Hak Anak dari perspektif HAM : kumpulan artikel dan penjelasannya





ARTIKEL 1
HAK-HAK ANAK YANG TERABAIKAN

Sebelum kita membahas tentang hak-hak anak lebih lanjut, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dari hak anak itu sendiri. Hak anak adalah kuasa anak terhadap segala sesuatu yang mesti di dapatnya dalam masa kecilnya. Berarti, kita sebagai anak-anak harus dipenuhi segala hak-hak kita oleh pemerintah, orang tua, guru, dan sebagainya. Walaupun begitu, kita juga harus memenuhi kewajiban kita terhadap orang-orang yang telah memenuhi hak kita tadi. Seperti berbakti kepada orang tua, belajar, membela dan berbakti kepada Negara, menuruti perintah guru, dan lain-lain.

 
Seiring perkembangan zaman, makin banyak hak-hak anak yang muncul dan diperjuangkan, serta berbagai macam pelanggarannya. Undang-undang pun telah mengatur da mengakui tentang hak-hak anak terdapat dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 52-66. Di sana banyak tercantum tentang hak-hak anak yang kita jadikan sebagai pedoman.
Yang sangat menyedihkan, walaupun telah banyak hak-hak anak yang diakui tetapi masih banyak hak-hak anak yang dilanggar dan diabaikan. Penyebabnya banyak mulai dari tidak mengetahui tentang hak anak itu sendiri, ada karena keterbelakangan ekonomi, karena emosi atau terbawa perasaan, dan masih banyak lagi. Kita ambil saja contoh yang baru-baru ini terjadi anak-anak di pedesaan Bekasi yang letaknya hanya sekitar 17 km dari ibukota mereka harus menantang maut demi bersekolah yaitu dengan menyebrangi sungai. Bagaimana mirisnya keadaan mereka yang berani mati demi bersekolah padahal letak tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh dari ibukota. Belum lagi kita lihat nasib anak-anak di pedalaman Papua, yang harus naik gunung turun gunung untuk bersekolah. Wah, betapa menyedihkannya anak-anak bangsa kita yang ingin bersekolah jika kita telusuri lebih dalam lagi.
Belum lagi soal mahalnya biaya sekolah yang menyebabkan anak-anak dari kalangan yang tidak mampu tidak dapat bersekolah. Hal ini tentu berimbas pada makin banyaknya pengangguran yang menerpa bangsa kita. Rata-rata pengangguran di Indonesia adalah warga yang tidak bersekolah atau yang pendidikannya rendah. Sebetulnya ada solusi yang bisa diterapkan untuk memberantas pengangguran atau mengurangi efek pengangguran di kemudian hari adalah dengan memberikan anak-anak yang tidak bersekolah tadi dengan keterampilan industri untuk  berwirausaha agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru nantinya.
Itu baru masalah pendidikan, sekarang coba kita lihat masalah kesehatan. Masih sering kita lihat di televisi tentang masalah gizi buruk yang menerpa anak-anak di Indonesia. Apakah pemerintah belum menemukan formula yang tepat untuk mengatasi gizi buruk yang menerpa “calon-calon” pemimpin bangsa ini. Masa kecil mereka yang bahagia terenggut karena susahnya untuk mendapatkan sesuap nasi. Padahal, pejabat-pejabat tinggi Negara ini menikmati nikmatnya uang rakyat di “istana” mereka masing-masing.
Entah bagaimana cara memberantasnya, seperi yang sering kita lihat di berita-berita suplai makanan atau pengobatan gratis untuk rakyat miskin dan anak-anak justru didominasi oleh orang-orang yang mampu. Memalukan, orang kaya sekarang memang banyak yang tak tahu diri.Satu lagi berita yang memalukan bagi generasi bangsa ini, umumnya pengemis atau pengamen di kota besar adalah anak-anak! Apalagi di Jakarta dan sekitarnya mereka telah digunakan bahkan diperdagangkan atau disewakan untuk mengemis sejak bayi. Sungguh, ke mana perginya hati dan nurani ibu mereka yang tega melakukan hal tersebut terhadap anak-anak mereka.
Tetapi, tidak hanya pelanggaran terhadap anak-anak yang banyak terjadi. Banyak juga para selebriti atau organisasi besar dunia dan instansi pemerintahan yang menyuarakan hak-hak anak di dunia. Contohnya adalah Komnas Perlindungan Hak-hak Anak, Kak Seto, dan UNICEF. Mereka bekerja keras untuk memperjuangkan hak-hak anak yang dilanggar dan untuk melindungi hak-hak anak. Tidak hanya itu, mereka juga kerap melakukan kegiatan-kagiatan sosial kepada anak-anak. Seharusnya sikap seperti inilah yang harus kita contoh agar terciptanya kabahgiaan tidak hanya untuk anak-anak di Indonesia tapi di seluruh dunia. Jika generasi muda bangsanya bagus maka masa depan bangsa itu pun tentunya akan menjadi cerah.
Sepertinya, memang banyak PR yang harus dikerjakan tidak hanya Pemerintah tetapi juga oleh orangtua dan guru-guru serta berbagai pihak yang bertanggung jawab lainnya untuk memnuhi dan melindungi hak-hak anak.


KOMENTAR:
Menurut saya artikel Hak anak tentang Hak-hak Anak yang terabaikan ini haruslah di perhatikan oleh pemerintah khususnya Komisi Perlindungan Anak. Anak-anak ini harus diberikan sesuatu hal yang menyenangkan misalnya dibawa ke tempat taman bermain supaya mereka yang hak nya selama ini terabaikan bisa kembali menjadi terlihat sebagai anak-anak yang dihargai oleh orang banyak. Melindungi hak anak sangatlah penting, karena ini menyangkut masa depan mereka kelak. Jika hak mereka dihargai mereka juga akan berjuang untuk masa depannya sendiri dan untuk keluarganya. Jika hak anak tersebut diabaikan maka mereka kemungkinan menjadi orang yang keras dan tidak biasa menghargai orang lain dan tidak mau berjuang demi masa depan keluarga dan masa depan dirinya sendiri.










ARTIKEL 2

PENANGANAN ANAK JALANAN BERBASIS HAK ANAK

Keberadaan anak jalanan, kendati tidak diketahui secara tepat waktu pertama kehadirannya, sudah mulai terlihat sejak periode 1970-an. Menurut Shalahuddin (2004) pada periode tersebut anak jalanan sudah terlihat di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, kemudian menyusul Medan, Malang, Surabaya dan Semarang. Sebagaimana kita pahami bersama, keberadaan anak jalanan kini telah semakin meluas, tidak terbatas pada kota-kota besar saja melainkan juga telah merambah ke kota/kabupaten.Berbagai kisah tentang anak jalanan terasa tiada pernah habisnya. Kisah-kisah duka yang terkadang sulit diterima logika. Tapi itu merupakan hal nyata. Jelas, kehidupan anak di jalanan, pastilah sangat tidak layak bagi mereka.
Jumlah anak jalanan cenderung terus meningkat. Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, menunjukkan adanya kenaikan sekitar 400% sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Sosial pada saat itu (lihat Kompas, 4 Desember 1999). Depsos memperkirakan ada sekitar 50,000 anak jalanan.  Berdasarkan data BPS tahun 2009, ada sekitar 230,000 anak jalanan di Indonesia.Pada periode akhir 1990-an itulah, untuk pertama kalinya Negara/pemerintah untuk pertama kalinya melaksanakan program intervensi bagi anak jalanan, sekaligus secara resmi menggunakan istilah tersebut (sebelumnya istilah yang digunakan adalah ”anak nakal”).Komite Hak Anak PBB (2004), dalam Concluding Observation atas laporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak periode 1993-Juni 2000, telah memberikan apresiasi positif atas langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia, namun juga masih menyatakan keprihatinannya atas situasi anak jalanan.
 Komite telah merekomendasikan Indonesia untuk mengambil tindakan-tindakan yang penting untuk: 1. Mengakhiri kekerasan, penangkapan semena-mena dan penahanan yang dilakukan oleh aparatur Negara terhadap anak-anak jalanan; 2.Membawa ke pengadilan mereka yang terlibat dalam kekerasan semacam itu; 3. Menjalankan fasilitasi reintegrasi secara sosial bagi anak-anak jalanan, secara nyata dengan memastikan bahwa anak-anak jalanan, khususnya yang termasuk kategori anak-anak yang lari dari rumah, dapat memperoleh kartu identifikasi resmi.Sayangnya, program-program pemerintah tidak mencapai hasil yang diharapkan untuk merubah situasi anak-anak agar dapat keluar dari dunia jalanan. Pendekatan program yang awalnya menghindari pendekatan represif, kembali diterafkan. Lebih dari itu, berbagai daerah kembali menegaskan larangan kegiatan anak jalanan dan mengkriminalisasi bukan hanya anak-anak jalanan saja melainkan juga kepada setiap orang yang memberikan uang kepada mereka (sebagai contoh kasus adalah Perda Nomor 44 tahun 2002 di Palembang; Perda Nomor 3 tahun 2005 di Bandung; dan Perda Nomor 8 tahun 2007 di Jakarta).
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memang benar-benar menunjukkan keistimewaannya. Salah satu wujud nyata adalah membuat terobosan baru di dalam mensikapi keberadaan anak jalanan. Di tengah arus besar yang berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia yang selama ini menempatkan anak jalanan sebagai pelaku kriminal (termasuk perkembangan beberapa tahun terakhir juga mengkriminalisasi para pemberi uang kepada anak jalanan) dan karenanya jalan yang banyak ditempuh menggunakan pendekatan represif, telah diubah dengan pendekatan hak anak.
Perubahan ini tercermin nyata dengan disahkannya Peraturan Daerah No. 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang hidup di jalan pada tanggal 20 Mei 2011. Aturan berikutnya terkait dengan implementasi atas perda tersebut tertuang pada Peraturan Gubernur No. 31 tahun 2012, tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan.
Sebelum membahas tentang upaya penjangkauan yang menjadi bahan pertemuan saat ini, perlu kiranya memahami pengertian dan konsep dasar dari Perda tersebut.Pengertian mengenai anak yang hidup di jalan adalah anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan dan tempat-tempat umum yang meliputi anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari. Sedangkan pengertian Perlindungan adalah segala tindakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat Perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan melalui serangkauan upaya sehingga anak terentaskan dari kehidupan di jalan.Tujuan yang terkandung dalam Peraturan Daerah ini untuk Perlindungan anak yang hidup di jalan (pasal 3):
1. mengentaskan anak dari kehidupan di jalan;
2. menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; dan
3. memberikan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera
Prinsip-prinsip perlindungan hak anak meliputi (pasal 2):
1. non diskriminasi
2. kepentingan yang terbaik bagi anak
3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. penghargaan terhadap pendapat anak
Upaya yang dilakukan (pasal 6):
1. upaya pencegahan
2. upaya penjangkauan
3. upaya pemenuhan hak; dan/atau
4. upaya re-integrasi sosial
Upaya penjangkauan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan mengidentifikasi kebutuhan anak yang hidup di jalan guna menyusun rencana pemenuhan hak anak yang hidup di jalan. Tujuan upaya penjangkauan guna memberikan pemenuhan hak dan mewujudkan re-integrasi sosial anak yang hidup di jalan. Penjangkauan dilakukan oleh sebuah Tim Perlindungan Anak yang anggotanya mewakili berbagai unsur seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Satuan polisi Pamong Praja, dan juga unsur dari masyarakat sipil, dalam hal ini utamanya adalah Organisasi Non-pemerintah, yang disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan Sosial Anak.
Tim Perlindungan Anak bertugas untuk melakukan penjangkauan yang harus dilakukan sesuai dengan Standard Operational procedure (SOP) yang juga harus diikuti dengan assessment dan penyusunan rencana pelayanan. SOP sendiri akan diatur melalui Peraturan Gubernur (lihat pasal 13). Hal mana, pedoman penjangkauan telah tersedia dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 31 tahun 2012.
Mengacu pada hal di atas, maka upaya penjangkauan yang dilakukan oleh Tim Perlindungan Anak menggantikan pendekatan “razia” yang menjadi kewenangan dari Satuan Polisi Pamong Praja dan atau bersama Kepolisian. Pendekatan yang dilakukan dalam penjangkauan mengedepankan pendekatan yang manusiawi, dengan mengenal, bermain bersama, menjalin persahabatan dan menanamkan kepercayaan anak. TPA melakukan wawancara untuk mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi anak kepada anak, orangtua atau orang terdekat. Pada kegiatan-kegiatannya, TP juga bisa melibatkan anak yang sudah mendapatkan pembinaan.

KOMENTAR:
Menurut saya artikel anak tentang “Penanganan Anak Jalanan Berbasis Hak Anak” Disadari perubahan pendekatan dalam penanganan anak jalanan ini memerlukan sumber daya manusia yang banyak, biaya yang besar dan waktu yang panjang. Tapi ini merupakan konsekuensi dari perwujudan pelaksanaan kewajiban Negara dan perwujudan pelaksanaan tanggung jawab masyarakat untuk mengatasi persoalan yang menyangkut manusia, dalam hal ini anak jalanan, sebagai subyek hak yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.











ARTIKEL 3
KONVENSI HAK ANAK
SEBAGAI DASAR GERAKAN ANAK DI INDONESIA
Pertengahan tahun 90-an, Organisasi Non Pemerintah (Ornop) di Indonesia baru bersentuhan dengan Konvensi Hak Anak, walaupun instrumen internasional tersebut sudah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 dan Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 1990.Di tengah gerakan ornop yang bekerja pada isyu anak yang tengah marak pada masa itu, khususnya untuk isu anak jalanan dan pekerja anak, KHA (sebagai bagian dari instrumen HAM) dinilai bisa dijadikan sebagai dasar pijakan untuk mengembangkan program-program yang berperspektif hak dan juga sebagai dasar untuk melakukan perubahan kebijakan di tingkat lokal dan nasional, dengan menggunakan standar-standar yang berlaku secara universal.Tentu saja, sangat disadari dalam konteks gerakan masyarakat sipil secara umum, gerakan anak masih terbilang baru dan belum menemukan bentuknya. Ornop yang bekerja pada wilayah advokasi, sudah terlebih dahulu menggunakan instrumen HAM sebagai kerangka kerja mereka.
Promosi atau diseminasi, dan uji coba dan pengembangan berbagai program yang menggunakan pendekatan hak anak mulai dilakukan. Serangkaian pertemuan berbagai ornop di Sumatra, Jawa dan NTB menilai adanya keterbatasan informasi mengenai situasi hak-hak anak dan tidak diketahuinya sejauh mana Negara telah melaksanakan kewajiban-kewajibannnya untuk melaksanakKomentar terhadap Laporan Periodik Pertama Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB (Periode 1993 – Juni 2000)”. an KHA. Berdasarkan hal ini, lima orang aktivis yang bergerak pada isu anak mendeklarasikan berdirinya Koalisi Nasional Pemantau Hak Anak (National NGO Coalition on CRC) pada tanggal 9 Maret 1999 di Jakarta.Pada Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa “…kebutuhan untuk melakukan pemantauan secara insentif dan komperehensif atas situasi hak anak dan implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, dirasakan sangat penting”. Oleh karena itu, dirumuskan dua tujuan utama koalisi, yaitu melakukan pemantauan dan advokasi.
Pada tahun 2003, Koalisi menyelenggarakan seminar dan Lokakarya untuk meriviu laporan Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB. Seminar ini ditindaklanjuti dengan penyusunan Dokumen ini diserahkan kepada Komite Hak Anak PBB  sebagai dokumen dari masyarakat sipil di Indonesia.  Hal mana, ini dimungkinkan dalam mekanisme pelaporan yang memberikan ruang bagi Organisasi Non Pemerintah untuk memberikan saran atau laporan tentang implementasi KHA sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 45 (a) KHA.Mencermati “Kesimpulan Pengamatan” (2004) dari Komite Hak Anak PBB yang berisi penilaian dan rekomendasi yang diberikan kepada Indonesia, Koalisi menilai bahwa komentar kritis yang disusun untuk merespon laporan negara mendapatkan apresiasi yang tinggi dari Komite. Sebagian besar rekomendasi yang diberikan senada dengan keprihatinan dari Koalisi.
Salah satu rekomendasi dari Komite Hak Anak adalah mengenai periode pelaporan Indonesia berikutnya. Pada paragraf 95, dinyatakan bahwa tertundanya pelaporan Indonesia dan dalam upaya untuk membantu kembali ke jalur pelaporan yang benar dengan kepatuhan penuh terhadap kewajibannya di bawah Konvensi, Komite merekomendasikan Indonesia untuk menyusun laporan gabungan periodik ketiga dan keempat (periode 1997-2007) yang diserahkan sebelum batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 4 Oktober 2007.
Indonesia telah menyusun laporan tersebut. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada informasi bahwa laporan tersebut diserahkan kepada Komite Hak Anak PBB. Koalisi, yang menempatkan posisinya untuk melakukan advokasi di tingkat internasional dengan menggunakan mekanisme pelaporan, kembali menyusun program untuk membuat laporan alternatif melalui tiga strategi yaitu penelitian, riviu peraturan perundangan dan konsultasi anak. Terobosan yang dibuat oleh Koalisi adalah pelibatan anak-anak untuk menyampaikan situasi dan pandangannya yang mana hasilnya akan diintegrasikan ke dalam laporan alternatif. Mengingat bahwa laporan resmi pemerintah belum diserahkan, maka dokumen yang dihasilkan dari program tersebut berubah menjadi “Laporan Tinjauan Pelaksanaan KHA di Indonesia Periode 1997-2009” yang mana dokumen ini akan menjadi bahan utama dalam penyusunan laporan alternatif.
Pada proses penyusunan laporan alternatif baik yang dilakukan pada tahun 2003 maupun yang dilakukan pada tahun 2008-2010, Koalisi menyadari kelemahan yang telah diidentikasikan pada proses awal didirikannya Koalisi, yaitu tidak tersistematisirnya data dan informasi mengenai situasi (pelaksanaan) hak-hak anak. Ornop untuk anak,  yang dikatakan oleh salah seorang deklarator Koalisi, memiliki kekuatan memahami dan memiliki data dan informasi situasi anak secara mikro, pada kenyataannya belum mampu untuk menghimpun dan mengolah secara baik. Salah satu indikator untuk melihat ini adalah Koalisi masih merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai situasi Hak Anak yang mana sesungguhnya dapat diatasi dengan hasil pemantauan oleh setiap anggota koalisi.
Pada proses penyusunan laporan alternatif periodik ketiga dan keempat yang didukung oleh Konsorsium INGO yang terdiri dari Save the Children, Terre des Hommes Netherlands, Plan International, Child Funds dan World Vision, lahir gagasan untuk mengatasi kelemahan yang dihadapi oleh Koalisi. Untuk itulah, atas dukungan dari Save the Children, Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) yang ditunjuk sebagai organisasi penyelenggara, melangsungkan program rintisan untuk mengembangkan instrumen pemantauan dan melakukan uji coba pemantauan. Sebagai proyek rintisan, tidak seluruh isu anak ditangani. Ada lima isu yang dipilih, yaitu Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Perdagangan Anak, Buruh Anak, Pendidikan dan Kesehatan. Pelaksanaan proyek ini melibatkan tujuh Ornop anggota Koalisi, yaitu SAMIN, SARI, Yayasan KAKAK,  KKSP, SETARA, YLPS Humana, dan LAHA.
Hasil penting dari proyek rintisan ini adalah berhasil disusunnya instrumen pemantauan untuk kelima isu. Instrumen ini dikembangkan oleh Mohammad Farid, seorang aktivis yang dikenal sangat menguasai hak-hak anak. Tujuan umum instrumen yang dikembangkan dinyatakan bisa digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya mengenai situasi hak-hak anak terutama menyangkut derajat pemenuhan serta pelamnggaran hak-hak anak yang juga dapat dijadikan sebagai bahan kampanye serta advokasi yang dapat dipertanggungjawabkan bagi upaya implementasi hak anak secara utuh. Instrumen yang disusun ini merujuk pada berbagai instrumen internasional yang terkait dengan hak-hak anak dan isyu yang menjadi perhatian Pada posisi ini, salah satu kelemahan sudah bisa teratasi. Tantangannya adalah mengembangkan instrumen serupa untuk seluruh isyu hak anak dan bagaimana menggunakannya di dalam pemantauan oleh ornop-ornop yang bekerja untuk anak. Pengalaman tujuh lembaga yang mengujicobakan instrumen tersebut bisa bermakna apabila di share ke berbagai ornop lainnya.
KOMENTAR: 
Menurut saya adanya Konvensi Hak Anak (dan berbagai instrumen internasional terkait hak anak lainnya) memang tidak serta merta melahirkan perubahan yang lebih baik bagi kehidupan anak-anak. Namun instrumen yang merupakan norma-norma standar yang berlaku secara universal ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi masyarakat sipil untuk mendesak atau menuntut kepada Negara untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dalam hal ini melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan pemenuhan hak-hak anak.Anak, sebagai subyek dari “hak” tersebut, harus didorong pula sebagai aktor perubahan bagi diri dan realitasnya. Hal mana, anak-anak harus difasilitasi untuk menyadari realitas diri dan lingkungannya, memiliki kemampuan untuk mengekpresikan dan mengartikulasikan pandangan-pandangannya secara baik, memiliki akses untuk menyampaikan pandangan-pandangannya dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan anak-anak itu sendiri.















ARTIKEL 4

KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK IMPLEMENTASI KONVENSI HAK ANAK (DI INDONESIA) DAN AGENDA AKSI DARI STOCKHOLM

Tahun 1996 ditandai dengan beberapa peristiwa penting menyangkut tindak kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak. Di tingkat internasional, pada 27-31 Agustus lalu telah diselenggarakan World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children di Stockholm, Swedia, yang dihadiri oleh lebih dari 1.300 peserta dari lebih 130 negara, dan melibatkan wakil pemerintahan dari 122 negara termasuk dari Indonesia.
Pada tahun itu juga, dilaporkan terjadinya beberapa kasus kejahatan seksual yang menonjol di Indonesia, antara lain mengenai penganiayaan (homo) seksual disertai pembunuhan terhadap beberapa anak (laki-laki) jalanan di Jakarta – yang kemudian dikenal sebagai “kasus Robot Gedhek”. Juga beberapa berita lain menyangkut kasus sejenis, diantaranya kasus di Lombok Tengah yang melibatkan seorang mantan diplomat Australia untuk Indonesia bersama 4 rekan senegaranya. Kasus yang dilaporkan telah berlangsung selama setidaknya 2 tahun ini diperkirakan memakan korban lebih dari 40 anak (laki-laki) setempat yang rata-rata berusia sekolah dasar, yang selain mengalami penganiayaan oral & anal seks juga diduga dimanfaatkan untuk memproduksi film pornografi anak. Kasus ini mendapat tempat pada pemberitaan nasinal (Tiras, 2 Mei 1996, Forum Keadilan 20 Mei 1996) dan menjadi bahan pemberitaan yang luas di Australia (West Australian, 18/04/96; The Sun Herald, 21/04/96; Herald Sun, 22/04/96). Kasus lain dilaporkan oleh D&R serta Sinar, 19 Oktober 1996 dan Forum Keadilan, 4 November 1996, semuanya mengenai kejahatan (hetero) seksual oleh seorang turis Amerika dan seorang turis Perancis di Bali, terhadap anak-anak perempuan yang rata-rata berumur antara 10-15 tahun, ada dugaan beberapa diantaranya telah diselundupkan ke luar negeri. Korban diberitakan mencapai 180 anak.
Kedua kasus yang disebut terakhir dengan sendirinya telah memberikan ilustrasi yang menolak anggapan bahwa Indonesia mempunyai “kekebalan budaya” bagi kejahatan seksual berskala internasional terhadap anak. Sejak beberapa tahun yang lalu, Indonesia memang telah diramalkan sebagai salah satu sasaran alternatif yang ideal bagi jaringan pedofilia internasional untuk menjalankan operasi mereka, setidaknya karena 2 alasan eksternal; penyebaran virus HIV/AIDS yang terjadi secara pesat di negara-negara yang dikenal sebagai sasaran tradisional (terutama Thailand dan Filipina), serta semakin kerasnya ancaman sangsi hukum di negara-negara tersebut akibat gencarnya kampanye yang dilancarkan oleh para aktivis di sana. Kedua hal tersebut, yang dianggap belum terjadi di Indonesia, ditambah dengan tingkat kewaspadaan masyarakat yang relatif masih sangat rendah serta peluang yang diberikan oleh promosi pariwisata yang agresif, cukup lengkap untuk menduga bahwa Indonesia bisa menjadi alternatif yang menarik. Tambahan lagi, jika disimak dari berbagai laporan mengenai kejahatan seksual terhadap anak yang seratus persen domestik – dengan pelaku orang Indonesia sensidir – sebenarnya telah sangat cukup memberi dasar bagi kita untuk bertindak segera.Seperti dikatakan oleh seorang aktivis ECPAT (waktu itu: End Child Prostitution in Asian Tourism) pada lokakarya mengenai prostitusi anak di Yogyakarta, Juni 1996, bahwa saat ini kiranya hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh bagi pihak yang perduli (atas masalah eksploitasi seksual komersial terhadap anak) di Indonesia; menunggu hingga masalahnya berkembang ke tingkat yang akan semakin sulit untuk dikendalikan, atau segera bertindak guna mencegah meluasnya masalah.
Anak, bisa diartikan berbeda-beda sesuai tujuan yang berbeda. Namun dalam konteks topik yang sedang dibicarakan, ukuran paling relevan untuk membedakan seorang anak dari seorang dewasa tentunya adalah usia kematangan seksual – yaitu usia dimana seseorang dianggap, oleh perundang-undangan nasional, telah cukup mampu untuk melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Di Indonesia, yang tidak melegalisir hubungan seks diluar nikah ataupun hubungan seks sejenis, batas kedewasaan seseorang adalah 16 tahun (wanita) dan 19 tahun (pria), sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 1/1974 mengenai Perkawinan (i) . (Batas usia kematangan seks untuk hubungan sejenis bisa ditetapkan lebih tinggi jika kelak terpaksa didefinisikan bagi anak yang menjadi korban kejahatan homoseksual). Namun begitu, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Anak (selanjutnya disingkat KHA), ada banyak alasan bagi kita untuk mengadopsi batas usia sebagaimana ditetapkan dalam KHA (ps. 1), terutama bagi kasus yang melibatkan warganegara lain seperti kedua contoh di atas, yaitu 18 tahun – baik bagi pria maupun wanita.
Istilah kekerasan seksual dan eksploitasi seksual (terhadap anak), disebut secara eksplisit dalam KHA (ps. 34). Mengacu pada La Fountain, Ireland (1993) menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut bisa mencakupi tindak seksual yang lebih luas, termasuk, misalnya, eksibisionisme. Kekerasan seksual terhadap anak didefinisikan oleh Departemen Kesehatan dan Jaminan Sosial di Inggris sebagai “Penggunaan anak serta remaja yang masih dependen, belum matang tingkat perkembangannya, dalam kegiatan yang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka, untuk mana mereka tidak mampu melakukannya secara sukarela, atau yang melanggar norma sosial dari peran keluarga” (Ireland, 1993). Definisi ini mungkin akan lebih ‘keras’ jika kita tambahkan unsur pemaksaan kedalamnya. Pemaksaan menjadi unsur yang niscaya kalau kita beranggapan bahwa anak, berhubung tingkat perkembangannya, belum mampu melakukan tindak seksual atas dasar suka sama suka. Istilah “penganiayaan” atau “pelecehan” seksual sering dipakai sebagai pengganti istilah “kekerasan” seksual.
Eksploitasi seksual terhadap anak mengacu pada pemanfaatan anak (dibawah 18 tahun) demi pemuasan nafsu seksual orang dewasa. Eksploitasi ini berdasar pada hubungan kekuasaan dan ekonomi yang tidak seimbang antara si anak dan sang orang dewasa, dimana anak dieksploitir kemudaan dan seksualitasnya … (Ireland, 1993). Eksploitasi seksual komersial terhadap anak ialah penggunaan anak untuk tujuan-tujuan seksual dengan imbalan baik dalam bentuk uang tunai ataupun dalam bentuk lain sesuai kesepakatan antara si anak sendiri, konsumen, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapat keuntungan dari penjualan (seksualitas) anak untuk tujuan dimaksud. (World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children: Background Paper). Kejahatan seksual terhadap anak mencakupi segala bentuk ekploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, sering digunakan oleh para aktifis untuk lebih memberi tekanan pada bobot kriminal atas tindak semacam itu (ii).
Sangat sulit untuk memperoleh data mengenai kekerasan atau eksploitasi seksual terhadap anak karena sifatnya yang pada dasarnya dimanapun ilegal dan bertentangan dengan moralitas umum, apalagi jika definisinya mencakupi tindak yang sangat luas seperti deskripsi di atas – dengan ketidakmemadaian cakupan peraturan/perundangan, tingkat sensitifitas masyarakat yang relatif masih rendah serta berbagai faktor lainnya.
Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial yang dewasa ini telah diidentifikasi, sebagai bagian dari kekerasan atau eksploitasi seksual yang lebih luas, setidaknya akan bisa membantu memberi sedikit gambaran kuantitatif, setidaknya di tingkat internasional. Ada tiga bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak, yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak (untuk maksud seksual). Perdagangan bisa terjadi baik dalam satu wilayah yurisdiksi maupun lintas batas antar negara – melibatkan negara pengirim, negara penerima, dan kadang-kadang melalui negara transit.
Di Asia, estimasi paling mutakhir menyangkut jumlah anak yang menjadi korban, disampaikan oleh Ron O’Grady (ECPAT) pada pidato pembukaan World Congress, “By our estimates there will be tonight upwards of a million children in Asia alone who will spend the evening providing sexual services for adults…” Jumlah tersebut jelas hanya menunjuk pada prostitusi anak. Sementara sangat sulit untuk mencari rujukan mengenai jumlah anak yang digunakan dalam pornografi, di Asia atau di manapun. Sedang mengenai perdagangan anak, sejauh ini, hanya bisa dijumpai satu laporan yang menyebut estimasi jumlah anak dari Cina (Daratan) yang diselundupkan ke Thailand, sebesar lebih dari 5.000 anak. Diperkirakan sebagian dari mereka diperdagangkan lebih lanjut ke Hongkong, Taiwan dan Singapura untuk melayani pelanggan di sana (tidak diberikan spesifikasi mengenai periodenya, jenis kelamin dan usia anak-anak yang diperdagangkan) (iii). Di Indonesia, data mengenai kekerasan seksual terhadap anak mungkin bisa diperoleh dari sumber di kepolisian. Namun perlu diingat bahwa banyak kasus yang biasanya tidak dilaporkan, terutama jika kasus dipandang “ringan” atau “tidak serius” (karena rendahnya sensitifitas masyarakat maupun standar perundangan yang ada).
Sedang mengenai eksploitasi seksual komersial terhadap anak, khususnya dalam bentuk prostitusi anak, sejauh bisa diketahui juga belum pernah ada, walaupun ada banyak survey mengenai prostitusi (dewasa) umumnya. Upaya yang pernah dilakukan oleh SAMIN pada 1996 lalu, memberikan pelajaran bahwa teknik representasi melalui sampling kiranya tidak akan bisa memberikan gambaran kuantitatif secara akurat karena, tidak seperti pekerja seks dewasa, prostitusi anak cenderung terkonsentrasi secara eksklusif pada kantung-kantung operasi tertentu (iv). Alhasil, tidak ada angka yang bisa dirujuk sehubungan prostitusi anak di Indonesia (setidaknya yang saya ketahui), apalagi menyangkut pornografi dan perdagangan anak. Sehubungan perdagangan anak (untuk tujuan seksual), ada beberapa indikasi yang bisa menumbuhkan kecurigaan bahwa Indonesia mungkin sudah terlibat – dalam skala terbatas – dalam jaringan perdagangan anak internasional, bukan cuma sebagai negara pengirim tapi sangat mungkin juga penerima (lihat laporan Sinar edisi 13 Januari 1997). Sinyalemen ini tentu harus dibuktikan; namun andaikata benar, toh keadaan kita masih belum separah Thailand misalnya, yang dalam hal perdagangan perempuan dan anak memperoleh predikat sebagai negara pengirim, penerima dan transit sekaligus. Sedang mengenai gejala penggunaan anak dalam produksi bahan-bahan pornografi, belum ada tanda-tandanya di Indonesia dan mudah-mudahan kasusnya memang tidak ada. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa anak-anak (jalanan) di beberapa kota besar dimanfaatkan dalam usaha mengecerkan bahan-bahan pornografi. Apakah situasi ini bisa dikategorikan sebagai eksploitasi seksual terhadap anak, masih belum begitu jelas.
Seperti telah disinggung di depan, eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak diatur secara khusus dalam ketentuan KHA, tepatnya pada pasal 34, sebagai berikut; Negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual Untuk tujuan ini, Negara Peserta secara khusus akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat guna mencegah: (a) Penjerumusan atau pemaksaan anak kedalam setiap kegiatan seksual tidak sah; (b) Penggunaan anak yang eksploitatif dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual tidak sah lainnya; (c) Penggunaan anak yang eksploitatif dalam (semua) penampilan dan bahan pornografi. Klausul perdagangan anak, karena bisa mencakup tujuan yang lebih luas dari sekedar maksud untuk dieksploitasi secara seksual, ditentukan terpisah pada pasal 35: “Negara Peserta akan mengambil semua langkah … untuk mencegah … perdagangan anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun”. Anak kalimat “untuk tujuan … apapun” di sini berarti meliputi juga tujuan (eksploitasi) seksual.
Selain pada pasal 34, kekerasan seksual (terhadap anak) juga disinggung pada pasal 19, hanya, pasal 19 (ayat 1) diarahkan secara khusus untuk melindungi anak dari kekerasan seksual selama dalam pengasuhan orangtua atau walinya: Negara Peserta akan mengambil semua langkah … untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan … termasuk kekerasan seksual, selama (anak) dalam pengasuhan salah satu atau kedua orangtuanya, wali atau orang lain yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak. Tidak seperti pasal 32 (2.a) tentang buruh anak atau pasal 38 (2) tentang konflik bersenjata, baik pasal 34 maupun pasal 19 tidak memberi dispensasi batas usia khusus. Karena itu, definisi anak dalam konteks ini harus dikembalikan kepada ketentuan pada pasal 1: “Yang dimaksud dengan anak dalam Konvensi ini, ialah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun …”
Melindungi anak dari eksploitasi dan kekerasan seksual, berarti tidak hanya mencegahnya (seperti eksplisit pada pasal 34), namun juga, seperti disebut dalam pasal 19 (ayat 2):  melibatkan tindakan efektif bagi pengembangan program-program sosial guna memberikan dukungan yang perlu … serta untuk identifikasi, pelaporan, rujukan, penyidikan, penindakan dan penentuan tindak lanjut … termasuk, bilamana perlu, guna penindakan hukum (bagi pelaku). Atau sebagaimana diatur pada pasal 39 mengenai perawatan rehabilitasi: Negara Peserta akan mengambil semua langkah yang tepat untuk mempromosikan pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi sosial anak yang menjadi korban dari segala bentuk … eksploitasi, atau kekerasan …
Seperti telah diketahui, Indonesia termasuk diantara negara pertama yang meratifikasi KHA, dengan Keppres No. 38/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan tercatat resmi sebagai Negara Peserta pada 05 September 1990, dan karenanya terikat secara yuridis (dan politis) pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KHA (kecuali pada ketentuan yang direservasi (v). Dengan demikian, Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan hak dalam KHA termasuk, dalam konteks ini, ketentuan mengenai eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak. Telah dikemukakan bahwa Indonesia, sebagai Negara Peserta, berkewajiban melaksanakan ketentuan hak yang terkandung dalam KHA. Sehubungan hal ini, salah satu kelebihan KHA jika dibanding dengan kebanyakan Konvensi lainnya ialah bahwa Negara Peserta diwajibkan untuk menyerahkan laporan pelaksanaan – pertama dalam 2 tahun sesudah ratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun sekali – yang selanjutnya dijadikan dasar oleh Komite Hak Anak (PBB) untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai oleh Negara Peserta dalam upaya memenuhi Hak Anak.
Untuk mengetahui bagaimana implementasi KHA yang ideal, berikut akan dipaparkan secukupnya Pedoman Umum mengenai Bentuk dan Isi Laporan Pertama… (vi) yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak (diadopsi pada 15 Oktober 1991). Pedoman ini, sebagaimana pedoman pelaporan lainnya, bisa secara efektif memberikan inspirasi mengenai kerangka implementasi KHA secara komprehensif. Namun sehubungan dengan topik pembahasan kali ini, fokus kajian nantinya hanya akan diarahkan pada kaitan khusus dengan eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak.
Dari pedoman tersebut dan dalam kaitannya dengan implementasi hak anak (sekali lagi: yang ideal), ada beberapa langkah perlindungan yang bisa kita rekonstruksikan:
1. Menetapkan batas usia kematangan seksual anak (seksi 2), atau kalu perlu, menyelaraskannya dengan standar yang ditetapkan oleh Konvensi (seksi 1), dalam hal ini karena Konvensi tidak memberi dispensasi khusus bagi batas usia pada pasal 34 (dan pasal 19), maka batas usia yang dipakai adalah yang menjadi rujukan umum Konvensi – yaitu 18 tahun. Jika usia kematangan seksual ditetapkan berbeda (antara pria & wanita), maka mau tidak mau hal itu akan bisa menimbulkan pertanyaan sehubungan prinsip Non-diskriminasi (lihat seksi 3).
Selain itu, perlu juga ditetapkan batasan atau indikator mengenai eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak.
2. Melakukan pemetaan atas tingkat incidence dari setiap batasan (seksi 5 dan seksi 8 poin ke dua).
3. Menetapkan tujuan dari langkah-langkah programatis atas perlindungan terhadap (anak) korban eksploitasi dan kekerasan seksual (penetapan tujuan sebagaimana diminta oleh Komite pada dasarnya memang bertujuan mendorong Negara Peserta agar menerapkan langkah-langkah programatis)  (vii).
4. Meimplementasikan semua langkah (legislatif, administratif, dll) yang tepat guna melindungi (anak) korban eksploitasi dan kekerasan seksual, termasuk tindakan hukum bagi pelaku serta upaya rehabilitasi bagi korban (seksi 8). Langkah serupa juga perlu diterapkan jika eksploitasi/kekerasan seksual terjadi dalam lingkungan keluarga, dengan kemungkinan memisahkan anak dari orangtua atau walinya (seksi 5) – perlu diingat prinsip Yang terbaik bagi anak dan prinsip Penghargaan terhadap pandangan anak.
5. Mendorong dan melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi baik di tingkat lokal maupun nasional, organisasi pemerintah maupun non-pemerintah (LSM) – dalam upaya perlindungan dimaksud.
6. Mendeteksi faktor dan hambatan pelaksanaan (program) perlindungan dimaksud.
Walaupun agenda aksi ini – sebagai “deklarasi” – tidak sekuat Konvensi (Hak Anak) dalam mengikat para (Negara) Pesertanya, begitu pula, walaupun agenda aksi ini hanya mencakupi sebagian dari masalah eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak (yaitu hanya pada masalah eksploitasi seksual komersial), namun sama sekali tidak ada salahnya untuk mengimplementasikannya, malah sebenarnya kita juga terikat secara moril untuk melaksanakan agenda aksi tersebut. Terlebih karena agenda aksi yang dicanangkan memang dirancang begitu rupa sehingga sangat erat kaitannya dengan implementasi Konvensi (Hak Anak). Lebih jauh, agenda aksi ini bisa memberikan inspirasi bagi upaya terhadap eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak yang lebih luas.
Agenda aksi ini dirumuskan dalam 6 butir pernyataan, ringkasnya sebagai berikut (Deklarasi dan agenda aksi selengkapnya terlampir):
1. Agenda aksi bertujuan memperkuat komitmen internasional yang telah ada, guna mengidentifikasi prioritas tindakan serta untuk membantu pelaksanaan instrumen internasional yang relevan (termasuk, antara lain, KHA). Diserukan tindakan agar dilakukan oleh Negara, semua sektor masyarakat, serta orhanisasi-organisasi nasional, regional dan internasional, (dalam upaya) pemberantasan eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
2. Koordinasi dan Kooperasi – baik di tingkat lokal/nasional maupun tingkat regional/ internasional.
3. Pencegahan – untuk mencegah eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
4. Proteksi – untuk memberikan perlindungan kepada anak.
5. Pemulihan dan Reintegrasi – untuk merehabilitasi (anak yang menjadi) korban.
6. Partisipasi Anak – melibatkan anak dalam upaya sehubungan eksploitasi seksual komersial terhadap anak.

KOMENTAR:
Menurut saya, masalah eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak barangkali memang hanya masalah kecil yang tidak penting (setidaknya mungkin begitulah anggapan orang-orang besar yang terbiasa mengurus masalah-masalah besar). Namun jika dipelajari watak dan kecenderungan masalah ini, kiranya tidak terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa masalah ini bisa seberbahaya sebagaimana laiknya api dalam sekam: tidak kelihatan, merembet dengan cepat dan tidak mudah dipadamkan. Anak yang menjadi korban eksploitasi/kekerasan seksual pada masa kecilnya, hampir pasti akan menjadi pelaku kejahatan serupa saat menjadi dewasa kelak. Dalam kondisi seperti saat ini, dimana tingkat sensitifitas masyarakat pada umumnya masih rendah dan kehendak (politik) para pemegang otoritas masih belum nampak kuat – kiranya memang agak sulit untuk melakukan perlindungan secara efektif bagi para (calon) korban. Tapi upaya toh harus tetap dijalankan, walaupun dengan serba keterbatasan.

ARTIKEL 5
KONVENSI HAK ANAK: ISI DAN IMPLEMENTASINYA
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya menjadi lebih banyak. Krisis ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga membuat banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu penjelasan lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika anak putus sekolah, maka masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akibat krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, jika dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi anak-anak merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa agar berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak bisa digugat.
Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya jika anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM. yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan. Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.
Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah masa revolusi industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara mengenai wajib belajar. Menggunakan kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak seperti disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat menduga bahwa bukannya tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak bisa ditolerir.
Selain karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, anak-anak perempuan dianggap sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak perempuan. Tadi telah disinggung tentang kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib belajar melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu misalnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis. Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah apabila melakukan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam contoh ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang bisa diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan seperti itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).
Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan (enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga sebagai penyimpangan sosial dan moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial. Dengan kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku dan pandangan masyarakat.
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula jika dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan seperti ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari berbagai pekerjaan yang berdampak buruk bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya. Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan. Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya, ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita kenal saat ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang tunggal, sistim hukum nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek hukum yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat kelahiran Negara Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah abad setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum perdatanya yang memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi. Kita ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik untuk melakukan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak — setidaknya didalam enforcementnya.
Penetapan standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun bisa juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua negara di dunia. Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun 1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”. Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga saat ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini menetapkan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu. Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas jika dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan tahun 1924.
Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum. Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat naskah akhir Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum internasional pada tahun berikutnya, 1990. Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi sejak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang bisa disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang langsung maupun tidak langsung membawa dampak pula bagi perkembangan konsep tentang hak anak. Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi. Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus
Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap kategori adalah sebagai berikut: Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak adalah subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.
Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.
Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3. Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31.
Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.
Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik. Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak. Konvensi Hak Anak, karena sifat yang cakupannya, membawa pandangan baru yang radikal terhadap anak sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap anak-anak namun juga terhadap sesama manusia lainnya.
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa pengaruh pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak). Berdasarkan sifatnya, hukum internasional termasuk hukum internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian integral dari hukum internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan hukum swasta. Penegakan hukum internasional dibidang HAM, agar bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan mentransformasikan hukum internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari hukum HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — seperti Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa agar diimplementasikan di tingkat nasional).
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif mudah dan murah, karena hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terlaksana sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melakukan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melakukan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melakukan pencurian. Kiranya tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.
Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan hukum nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal juga sebagai “efek horizontal dari hukum HAM internasional” (horizontal effect of international human rights law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan memberikan sanksi terhadap satpam yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.
Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, jika ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar hukum pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain karena implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, jelas membutuhkan biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil. Yang menjadi persoalan bagi kita kemudian ialah: apabila untuk melaksanakan kewajiban yang mudah dan murah saja tidak bisa dan tidak didorong dengan kemauan politik yang cukup, bagaimana kita bisa menjalankan kewajiban yang lebih sulit dan memerlukan membutuhkan biaya banyak?
Kembali kepada contoh kasus diawal tulisan ini: Apabila untuk mengatur, demi memberikan perlindungan kepada anak dari eksploitasi ekonomi, batas usia minimum anak boleh dipekerjakan dan menindak siapapun yang telah mempekerjakan anak secara illegal, Negara tidak bisa dan tidak mempunyai kemauan politik untuk itu; bagaimana kita bisa diyakinkan bahwa Negara telah berusaha untuk memenuhi pendidikan dasar yang gratis kepada semua anak sementara kita tahu bahwa memberikan pendidikan dasar gratis kepada setiap anak membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk menjatuhkan sanksi kepada orang yang mempekerjakan anak-anak? Bukankah akan lebih masuk akal jika Negara menjatuhkan sanksi denda kepada siapapun yang mempekerjakan anak dan mengalokasikan denda yang diperoleh untuk keperluan pendidikan anak? Pertanyaan dasar yang sepele dan berangkat dari akal sehat seperti ini, jika ditanggapi secara defensif dengan mengetengahkan argumen-argumen yang kelihatannya seperti argumen akademis yang canggih dan muluk-muluk, kiranya hanya akan menjadi debat kusir beretele-tele dan tidak jelas juntrungannya.
Logika dasar dicanangkannya hukum internasional dibidang HAM, ialah agar standar yang ditetapkan bisa diberlakukan di banyak Negara terlepas dari sistim hukum dan politik maupun sistim ekonomi yang mungkin berbeda diantara berbagai Negara. Dengan demikian, terlepas dari sistim politik, sistim hukum maupun sistim ekonomi (apakah sosialis atau pasar bebas, atau setengah sosialis setengah pasar bebas) KHA tetap harus diimplementasikan di Negara-Negara yang sudah mengikatkan diri secara sukarela terhadap KHA (seperti Republik Indonesia, contohnya). Bagaimana jika Negara mengalami krisis ekonomi yang dahsyat sehingga menjadi sulit bagi Negara untuk mencegah agar anak-anak tidak putus sekolah dan bekerja membantu keuangan keluarga?

KOMENTAR:
Menurut saya, topik ini mungkin bisa memicu perbedaan pendapat dan debat kusir mengenai apakah Negara tetap berkewajiban mengimplementasikan hak anak secara penuh atau ia bisa mendapat masa istirahat sejenak dari kewajibannya. Yang jelas, logika kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional merupakan suatu kepastian hukum. Lagipula, bukantah justru dimasa krisis itulah anak-anak lebih membutuhkan perlindungan Negara