Hukum Waris dan hubungannya dengan HAM

Menurut undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
 1.Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang
 2.Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).


         Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab intestato”. Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.  
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.  
Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”,
sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”. Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya.
 
Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang.Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.

Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris).
Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah.

Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang masih hidup.  
Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. Seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito).

Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya.  

Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu yg menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa.

Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal dengan barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.  
 
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu.  
 
Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan ini pun tidak lebih lama dari lima tahun.

Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada orang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan.   
 
Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :  
 
1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
 
2. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah menjadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;
 
3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;  
 
4. mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.  

Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin menjadi perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat dibatalkan.  
 
Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dan tastement itu.
 
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris.