
            Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
            Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan - kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit.


MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia.  Karena itu, Megawati  mengupayakan sebuah "mekanisme  kerja" yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi  amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah diambang separatism atau communal violence. Dan pada akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada stabilitas yang lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh lebih membaik dari sebelumnya
MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai opportunities.
Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau  gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
§ terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
§ terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
§ prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalim hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
§ TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.
5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di tahun 2008 dan selanjutnya.
Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.

3. Lengketnya Soekarno-Kim II Sung & hubungan RI-Korut


Sindonews.com – Indonesia ikut menyoroti pelanggaran HAM luar biasa di Korea Utara. Pelapor khusus PBB asal Indonesia, Marzuki Darusman, bahkan membuat laporan perihal pelanggaran HAM di negara pimpinan Kim Jong-un.
 
Marzuki menyebut, rezim Pyonyang begitu luar biasa melakukan pengingkaran atas pelanggaran HAM terhadap rakyat mereka.”Kita, Indonesia tidak menghakimi Korut, tapi mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di sana,” katanya, dalam seminar bertajuk “Jalan Panjang Penegakan dan Penghormatan HAM di Korea Utara” di gedung LIPI, Selasa (29/4/2014).
 
Meskipun Indonesia ikut menyoroti pelanggaran HAM di Korut, namun dalam sejarahnya Indonesia pernah berhubungan dekat dengan negara itu. Hubungan Indonesia dan Korut telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. “Presiden Sokarno dan Kim II Sung (mantan pemimpin Korut) merupakan kawan dekat,” kata Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Syamsudin Haris.
 
Kim II Sung pada tahun 1965 pernah dianugerahi gelar doktor honoris causa dalam bidang teknologi oleh Universitas Indonesia. Karena Kim dianggap telah berjasa luar biasa dalam memajukan kehidupan masyarakatnya melalui pendayagunan teknologi. Sebaliknya, Korut melihat Indonesia dan Soekarno dengan penuh rasa hormat.
 
Namun, lengketnya Indonesia dan Korut itu perlahan-lahan mulai memudar.”Hubungan kedua negara tidak selamanya hangat, meski bukan berarti ada konflik terbuka di antara keduanya,” kata Syamsudin.
 
Tak begitu lengketnya Indonesia dan Korut seperti dulu, dipengaruhi oleh perubahan tataran rezim kepemimpinan dan orientasi politik luar negeri. Dua faktor itu, hanya sebagian dari penyebab adaya jarak dalam hubungan antara Indonesia dan Korut.
 
Indonesia sejak 1998 memasuki fase demokrasi dengan tanda keterbukaan pers dan kebebasan berpolitik.”Sebaliknya, Korut menerapkan partai politik tunggal, adanya tahanan politik, kontrol ekstra ketat terhadap warganya hingga teror secara sistematis,” ujar Syamsudin mengacu pada sejumlah laporan, termasuk laporan Marzuki Darusman atas pelanggaran HAM di Korut kepada PBB.
 
Kendati demikian, Syamsudin sepakat dengan Marzuki bahwa sikap Indonesia yang ikut menyoroti pelanggaran HAM di Korut, bukan bertujuan untuk menghakimi rezim Pyongyang. ”Sebaliknya, Indonesia sebagai warga dunia mempunyai tanggung jawab untu menjaga stabilitas dan mewujudkan perdamaian dunia. Terlebih konstitusi Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas aktif.”

4. ETIKA POLITIK LUAR NEGERI
Setelah melihat apa yang dimaksud dengan etik dalam kaitannya dengan HI ada perbincangan posisi dan perkembangan etik didunia internasional.Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana etik mempengaruhi PLN. Ada tigapandangan utama disini: yang pertama adalah bahwa etik mempengaruhi PLNsecara otomatis dimana negara-negara, karena kesadarannya, mengambil PLNyang etik, seperti mempromosikam demokrasi dan hak-hak asasi manusia.Motivasi kedua adalah karena paksaan, yaitu nrgara-negara melakukanPLN yang bermoral karena ada paksaan dari negara besar atau organisasiinternasional. Tekanan juga bisa dating kekuatan-kekuatan politik di dalamnegeri. Adapun panfangan yang ketiga yaitu gabungan dari sifat egoismementingkan diri sendiri dan motif sukarela. Andrew Linkater mengatakanbahwa negara-negara yang menerapkan PLN etik menempatkan kesejahteraanmasyarakat internasional diatas kepentingan nasional mereka sendiri.Pandangan lain mengatakan bahwa perlu menjaga keseimbangan antarakepetingan sendiri dan kepetingan orang lain. Seperti dikatakan oleh ChrisBrown, negara-negara mempunyai tugas utama untuk memenuhi kepentinganrakyatnya tetapi dalam konteks tugas yang lebih luas terhadap negara-negaralain dan kemanusiaan secara umum. Kedua tugas ini mempunyai kewajibanmoral dan adalah kesalahan untuk megira bahwa tugas yang pertama hanya didasarkan kepentingan, sementara yang kedua merupakan dimensi etis PLN.Kedua tugas itu meliputi, baik kepentingan sendiri maupun etik  Umumnya para akademisi HI. Sepakat bahwa tidak begitu logis untukmembuat dikotomi antara PLN yang etis dan PLN yang tidak etis. Isunyamnurut mereka labih pada bagaimana pemerintah bertindak secara ertik,mengikuti criteria apa dan bagaimana mereka melaksanakannya. Mereka juga sepakat bahwa pemerintah mestinya pragmatis dalam penerapan PLN dan bahwa pemerintah harus terbuka terhadap berbagai pandangan dan terlibat dalam dialog yang terbuka dan serius dengan para actor, baik pemerintahan maupun non-pemerintah. PLN harus terbuka untuk pembicaraan dan harus bersedia di review secara konstan untuk menjamin bahwa pemerintahan mengikuti standar masyarakat.Salah satu etik yang paling controversial adalah intervensi kemanusiaan.Apakah negara mempunyai hak atau bahkan tugas untuk campur tangan menghentikan pelanggaran HAM yang parah di negara-negara lain? MervynFrost memberikan justifikasi moral untuk intervensi demikian. Dia menelusuri perkembangan dua norma non-intervensi dalam HI. Yang pertama, menuntut agar negara tidak intervensi dalam urusan internal negara-negara lain. Yangkedua, mencerminkan perkembangan historis dari pembatasan kekuatan negara dalam negara: negara harus mengizinkan kebebaan dan ruang untuk masyarakat sipil. Frost berpendapat bahwa penerapan prinsip atau norma nonintervensi kepada negara-negara dikancah internasional bergantung pada apakah negara-negara itu menunjukan respek pada norma non-intervensi dalam hubungan dengan masyarakat sipilnya. Bilamana negara tidak menghormatinya, norma internasional non-intervesi tidak berlaku. Intervensi kemanusiaan harus diarahkan untuk melindungi masyarakat sipil, dan memastikan tidak ada intervensi negara terhadap masyarakat sipil4.Promosi HAM juga merupakan salah satu tujuan PLN etik. Apakahalasan untuk memproosikan HAM sebagai politik luar negeri dan bagaimanacaranya adalah isu penting dalam analisis politik luar negeri, karena inimenyangkut isu sensitive campur tangan terhadap urusan domestic negara lainatau sering juga dikritik sebagai pemaksaan nilai-nilai barat kenagar-negaranon-barat. Dimana, seringkali HAM hanya menjadi slogan PLN barat.Seharusnya pemerintah negara-negara non-barat mesti dimonitor oleh warga dan lembaga-lembaga independen dan bahwa NGO harus memainkan peranan untuk memantau pemerintahan yang mengklaim melaksanakan HAM danyang melanggarnya. Meskipun kemudian ada dilemma yang dihadapi oleh NGO seperti halnya dana NGO. Yang terjadi kemudian adalah independensidari NGO tersebut perlu dipertanyakan. Lalu apa yang mesti dilakukan? sebagai solusinya bahwa PLN HAM baratseharusnya memastikan bahwa kebijakan dan praktik domestic mereka bersesuaian dengan komitmen internasional PLN dan memperkuat otoritas dankekuatan lembaga-lembaga internasional untuk menerapkan komitmen itu.Selain itu, Kemuculan lembaga seperti International Criminal Court (ICC) juga penting dalam pembahasan etik dari PLN karena disni individu yangterlibat kejahatan internasional bisa diajukan ke mahkamah ini. Pembentukan lembaga ini tentu saja merupakan kemajuan tetapi ia dihadapkan pada konsern negara-negara tradisional tentang masalah kedaulatan. Berfungsi nya ICC bergatunng pada kerelaan negera-negara ini untuk meyerahkan warganyayang bersalah.

5. Implementasi politik luar negeri

Judul  : Implementasi politik luar negeri
Penulis : Dr. H. Obsatar Sinaga 
Penerbit : Unpad 
Bahasa : Indonesia 
Hak Cipta : Unpad 
Kata Kunci : hubungan antar negara, hubungan internasional, perdagangan internasional, zaman globalisasi 

Dengan semakin kompleksnya hubungan antarnegara, interaksi yang terjadi pun semakin meningkat. Apalagi dalam zaman globalisasi yang mendunia dewasa ini, transaksi antarnegara telah menjadi hal utama dalam hubungan internasional. Alih-alih, perpindahan barang dan jasa dalam perdagangan internasional telah mewarnai pola hubungan dalam sistem internasional saat ini.
Tidak hanya barang dan jasa, manusia pun ternyata tidak luput dari “objek perdagangan”, sehingga tidak mengherankan bila permasalahan human trafficking –terutama dari negara-negara berkembang, telah menjadi isu penting dan menjadi perhatian masyarakat internasional dewasa ini. Perihal human trafficking, ternyata tidak hanya terbatas pada perdagangan manusia, tetapi lebih dari itu, eksesnya seringkali terjadi pelanggaran HAM (hak asasi manusia), dengan obyek penderitanya manusia yang menjadi korban. Celakanya, yang biasanya menjadi korban human trafficking adalah para tenaga kerja maupun nontenaga kerja yang tertipu oleh iming-iming para trafficker.
Undang-undang No. 21 tahun 2007, dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dengan dasar pertimbangan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) bagi warga negara Indonesia terutama bagi para calon TKI. Dasar pemikiran lahirnya Undang-undang tersebut, bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa; kejahatan akan harkat dan martabat manusia dan eksploitasi manusia.


KESIMPULAN
Jadi dapat di simpulkan, bahwa antara Politik Luar negeri dengan Ham memiliki hubungan dan kedudukan. Sesuai Jurnal dan artikel di atas yang sudah saya baca bahwasannya politik politik luar negeri yang di buat atau dilakukan oleh negara telah banyak terjadi pelanggaran pelanggaran Ham dikalangan masyarakat. Itu artinya Politik luar negeri yang dilakukan oleh negara itu sudah menyimpang dan betentangan dengan Ham.