Partisipasi politik dalam HAM (defenisi dan penjelasannya)




A. Pengertian Partisipasi Politik
Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Batasan partisipasi politik berdasarkan pengertian Huntington dan Nelson adalah :
Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen)atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik.
Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik.
Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak. Partisipasi politik menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan
Bentuk partisipasi yang bersifat pasif kurang dihargai oleh masyarakat,  tetapi yang bersifat agresif juga banyak mudaratnya. Bentuk-bentuk partisipasi  politik yang dikatagorikan nonkonvensional dan bersifat agresif adalah :
(1) pengajuan petisi
(2) berdemonstrasi
(3) konfrontasi
(4) mogok
(5) tindak kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman, pembakaran
(6) tindakan kekerasan terhadap manusia, penculikan dan pembunuhan,
(7) revolusi.


Jika partisipasi bentuk ini yang dipilih jelas tidak ada kedamaian hakiki yang diperoleh. Sudah pasti ada pihak yang dikalahkan (dirugikan), bahkan yang tidak tahu apa-apapun akan terkena imbasnya. Oleh sebab itu, marilah setiap persoalan diselesaikan secara arif, dengan kepala dingin dan tanpa dendam. Hal ini jelas lebih elegan dan bermoral. Bentuk konvensional :
(1) pemberian suara (voting)
(2) diskusi politik
(3) kegiatan kampanye
(4) bergabung dalam kelompok kepentingan
(5) komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif.

B. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
 
Berdasarkan kegiatan partisipasi politiknya (Sastroatmodjo; 1995):
Partisipasi aktif, WN mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.
Partisipasi pasif, berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah

Bentuk partisipasi politik Menurut Huntinton & Nelson (1994:16-17)
 
1. Kegiatan pemilihan; memberikan suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan bagi seorang calon dll.
2. Lobbying; upaya-upaya untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil.
3. Kegiatan organisasi; kegiatan sebagai anggota atau pejabat organisasi yang tujuannya mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
4. Mencari koneksi, (contacting); tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa orang. Partisipasi ini oleh Verba, Nie dan Kim disebut “mencari koneksi khusus”/particularized contacting.

Bentuk partisipasi politik secara hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124) :

Menduduki jabatan politik atau administrasi• Mencari jabatan politik atau administrasi
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb
Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik
Voting (pemberian suara)
Apathi total.
Berdasarkan Jumlah Pelaku Partisipasi Politik dibedakan :
1. Partisipasi individual, dilakukan oleh orang per orang secara individual
2. Partisipasi kolektif, dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif ini dibedakan: partisipasi kolektif yang konvensional, dan partisipasi politik non-konvensional.
C. Fungsi Partisipasi Politik
 
Menurut Robert Lane :

1. sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi
2. sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhn bagi penyesuaian social
3. sebagai sarana mengejar niai-nilai khusus.
4. sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
 
Menurut Arbi Sanit :

1. Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.
2. Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah
3. Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannyasehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik

Fungsi Partisipasi Politik bagi Pemerintah :
1.  Mendorong program-program pemerintah
2. Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meninngkatkan pembangunan.
3. Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-proram pembanguna

D. Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:

1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
E. Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.

Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :


Tokoh
Konsep
Indikator
Kevin R. Hardwick
Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
· Terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah
· Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
Miriam Budiardjo
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
· Berupa kegiatan individu atau kelompok
· Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
Ramlan Surbakti
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
· Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara biasa
Michael Rush dan Philip Althoft
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
· Berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik
· Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi

Huntington dan Nelson
Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
kebijakan oleh pemerintah.
· Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan
· Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara (biasa)
Herbert McClosky
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum
· Berupa kegiatan-kegiatan sukarela
· Dilakukan oleh warga negara
· Warga negara terlibat dalam proses-proses politik

Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara.

F. Hak Asasi, Politik dan Partisipasi

Walaupun setiap individu sejak lahirnya telah disertai dengan sebagian hak asasi yaitu hak alamiah seperti hak untuk hidup, merdeka dan memperoleh kebahagiaan, narnun pewujudan hak-hak dalam posisi pemerintahan atau kenegaraan, dengan aktivitas politik warga masyarakat yang diperintah atau rakyat biasa yang lazimnya disebut juga sebagai massa. Hanyalah aktivitas politik mereka yang bukan termasuk golongan penguasa yang dikategorikan sebagai partisipasi politik. Jika demikian halnya maka jelaslah bagi kita bahwa partisipasi politik rakyat atau massa juga merupakan mekanisme pembahagian kekuasaan secara vertikal di dalam suatu negara.

Untuk itu berbagai bentuk partisipasi yang dapat dipilih atau dikombinasikan oleh pemerintah ialah kegiatan-kegiatan dalam pemilihan urnum, organisasi politik, aktivitas lobby baik dengan dukungan mogok damai, demonstrasi damai, dan piket. Selain dari bentuk-benluk konvensional tersebut, dikenal pula bentuk partisipasi politik yang tidak bersifat konvensional mulai seperti huru-hara. Tentulah bentuk-bentuk tersebut dipilih sesuai dengan tujuan partisipasi politik yang ditetapkan oleh para pemerintah kegiatan politik yang bersangkutan.

Sasaran dari partisipasi politik adalah sektor penguasa atau pemerintah. Dalam rangka itu pemerintah partisipasi politik melibatkan diri di dalam semua unsur kegiatan pemerintah di semua tingkatan dalam kadar yang beragam. Jika disederhanakan, semua kegiatan pemerintah yang menjadi sasaran partisipasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu partisipasi dalam pembuatan dan pemutusan kebijaksanaan pemerintahan serta partisipasi di dalam pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah tersebut. Sasaran lainnya dari partisipasi politik adalah posisi di dalam struktur pemerintah. Dalam rangka ini partisipasi rakyat adalah di dalam proses pemilihan pejabat terhadap sejumlah calon yang ada. Ciri kesukarelaan itu membedakan partisipasi politik dari mobilisasi, di mana keputusan pemerintah untuk melakukan partisipasi banyak berasal dari luar dirinya.

G. Perkembangan Partisipasi Politik

Studi tentang perkembangan partisipasi politik dalam wataknya yang "modern" di Indonesia tentulah dimulai dengan mengenali peristiwa-peristiwa politik yang terjadi sejak awal abad ini. Sungguhpun menghadapi pemerintahan kolonial, keterlibatan masyarakat di dalam Syarikat Islam, Volksraad, gerakan buruh, petani dan pemuda, sampai kepada kegiatan organisasi dan partai politik, serta berbagai kegiatan politik lainnya adalah bentuk-bentuk awal dari partisipasi politik yang dilakukan oleh para pendahulu dan pejuang bag) perwujudan masyarakat atau bangsa Indonesia.

Hambatan bagi perkembangan partisipasi politik di masa kolonial berasal dari dua tingkatan kebijaksanaan. Pertama ialah tidak diberikannya pengakuan akan hak berpolitik bagi kaum Bumiputera. Dan kedua yaitu adanya pengawasan yang ketat terhadap kegiatan masyarakat, terutama untuk menghindarkan mereka dari partisipasi politik. Jadi baik secara prinsip maupun secara teknis kesempatan untuk berpartisipasi secara politis amat terbatas. Keadaan ini berawal dari dualisme sistim ekonomi yang menciptakan ketergantungan kaum pribumi terhadap perekonomian golongan Eropa dan Timur Asing. Dualisme politik yang membiarkan kaum pribumi terpaku di dalam kantong-kantong politik tradisi di bawah penguasa tradisional sehingga mereka tidak terkait secara langsung kepada proses politik negara kolonial, merupakan hambatan yang besar bagi penumbuhan partisipasi politik masyarakat luas di masa itu.

Ketertutupan pemerintah kolonial terhadap partisipasi politik mendorong masyarakat lebih berpartisipasi di dalam organisasi dan partai politik ketimbang di dalam proses pemerintahan. Mungkin keterlibatan tokoh masyarakat di dalam Volksraad dapat dikategorikan sebagai semacam partisipasi politik melalui perwakilan. Akan tetapi tujuan pembentukan, kewenangan, aktivitas dan dampak lembaga itu terhadap politik kolonial tidaklah mengizinkan kita untuk menyebutnya sebagai partisipasi politik. Kecuali menguatkan kebijaksanaan pemerintah kolonial, keputusan badan tersebut tidaklah menunjukkan adanya pengaruh kehendak masyarakat luas terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dalam beberapa hal watak ini teramati di dalam keputusan badan legislatif setelah kemerdekaan.

Keterbatasan kesempatan yang dibuahkan oleh sistim pengawasan untuk ketertiban umum dan beratnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk diperbolehkan melakukan partisipasi politik, di sana-sini muncul kembali di masa kemerdekaan. Di masa kemerdekaan pengakuan akan hak politik dan partisipasi politik dijamin penuh oleh konstitusi. Para penguasa tak pernah lupa menegaskan pengakuan tersebut yang antara lain terlihat dari konsideran atau pertimbangan yang mendasari kebijaksanaan pemerintah. Masyarakat luas telah pula paham akan adanya jaminan atas hak-hak tersebut. Justru kenyataan tersebut bersama warisan tradisi berpartisipasi secara politik dari generasi pendahulu menumbuhkan keinginan mereka untuk menikmati hak tersebut secara nyata.

Di dalarn dua dekade pertama kemerdekaan Indonesia tertangkap dua pola proses partisipasi sebagai realisasi dari hak politik masyarakat. Di masa periode politik kepartaian yang berlangsung kira-kira 10 tahun pertama kemerdekaan, partisipasi politik dapat dikatakan mempunyai kondisi yang terideal secara politis di sepanjang kemerdekaan Indonesia. Pengakuan formal akan hak berpartisipasi di dampingi oleh mekanisme partisipasi yang terbuka. Terdistribusinya kekuasaan secara horisontal dan vertikal, utuh dan dominannya peranan partai politik, terbukanya kompetisi politik, leluasanya masyarakat berorganisasi serta kemanfaatannya bagi partisipasi politik dan tersedianya prasarana sosial seperti media massa yang bebas, merupakan mekanisme yang mewadalu proses partisipasi politik masyarakat luas. Impaknya terhadap posisi jabatan, pemutusan kebijaksanaan dan pelaksanaannya seringkali begitu kuat sehingga terdapat partisipasi politik yang menjadi bagian penting dari proses penjatuhan suatu pemerintahan.

Akan tetapi perlu dicatat bahwa pada urnumnya partisipasi politik di dalam periode ini terseret ke dalam perjuangan partai. Berdasarkan pola politik aliran masa memberikan dukungan kepada partai politik tertentu menghadapi partner koaliasinya di dalam pemerintahan atau sepenuhnya menghadapi partai pemerintah. Tak tampak adanya kemampuan untuk berkompromi dan menahan diri di antara kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam dan atau beberapa kubu yang berhadapan tersebut.

Dalam dekade kedua kemerdekaan partisipasi politik mulai mengalami pembatasan. Pemusalan kekuasaan di tangan presiden menyempitkan area partisipasi politik dari pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan negara menjadi hanya di dalam hal melaksanakan kebijaksanaan. Sementara itu pemilihan pejabat telah menjadi hak prerogatif presiden bersama para pembantu dekatnya.

Ada anggapan bahwa keterlibalan masyarakat luas di dalam politik pada masa itu lebih bersifat mobilisasi daripada partisipatif. Alasannya ialah bahwa sifat otoriter politik menghilangkan atau mengecilkan derajat kesukarelaan anggota masyarakat untuk melibatkan diri di dalam proses politik. Mungkin untuk sebagian pandangan itu benar. Dan perlu pula diingat bahwa sistim Politik Demokrasi Terpimpin belumlah mengembangkan organisasi pemerintahan yang kompak dan efektif unluk memobilisasikan massa secara luas dan berkepanjangan.

Suatu gejala baru dari partisipasi politik yang mulai tumbuh di penghujung periode ini ialah mulai lepasnya partisipasi politik dari ikatan perjuangan partai politik. Semula partisipasi seperti itu lahir dalam bentuk kerja sama organisasi-organisasi masyarakat yang berbeda aliran baik atas restu maupun tidak didorong oleh partai yang membinanya. Demikianlah halnya dengan kerja sama mahasiswa dalam partisipasi politik di akhir masa Demokrasi Terpimpin yang kemudian mengorganisir diri di dalam Kerja sama ini kemudian ternyata mengorbitkan peranan mahasiswa di dalam politik sehingga menjadi ujung tombak dari partisipasi politik pemuda yang dalam periode sebelumnya merupakan salah satu pemerintah partisipasi yang utama.

Mendahului pemekaran partisipasi politik mahasiswa dan kemerosotan partai. muncul kekuatan baru di gelanggang partisipasi yaitu golongan fungsional baik sipil maupun militer. Kelompok ini mengisi posisi dan peranan partai di dalam keseluruhan proses politik dan kekuasaan. Perkembangan ini pada dasarnya mengawali pembentukan pola politik masyarakat yang kemudian dikenal dengan Politik di mana partisipasi politik mendapatkan suasana, pola dan wataknya tersendiri.

H. Stabilitas dan Partisipasi Politik

Dalam dua dekade terakhir kemerdekaan mungkin partisipasi politik sudah dapat dikatakan berada di dalam krisis. Artinya partisipasi politik menempati porsi kecil saja dari keseluruhan proses politik nasional dan lokal. Menyambung perkembangan partisipasi politik dalam periode sebelumnya, dewasa ini wujudnya yang bersifat konvensional adalah dalam bentuk pemilihan sebagian wakil rakyat dalam sekali lima tahun dan pemberian dukungan terhadap kebijaksanaan dan pejabat pemerintah pada saat-saat tertentli pula. Selebihnya politik diproses oleh elit kekuasaan bersama wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui sistim pemilihan urnum berimbang di mana calon sangat ditentukan oleh organisasi politik peserta pemilihan umum.

Namun dari segi intensitas partisipasi, jarak yang jauh antar Pemilu itu di samping prosesnya yang kurang langsung karena kukuhnya posisi organisasi politik peserta Pemilu yang mengantarai calon dengan memilih, mendorong tampilnya pemikiran yang melihat perlunya perwujudan bentuk-bentuk partisipasi lain. Di samping itu terlihat adanya kecenderungan mobilisasi dalam keterlibatan masyarakat di dalam Pemilu akhir-akhir ini. Menurut anggapan umum, tingkat keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat secara sukarela di dalam Pemilu sejalan dengan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi masing-rnasing kelompok.

Walaupun bentuk partisipasi yang berwujud mendukung kebijaksanaan dan pejabat muncul di sepanjang sejarah Indonesia merdeka dengan puncak intensitasnya berada pada masa Demokrasi Terpimpin, namun dewasa ini kegiatan tersebut sudah tidak intensif lagi. Kegiatan massa memberikan dukungan kepada kebijaksanaan dan pejabat ini menjadi perdebatan akademik pula. Sebab tidak jarang keterlibatan aparat negara ataupun organisasi politik pendukung pemerintah di dalam pengorganisasiannya. Setidaknya bagian pendukung seperti itu masih dapat digolongkan ke dalam pemerintah partisipasi, sekalipun mungkin secara kuantitas mereka tidaklah sebesar para aktivis yang dimobilisasikan. Di samping bentuk partisipasi politik dukungan yang lebih melibatkan massa tersebut, dikenali pula partisipasi politik yang bertujuan mempengaruhi kebijaksanaan.

Di luar yang di kemukakan di atas, tercatat pula sejumlah wujud partisipasi yang dapat digolongakan ke dalam kegiatan non-konvensional karena kecenderungannya menggunakan kekerasan. Gerakan protes seperti protes Proyek Taman Mini Indonesia dalam tahun 1972, pembacaan puisi protes tahun 1974 yang diwarnai oleh Rendra adalah bentuk yang lunak. Bentuk yang lebih keras antara lain terlihat dalam gerakan anti Cina di Yogya dan Bandung sekitar tahun 1972. Dan gerakan yang amat keras diperlihatkan dalam huru-hara peristiwa Malari 1974, demonstrasi terhadap RUU Perkawinan yang sedang dibahas oleh DPR di akhir tahun 1973, peristiwa Lapangan Banteng 1982 dan peristiwa Tanjung Priok.

Apabila bentuk-bentuk partisipasi politik konvensional di atas diakui dan diterima oleh elite kekuasaan, maka tidaklah demikian halnya dengan partisipasi yang bersifat non-konvensional. Selain dari gerakan mereka tidak diakui dan bahkan dikategorikan sebagai gerakan politik yang terlarang, para pejabat pemerintahnya pun mendapat penindakan dari yang berwajib mulai dari peringatan dan pengucilan sampai kepada penyeretan mereka ke pengadilan.

I. Partisipasi Politik Stabilitas

Sebaliknya keterlibatan tersebut merupakan bagian dari perangkat usaha untuk menegakkan stabilitas politik. Melalui pengembangan secara berangsur, dewasa ini dikenali tiga pokok kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mempertahankan stabilitas politik. Sejak awal tahun 1970-an sudah dimulai penyusunan kembali struktur politik yang berkaitan dengan partisipasi.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut telah menghasilkan pola partisipasi politik stabilitas dengan cin pokok sebagai berikut. Pertama, individu lebih ditekankan sebagai pemerintah partisipasi. Untuk itu maka motivasi partisipasi yang dikembangkan dan direstui ialah hasil perkapita yang pada hakekatnya merupakan indikator utama dari pembangunan (ekonomi). Sumber daya (resources) bagi partisipasi ialah kemampuan pribadi yang berkaitan dengan pembangunan, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan itu sendiri. Karena teknologi adalah alat utama pembangunan maka kekuatan individu tentulah keteknologian (teknokratik). Kedua hal itu menjadikan partisipasi bersifat fungsional artinya kegiatan tersebut mestilah memberikan dampak positif kepada pembangunan. Kefaedahannya bagi pemerintah itu sendiri haruslah di pandang dari sudut pembangunan.

Kedua, politik massa mengambang menjadi dasar mekanisme partisipasi politik. Itu berarti bahwa untuk berpartisipasi di bidang politik, individu diurai dari kelompok yang sejak lahir telah mewarnai dirinya dengan berbagai nilai dan pandangan hidup. Agama, tradisi (kesukuan) dan bahkan kelas sosial tidak dipakai sebagai basis partisipasi politik. Satu-satunya kelompok yang diperkenankan dan didorong sebagai referensi individu dalam berpartisipasi ialah himpunan profesional.

Semua proses itu telah mendorong pemanfaatan bentuk-bentuk partisipasi politik yang mendukung stabilitas yaitu memberikan suara di dalam Pemilu, mendukung kebijaksanaan, program dan pejabat pemerintah. Sungguhpun begitu, sebagai karya manusia tentulah sistim tersebut tidak lepas sepenuhnya dan kelemahan. Di antaranya berkenaan dengan hakekat partisipasi politik itu sendiri yaitu kegiatan mempengaruhi penguasa ataupun pemerintah. Kecilnya keleluasaan massa berpartisipasi mendorong pertumbuhan peran elit di dalam proses politik. Dengan sendirinya elite merasa kurang aman memanfaatkan lembaga dan organisasi politik yang menghubungkannya dengan massa untuk keperluan politiknya. Sebab keleluasaan tersebut menjadi kecil karena harus mempertimbangkan kepentingan massa di dalam memproses politik. Untuk mendapatkan kekuatan bagi perjuangan politiknya, maka elite cenderung membangun kekuatan berdasarkan hubungan keluarga, teman dan tradisi. Semuanya itu menumbuhkan dualisme proses politik dan mempertajam dualisme budaya politik yaitu elite dan massa.

Gejala tersebut di atas mempengaruhi pertumbuhan lembaga politik mulai dari organisasi politik sampai kepada perwakilan politik (parlemen). Di dalam dan melalui lembaga itu politik berproses dalam dua tingkatan, yaitu formal dan informal. Secara formal proses politik melalui dan di dalam lembaga seperti itu sekaligus mencakup kepentingan massa dan elite. Secara aktual keputusan lembaga lebih membayangkan kepentingan elite, karena merekalah yang menentukan di dalamnya.
Kurang tercerminnya kepentingan massa di dalam proses politik aktual berpangkal kepada sistim perwakilan yang ada. Tidak seimbangnya bobot pertanggungjawaban wakil kepada terwakil dengan bobot kepercayaan yang diberikan oleh terwakil kepada wakilnya justru merupakan pangkal dari kekasipan waktu memperjuangkan kepentingan terwakil.

Pada hakekatnya pelebaran jarak elite massa melemahkan struktur politik. Sebab massa adalah sumber kekuatan bagi elite dan elite adalah pembimbing kekuatan itu untuk dimanfaatkan bagi kepentingan keseluruhan masyarakat. Jauhnya jarak antara elite dengan massa justru mendorong elite untuk mendapatkan sumber kekuatan lain yang lepas dari massa. Dan jarak seperti itu mendorong pihak massa untuk memanfaatkan bentuk partisipasi politik non-konvensional untuk mendapatkan perhatian dari pihak elite. Akhirnya keseluruhan pola partisipasi politik yang telah terbentuk membangun budaya politik non-partisipasi di kalangan masyarakat. Orientasi seperti itu tumbuh karena kenyataan bahwa partisipasi memang kurang berkembang baik dilihat dari segi intensitasnya, maupun dari sudut luas areanya. Terbatasnya pengalaman menyebabkan masyarakat tidak inovativ di bidang partisipasi politik. Sernuanya itu melemahkan nilai-nilai tentang partisipasi sehmgga mengaburkan pandangan mereka tentang hak politik.

J. Pengembangan Partisipasi Politik

Melihat kebutuhan akan sumbangan dunia politik yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi di dalam menghadapi tinggal landas pembangunan dan menilik pula impak pola partisipasi politik kepada kemajuan politik dewasa ini, maka dianggap sudah pada waktunya untuk memikirkan dan memulai pembaruan politik secara mendasar. Salah satu dari masalah dasar pembangunan politik ialah partisipasi politik.

Pengembangan partisipasi politik dipikirkan dalam rangka kesinambungan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini perubahan berlangsung secara bertahap yang di mulai dari segi teknis dan sebagian dari kerangka dasar masyarakat dan sistim politik. Secara teknis penumbuhan partisipasi politik menyangkut struktur masyarakat dan prosedur bagi partisipasi. Sedangkan kerangka dasar struktur masyarakat dan sistim politik menyangkut susunan kekuasaan. Secara teknis langkah-langkah yang perlu diambil ialah mengembalikan partisipasi politik massa melalui kelompok dengan kesamaan dan pemerataan kesempatan sebagai motivasi kelompok sebagai basis kekuatannya dan menekankan sifat struktural dari partisipasi. Pada dasarnya pola seperti itu sejalan dengan sifat masyarakat Indonesia yang plural-komunal. Bentuk ini dapat mendekatkan jarak dari sifat masyarakat yang plural dengan sifat politik yang manunggal dewasa ini. Itu berarti bahwa pola manunggal dari level masyarakat sampai ke tingkat lembaga politik, dirobah dengan menjadikan partisipasi politik secara plural. Dalam pada itu untuk menjamin stabilitas, kesederhanaan organisasi politik tetap dipertahankan. Dengan demikian, partisipasi politik bukan saja dialirkan melalui kelompok profesi, akan tetapi juga melalui semua bentuk pengelompokkan yang terorganisir. Pola ini dapat mengimbangi usaha pemerintah untuk mengatur organisasi masyarakat secara formal.

Pada tingkat lembaga politik, terutama organisasi politik dan lembaga perwakilan rakyat, perubahan yang perlu mendapat perhatian ialah proses hubungan badan-badan tersebut dengan masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan bobot kekuatan masyarakat terhadap lembaga-lembaga itu. Artinya seluruh aparat organisasi politik dan semua anggota parlemen perlu meningkatkan pertanggungjawabannya secara teknis dan moral kepada masyarakat yang mendukung dan diwakilinya. Bagi organisasi politik itu berarti bahwa sistim kader menjadi mekanisme utama mengembangkan pengaruh di dalam masyarakat. Seluruh daya dan dana tentulah dimanfaatkan untuk mengembangkan kader yang terpilih dan terbatas. Dukungan massa diusahakan oleh kader dan anggota. Karena itu organisasi masyarakat terlepas dari ikatannya yang permanen dengan organisasi politik. Pola ini memungkinkan organisasi masyarakat mengontrol organisasi politik sehingga partai politik tidak dapat mengabaikan mereka. Bagi parlemen peningkatan keterikatan anggota kepada masyarakat yang merupakan kunci dari mutu keterwakilan politik dapat diusahakan melalui pertanggungjawaban langsung anggota kepada masyarakat.

Langkah-langkah di atas amat sulit berkembang mencapai pengembangan partisipasi politik tanpa didukung oleh perubahan di sektor struktur kekuasaan. Seperti dismggung di atas, perubahan itu tidaklah perlu radikal, akan tetapi bersifat sebagian saja dalam rangka mempertahanakan stabilitas politik secara nasional. Oleh karena itu pola yang memadai ialah pemusatan kekuasaan diturunkan sampai sekitar 60 persen. Mekanisme partisipasi politik yang menyalurkan semua perkembangan di atas adalah dalam bentuk keterlibatan organisasi masyarakat dalam politik baik melalui organisasi politik yang bermuara ke lembaga-lembaga perwakilan, maupun secara langsung ke pusat-pusat kekuasaan. Untuk menghindari kekacauan karena partisipasi langsung itu, maka lembaga-lembaga perwakilan tingkat pusat dan daerah perlu membuka diri dengan memanfaatkan lembaga dengan pendapat secara luas. Pihak eksekutif dapat membuka diri dengan meningkatkan peranan hubungan masyarakat dari pemberi keterangan menjadi penerima keluhan dan tuntutan masyaiakat. Dapat pula Direktorat atau bagian Sosial Politik ditugaskan untuk melayani partisipasi politik masyarakat.


KOMENTAR DAN PEMBAHASAN

JADI  HUBUNGAN  PARTISIPASI POLITIK DENGAN HAM
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan degna kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat .dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa,ras,agama,atau kelamin,dank arena itu bersifat azasi serta universal.daras dari semua hak azasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengna bakat dan cita-citanya.

Partisipasi politik sebagai HAM diatur didalam:
1. Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat didalam UUD1945, pasal 28
Ø covenant on civil and political rights,pasal 19
Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat,dalam hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,menerima dan menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan-gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan,baik secara lisan,maupun tulisan atau tercetak,dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihannya.
2. Hak atas kedudukan yang sama di dalam Hukum
Ø Undang-undang dasar 1945,pasal 27(1)

Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjujunjung hukum dan pemerintahan itu dengantidak ada kecualinya.
Ø Covenant on civil and political rights,pasal 26

Semua orang adalah sama terhadap hukum dan berhak atas perlindungan Hukum yang sama tanpa diskriminasi.dalam hubungan ini hukum melarang setiap diskriminasi serta menjamin semua orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun sebagai ras,warna kulit,kelamin,bahasa,agama,pendapat politik tau pendapat lain.
Ø Undang-undang Pokok kekuasaan kehakiman No.14 tahun 1970,pasal 5;

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadlian dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintanga untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan.
3. Hak atas kebebasan berserikat
Ø Undang –undang dasar 1945,pasal 28;

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dengan undang-undang.