Hubungan antara Konvensi Hak Anak (KHA) dengan UU Perlidungan Anak

 


I. HUBUNGAN ANTARA KHA PASAL 28 DENGAN PASAL 19 serta UU Perlindungan Anak


§ PASAL 28 : PENEGAKKAN DISIPLIN ANAK MEMPERHATIKAN MARTABAT ANAK
§ PASAL 19 : PERLINDUNGAN ANAK DARI SEMUA BENTUK KEKERASAN DAN EKSPLOITASI
§ UUPA 23/2002,pasal 54 : Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Hak Asasi Manusia

  Disain perjuangan generasi muda dalam mengisi kemerdekaan dalam menyongsong globalisasi sepertinya telah membias dan tanpa arah. Lahan pembicaraan menyangkut kepentingan bersama semakin tergusur oleh ramainya perbincangan tentang HAM (hak asasi manusia). Demi keagungan sebuah HAM maka beberapa orangtua murid melaporkan guru ke polisi setelah melihat betis atau kuping anaknya memerah karena guru. Tuduhan penganiayaan atau perbuatan tidak menyenangkan kemudian mengantarkan beberapa pahlawan tanpa tanda jasa untuk menghadap juper (juru periksa) kepolisian.
  Bangsa dan negeri ini mempersembahkan sebuah kondisi bebas aturan main kepada generasi muda, sebagai perujudan penghormatan HAM. Murid recok pada saat jam belajar atau jungkir balik sekalipun tidak boleh diberi sanksi karena konon sekolah itu lembaga pendidikan, bukan lembaga penghukuman. Jadilah setumpuk peraturan disiplin sekolah namun tanpa sanksi. Padahal, disiplin itu mendisain tentang sebuah kepentingan bersama, Disiplin itu indah dan sejuk dipandang. Mau bukti? Kita lihat murid sekolah dengan baju seragamnya sedang berbaris rapi di lapangan, sejuk dan indah!. Namun, bagaimana kalau di sana terlihat murid yang tidak mamakai baju seragam? Kontras dan merusak pemandangan, bukan? Murid tidak berseragam sekolah adalah pribadi yang terlalu mengedepankan ego sendiri dan tidak menghargai arti penting sebuah kebersamaan.
  Mungkin, kita perlu sebuah studi perbandingan tentang disain pembangunan karakter murid di pendidikan sekolah di jaman penjajahan, masa orde baru, dan masa pendewaan HAM. Di jaman mana saja kedisiplinan murid itu sangat keras dan ketat, lalu bagaimana tingkat kesuksesannya di masyarakat kemudian. Apakah saat itu pendidikan sekolah hanya menciptakan generasi cerdas dan pintar tanpa menyentuh aspek pembinaan moral dan karakter anak? Apakah ada hubungan linear antara disiplin sekolah dengan tingkat keberhasilan murid baik dalam studi ataupun dalam pergaulan sehari-hari?
  Ini penting. Mengingat dewasa ini para orangtua murid telah mendisain sebuah pendidikan sekolah yang hanya bertugas mencerdaskan anak. Jangan ada cubitan atau betis memerah, alamatnya bisa ke kantor polisi. Bebaskan anak berekspresi, bahkan mungkin jungkir balik di ruang kelas saat pelajaran sedang berlangsung.
Menurut penulis, ketatnya disiplin akan menumbuh kembangkan rasa kebersamaan, baik antara murid dengan murid dan juga antara murid dengan guru. Berisik saat jam pelajaran berlangsung akan sangat merugikan murid yang memang memiliki kemauan kuat untuk belajar. Guru dan murid bersama untuk satu tujuan dimana guru memegang posisi penting dalam menjaga dan memelihara kebersamaan itu, lewat sanksi.
Jangan biarkan generasi muda berselingkuh dengan individualisme. Perselingkuhan ini hanya akan melahirkan anak haram yakni sikap tidak mau tahu apakah tindakannya itu merugikan orang lain atau bahkan merugikan orangtuanya sendiri. Kalau sudah individualis maka seseorang hanya akan melakukan apa yang menurutnya bisa mendatangkan kesenangan pribadi. Melihat ada tawuran, ikut ambil bagian. Selanjutnya biar lebih seru persiapkan peralatan dari rumah seperti ikat pinggang berkepala besi, bahkan senjata tajam. Ikut balapan liar dan juga tindakan ugal-ugalan lainnya.
  Ikrar murid untuk tidak saling menyerang yang disuarakan dengan sangat lantang di halaman sekolah, ikrar mahasiswa untuk tidak saling menyerang, ikrar untuk menjauhi narkoba dan pelanggaran hukum lainnya tidak akan berbuah sepanjang pihak-pihak masih berkutat pada pemahaman HAM sempit yang tidak memberi ruang bagi pembicaraan "kepentingan bersama"
  Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 harus jadi rujukan seluruh komponen bangsa ini dalam berjuang menanggalkan egoisme dan kepentingan kelompok. Kemampuan menanggalkan ego dan kepentingan kelompok dapat dilatih sejak usia dini lewat disiplin. Disiplin tentu saja dimulai dari keluarga. Misalnya, anak dilarang ribut saat adiknya sedang tidur. Setelah itu orangtua mendukung disiplin dengan segala konsekuensinya demi kepentingan yang lebih besar lagi. Selanjutnya karakter anak tinggal di poles saat di bangku kuliah atau berkarya di masyarakat.
  Di era pra kemerdekaan, bahkan para orangtua ikhlas kalau anaknya berkorban nyawa demi sebuah kebersamaan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Sekarang ini, masak betis, kuping memerah atau rasa tidak menyenangkan lainnya akibat usaha pendisiplinan sekolah harus berujung ke kantor polisi? Dengan semangat sumpah pemuda kita berikrar tentang perlunya pembentukan generasi muda berdisiplin yang memiliki kemampuan menanggalkan ego dan kepentingan kelompok untuk modal mengisi kemerdekaan Indonesia. Tanpa ini, ikrar tidak saling serang hanya konsumsi angin berhembus doang!.

Sumber : groups.yahoo.com





II. MENEGAKAN DISIPLIN DI SEKOLAH

Jejen Musfah, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

  Sebuah proses pendidikan tidak akan berhasil jika tidak ada penerapan disiplin kepada para siswa. Disiplin adalah kemampuan memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif guna mencapai sebuah prestasi. Disiplin juga berarti kemampuan berbuat hanya yang memberikan manfaat bagi diri, orang lain, dan lingkungan.
Sayang, pohon kedisiplinan siswa di sekolah-sekolah kita telah banyak roboh. Ini terjadi oleh sebab tiadanya teladan para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepala sekolah, di lain pihak karena rapuhnya tata tertib sekolah. Lemahnya perhatian sekolah pada penegakkan peraturan merupakan sebab kerapuhan tersebut. Karena itu, saatnya pengelola sekolah memprioritaskan tegaknya budaya disiplin di kalangan para siswa, sehingga perilaku dan prestasi siswa makin membanggakan.
  Disiplin terkait dengan tata tertib dan ketertiban. Ketertiban berarti kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan karena didorong oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Disiplin adalah kepatuhan yang muncul karena kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu. Sedangkan tata tertib berarti perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur.
Sejak awal, para siswa harus dikenalkan dengan lingkungan sekolah yang menghargai dan menjunjung tinggi kedisiplinan. Sekolah harus bisa meyakinkan pada para siswa bahwa perilaku baik dan prestasi cemerlang hanya bisa diraih dengan kedisiplinan tinggi para siswa. Tanpa kedisiplinan, fungsi sekolah akan mandul dan potensi siswa akan terkubur, bahkan akan banyak siswa terlibat masalah.
  Hanya sedikit sekolah yang berhasil menjalankan kedisiplinan. Faktanya bisa kita lihat melalui potret lingkungan sekolah yang tidak bersih, siswa yang gemar merokok, dan siswa tawuran. Semua itu cermin perilaku tidak disiplin dan tidak berbudaya. Jika demikian yang terjadi, sekolah sulit menjadi tempat munculnya generasi-generasi yang berperilaku baik dan berprestasi.
Orang tua punya harapan pada sekolah agar anak mereka berperilaku baik dan berprestasi. Contoh lain dari kurangnya disiplin adalah rendahnya prestasi siswa. Nilai ujian nasional (UN) bisa kita jadikan ukurannya. Beberapa siswa kita memang berhasil meraih medali di tingkat internasional, namun itu tidak mecerminkan mutu atau prestasi siswa pada umumnya. Mayoritas siswa minim prestasi.
  Memberi contoh baik bukan hanya tanggung jawab guru, staf, dan kepala sekolah. orang tua, pejabat publik, dan publik figur juga punya peran pada pembentukan perilaku siswa-siswa kita saat ini. Namun sekolahlah yang pertama-tama harus mampu menyediakan lingkungan, peraturan, dan individu-individu, yang mencerminkan kedisiplinan.
Siswa berinteraksi di sekolah. Disiplin merupakan hasil dari sebuah proses atau interaksi siswa dengan lingkungannya, baik bacaan, budaya, atau individu. Maka, sangat penting menyediakan lingkungan sekolah yang disiplin, sehingga siswa memiliki kedisiplinan diri. Disiplin diri dilakukan karena kesadaran bahwa prestasi tidak bisa diraih tanpa kerja keras dan perilaku yang baik. Prestasi dicapai bukan semata bermodal kecerdasan, namun melalui disiplin yang tinggi dalam belajar dan melakukan sesuatu.
  Beberapa upaya harus segera dilakukan oleh sekolah dalam upaya mendisiplinkan siswa, sehingga mereka memiliki perilaku yang baik dan berprestasi. Ini memang usaha yang tidak mudah, selain juga membutuhkan waktu yang tidak pendek. Membentuk pribadi siswa agar dewasa dalam setiap perilaku dan apalagi selalu cenderung pada pencapaian prestasi membutuhkan kesungguhan upaya, baik sistemik maupun teladan nyata dari lingkungan.
· Pertama, membuat tata tertib yang jelas dan menyeluruh. Jelas maksudnya mudah dipahami oleh siswa, apa yang harus dilakukan dan apa sangsinya jika melanggar. Menyeluruh artinya mencakup seluruh aspek yang terkait dengan kedisiplinan, seperti membuang sampah harus pada tempatnya. Setiap poin tata tertib itu harus disosialisasikan pada siswa, sehingga mereka memahami mengapa suatu peraturan itu dibuat. Perlu disadari, melaksanakan dan menegakkan tata tertib lebih sulit dibanding membuatnya. Karena itu, kerjasama semua pihak di sekolah mutlak perlu.
· Kedua, menerapkan sangsi bagi setiap pelanggaran tata tertib, sebab tanpa sangsi peraturan tidak akan berjalan efektif. Sangsi pada awalnya bisa mendidik siswa untuk disiplin. Namun pada periode tertentu, siswa menjalankan kedisiplinan karena memang keharusan, demi meraih keutamaan dan prestasi, bukan karena takut sangsi; siswa melakukan kedisiplinan atas panggilan jiwa, bukan karena faktor yang lain.
· Ketiga, ciptakan keteladan dari atas. Kepala sekolah, guru, dan staf adalah contoh keteladanan bagi siswa. Mereka menunjukkan kepedulian pada tegaknya disiplin dengan perilaku nyata, seperti mengisi waktu luang dengan membaca buku atau majalah; menyediakan lingkungan sekolah yang bersih dan hijau (clean and green); menyelenggarakan kegiatan-kegiatan atau program yang terkait dengan kegiatan ilmiah, di mana siswa menjadi peserta atau kontributornya. Singkatnya, keteladanan itu harus mewujud dalam program nyata, yang bisa dilihat dan dialami oleh siswa, bukan sekedar slogan tanpa aksi nyata.
· Keempat, sediakan perpustakaan yang lengkap berisi buku, majalah, jurnal, dan koran harian. Ruangan perpustakaan dibuat nyaman, sehingga para siswa tertarik berkunjung dan betah di dalamnya. Pegawai perpustakaan harus orang yang memiliki keahlian di bidangnya, yaitu sarjana perpustakaan. Membuat program-program yang terkait dengan perbukuan, agar siswa terdorong untuk membaca dan mengkaji isi buku. Perpustakaan dan buku—jika dikelola dengan baik—merupakan cikal bakal lahirnya peneliti-peneliti muda di kemudian hari, karena di sanalah pada awalnya mereka mendapatkan beragam informasi tentang sebuah pengetahuan.
· Kelima, sediakan kegiatan ekstra kurikuler yang beragam, sesuai dengan dan bakat siswa, sehingga pikiran dan tenaga mereka terarahkan pada hal-hal positif. Kegiatan ekstra kulikuler memberikan pengalaman dan nilai-nilai yang positif bagi para siswa, yang mungkin tidak mereka temukan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Sekolah harus mendorong dan memfasilitasi siswa-siswa yang memiliki bakat dalam bidang tertentu (musik dan olahraga, misalnya) dengan memberi kemudahan pada mereka dalam mengikuti kompetisi-kompetisi di semua level.
  Dengan melakukan hal tersebut, sekolah menghargai keragaman potensi yang dimiliki oleh setiap siswanya. Sekolah harus bisa menyediakan ruang dan kesempatan bagi tumbuhnya kecerdasan jamak yang terdapat pada siswa-siswa, karena setiap anak lahir dengan membawa kecerdasannya sendiri. Tugas sekolah adalah menemukan kecerdasan apa yang dimiliki siswa, bukan memaksakan agar siswa menguasai kecerdasan tertentu. Gardner (1998: 25) menulis, “Agar seorang siswa berhasil dalam studi dan hidupnya kelak, maka pendidikan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pribadi dengan mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki siswa.”
· Keenam, buatlah tempat ibadah yang bersih dan nyaman. Di tempat ibadah inilah para siswa dimotivasi secara berkala melalui nilai-nilai agama, selain melakukan salat berjamaah. Tempat ibadah dan programnya berperan mendekatkan para siswa dengan Tuhannya. Orang yang dekat Tuhan memiliki ketentraman perasaan. Dalam perasaan yang tentram akan timbul perilaku baik dan dorongan berprestasi dengan jalan belajar dan meneliti (bekerja) dengan penuh kesungguhan serta tidak pernah putus asa.
· Ketujuh, melakukan dialog yang terprogram dengan wali murid, terutama terkait siswa-siswa yang sering melanggar tata tertib atau nilainya menurun, sehingga para wali murid dan guru bisa bekerjasama dalam mendidik para siswa tersebut ke arah yang lebih baik. Sebulan sekali para wali murid dan sekolah perlu berdiskusi mengenai kondisi siswa untuk mendapatkan gambaran situasi yang sesungguhnya dialami siswa di sekolah dan di rumah, dan lalu secara bersama pula mencarikan jalan keluar dalam mengatasi masalah tersebut.
  Hal ini tidak akan sulit dilakukan karena sekolah dan wali murid punya harapan yang sama, yaitu ingin para siswa berkembang secara normal, memiliki perilaku baik, dan berprestasi—sesuai dengan bakatnya masing-masing. Saat berdialog, sekolah tidak boleh terkesan menghakimi para wali murid dengan cara menimpakan kesalahan pada mereka atau menganggap anak-anak mereka sulit berkembang atau sulit diatur. Sekolah jangan sampai putus asa menghadapi masalah-masalah siswa. Mengeluh sejenak boleh, namun tidak boleh hingga putus harapan, karena mendidik itu proses yang tidak sebentar maka butuh ekstra kesabaran. Butuh lima atau sepuluh tahun bahkan lebih untuk melihat anak-anak kita tumbuh menjadi manusia dewasa, yang arif dalam setiap tindakan dan mengatasi masalahnya dengan penuh pertimbangan rasio dan kalbu.
  Slogan, visi, atau bahkan program-program yang direncanakan, dibuat, dan dilaksanakan sekolah terkait dengan penegakkan disiplin siswa tidak akan efektif dan menyentuh nurani dan pikiran siswa selama tidak ada komitmen yang kuat dan terus menyala dari pendidik, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah. Membudayakan nilai-nilai (disiplin) bukan pekerjaan seorang atau dua orang, ia adalah kerja kolektif yang solid dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat serta penegakkan peraturan yang konsisten.
  Sekolah menerima input siswa yang beragam, baik segi kecerdasan, status sosial, perilaku, budaya, maupun geografis. Tidak akan mudah membimbing mereka pada suatu visi kedisiplinan diri untuk berperilaku yang semata baik dan berbuat untuk mencapai prestasi. Namun untuk itulah sejatinya sekolah didirikan. Seperti dilukiskan Pai (1990: 26), “Fungsi utama sekolah adalah transmisi nilai-nilai sosial; agen perubahan sosial; juga sebagai agen transmisi dan perubahan budaya.”
  Maka standar sekolah efektif itu adalah terletak pada kemampuannya menjadikan siswa—sebanyak mungkin—menjadi pemuda yang menghayati nilai-nilai baik (disiplin salah satunya) yang diakui lingkungan sosialnya dan juga selalu semangat mengejar prestasi sesuai bakatnya. “Sekolah yang unggul akan menempatkan nilai pada penguatan staf, siswa, orang tua, dan masyarakat lebih luas,” demikian tulis Caldwell dan Spinks (1993: 72). Nilai yang dihayati dengan baik secara kolektif akan melahirkan budaya bahkan peradaban yang unggul. Budaya unggul adalah perpaduan perilaku yang baik dan prestasi yang gemilang. Semoga cermin budaya disiplin bisa kita temukan di sekolah-sekolah kita. Mungkin tidak hari ini, tapi esok atau lusa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Daftar Pustaka

Caldwell, B.J. dan Spinks J.M. (1993). Leading the Self-Managing School. Second Edition. London & Washington: The Falmer Press.
Gardner, H. (1998). Multiple Intelligences. New York: Basicbooks.
Pai, Y. (1990). Cultural Foundation of Education. New York: Macmillan Publishing Company.

Sumber : jejenmusfah.com








III. KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK DI SEKOLAH

Latar Belakang
  Kita sering kali mendengar dan melihat berbagai macam kekerasan dan/atau pelanggaran kepada murid yang terjadi di sekolah. Kekerasan dan/atau pelanggaran kepada murid dilakukan oleh dan antar murid, dari senior kepada yunior, dari murid kakak kelas kepada murid adik kelas, dari orang dewasa kepada anak, dll. Macam-macam kekerasan dan/atau pelanggaran di sekolah dibedakan dari pelakunya adalah:
· - Pembulian (Bullying). Bullying adalah suatu tindakan baik berupa kata-kata maupun perbuatan phisik dari seseorang (anak) atau kelompok orang (anak) yang mempunyai power lebih, kepada seseorang (anak) atau kelompok orang (anak) yang kurang mempunyai kekuatan, sehingga menimbulkan rasa takut yang berlebihan, rasa sakit baik sakit hati maupun sakit phisik, rasa dikucilkan, disishkan, dan kondisi lain yang negatif. Perbuatan bullying di sekolah sangat berpengaruh terhadap performance murid baik kehadiran di sekolah maupun performance akademis. Perbuatan bullying antara lain: mengolok-olok, memusuhi, menggencet, memalak, memukul, dll.
· - Hukuman (punishment). Hukuman biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa kepada orang atau anak (murid, wali murid) dikarenakan tidak memenuhi apa yang dikehendaki/ disyaratkan/ diatur oleh orang yang lebih berkuasa. Hukuman ada dua macam yaitu hukuman yang berupa emosional dan hukuman phisik/badan. Hukuman emosional termasuk: dipisahkan/ dikucilkan dari kelompoknya, mendapatkakn julukan negatif dan menyakitkan, tidak diperkenankan mengikuti kegiatan, dll. Sedangkan hukuman phisik/ badan biasanya dalam bentuk dijewer, dipukul, berdiri di depan kelas dalam waktu yang cukup lama, dll.
· - Pelecehan sexual. Pelecehan sexual di sekolah bisa terjadi dalam bentuk phisik maupun non-phisik. Di lingkungan sekolah sangat potensi terjadi julukan/ pelebelan negatif terhadap bentuk tubuh seseorang, ejekan, tempat duduk murid (perempuan) dimana meja depannya tidak bertutup sering mengundang perbuatan negatif, dll. Sedangkan yang berupa phisik anatara lain: jamahan terhadap bagian tubuh tertentu, imbalan pemberian nilai pada murid perempuan manakala rela berbuat sesuatu, pemerkosaan, dll.
· - Geng. Disadari atau tidak bahwa pergaulan antar anak atau sejumlah anak ada yang berdampak positif, namun banyak juga dari pergaulan dan keintiman sejumlah anak mereka merupakan embrio terbentuknya kelompok anak yang disebut geng. Banyak ditemukan geng didalam lingkungan sekolah mulai dari SD, SMP maupun SMA yang banyak melakukan hal-hal yang dikategorikan kekerasan dan/atau pelanggaran kepada anak lain. Geng ini biasanya melakukan sesuatu secara teroganisir dan pergerakan mereka biasanya berkelompok. Geng ini merupakan bentuk kelompok tidak formal dari murid diluar struktur sekolah (biasanya terdiri murid senior) yang biasanya melakukan hal-hal diluar kurikulum dan tugas sekolah, bahkan biasanya melakukan kegiatan yang merugikan pihak-pihak yang lemah. Ingat geng NERO di Jawa Tengah yang melakukan tawuran antar murid? Geng MOTOR di Jawa Barat yang melakukan pemalakan? Mereka mengawali kegiatan di lingkungan sekolah. Geng sering juga melakukan bentuk kekerasan phisik yang menggunakan senjata. Anak sekolah bergabung dalam geng melakukan tawuran memakai senjata yang dibawa ke sekolah dengan disamarkan dalam bentuk: ikat pinggang, peralatan praktikum, dll.

Analisa issue kekerasan di sekolah:
· 1. Kurang pahamnya masyarakat sekolah untuk menempatkan issue Hak Anak dan Perlindungan didalam wilayah pendidikan. Kekurang pahaman ini telah mengakibatkan bahwa kejadian dan perbuatan bullying tersebut dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan murid.
· 2. Selama ini sangat minim legislasi baik dari pihak sekolah maupun Dinas teknis yang mengatur peniadaan bulling atau segala bentuk kekerasan di sekolah
· 3. Rasa senioritas diantara murid. Kondisi ini telah mewarnai sampai ke alih generasi secara turun temurun dan biasanya adik kelas akan menjadi obyek kekerasan.
· 4. Masih adanya paradigma yang menganggap bahwa proses pembelajaran harus disertai dengan pendisiplinan yang ketat. Pendisiplinan sering diterjemahkan oleh kalangan pendidik dengan kekerasan.
· 5. Lingkungan sekolah yang kurang mendukung tumbuh kembang yang sehat bagi murid adalah salah satu faktor timbulnya kekerasan (kriminal, perjudian, minuman keras).
  Dari latar belakang tersebut diatas perlu bagi Plan yang saat ini sedang meningkatkan kualitas sekolah untuk mendorong baik kepada Dinas maupun kepada sekolah untuk membuat Kebijakan Perlindungan Anak di Sekolah.
Bagaimana proses membuat kebijakan?
· 1. Dimulai dengan melakukan diskusi dengan guru, kepala sekolah, murid, orangtua murid, komite sekolah. Diskusi ini harus diawali dengan pemahaman bahwa tidak boleh ada yang merasa tersinggung, marah, dan merasa dipojokkan. “Senyum” adalah modal awal dari diskusi ini. Diskusi diawali dengan pemahaman (ulang) tentang hak anak dan UUPA. (bagi sekolah yang guru-guru dan kepala sekolah belum pernah menerima pelatihan hak anak, maka seyogyanya didahului dengan pelatihan ini) Dalam diskusi juga dilakukan secara transparan mengidentifikasi masalah kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah mereka. Supaya terjadi keterbukaan diantara mereka, maka kelompok anak perlu dipisahkan dengan kelompok dewasa. Kelompok orangtua murid dan komite sekolah mungkin juga perlu dipisahkan.
· 2. Langkah selanjutnya adalah dilakukan diagnosa atau anlisa mengapa terjadi kekerasan tersebut. Analisa ini tidak mencari siapa melakukan kesalahan apa, namun lebih bertujuan untuk menemukan solusi peniadaan kekerasan dimasa depan karena mereka sudah sadar bahwa kekerasan akan melanggar UUPA.
· 3. Mereka akan mengusulkan aturan-aturan untuk menghilangkan kekerasan di sekolah.
· 4. Dari usulan aturan-aturan ini ditindaklanjuti dengan menyusun draft yang dinamakan kebijakan perlindungan anak di sekolah. Apabila dalam kebijakan tersebut diperlukan adanya sanksi bagi pelaku pelanggaran, maka harus ditentukan sanksi yang positif, mendidik dan tentunya disepakati.
· 5. Draft ini, nantinya kalau sudah disepakati oleh semua pihak, maka perlu disyahkan oleh Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Perwakilan Murid, dan diketahui oleh KEpal Cabang Dinas setempat, serta ditembuskan ke Dinas Pendidikan Kabupaten.
· 6. Sebagai upaya sustainabilitas, kebijakan yang disetujui dimasukan ke dalam RAPBS/ RPS.
· 7. Kebijakan tersebut dipajang di depan sekolah
· 8. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi kepada semua masyarakat/ orang tua siswa untuk dilaksanakan.

Isi kebijakan (antara lain, sebagai referensi):
Muatan dari kebijakan disarankan terdiri dari 3 hal, yaitu: pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi
1. Pencegahan (contoh):
· Upaya penyadaran dan mengilangkan kekerasan
· Pelatihan hak anak bagi semua guru, anak, juga kepada masyarakat/ orangtua.
· Sosialisasi ttg perlindungan anak dan sekolah ramah anak baik kepada semua guru, anak, juga kepada masyarakat/ orangtua
· Menumbuhkan kesadaran kepada orangtua agar lebih memperhatikan perkembangan anak dan pendidikannya
· Budayakan “Senyum, Sapa, Salam, Santun, Sahabat”
· Pembentukan Organisasi Siswa Ramah Anak (OSRA) yang menampung aspirasi anak
2. Penanganan (contoh):
· Memberikan bimbingan, arahan, pendamaian
· Menemukan solusi win-win apabila terjadi konflik
· Teguran yang bijaksana kepada pelaku kekerasan
· Penerapan sanksi positif dan mendidik
· Bila terjadi luka fisik sekolah wajib memberikan P3K
· Pembuatan sistim pelaporan terhadap kasus diluar kemampuan sekolah

3.  Rehabilitasi (contoh):
· Amankan korban dan pelaku
· Pendampingan kepada korban untuk perbaikan baik psikis maupun pisik
· Pembuatan sistim pelaporan kepada pihak yang berkompeten
· Bila terjadi trauma maka harus dilakukan rujukan kepada ahlinya (psikolog)

Sanksi positif/ mendidik (contoh):
· Upaya untuk minta maaf
· Pemberian bimbingan/ konseling
· Pembinaan dlm bentuk nasehat
· Pembuatan pernyataan tertulis yang tidak mengulangi lagi perbuatannya
· Mengalihkan kegiatan
· 

Sistem pelaporan
· Jika terjadi pelanggaran maka segera melapor kepada team independen yang dibentuk
· Team independen akan menangani kasus, namun pada kasus berat mereka harus melaporakan kepada yang lebih berkompeten

Team independen
· Team ini perlu dibentuk untuk mengawal penerapan “Kebijakan Perlindungan Anak” di sekolah
· Team ini bertujuan secara obyektif menangani kasus kekerasan
· Team terdiri dari: Pengawas Sekolah, Komite Sekolah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Guru, Kepala Sekolah dan Perwakilan Anak.


IV. CARA MENINGKATKAN DISIPLIN SISWA DI SEKOLAH

  Masalah kedisiplinan siswa menjadi sangat berarti bagi kemajuan sekolah itu sendiri. Di sekolah yang tertib akan selalu menciptakan proses pembelajaran yang baik. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak tertib kondisinya akan jauh berbeda. Meningkatkan disiplin siswa memang penting untuk dilakukan karena sekolah merupakan tempat bagi generasi calon pemimpin bangsa menimba ilmu pengetahuan dan berinteraksi dalam dunia keilmuan, disadari atau tidak oleh siswa, sekolah menjadi salah satu tempat bagi mereka untuk belajar tentang banyak hal agar kelak menjadi orang yang eksis dan sukses. Disiplin menjadi salah satu faktor yang dapat membantu seseorang meraih sukses, tidak terkecuali disiplin pada siswa.
  Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dan serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
  Sebutan orang yang memiliki disiplin biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat menaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat, pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu, misalnya sekolah. Siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya.
  Membicarakan disiplin siswa, tidak terlepas dari persoalan perilaku negatif pada diri siswa, yang akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Berbagai tindak negatif dilakukan para pelajar di sekolah dari nyontek, bolos, memeras, sampai pelanggaran diluar sekolah seperti buat geng, berkelahi atau tawuran,penyalahgunaan narkoba, sex bebas, mencuri sampai pada pelanggaran-pelanggaran yang lebih membahayakan atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Perilaku siswa terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan, keluarga dan sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah merupakan salah satu faktor dominan dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa.

Beberapa cara yang dapat dilakukan sekolah adalah:
1. Guru hendaknya bisa menjadi contoh dalam berdisiplin, misalnya tepat waktu. Siswa tidak akan memiliki disiplin manakala melihat gurunya sendiri juga tidak disiplin. Guru harus menghindari kebiasaan masuk menggunakan jam karet, molor dan selalu terlambat masuk kelas.
2. Memberlakukan peraturan tata tertib yang jelas dan tegas, sehingga mudah untuk diikuti dan mampu menciptakan suasana kondusif untuk belajar.
3. Secara konsisten para guru terus mensosialisasikan kepada siswa tentang pentingnya disiplin dalam belajar untuk dapat mencapai hasil optimal, melalui pembinaan dan yang lebih penting lagi melalui keteladanan
  Di sekolah seorang siswa berinteraksi dengan para guru yang mendidik dan mengajarnya. Sikap, teladan, perbuatan dan perkataan para guru yang dilihat dan didengar serta dianggap baik oleh siswa dapat meresap masuk begitu dalam ke dalam hati sanubarinya dan dampaknya kadang-kadang melebihi pengaruh dari orang tuanya di rumah. Sikap dan perilaku yang ditampilkan guru tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pendisiplinan siswa di sekolah. Semua bentuk ketidak disiplinan siswa di sekolah tentunya memerlukan upaya penanggulangan dan pencegahan - See more at:



V. MASALAH DISIPLIN


Azizi Yahaya & Mohamad Hasan Omar
Fakulti Pendidikan,
Universiti Teknologi Malaysia.
Abstrak :
Artikel ini membincangkan masalah disiplin di sekolah yang telah menjadi isu masyarakat yang
sering dibincangkan oleh semua lapisan masyarakat. Kejadian melanggar disiplin sekolah ini turut mempengaruhi keputusan akademik pelajar.
Katakunci :
Masalah Disiplin
  Masalah pelanggaran disiplin di sekolah merupakan isu masyarakat yang tidak henti-henti dibincangkan oleh semua lapisan masyarakat. Kejadian melanggar disiplin di sekolah-sekolah itu bukanlah merupakan perkara-perkara baru berlaku tetapi telah wujud lebih dahulu daripada sistem pendidikan. Bertambahnya perlanggaran disiplindi kalangan pelajar telah menimbulkan pertanyaan umum tentang keberkesanan segala dasar dan peraturan yang digunakan untuk peningkatan dan pengukuhan disiplin di sekolah. Suasana persekolahan dan hubungannya dengan kegiatan ponteng banyak menarik perhatian para pengkaji. Masalah ini boleh ditinjau dalam tiga aspek iaitu di kalangan individu, sekolah dan masyarakat. Walaupun kajian mengenai masalah ini menarik minat ramai para pengkaji tetapi kebanyakan bersifat empiris sahaja. Kesukaran memperolehi maklumat yang tepat adalah kerana guru-guru yang mengajar sengaja melindungi murid-murid daripada disenaraikan sebagai murid- murid ponteng (AhmadHj.Salleh,1980).
  Unit Disiplin Bahagian Sekolah-sekolah, Kementerian Pendidikan Malaysia (1973)
mendapati masalah ponteng sekolah mencakupi sebahagian besar salah laku yang dilakukan oleh
golongan remaja yang tentunya di bangku sekolah (Hussein Mahmood, 1993). Masalah itu
ditimbulkan oleh sebilangan remaja yangmerangkumi 1.05% dari jumlah 4,267,261 orang.
Daripada jumlah itu, sebanyak 0.67% dikenali sebagai ponteng sekolah dan 0.48% lagi adalah
ponteng kelas. Berdasarkan tinjauan yang dikemukakan olehUnit Disiplin Bahagian Sekolah-sekolah,
  Kementerian Pendidikan Malaysia (1993) ialah faktor-faktor penyumbang yang menggalakkan salah laku pelajar ialah sikap pelajar, sikap ibu bapa, mata pelajaran yang tidak diminati,penyampaian guru yang membosankan, sikap guru, sistem persekolahan yang ketat dan pengaruh,rakan sebaya (Hussein Mahmood, 1993) Dapatan kajian ini menunjukkan permasalahan ponteng ini banyak melibatkan pelajar keturunan Melayu yang merangkumi 60%. Masalah ponteng ini paling ketara di kalangan pelajar-pelajar sekolah menengah yang bersekolah di tengah-tengah pusat bandar. Di antara tempat-tempat yang menjadi tumpuan murid-murid ponteng ialah pusat menbeli belah, siber cefe, pusat permainan video komputer dan video, manalkala ponteng kelas pula ialah seperti perpustakaan, bilik kaunseling, tandas, kawasan sekolah dan kantin sekolah.

  Salleh B. Majid (1997) dalam artikelnya “Jangan Salahkan Remaja
Sahaja” menjelaskan bahawa masalah ponteng yang sering dilakukan oleh golongan remaja bukan sahaja menyebabkan beberapa kesan kepada pelajar itu sendiri bahkan membawa ia turut juga membawa implikasi kepada pelajar tercicir, pelajar terganggu, tindak balas negatif pelajar,
kekeliruan nilai dan matlamat hidup, masa depan yang tidak menentu dan melahirkan masyarakat yang tidak berkualiti. Menurut beliau bahawa masalah ponteng merupakan satu
masalah rutin yang dialami oleh semua sekolah diseluruh negara. Terdapat pelbagai strategi
untuk mengatasinya, antaranya ialah perlaksanaan undang-undang persekolahan haruslah selaras dengan kongruen dengan tingkah laku semua pihak. Keserasian hubungan ibu bapa dan guru-guru haruslah disemai dengan memahami peranan masing-masing. Sekolah haruslah mempromosikan kerjasama dengan pihak awam dalam bentuk memenuhi keperluan semasa.
  Seterusnya sekolah, ibu bapa dan masyarakat harus berkerjasama memikirkan apa dan
bagaimana bentuk motivasi yang relevan serta utama untuk dipupukkan ke dalam diri dan
kehidupan para pelajar berdasarkan demografi sosial dan budaya komuniti yang bermakna.
Menurut Skinner (1953) bahawa pelajar yang di bawah kecerdasan sering menimbulkan
masalah disiplin dan salah laku di dalam kelas dan akan berterusan. Burt (1969) dalam kajiannya
mendapati ada guru yang menganggap mengajar pelajar kelas bawahan sebagai tidak memberi
faedah kerana mereka mempunyai motivasi yang rendah. Pelajar-pelajar seolah-olah mahu
dikawal dan pada masa yang sama mempunyai sifat suka bermain-main seperti sengaja
menimbulkan tingkah laku agresif agar orang menjauhkan diri daripada mereka. Ruhana Zubir (1976) melaporkan dalam kajian beliau mengenai persepsi guruguru terhadap masalah remaja ialah terdapat perbezaan yang bererti di antara pendapat murid-murid dan guru-guru terhadap terhadap masalah murid di sekolah-sekolahyang mempunyai kedudukan rendah. Guru-guru berpendapat bahawa murid-murid di keduadua buah sekolah (kedudukan tinggi dan rendah) banyak mempunyai masalah emosi yang lahir dari keadaan rumah tangga dan keluarga. Masalah disiplin boleh timbul disebabkan guru kurang memahami kedudukan sebenar keadaan murid-muridnya dan guru tidak memperlihatkan sifat membuat akomodasi untuk membentuk “rapport” yang diperlukan dalam situasi pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah.
  Dalam kajian Ch’ng Chwee Lye (1976) menunjukkan remaja yang nakal mempunyai
konsep kendiri yang rendah daripada remaja yang tidak nakal. Kegagalan remaja ini dalam
mendapat penerimaan sosial dari rakan sebaya membawa padah iaitu kekurangan rasa disayangi
dan dipunyai. Akibatnya remaja nakal ini tidak rasa hormat pada dirinya lalu membentuk tembok
komunikasi dengan masyarakat. Justeru itu mendorongnya menjadi introvert, kelainan dan
sentiasa bergantung. Budaya lepak merupakan salah laku yang melanda golongan remaja   seluruh negara. Isu budaya lepak melibatkan pelajar–pelajar sekolah yang sering didapati mengunjungi kompleks membeli belah dan tempat awam lain sewaktu, sebelum atau setelah pulang darisekolah sama ada pada waktu siang atau malam (Samsudin dan Iran, 1993).   Oldenberg dan Brissett (19870) menyatakan bahawa lepak bukanlah isu yang baru kerana dalam abad yang ke-18 di England, ramai warga yang hidupnya mudah dengan melepak iaitu menghabiskan banyak masa lapang di kedai-kedai kopi dan berbual-bual kosong sambil minum.     Pada tahun 1993 Kementerian Belia dan Sukan dengan kerjasama beberapa buah universiti tempatan telah membuat kajian tentang melepak di kalangan remaja. Kajian menunjukkan 48% aktiviti melepak tertumpu di pusat-pusat membeli belah. Berdasarkan kajian yang telah dibuat, faktor-faktor yang menyebabkan remaja banyak melepak boleh dikategorikan sebagai faktor-faktor tarikan, tolakan dan remaja itu sendiri. (Samsudin A.Rahim dan Iran Herman,           Kementerian Belia dan Sukan, 1993). Antara faktor tarikan adalah tempat awam yang dikunjungi menyediakan beraneka
hiburan (54%), suasana di tempat tersebut nyaman, selesa dan sesuai untuk berehat (53%),
tempat yang dikunjungi itu ada “kelas” (34). Sejumlah 73% menyatakan mereka melepak di
sesuatu tempat berkenaan kerana mereka mudah bertemu dengan rakan-rakan mereka.
Kajian itu juga mendapati nilai remaja juga menjadi penyumbang kepada kegiatan
melepak. Sebanyak 52% responden menyatakan bahawa mereka melepak kerana ingin
menghilangkan kerungsingan yang sedang mereka hadapi. Sebanyak 32% responden bersetuju
bahawa kegiatan melepak ditempat awam adalah membuang masa. Ini menunjukkan bahawa
68% lagi menganggap kegiatan melepak bukan sesuatu perbuatan membuang masa. Sebanyak
47% remaja sedar bahawa ketika melepak mereka sering mengabaikan suruhan agama seperti
sembahyang. Rumusan dari kajian tersebut menunjukkan tingkah laku melepak ini adalah
didorong oleh pelbagai faktor yang saling berkaitan anatra satu sama lain. (Samsudin A.Rahim
dan Iran Herman, 1993) .

Sumber : http://eprints.utm.my/10399/1/30.9_Masalah_Disiplin.pdf

VI. PELAJAR  MELANGGAR DISIPLIN SEKOLAH

Jurnal Kemanusiaan Bil.18
©Universiti Teknologi Malaysia
Pelajar melanggar disiplin sekolah:
Kaitan interaksi keluarga terhadap konsep kendiri
Rohaya Hashim
Sek. Men. Agama Tok Jiring Kuala Terengganu
21060 Kuala Terengganu
Ruhani Mat Min
Universiti Malaysia Terengganu
ABSTRAK
  Kajian ini bertujuan mengenal pasti corak interaksi keluarga dalam kalangan pelajar menlanggar
disiplin sekolah serta kaitannya dengan konsep kendiri. Pengumpulan data menggunakan satu set
soal selidik yang melibatkan maklumat demografi, skala interaksi keluarga dan skala konsep
kendiri. Seramai 313 orang pelajar yang terlibat dalam masalah disiplin dari daerah Kuala
Terengganu terlibat dalam kajian ini. Dapatan kajian menunjukkan bahawa pendidikan ibu dan
bapa, pekerjaan ibu dan bapa serta pendapatan keluarga menyumbang dalam perbezaan interaksi
keluarga dalam kalangan pelajar yang melanggar disiplin. Dua subskala dalam interaksi keluarga
iaitu kefungsian umum serta kejelekitan keluarga menyumbang sebanyak 31.8 peratus terhadap
konsep kendiri pelajar melanggar disiplin. Oleh itu, interaksi keluarga khusus kefahaman
mengenai peranan masing-masing serta kejelekitan atau keakraban perlu diberi perhatian kerana
ianya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep kendiri.
· Kata kunci:
interaksi keluarga; konsep kendiri; pelajar melanggar disiplin sekolah
Jurnal Kemanusiaan Bil.18 15
· Pengenalan
  Pelajar yang mempunyai masalah disiplin bermaksud pelajar yang terlibat dalam tingkahlaku yang kurang menepati nilai pegangan masyarakat. Contoh-contoh tingkahlaku yang kurang menepati nilai pegangan masyarakat atau tingkahlaku melanggar disiplin adalah melibatkan tingkahlaku jenayah, lucah, tidak mementingkan masa, kurang sopan dan biadap, musnah, tidak jujur, ponteng, kenakalan (Jabatan Pendidikan Negeri Terengganu, 2007). Pada tahun 2007,
Kementerian Pelajaran Malaysia mengenal pasti seramai 76,300 orang pelajar atau 1.09%
daripada 7 juta orang pelajar di negara ini terbabit dengan masalah disiplin. Azizi et al. (2007)
melaporkan bahawa pada tahun 2003 terdapat sebanyak 456 buah sekolah berada dalam perhatian polis kerana kegiatan samseng dan jenayah lain. Laporan Persidangan Dewan Rakyat (2007) menyatakan hampir 70 % pelajar yang dikenakan hukuman buang sekolah didapati melakukan kesalahan ponteng sekolah di mana sejak 2003 hingga 2007, dan seramai 21,011 orang pelajar sekolah rendah dan menengah dikenakan hukuman buang sekolah kerana terlibat dengan salah laku disiplin di sekolah. Negeri Terengganu tidak terkecuali dengan fenomena yang semakin membimbangkan ini. Pada tahun 2006, terdapat sebanyak 4527 kes disiplin di Terengganu.
  Berkaitan dengan pelajar melanggar disiplin sekolah, Abd. Rahim et al. (2006) mengatakan
walaupun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perlakuan pelajar remaja melakukan salah
laku disiplin, namun didapati kebanyakan remaja yang bermasalah datang daripada keluarga yang juga bermasalah. Selaras dengan ini, Rohany dan Fatimah (2006) juga mengaitkan fenomena pelanggaran disiplin dalam kalangan pelajar remaja dengan keadaan sistem keluarga yang tidak dapat berfungsi dengan baik sedangkan institusi keluarga menyediakan sistem sosialisasi yang terawal dan terpenting kepada pembentukan corak tingkah laku remaja.
  Kajian ini bertujuan mengkaji interaksi keluarga yang dialami oleh pelajar yang melanggar disiplin sekolah serta sumbangan setiap subskala interaksi keluarga terhadap konsep kendiri pelajar berkenaan. Penulisan ini disusun dengan kupasan literatur pada interaksi keluarga dan konsep kendiri. Seterusnya, metodologi yang digunakan dalam kajian ini dibincangkan. Akhir sekali diikuti dengan laporan dapatan serta perbincangan mengenai dapatan berkenaan.
· Tinjauan Literatur
Interaksi keluarga
Faktor interaksi dalam keluarga termasuk interaksi ibu bapa dengan anak dapat mempengaruhi
pembentukan dan perubahan tingkah laku remaja. Cheak (2003) menyatakan bahawa keluarga
yang mempunyai komunikasi yang baik dapat menghindari anak daripada perbuatan salah laku
disiplin. Barnett (2004) mengatakan tahap interaksi dalam keluarga yang baik sangat diperlukan
oleh remaja terutama semasa menghadapi tekanan. Keadaan sedemikian memberikan sokongan
emosi kepada remaja berkenaan seterusnya akan menghindarkan mereka dari melakukan
perbuatan salah laku. Dapatan kajian Azaman (2003) menunjukkan kesepaduan dalam keluarga
akan menjauhkan kecenderungan remaja untuk terlibat dalam perbuatan salah laku. Selaras
dengan ini, Melati et al. (2009) mendapati kefungsian keluarga yang sihat menyumbangkan
kepada perkembangan autonomi kendiri dalam kalangan ahli keluarganya.

Pelajar Melanggar Disiplin Sekolah: Kaitan Interaksi Keluarga Terhadap Konsep Kendiri
Jurnal Kemanusiaan Bil.18 17
Nilai yang dipelajari berdasarkan pengalamannya. Misalnya pengalaman yang menyeronokkan akan dilihat sebagai sesuatu yang positif dan pengalaman yang tidak menyeronokkan pula dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Disamping itu juga, manusia amat memerlukan perhatian positif seperti rasa disayangi, disukai, dihormati, disanjung dan diterima oleh orang lain, termasuklah ahli keluarganya.

  Menurut Maslow (1968), setiap manusia mempunyai keperluan yang sedia ada dalam dirinya.
Seterusnya, beliau mencadangkan hierarki keperluan, dan terdapat lima peringkat keperluan dalam diri individu. Berkaitan dengan perhatian positif yang dinyatakan di atas, Maslow menyatakan bahawa pada tahap ketiga adalah peringkat di mana manusia membina hubungan yang bermakna dengan orang lain. Pada tahap ini manusia memenuhi keperluan disayangi dan menyayangi serta mempunyai dan dipunyai. Merujuk kepada interaksi dalam keluarga, pengalaman yang positif dan mesra akan menyumbangkan kepada hubungan yang bermakna dengan orang lain, seterusnya memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep kendiri individu.
Masalah disiplin pelajar sekolah makin membimbangkan (Jabatan Pendidikan Negeri Terengganu, 2007; Kementerian Pelajaran Malaysia, 2007; Laporan Persidangan Dewan Rakyat, 2007).

Berkaitan dengan ini, tingkahlaku pelajar sekolah atau remaja adalah gambaran pengalaman yang dilalui bersama keluarga (Barnett, 2004; Azaman, 2003). Pengalaman interaksi bersama keluarga mempunyai kaitan dengan konsep kendiri individu (Rogers, 1959) dan kegagalan pengalaman yang baik dalam interaksi keluarga menyumbang kepada tingkahlaku negatif (Bachanas dan Kaslow, 2001). Disamping itu, Rogers (1951) dan Maslow (1968) menyarankan perlukannya hubungan yang positif bersama keluarga dan orang lain dalam perkembagan individu. Oleh itu, persoalannya, bagaimana manakah pengalaman interaksi keluarga dan konsep kendiri pelajar yang terlibat dengan masalah disiplin di sekolah?
  Metodologi Kajian korelasi yang dijalankan bertujuan untuk mengetahui interaksi keluarga dan konsep kendiri dalam kalangan pelajar-pelajar yang melanggar disiplin sekolah di KualaTerengganu. Lokasi kajian ialah di enam belas buah sekolah menengah di daerah Kuala Terengganu yang melaporkan jumlah kes salahlaku pelajar yang tertinggi. Daerah Kuala Terengganu dipilih oleh pengkaji berdasarkan Laporan Jumlah Kes Salah Laku Pelajar Sekolah Menengah Mengikut Daerah di Negeri Terengganu ( 1 April 2005 hingga 31 Ogos 2006) oleh Jabatan Pelajaran Negeri Terengganu (2007). Menurut laporan tersebut, jumlah kes pelanggaran disiplin sekolah menengah di Kuala Terengganu adalah paling tinggi iaitu sebanyak 1,741 kes berbanding daerah-daerah lain.
Seramai 313 orang pelajar terlibat sebagai sampel kajian, terdiri daripada 29 orang pelajar perempuan dan 284 pelajar lelaki. Pemilihan sampel adalah secara kaedah rawak berlapis secara kuota berasaskan bilangan pelajar tingkatan empat yang pernah melanggar disiplin mengikut sekolah yang terlibat.
  Alat kajian yang digunakan dalam kajian ini merupakan satu set soal selidik yang terdiri daripada
maklumat demografi, Skala Konsep Kendiri dan Skala Interaksi Keluarga. Skala Konsep Kendiri
adalah asalnya telah dibentuk oleh Chiam (1976) dan diubahsuai oleh Lily Mastura (1995)
berdasarkan ”TennesseeSelf-Concept Scale”. Manakala Skala Interaksi Keluarga asalnya juga
dibentuk oleh Lily Mastura (1995) berdasarkan Teori Pemusatan Insan oleh Rogers (1951).


Rohaya Hashim and Ruhani Mat Min18
Jurnal Kemanusiaan Bil.18
  Terdapat empat subskala dalam Skala Interaksi Keluarga iaitu Kefungsian Umum Keluarga, Kejelekitan Dalam Keluarga, Komunikasi Dalam Keluarga, dan Sistem Peraturan Keluarga. Dalam kajian ini, kedua-dual Skala Konsep Kendiri dan Skala Interaksi Keluarga adalah versi yang diubah suai oleh pengkaji. Pengkaji telah mengurangkan bilangan item yang perlu dijawab dalam dalam kedua-dua skala berkenaan agar lebih sesuai dengan tahap keupayaan menjawab dan daya tumpuan responden yang merupakan pelajar salah laku disiplin di tingkatan empat. Pengurangan ini amat sesuai kerana remaja yang melakukan perbuatan salah laku kebiasaannya tidak boleh duduk diam dalam tempoh yang agak lama, sentiasa resah dan kurang berupaya mematuhi peraturan (Muhd Mansur dan Siti Nurdinar, 1988).
  Bagi tujuan kebolehpercayaan set soal selidik yang digunakan, dua peringkat kajian dijalankan. Versi asal Skala Konsep Kendiri dan Skala Interaksi Keluarga telah digunakan dalam kajian rintis pertama. Seramail 40 orang pelajar tingkatan 4 di sebuah sekolah menengah di Kuala Terengganu terlibat dalam kajian rintis ini. Pekali alpha bagi Skala Konsep Kendiri adalah 0.89. Seterusnya dengan menggunakan kaedah statistik analisis faktor bilangan item yang perlu dijawab dalam soal selidik ini telah kurangkan dari 50 item kepada 23 item. Pekali alpha bagi Skala Interaksi Keluarga adalah 0.96. Seterusnya dengan menggunakan kaedah statistik analisis faktor bilangan item yang perlu dijawab dalam Skala Interaksi Keluarga ini dikurangkan dari 82 item kepada 27 item. Proses pengurangan item dengan kaedah statistik analisis faktor dilakukan sebagaimana dicadangkan oleh Field (2003). Beliau mengesyorkan bahawa item yang sesuai dipilih dalam proses mengurangkan jumlah item sesuatu soal selidik ialah item yang mempunyai nilai ’communalities after extraction’sebanyak 0.6 atau melebihi 0.6.
  Pengkaji telah menjalankan kajian rintis kedua bagi menguji kebolehpercayaan set soal selidik yang digunakan. Seramai 40 orang pelajar tingkatan 4 yang berlainan dari subjek kajian rintis pertama dari sebuah sekolah menengah berlainan di Kuala Terengganu mengambil bahagian dalam kajian rintis kedua. Skala Interaksi Keluarga yang telah diubahsuai ini terdiri daripada 27 item dengan empat subskala iaitu kefungsian umum keluarga, kejelekitan dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga dan peraturan dalam keluarga. Pekali kebolehpercayaan Skala Interaksi Keluarga adalah 0.85, dan pekali kebolehpercayaan Skala Konsep Kendiri adalah 0.88.
· Dapatan kajian
  Dapatan kajian menunjukkan bahawa pelajar yang melanggar disiplin sekolah datang daripada latar belakang keluarga yang berbeza, khususnya pekerjaan bapa, pekerjaan ibu, pendidikan bapa, pendidikan ibu, pendapatan keluarga serta bilangan adik beradik.
Wujudnya perbezaan interaksi keluarga dalam kalangan pelajar yang melanggar disiplin sekolah
mengikut pekerjaan bapa. Jadual 1 menunjukkan min interaksi keluarga berkenaan. Min interaksi
ini menggambarkan semakin tinggi nilai min, semakin banyak interaksi yang berlaku dalam
keluarga berkenaan. Kajian menunjukkan kumpulan kerajaan/ badan berkanun mempunyai min
yang paling tinggi iaitu 2.91. Ini diikuti oleh kategori lain-lain di mana minnya ialah 2.85,
kategori swasta adalah 2.83, kategori petani adalah 2.81, kategori tidak bekerja adalah 2.76,
kategori profesional adalah 2.70, kategori buruh adalah 2.67 dan kategori pesara adalah 2.63.
Kategori nelayan pula mempunyai nilai min yang terendah iaitu 2.61. Perbezaan interaksi keluarga adalah signifikan, di mana F(8, 304) = .002, p<0.05. Dapatan ini menunjukkan bahawa pekerjaan Pelajar Melanggar Disiplin Sekolah: Kaitan Interaksi Keluarga Terhadap Konsep Kendiri
Jurnal Kemanusiaan Bil.18 19
bapa memainkan peranan yang signifikan terhadap perbezaan interaksi dalam keluarga pelajar berkenaan (rujuk Jadual 1 dan 2).
Jadual 1
: Min bagi Interaksi Dalam Keluarga Responden
Mengikut Pekerjaan Bapa
Pekerjaan Bapa Min Bilangan (N)
Kerajaan/ Badan Berkanun 2.9102 66
Swasta 2.8254 16
Profesional 2.7014 65
Petani 2.8148 5
Nelayan 2.6068 13
Buruh 2.6706 84

Sumber : http://www.management.utm.my/download/doc_view/479-pelajar-melanggar-disiplin-sekolah-kaitan-interaksi-keluarga-terhadap-konsep-kendiri.html

VII. DISIPLIN SISWA DI SEKOLAH

   Dalam kehidupan sehari-hati sering kita dengar orang mengatakan bahwa si X adalah orang yang memiliki disiplin yang tinggi, sedangkan si Y orang yang kurang disiplin. Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).
  Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah.
  Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja.
Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snockdalam bukunya “Dangerous School” (1999).
  Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya.
  Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001) menyebutkan bahwa “the goals of discipline, once the need for it is determined, should be to help students accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyamanterutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampumenerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
Keith Devis mengatakan, “Discipline is management action to enforce organization standarts” danoleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan siswa mengikutidan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada.
  Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah.

Sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com


VIII. KEDISIPLINAN SISWA DI SEKOLAH


    Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu berbuat untuk hal yang lebih baik. Untuk mengubah prilaku menuju ke hal yang lebih baik itu tidaklah mudah yang kita bayangkan. Perubahan itu melalui perjalanan yang panjang, berjenjang, dan berkesinambungan. Satu-satunya jalur yang dapat ditempuh yakni dengan pendidikan.
  Siswa adalah orang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Dalam perkembangannya harus melalui proses belajar. Termasuk di dalamnya belajar mengenal diri, belajar mengenal orang lain, dan belajar mengenal lingkungan sekitarnya. Ini dilakukan agar siswa dapat mengetahui dan menempatkan posisinya di tengah-tengah masyarakat sekaligus mampu mengendalikan diri.
    Sifat pengendalian diri harus ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Pengendalian diri di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang dalam perbuatannya selalu dapat menguasai diri sehingga tetap mengontrol dirinya dari berbagai keinginan yang terlalu meluap-luap dan berlebih-lebihan. Berarti dalam sifat pengendalian diri tersebut terkandung keteraturan hidup dan kepatuhan akan segala peraturan. Dengan kata lain, perbuatan siswa selalu berada dalam koridor disiplin dan tata tertib sekolah. Bila demikian, akan tumbuh rasa kedisiplinan siswa untuk selalu mengikuti tiap-tiap peraturan yang berlaku di sekolah. Mematuhi semua peraturan yang berlaku di sekolah merupakan suatu kewajiban bagi setiap siswa.
    Masalah kedisiplinan siswa menjadi sangat berarti bagi kemajuan sekolah (Nursisto, 2002:78). Di sekolah yang tertib akan selalu menciptakan proses pembelajaran yang baik. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak tertib kondisinya akan jauh berbeda. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sudah dianggap barang biasa dan untuk memperbaiki keadaan yang demikian tidaklah mudah. Hal ini diperlukan kerja keras dari berbagai pihak untuk mengubahnya, sehingga berbagai jenis pelanggaran terhadap disiplin dan tata tertib sekolah tersebut perlu dicegah dan ditangkal.
    Menyimak dan menyaksikan pemberitaan di media massa dan elektronik akhir-akhir ini menggambarkan bahwa tingkat kedisiplinan siswa umumnya masih tergolong memprihatinkan. Kuantitas pelanggaran yang dilakukan oleh siswa semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dari berbagai jenis pelanggaran tata tertib sekolah, misalnya banyaknya siswa yang bolos atau minggat pada waktu jam belajar, perkelahian, terlambat datang ke sekolah, malas belajar, sering tidak masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru, tidak membuat pekerjaan rumah, merokok, dan lain-lain. Secara garis besar banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh siswa akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar di sekolah.
    Menciptakan kedisiplinan siswa bertujuan untuk mendidik siswa agar sanggup memerintahkan diri sendiri. Mereka dilatih untuk dapat menguasai kemampuan, juga melatih siswa agar ia dapat mengatur dirinya sendiri, sehingga para siswa dapat mengerti kelemahan atau kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.
    Menanamkan kedisiplinan siswa merupakan tugas tenaga pengajar (guru). Untuk menanamkan kedisiplinan siswa ini harus dimulai dari dalam diri kita sendiri, barulah kita dapat mendisiplinkan orang lain sehingga akan tercipta ketenangan, ketentraman, dan keharmonisan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Darmodihardjo (1980:12) yang mengatakan bahwa “Seorang guru tidak akan efektif mengajar apabila ia sendiri tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan siswa, dan seorang guru tidak akan hidup dengan norma Pancasila bila dia tidak meyakini dan menghayatinya.” 

Sumber : tarmizi.wordpress.com

IX. HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
  Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
  Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
1. Penindasan dan merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2. Menghambat dan membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak rakyat dan oposisi.
3. Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
4. Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan partai tiran/otoriter tanpa diikut/dihadir rakyat dan oposisi.
5. Penegak hukum dan/atau petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis terhadap rakyat dan oposisi di manapun.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia