Hukuman Mati dan HAM
Pada tahun 1998, dalam rangka memperingati HUT ke-50 pendeklarasian Hak-Hak Asasi oleh PBB, ada diskusi tentang perlunya sebuah kodeks yang menetapkan Kewajilban-Kewajiban Asasi Manusia sebagai imbangan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Argumentasi dasarnya adalah bahwa manusia tidak hanya mempunyai hak yang melekat pada kemanusiaannya, tetapi juga sejumlah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Keluhuran martabat manusia tidak hanya ditunjukkan oleh kesadaran akan hak-haknya, tetapi juga oleh kesanggupan untuk menerima sejumlah kewajiban sebagai tugas yang mesti dilaksanakan.
Salah satu pemikiran dominan yang disampaikan menanggapi keinginan pendeklarasian kewajiban-kewajiban asasi itu adalah kecemasan bahwa orang akan merangkaikan tuntutan akan hak dengan pelaksanaan kewajiban. Apabila ada kewajiban-kewajiban asasi, maka tidak mustahil akan diambil kesimpulan, bahwa hak asasi seseorang ada dan dijamin selama dia memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban asasi dilihat sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan diri sendiri. Dengan demikian orang tersebut kehilangan pijakan untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak asasinya. Apabila ada kewajiban asasi, maka pelaksanaan kewajiban itu dilihat sebagai ungkapan kemanusiaan seseorang. Tidak melaksanakan kewajiban asasi berarti tidak ada lagi kesadaran diri sebagai manusia. Pelaku kejahatan itu sendiri sudah tidak menghargai dirinya sebagai manusia. Tanpa adanya penghargaan terhadap kemanusiaan di dalam diri sendiri dan tanpa kesadaran akan martabat diri sendiri sebagai manusia, seseorang ketiadaan basis rasional untuk menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasarnya.
Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia dibahayakan, karena hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi dirinya sebagai manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak diperlakukan sebagai manusia.
Pola pikir di atas tampaknya bercokol cukup mendalam pada pikiran banyak orang yang merestui hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Disadari atau tidak, konsep pemikiran seperti ini sering melatari sikap orang yang membenarkan tuntutan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Karena itu, kita perlu menanggapi secara serius pandangan seperti ini, sebab pemikiran seperti ini mengharuskan kita untuk mempertajam pemahaman kita tentang hak-hak asasi manusia.
Memang ada banyak alasan yang disampaikan oleh kelompok yang mendukung adanya hukuman mati. Misalnya: untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang berpedoman pada prinsip ius talionis (mata ganti mata, hidup ganti hidup); untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan dari seorang warga yang telah menunjukkan dirinya sebagai bahaya besar bagi keamanan seluruh warga melalui tindak kejahatan besarnya; untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat yang diperkirakan akan merasa takut untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dan satu lagi yang dominan adalah apa yang dikatakan di atas: seorang pelaku kejahatan berat sudah menunjukkan diri bahwa dia bukan manusia. Dia melakukan di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Sebab itu, dia tidak layak diperlakukan sebagai manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia sudah bukan manusia lagi. Untuk apa kamu masih memperjuangkan hak-haknya?” Betapa sering pertanyaan yang mengungkapkan penolakan atas perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini dialamatkan kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti ini.
Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang melukiskan tindak kejahatan seseorang sebagai tindakan yang bestialis, tindakan yang cuma ditemukan dalam gerombolan binatang-binatang buas. Logika berpikirnya mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka berdasarkan prinsip: tindakan adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek yang melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan menjadi binatang, dan karena binatang buas yang membahayakan dibenarkan pembasmiannya, maka ada legitimasi pula untuk mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati atas dirinya.
Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM: bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-pelanggaran yang terbukti. Kenapa demikian?
Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun moralitas bukanlah sebuah status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran sebagai manusia tidak diberikan kepada manusia satu kualitas moral yang sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai manusia ia mendapat sebuah tugas untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk moral. Moralitas adalah sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang terberi adalah kemanusiaan, sementara moralitas merupakan sebuah cita-cita yang perlu diwujudkan manusia. Kemanusiaan ada sebagai basis untuk menjadi makhluk yang bermoral.
Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah tugas, maka pernyataan ini sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam bahaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Justru karena itu, moralitas adalah sebuah upaya pengkualifikasian diri, sebuah perjuangan yang terus-menerus. Moralitas seseorang ditunjukkan oleh kesungguhannya untuk menguasai diri sekian sehingga ia bertindak seturut kaidah moral. Namun perjuangan seperti ini tidak pernah dapat meniadakan kemungkinan melakukan kejahatan. Kita dapat mengatakan bahwa termasuk dalam kemanusiaan seseorang adalah bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan bukanlah sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab itu, seseorang yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan itu, tidak pernah kehilangan kemanusiaannya.
Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita membenarkan tindak kejahatan dan menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan kemanusiaan. Juga dengan pemikiran seperti ini kita tidak menolak setiap bentuk hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah sebuah pelanggaran dan harus dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak kejahatannya manusia melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-citanya. Namun karena pelanggaran adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita, maka hukuman atas pelanggaran itu tidak boleh menghilangkan basis untuk perealisasian cita-cita itu. Menghukum mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama orang itu untuk kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita memang patut menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukuman itu diberikan selalu dengan tujuan agar orang itu disadarkan dan dimampukan untuk mengenal dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya. Hukuman yang dijatuhkan tidak akan pernah sanggup membayar atau memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan untuk menyadarkan orang akan kewajibannya.
Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa yang disebut sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan akan pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak melakukannya, maka kita perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan kita perlu membentuk instansi-instansi yang memperhatikan pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan mewajibkan orang untuk melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif untuk melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban, agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya. Namun pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan seseorang diakui dan dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam menjalankan kewajiban asasi tidak pernah dapat menjadi alasan untuk meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman mati yang dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.
Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan tanggung jawab moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral, masyarakat harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan kondisi untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan dengan demikian akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Masyarakat melaksanakan peran ini apabila dia tetap berpegang teguh pada keluhuran martabat kemanusiaan seorang penjahat dan tidak melepaskannya bersama dengan kejahatan yang dilakukannya. Dengan tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat, masyarakat menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan. Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat tidak boleh mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.
Dengan pendegradasian semacam ini masyarakat membatalkan dasar tuntutan tanggungjawab si penjahat itu sendiri. Apabila dia sudah disamakan dengan binatang, maka dia tidak mempunyai lagi kewajiban yang sama seperti kewajiban seorang manusia. Kalau demikian, sebenarnya tidak ada alasan untuk menuntut orang seperti ini melakukan kewajiban seorang manusia dan menghukumnya dengan alasan kegagalannya memenuhi kewajiban seorang manusia. Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan dan menghormati kemanusiaannya, masyarakat tetap menghidupkan ideal kemanusiaan di hadapan orang seperti ini dan mendorongnya untuk memenuhi tuntutan moralnya. Konsistensi penghargaan masyarakat terhadap martabat manusia sepatutnya ditunjukkan dengan sikap tetap menghargai martabat manusia yang sudah melakukan banyak pelanggaran.
Penghormatan terhadap HAM pada umumnya hanya dapat ditegakkan apabila masyarakat konsisten dengan sikap ini, juga ketika berhadapan dengan para pelaku kejahatan. HAM didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, dan karena itu tidak dapat juga dicabut oleh negara. Di samping karena negara dan masyarakat tidak mempunyai hak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk di dalamnya seorang pelanggar HAM, sikap menolak hukuman mati justru dapat mendorong budaya kehidupan yang menanamkan dan meneguhkan sikap menghormati keluhuran martabat manusia secara keseluruhan. Masyarakat dan negara menjadi promotor penegakan HAM, apabila negara dan masyarakat berani menghapus hukuman mati. Menolak hukuman mati adalah bukti kesadaran akan keluhuran martabat manusia, dan akan mendorong perluasan kesadaran ini.
Sumber: Serikat Sabda Allah Provinsi Ende; www.svdende.org
HUKUMAN MATI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula digunakan istilah Penegakan Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law atau dalam istilah the rule of law and not of a man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial didunia. Dari jaman Babilonia hingga saat ini, hukuman tersebut masih digunakan sebagai salah satu sangsi bagi mereka yang dituduh/terbukti melakukan satu tindak kejahatan. Tidak ada catatan yang pasti menyatakan awal digunakannya hukuman mati.
Pidana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya (Djoko Prakoso, 1987: 32). Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun semakin berkembang pesat. Namun demikian, masih belum ada kata sepakat tentang cara pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati akan tetap menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/hukuman_mati)
Sampai sejauh ini beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi pidana mati. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar, dan lain-lain.
Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang digunakan di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain. Hukuman ini dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti menikahi orang Yahudi, tidak mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan.
Pada saat yang sama, kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi saat terjadi gerakan Pencerahan di Perancis. Titik awal berkembangnya pemikiran modern ditandai dengan tragedi.
Pada saat yang sama, kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi saat terjadi gerakan Pencerahan di Perancis. Titik awal berkembangnya pemikiran modern ditandai dengan tragedi.
Alih-alih memperjuangkan kebebasan warga (Habeas Corpus), banyak kaum oposisi yang dianggap sebagai penentang revolusi Perancis terutama kalangan bangsawan dan kalangan gereja dihukum mati dengan cara dipenggal di guillotine. Salah satu cara yang masih digunakan sampai saat ini adalah dengan hukum gantung. hukuman ini masih dijalankan atau diberlakukan di Irak, Arab Saudi, Indonesia dan Malaysia. Dengan alasan untuk mengurangi rasa sakit yang dialami oleh mereka yang menjalaninya, pidana mati kemudian dilakukan berbagai cara yang dianggap lebih manusiawi. Pidana dengan regu penembak masih menjadi cara dibeberapa negara termasuk Indonesia. Pada tahun 1890, Negara bagian New York, Amerika Serikat mengembangkan kursi listrik dan awalnya dilakukan di pada tahun 1890 untuk mengeksekusi Raja William. Sampai saat ini, hanya negara bagian Nebraska yang memberlakukan kursi listrik sebagai metode. Pada tahun 1924, negara bagian Nevada kemudian menggunakan kamar gas dengan sianida. Terakhir, hukuman ini digunakan pada tahun 1999. Terakhir adalah dengan suntik mati. Negara bagian Oklahoma adalah wilayah yang pertama memberlakukan hukuman mati dan melaksanakan hukuman tersebut pada tahun 1982 kepada Charles Brooks. Cara terakhir ini kemudian mulai dijadikan oleh beberapa negara sebagai metode hukuman mati.
Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut:
“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.”
http://jurnalhukum.blangspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-hak.html
“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.”
http://jurnalhukum.blangspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-hak.html
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. (http://id.wikipedia.org/wiki/hukuman_mati).
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di Amerika Serikat, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan. Dalam hal ini hukuman mati merupakan suatu penghilangan nyawa seseorang dikarenakan orang yang bersangkutan melakukan kesalahan ataupun yang sering disebut melakukan suatu tindak pidana.
Terdapat berbegai macam pendapat tentang hukuman mati baik itu yang setuju ataupun yang tidak setuju, dalam hal ini suatu contoh terdapatnya ketentuan HAM sebagai dasar pelaksanaan dan pemenuhan hak-asasi manusia. Yang menjadi permasalahan pandangan HAM terhadap hukuman mati karena pada intinya hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang. Berdasarkan uraian diatas, dalam makalah ini penulis mengkaji kebijakan penerapan hukuman mati ditinjau dari aspek hukum hak asasi manusia internasional.
BAB II
PERMASALAHAN
1. Bagaimana kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia ?
2. Bagaimana penerapan hukuman mati ditinjau menurut hukum hak asasi manusia ?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia
a. Pemidanaan dan Pidana Mati
Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. (R. Soesilo, 1993, hlm: 35).
Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau:
1). Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie)
2). Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
3). Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie).
4). Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
1). untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
2). untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Sehubungan dengan pandangan mengenai general preventie dan teori “tujuan” menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat:
1). perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif (objective betreurenswaardigheid).
2). Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka adalah kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan (onlust) yang beratnya lebih dari pada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
3). Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil! Harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih.
(E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
(E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
Pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab adalah apakah sebenarnya tujuan dari adanya pemidanaan termasuk didalamnya pidana mati. Ada yang memberikan jawaban yaitu “untuk memperbaiki penjahat”, kalau memang itu tujuannya berarti tidak ada tempat lagi bagi pidana mati dan pidana seumur hidup.
Menurut penulis bahwa tujuan dari adaya pemidanaan dalam hak ini pidana mati, antara lain: Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan orang jahat.
b. Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
1). Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
2). Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3). Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
4). Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
5). Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
6). Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
7). Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
1). Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
2). Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
3). Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
4). Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
5). Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
6). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika;
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting
d) Ada alasan meringankan
7). jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
9). jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15).
2. Hukuman mati dikaji menurut perspektif Hak Asasi Manusia Internasional
a. Kejahatan yang diancam hukuman mati (pelanggaran HAM berat)
1) Genosida
Istilah genosida pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Raphael Lemkin (dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) pada tahun 1944. Secara etimologis istilah ini istilah ini berasal dari kata Yunani yaitu geno yang berarti ras dan kata latin cidium yang bermakna membunuh. Meskipun terdapat berbagai macam pengertian ataupun definisi mengenai genosida namun sebagian besar pengertian yang mengatur tentang genosida adalah tetap mencerminkan kedua elemen etimologik tersebut.
Genosida selalu dikaitkan dengan pembunuhan terhadap etnis ataupun ras, menurut Goldstein (dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) mensejajarkan genosida dengan pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang merupakan tindakan mengusir atau memusnahkan kelompok religius atau kelompok etnis tertentu. Meski terdapat berbagai macam pengertian dan juga perbedaan di dalamnya, namun menurut penulis dapat diketahui bahwa genosida dapat menyangkut dua hal yang pertama, secara obyektif istilah tersebut menunjuk pada tindakan pemusnahan masal, dan kedua secara subyektif yang menjadi target ataupun sasaran adalah kelompok tertentu. Definisi yang lebih komprehensif dapat ditemukan di dalam Convention on The Prevention and Punishment of The Crime of Genocide (dalam Arie Siswanto, 2005 : 49) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Konvensi tentang genosida tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat internasional untuk membasmi ataupun menghambat genosida yang dianggap sebagai kejahatan internasional, bertentangan dengan tujuan PBB dan penduduk dunia (crime under international law, contrary to the spirit and the aims of The United Nations and condemned by civilized world).
Adapun pengertian tentang genosida yang terdapat dalam Konvensi Genosida menyatakan bahwa (dalam Arie Siswanto, 2005 : 49) In the present convention, genocide means any of the following act commited with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religius groups such as : killing members of the group, causing serious bodily or mental harm to members of the group, deliberetly inficting on the group condition of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part, imposing measures intended to prevent births within the group, forcibly treansfering children of the group to another group.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, untuk memudahkan dalam mempelajari dapat penulis terjemahkan sebagai berikut : Genosida berarti perbuatan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau agama yang mempunyai unsur-unsur seperti.
a. membunuh anggota kelompok.
b. menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok.
c. sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan.
d. tindakan paksa pencegahan kelahiran terhadap kelompok.
e. pemindahan paksa anak-anak dari kelompok tertentu kepada kelompok lain.
Bertitik tolak pada definisi tersebut, Yoram Dienstein (dalam Arie Siswanto, 2005 : 50) menyatakan bahwa esensi dari genosida bukanlah pemusnahan kelompok target secara aktual, melainkan kehendak untuk memusnahkan kelompok tersebut sehingga menimbulkan dua konsekuensi logis. Pertama, ketika suatu kelompok dimusnahkan tanpa si pelaku mempunyai kehendak untuk menimbulkan akibat tersebut genosida dianggap tidak ada. Kedua, pembunuhan terhadap seorang individu bisa saja diketegorikan sebagai genosida manakala pembunuhan tersebut merupakan bagian dari serangkaian tindakan yang bertujuan untuk memusnahkan kelompok tempat individu tersebut menjadi bagiannya.
Menurut Konvensi Genosida Tahun 1948 kelompok yang dapat menjadi sasaran genosida adalah kelompok rasial, kelompok religius, kelompok nasional, dan kelompok etnis yang mempunyai berbagai macam kriteria. Keenam kriteria ini adalah sebagai berikut.
a. kelompok itu memiliki nama sendiri sebagai cerminan indentitas kolektif.
b. Mereka yang menjadi anggota kelompok itu meyakini bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama.
c. Mereka yang menjadi anggota kelompok itu merasa bahwa mereka memiliki pengalaman sejarah yang sama.
d. Kelompok itu memiliki budaya yang sama.
e. Kelompok itu haruslah merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah tertentu.
f. Para anggota kelompok haruslah menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok.
Kebanyakan orang meyakini bahwa konflik etnis dipicu oleh masalah yang sederhana dan jelas, yakni kebencian turun temurun (ancient hatreds) yang ada diantara kelompok etnis yang berlainan. Statuta Roma 1998 secara literal juga mengadopsi definisi genosida yang terdapat di dalam konvensi 1948. Artikel 6 Statuta Roma antara lain menyebutkan bahwa.
“…genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, inwhole or in part, a national, etnical, racial or religious group, as such:
a. killing members or group.
b. Causing serious bodily or mental harm to member of the group.
c. Deliberately inflicting on the group conditional of life calculated to bring about its physical destruction in whpole or in parts.
d. Imposing measures intented to prevent births within the group.
e. Forcibily transferring children of the group to another group.
Lebih jauh lagi Statuta Roma 1998 juga menegaskan bahwa yang dapat memikul pertanggung jawaban pidan abukan hanya mereka yang secara individual langsung melakukan tindakan genosida, melainkan juga.
a. Mereka yang secara bersama-sama melakukan genosida dan mereka yang melakukan genosida melalui orang lain.
b. Mereka yang memerintahkan, meminta atau mendorong dilakukannya genosida yang kemudian benar-benar terjadi atau dicoba untuk dilakukan.
c. Mereka yang membantu pelaksanaan genosida atau percobaan genosida, termasuk menyediakan sarana untuk itu;
d. Mereka yang secara sengaja memberikan sumbangan bagi pelaksanaan atau percobaan genosida.
e. Mereka yang secara langsung dan secara terbuka mendorong orang lain untuk melakukan genosida.
f. Mereka yang mencoba melakukan genosida dan telah mulai melakukan tindakan mewujudkan tindakan genosida, namun tindakan genosida yang dikehendaki itu tidak dapat terwujud karena adanya factor-faktor diluar diri pelaku. Dalam konteks ini., seseorang yang secara sengaja dan sukarela menarik diri dari melakukan percobaan genosida tidak akan dijatuhi pidana.
Dalam rumusan yang lebih singkat, sebenarnya substansi Statuta Roma 1998 mengenai persekongkolan, penyertaan, pembantuan, dan percobaan melakukan genosida juga dimuat didalam komvensi genosida, statuta ICTY, dan statuta ICTR. Secara persis, ketiga instrumen hukum itu mewujudkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah mereka yang melakukan.
a. Genocide.
b. Conspiracy to commit genocida.
c. Direct and public incitement to commit genocide.
d. Attempt to commit genocide.
e. Complicity in genocide.
2) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Istilah “ kejahatan terhadap kemanusiaan “ (crimes against humanity) sebagai suatu kategori dari kejahatan internasional mulai dikenal didalam join declaration pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia pada tanggal 28 mei 1915. Pernyataan bersama dari tiga Negara ini dibuat untuk mengutuk tindakan Turki yang membantai lebih dari satu juta warga turki dari keturunan Armenia. Oleh pernyataan bersama itu, tindakan pembantaian terhadap orang-orang Armenia itu disebut sebagai “kejahatan terhadap peradapan dan kemanusiaan” (crimes against civilization and humanity).
Kodifikasi yang lebih jelas terhadap tindakan yang tergolong sebagai “kejahatan terhadap peradaban dan kemanusiaan” ini selanjutnya dimuat di dalam Konstitusi Mahkamah Kejahatan Perang Nurenberg yang dibentuk di penghujung Perang Dunia II. Seraya menegaskan bahwa “kejahatan terhadap kemanusiaan” merupakan hukum internasional yang berkembang melalui kebiasaan, Konstitusi Mahkamah Nuremberg menyatakan bagwa “kejahatan terhadap kemanusiaan” mencakup tindakan-tindakan, “…..murder, extermination, enslavement, deportation, and another in humaneacts committed agains any civilian population, before or during the war, or persecution on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated”.
Dalam Statuta Roma 1998 terdapat perluasaan pengaturan pengertian tentang kualifikasi kejahatan dalam perkosaan yaitu diperluas juga dengan perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, ataupun bentuk lain dari kekerasan seksual yang sama berat. Penulis menyatakan pendapat bahwa kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil, dan kejahatannya tersebut antara lain :
a. Pembunuhan
Yaitu serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang dapat diartikan bahwa sebagaiman perbuatan tersebut terdiri dari serangkaian tindakan yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan suatu negara ataupun organisasi internasional untuk melakukan kejahatan pembunuhan tersebut.
b. Pemusnahan
Dalam hal ini pemusnahan dapat diartikan sebagai tindakan yang juga meliputi penerapan kondisi tertentu yang bersifat mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain berupa mengahambat akses terhadap makanan, dan juga obat-obatan yang diperkirakan dapat membawa kehancuran bagi sebagian etau seluruh penduduk.
c. Perbudakan
Perbudakan dapat diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap obyek yang berupa orang, termasuk tindakan mengngkut obyek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak.
d. Deportasi
Deportasi ataupun pemindahan paksa yang dalam hal ini dikenakan terhadap penduduk dapat diartika sebagai tindakan yang merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lain dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional
e. Pencabutan kebebasan sewenang-wenang
pencabutan kebebasan secara sewenang-wenang dapat diartikan pemotongan ataupun pengatuiran kebebasan individu untuk mentukan nasib sendiri, yang kesemuanya diatur secara menyeluruh dengan disertai ancaman baik itu secara fisik maupun psikis.
f. Penyiksaan
Menurut Arie Siswanto (2005 : 63) penyiksaan yaitu pengenaan rasa sakit atau npenderitaan fisik maupun mental secar sengaja atas seseorang yang ditahan atau berada di bawah kekuasaan pelaku. Meski demikian rasa sakit atau penderitaan yang bersifat inheren, incidental, atau semata-mata muncul dari pengenaan sanksi yang sah tidak dapat diketegorikan sebagai penyiksaan
g. Pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya
dalam hal ini dapat dicontohkan kehamilan secara paksa yang bertujuan untuk mendapatkan etnis baru dan memusnahkan etnis lama yaitu penyekapan secara tidak sah atas seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis suatu populasi. Namun hal tersebut tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional yang menyangkut kehamilan.
h. Penganiayaan atau penindasan
Penindasan dapat dimaknai sebagai penyangkalan keras secara sengaja terhadap hak-hak dasar manusia dengan cara yang bertentangan dengan hukum internasional dengan dasar identitas kelompok atau identitas kolektif.
i. Penghilangan paksa
penghilangan secara paksa dapat diartikan bahwa pemusnahan ataupun penghilangan terhadap kelompok etnis ataupun individu tertentu yang dianggap tidak sesuai denga ras tertentu dan hal tersebut bertujuan untuk mengurangi populasi suatu etnis tertentu. Yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai penangkapan, penahanan, atau penculikan terhadap seseorang atau kelompok tertentu atas dasar wewenang dan dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik yang kemudian diikuti penolakan dari pelaku untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut untuk memberi keterangan tentang keberadaan orang yang ditangkap, ditahan, ataupun diculik tersebut dengan maksud menjauhkan orang-orang yang dirampas kemerdekaannya tersebut dari perlindungan hukum dalam waktu yang relatif lama
j. Apartheid
Yaitu tindakan tidak manusiawi yang memiliki karakter yang sama dalam tindakan pemusnahan missal yang dalam hal ini berdasarkan warna kulit, yang dilakukan dalam konteks penindasan sistematik yang terlembagakan dan dalam konteks dominasi suatu kelompok rasial atas kelompok rasial lain dengan maksud untuk mempertahankan rezim yang melakukan penindasan tersebut.
b. Analisis hukuman mati menurut ketentuan internasional Hak Asasi Manusia Internasional
Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.
Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka.
Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.
c. Alasan yang menyatakan setuju dengan dilaksanakannya pidana mati terhadap pelaku kejahatan. (Djoko Prakoso, 1987: 25-28)
1) Pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. Masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang ini sebab “mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak perlu takut lagi terhadap terpidana”.
2) pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah.
3) Dengan alat represi yang kuat ini kepentingan masyarakat dapat terjamin sehinggadengan demikian ketentraman dan ketertiban hukum dapat dilindungi.
4) Terutama jika pelaksanaan eksekusi di depan umum diharapkan timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk berbuat kejahatan.
5) Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk dan diharapkan akan terdiri atas warga yang baik saja.
Penulis mempunyai pendapat bahwa hukuman mati dapat dilakukan, meskipun hal tersebut sama saja menghilangkan nyawa seseorang dan bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, namun yang menjadi permasalahan adalah jika si pelaku kejahatan telah melakukan kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain ataupun melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.
2. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 DUHAM yaitu hak untuk hidup. Namun terdapat pengecualian dari Pasal tersebut yaityu Pasal 4 ayat (1) ICCPR derogable right yang pada intinya hukuman mati dapat dilaksanakan dengan kualifikasi kejahatan tersebut membehayakan publik.
B. Saran-saran
1. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana mati.
DAFTAR PUSTAKA
Afif Hasbullah. 2005. Politik Hukum Ratifikasi Konvensi Ham Di Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demoktatis. Lamongan : UNISDA.
Andi Hamzah dan Sumangelipu.1985. Pidana Mati di Indonesia dii Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Anonim. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) 1948
_________. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right).
_________. 2007. Legalitas Pidana Mati. .http://blog.360.yahoo.com /blogFY.YCdA3eqJBaePF0zjgLK9R?p=6. [12 September 2007]
Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bambang Sunggono dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Bandung : Mandar Maju.
Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung : Alumni.
Davidson, Scott. Hak Asasi Manusia. 1994. Jakarta : Grafiti.
Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Soal Jawab). Jakarta: Bina Aksara.
Esmi Warassih, 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : Suryandaru Utama.