Hukum Pidana Internasional HAM : kumpulan artikel dan hubungannya




1. HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA                         PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,SH,LL.M.2

PENGANTAR
 Hukum pidana Internasional dan Hak Asasi Manusia(HAM) berkaitan erat satu sama lain.Selain itu, Hukum Pidana dan hukum pidana internasional bersifat komplementaritas satu sama lain,sekalipun keduanya dapat dibedakan. Hukum pidana internasional telah mengatasi kelemahan-kelemahan hukum pidana yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi kejahatan lintas batas territorial. Hukum tentang hak asasi manusia yang merupakan hukum dasar untuk memahami hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi dan hak social, telah menanamkan dan  memberikan semangat serta jiwa baru yang tidak pernah disentuh di dalam sejarah perkembangan  hukum pidana klasik   sejak abad ke 18 yang lampau.   Semangat dan jiwa baru tersebut adalah, bahwa proses legislasi dan implementasi hukum pidana perlu ditingkatkan, tidak hanya mempersoalkan wewenang penguasa dalam konteks hubungan hukum dengan warga masyarakatnya; melainkan  harus dilihat juga  dalam perspektif apakah hubungan hukum tersebut di atas membawa keadilan dan kesejahteraan bagi warga.


1 BAHAN PELATIHAN HUKUM HAM;DISELENGGARAKAN OLEH PUSHAM UII YOGYAKARTA TANGGAL 23 SEPTEMBER 2005 2 GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD 

1
masyarakatnya baik di dalam bidang hukum,social, ekonomi maupun dalam bidang politik.   Dalam konteks mikro, semangat dan jiwa baru tersebut juga  adalah bahwa hukum pidana harus  merupakan norma tingkah laku  yang patut dan tidak patut dilakukan serta sekaligus memelihara hubungan yang harmonis antara pemegang kekuasaan (negara) dengan masyarakatnya.  Yang dimaksud dengan hubungan hukum yang harmonis adalah, bahwa pembentukan norma-norma hukum pidana tersebut sejauh mungkin tidak bertentangan dengan hak-hak dasar anggota masyarakatnya baik di bidang hukum, politik, ekonomi maupun di bidang social sehingga hukum pidana bukan lagi merupakan ancaman terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya sendiri.        3 Hukum pidana dengan fungsi represif khusus adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1963 tentang Subversi yang sudah dicabut dan sebagian substansinya dimasukkan ke dalam
 2
diberikan kepada perkembangan hukum pidana itu merupakan cirri khas /karakteristik model hukum pidana abad 21.  Timbul pertanyaan kemudian, apakah perkembangan hukum pidana abad 21  sudah berubah dari pendekatan, “daad-dader strafrecht” kepada, “daad-dader-victim strafrecht”. Jawaban atas pertanyaan tersebut harus dijawab benar adanya karena, di beberapa negara barat terutama Perancis, hukum pidana dan hukum acara pidana telah memasukkan ketentuan untuk   melindungi hak pihak ketiga (korban kejahatan) untuk melakukan proses “civil litigation”, disamping proses penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum selama ini.
 3
   Di dalam proes peradilan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights), berdasarkan Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) telah tercantum ketentuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
dilihat dan perdalam ketentuan Pasal 2 sd Pasal 8 KUHP, dan baca Remmelink, Hukum Pidana;PT Gramedia Jakarta, 2003; halaman 368 sd halaman 395. 8 Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000 menegaskan sifat/karakter transnasional dari kejahatan transnasiional dapat diukur dari 4(empat) hal, pertama, locus delicti terjadi pada lebih dari satu negara; kedua, locus delicti di satu negara tetapi perencanaan, pengendalian dan pengarahan dilakukan di negara lain; ketiga, locus delicti di satu negara akan tetapi melibatkan organisasi kejahatan yang bergerak dalam kejahatan di lebih dari satu negara; dan keempat, dilakukan di satu negara akan tetapi berdampak di negara lain( dikutip dari, “Legislative Guide For The Implementation of The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Ptotocol Thereto”; UNODC,tanpa tahun).
 4
Hukum Pidana Internasional: cabang baru ilmu hukum pidana= hukum pidana kontemporer= hukum pidana modern.  Tiga pertanyaan pokok dan penting yang dapat diajukan untuk mengetahu selukbeluk hukum pidana internasional. Ketiga pertanyaan tsb adalah, pertama,  apakah hukum pidana internasional itu; kedua, mengapa hukum pidana internasional; dan ketiga, bagaimana posisi hukum pidana internasional  dalam konteks pohon ilmu hukum (teoritik), dan dalam fungsi komplementer dalam  penerapan hukum pidana (praktis).   Pertanyaan pertama, merujuk kepada definisi hukum pidana internasional11 yang sudah ditulis banyak ahli hukum pidana internasional. Para Ahli hukum memiliki perbedaan pandangan tentang definisi hukum pidana internasional dan tergantung dari latar belakang keahliannya12. Diantara beberapa definisi  tersebut Bassiouni telah mengemukakan satu definisi sebagai berikut: “International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are:the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law”.   
 5
nasional, perbandingan hukum dan prosedur, serta hukum humaniter internasional dan regional. 15  Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan internasional  dan prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International Court of Justice (ICJ) termasuk:  kejahatan internasional; unsure- unsur pertanggungjawaban pidana internasional ; aspek prosedur penegakan hukum langsung(direct enforcement system); dan aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect enforcement system). Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi: norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial; konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional di bawah naungan PBB; dan penegakan hukum tidak langsung.16 Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization”  aspek pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.  

2. DRAF RUU KUHP-KUHAP MENIADAKAN KEKHASAN PIDANA HAM
Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) khawatir dengan DPR dan pemerintah yang bersikeras melanjutkan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP. Bila banyak pihak mempersoalkan upaya pelemahan KPK, KontraS mencermati hal lain dalam pembahasan kedua RUU itu.KontraS mencermati adanya persoalan besar dalam klausul soal penyidikan. Yakni, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tak lagi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)."Setelah kami perhatikan dalam draf RUU KUHAP dan KUHP, kami khawatir soal pelanggaran HAM tidak ada lagi atau tidak di atur lagi," ujar Koordinator KontraS Haris Azhar di kantornya, di Jakarta, Minggu (2/3).
Dalam UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat dianggap lex specialis atau bersifat khusus. Sedangkan draf RUU KUHP dan KUHAP memuat soal genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu artinya kejahatan HAM dimasukkan ke ranah pidana umum, sifat khasnya seperti dinyatakan UU Pengadilan HAM otomatis hilang. Konsekuensinya, pelanggaran HAM berat tak akan lagi ditangani Komnas HAM."Pertanyaannya,  apakah Komnas HAM atau Kejaksaan Agung yang menjadi penyelidik atau penyidik atau keduanya dikerjakan oleh polisi? Sementara dalam banyak kasus, jika ada dugaan pelanggaran HAM oleh anggota TNI, polisi kerap tidak menindaklanjutinya," ujar Haris.

3. Kajian HAM Terhadap Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Pembunuhan Di Kota Kendari
   Penegakkan Hukum Pidana Mati dalam Kajian HAM bagi Pelaku Pembunuhan Di Kota Kendari
Kondisi hukum kita di Indonesia memang masih sangat membutuhkan pelaksanaan pidana mati, tentunya khusus bagi kejahatan-kejahatan spesifik seperti : pembunuh sadis, teroris, pengedar narkoba dan koruptor. Seyogianya penjatuhan pidana mati hanya diputuskan oleh hakim, kalau kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti dengan sangat meyakinkan alias beyond reasonable doubt.
Eksistensi pidana mati dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini setidaknya dapat dibaca dari masih tetap dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia. pidana mati secara umum dapat diterima sebagai bagian criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan Akan tetapi rumusan kebijakan semacam ini harus tetap dikontrol secara baik dan menyeluruh. Caranya dengan melakukan usaha-usaha perbaikan mulai dari hulu sampai hilir. Dari hulu, setiap vonis pidana mati harus dilakukan secara selektif dan transparan. unsur selektif dan transparan harus bisa diukur oleh masyarakat. Agar bisa diukur, setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain diluar pertimbangan “klise“ seperti diatas. Misalnya dengan mencantumkan pertimbangan kriminologi, psikologi, sosial dan lain-lain.
Tujuannya agar hal-hal yang menjadi target dari proses penjatuhan pidana yang terkandung dalam setiap vonis hakim bisa dibaca dan dimaknai secara baik oleh masyarakat. masyarakat bisa melihat paradigma berpikir hakim dalam mempertimbangkan orientasi tujuan pemidanaan, mulai yang tersederhana yaitu teori pembalasan (retributive theory) atau teori absolut, kemudian teori utilitarian atau teori relatif sampai dengan teori gabungan. Teori ‘detterent’ khususnya teori pencegahan umum (general detterent) untuk menimbulkan rasa takut terhadap pidana mati dalam rangka pencegahan kejahatan.
Di hilir, Untuk dapat mencapai tujuan diterapkannya pidana mati maka sebaiknya pelaksanaan pidana mati dilaksanakan secara cepat dan terukur. Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai. Dan hal ini bisa menimbulkan double jeopardy (penderitaan ganda).
Pidana Mati tidaklah melanggar HAM, karena secara tegas dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan bahwa :
“dalam undang-undang ini yang di maksud dengan : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia…”.
C.   Penerapan Sanksi Pidana Mati Dalam Kajian HAM
Dalam penerapan sanksi pidana mati di Negara RI, sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan Undang-undang yang berlaku, dan dilakukan demi pertimbangan moral, ketertiban serta keamanan masyarakat luas dan merupakan dari wujud keadilan.
4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 18 APRIL 2011: 247 - 265252
Doktrin respondeat superior menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability. Dalam Direct corporate criminal liability (pertangungjawaban korporasi secara langsung), korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan atau atas nama korporasi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi.19 Direct corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. 20 Strict liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.21 Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dapat ditegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).22 Vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti) diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain.23 Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertangungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.24 Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 18 APRIL 2011: 247 - 265254
negatif yang berkepanjangan dan luar biasa. Ketiga, tidak sedikit korporasi yang memiliki “kebiasaan” melakukan tindak pidana dengan memelihara budaya korporasi yang memungkinkan terjadinya perbuatan-perbuatan yang dilarang.27 Artinya, korporasi “memaksa” agen-agen agar terbiasa melakukan tindak pidana termasuk pelanggaran HAM yang berat, dengan tujuan agar keuntungan finansial yang diperoleh dalam jumlah yang besar dengan risiko yang kecil. Keempat, dalam beberapa kasus seringkali korporasi terlibat langsung dalam pelanggaran HAM yang berat yang serius dan sistemasik, seperti pembunuhan, penyiksaan, penangkapan secara tidak sah, kerja paksa, bentuk-bentuk lain eksploitasi anak, pelanggaran HAM yang berat terhadap individu dalam situasi perang dan konflik, kerusakan yang sangat parah terhadap lingkungan  hidup. Salah satu contoh dari kasus tersebut adalah yang dilakukan oleh  Militer Myanmar.28 Empat alasan tersebut yang dijadikan dasar untuk memasukkan korporasi sebagai pihak yang dapat melakukan pelanggaran HAM yang berat. Oleh karena itu, beberapa negara seperti Kanada, Australia, Belanda, dan Inggris secara eksplisit menjadikan korporasi sebagai subjek delik dalam perundang-undangan pidana mereka terkait pelanggaran HAM yang berat. Negara-negara tersebut memperluas subjek delik dalam Statuta Roma yang tidak hanya pada manusia tapi juga pada korporasi dalam pelanggaran HAM yang berat.
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 18 APRIL 2011: 247 - 265256
membangun jalan dan tempat landas helikopter sepanjang rute saluran pipa, walaupun kedua perusahaan tersebut sebenarnya mengetahui bahwa militer Myanmar merupakan salah satu militer terkejam di dunia. Akibat kerjasama tersebut, militer Myanmar melakukan pelanggaran serius berupa kerja paksa, pembunuhan, perkosaan dan penyiksaan agar proyek saluran pipa dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam kerjasama.33 Terkait dengan hal di atas, apakah undang-undang tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dapat diterapkan pada kasus tersebut? Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 22.2 KUHP Kanada bahwa suatu korporasi akan bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh agennya bila pejabat senior mengetahui bahwa agen tersebut melakukan tindak pidana tapi tidak mengambil tindakan yang layak untuk mencegah agar tindak pidana tersebut tidak terjadi. Tindak pidana di sini adalah terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terdapat empat hal yang harus dibuktikan oleh jaksa apakah Unocal melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu; kejahatan wakil Unocal merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil; pejabat senior Unocal mengetahui kejahatan tersebut; kejahatan tersebut mendatangkan keuntungan finansial kepada Unocal; dan pejabat senior mengetahui terjadinya kejahatan tapi tidak mengambil tindakan yang layak untuk mencegahnya. Berdasarkan fakta  hukum di persidangan, apa yang dilakukan Unocal dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.34 Pertama, militer Myanmar dapat dianggap sebagai kontraktor yang disewa untuk pekerjaan tertentu untuk kepentingan korporasi, yakni mengamankan dan membangun jalan dan tempat landas helikopter, sehingga dalam konteks ini dapat dikategorikan sebagai wakil Unocal.  Bukti hukum lain menunjukkan bahwa militer Myanmar sebagai wakil Unocal terbukti melakukan kejahatan berupa kerja paksa yang merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil dalam kaitannya dengan proyek saluran pipa. Tindakan ini secara eksplisit.
5. PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYIDIKAN TERHADAP  TINDAK PIDANA PEREDARAN KAYU TANPA IZIN  DI WILAYAH POLRES BERAU
Berdasarkan kondisi wilayah yang merupakan kawasan berhutan dengan tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi apabila dieksploitasi dan dengan keterbatasan biofisik yang menjadi kendala dalam pengembangan wilayah maka Kabupaten Berau tergolong ke dalam Kriteria Land Lock. Oleh karena itu, untuk membangun Berau dibutuhkan suatu model pembangunan yang menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang ada namun di sisi lain pembangunan tersebut juga mampu untuk meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan kepada pemerintah Kabupaten.  
Oleh Karena itu Kabupaten Berau dalam kegiatan pembangunan juga harus selaras dengan aturan pemerintah untuk perlindungan hutan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Sesuai dengan Peraruran ini, maka perlindungan hutan bertujuan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Selain rendahnya keadaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, hal lain yang menyebabkan semakin meningkatnya illegal logging adalah minimnya jumlah petugas kemanan hutan dan kurangnya sarana pengamanan hutan yang dimiliki oleh pemerintah seperti senjata api yang digunakan oleh petugas dalam menjaga keamanan hutan dari tindak pidana illegal logging. Upaya pengamanan hutan pada dasarnya mempunyai tujuan untuk melestarikan sumber daya alam hutan dalam rangka usaha menjaga fungsi hutan. Oleh karena itu di lingkungan Departemen Kehutanan dan perkebunan dibentuk Polisi Khusus Kehutanan (polhut) atau Jagawana. Minimnya jumlah polhut ini mengakibatkan kurangnya pengawasan hutan secara menyeluruh sehingga hal ini dijadikan sebagai peluang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana pencurian kayu. Bahkan terlibatnya sejumlah oknum aparat yang mencoba bertindak sebagai backing dari kasus illegal logging yang terjadi. Apabila keadaan seperti ini terus berlangsung akan mengakibatkan kerugian di berbagai pihak baik masyarakat sendiri maupun pemerintah.  
Peredaran kayu tanpa dokumen sah (Illegal Loging) marak terjadi di wilayah Polres Berau karena adanya kerjasama masyarakat setempat yang berperan dilapangan melakukan penebangan dengan dalih bahwa mereka menebang kayu di lokasi ladang mereka sendiri. Kemudian mereka jual para pembeli kayu lokal selaku penampung kayu. Penampung kayu inilah kemudian mengolah kayu secara moulding. Bisa juga mereka jual langsung kepada konsumen karena kayu yang dibeli dari warga masyarakat setempat itu sudah berupa kayu olahan. Lalu dijual kembali kepada konsumen tanpa didasari pada dokumen kepemilikan atau keabsahan dalam hal si penjual bertindak melanggar hukum.
Sebenarnya penegakan hukum terhadap illegal logging telah dilakukan sejak lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, namun ancaman terhadap tindak pidana tersebut seperti menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam KUHP tentang pencurian. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang dikenakan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 jo. Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan dikenai Pasal-pasal dalam KUHP.  
Maraknya pencurian kayu tanpa dokumen yang sah (Illegal Loging) di Kabupaten Berau sangat sulit diberantas, selain banyaknya masyarakat yang terlibat secara langsung, juga adanya pihak luar seperti pembeli dari Malaysia yang turut bermain untuk mendapatkan kayu yang tidak ada izin tersebut. Termasuk keterlibatan aparat penegak hukum tersebut dalam proses memperlancar terjadinya jual beli kayu tanpa disertai dengan izin yang sah.  
Secara etimologis illegal berarti tidak legal, tidak sah, tidak resmi, tidak menurut hukum, atau melanggar hukum, sedangkan logging berarti memotong atau menebang kayu. Jadi illegal logging berarti kegiatan penebangan kayu yang tidak legal, tidak sah, tidak remi, tidak menurut hukum, atau melanggar hukum. Definisi illegal logging menurut International Tropical Timber Organization (ITTO) adalah kegiatan logging  yang tidak menerapkan asas kelestarian (sustainable forest management).  
Jika dikaitkan dalam praktek, pengertian illegal logging terbagi 2 (dua) yaitu pengertian secara sempit dan pengertian secara luas. Pengertian secara sempit hanya menyangkut penebangan kayu secara liar, sedangkan pengertian secara luas menyangkut setiap perbuatan/tindakan pelanggaran dalam kegiatan kehutanan yang meliputi perizinan, persiapan operasi, kegiatan produksi, pengangkutan, tata usaha kayu (TUK), pengolahan dan pemasaran.2  
Pengertian sederhana menurut Pasal 75 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, yang intinya mengukur sah atau tidaknya suatu hasil hutan adalah dari kesesuaian antara isi dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan keadaan fisik dan jenis, jumlah                                                 2 Didik Prasetyo, Illegal Logging, Suatu Malpraktek Bidang Kehutanan, materi Semiloka Inisiatif Daerah Dalam Penanggulangan Illegal Logging, di Sendawar (Kutai Barat), Kalimantan Timur, Januari 2003 ataupun volume hasil hutan. Dengan demikian, apabila : a. sesuai, hasil hutan tersebut dinyatakan sah (legal), dan b. tidak sesuai, hasil hutan tersebut dinyatakan tidak sah (illegal).  
Penebangan ilegal banyak terjadi di beberapa negara di dunia. Di lapangan secara luas terjadi di kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), kawasan- kawasan hutan yang belum dialokasikan penggunaannya. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang habis masa berlakunya, beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan hutan yang ditebang habis untuk konservasi lahan dan di kawasan konservasi dan hutan lindung.  
Sedangkan pelaku penebangan liar (illegal logging) adalah : a. Para pekerja dari masyarakat sekitar hutan dan pendatang yang dibawa ke tempat itu b. Para investor (cukong), termasuk pedagang, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) atau pembeli kayu ilegal dari industri pengolahan, dan c. Para pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer, termasuk aparat penegak hukum dan para legislatif tertentu.  
Esensi yang penting dalam praktik illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komprehensif, maka illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.  
Perusakan hutan menurut Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2) yaitu bahwa“Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.  
Penegakan hukum dan keadilan di negara kita tampaknya belum maksimal, bahkan menjadi terpuruk. Keterpurukan hukum kita semakin menjadi-jadi. Kepercayaan warga masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, sehingga khawatir masyarakat Indonesia tidak sekedar termasuk bad trust society, tetapi sudah sampai pada klasifikasi worst trust society.4  
Untuk itu sangat tepat jika Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 menempatkan kerakyatan dan keadilan menjadi salah satu asas. Dengan asas ini diharapkan akan mendorong terciptanya penegakan hukum kehutanan di masa mendatang. Bagaimanapun upaya penegakan hukum juga dipengaruhi adanya kesadaran masyarakat untuk terwujudnya penegakan hukum itu sendiri. Tidak cukup jika hanya peraturannya saja yang baik dan aparat penegak hukum berdisiplin, tentu masih memerlukan peran serta masyarakat. Jadi, peran masyarakat dalam hal ini sangat penting untuk mendukung terwujudnya penegakan hukum.  
Pertanggungjawaban pidana yang tertuang dalam KUHP akan terkait dengan asas pertanggungjawaban pidana atau asas kesalahan dalam hukum pidana, yang menentukan bahwa pada prinsipnya tiada pidana tanpa kesalahan. Prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan ada kesalahan. Asas kesalahan ini merupakan salah satu asas fundamental dalam hukum pidana dan merupakan pasangan asas legalitas.