Pemerintahan Daerah, Demokrasi dan HAM : kumpulan artikel dan pembahasannya


 

VOL. 10, 2013 ISSN 1411-4631

JURNAL DEMOKRASI & HAM

IIM HALIMATUSA’DIYAH
Desentralisasi dan Hydropolitics:
Konflik Air di Indonesia
MOHAMMAD HASAN ANSORI Desentralisasi, Korupsi, dan Kemunculan
Tumpang Tindih Izin Usaha Pertambangan
di Indonesia
MUCHAMMAD ISMAIL Pemetaan Konflik Kebijakan Sosial-
Eksplorasi Migas dan Resolusi Warga
Korban Lumpur di Kabupaten Sidoarjo
WASISTO RAHARJO JATI Predatory Regime dalam Ranah Lokal:
Konflik Pasir Besi di Kabupaten
Kulon Progo
WENNY PAHLEMY Melacak Ideologi Teks Media mengenai
Konflik Lahan di Mesuji
BAWONO KUMORO Resensi Buku: Mengurai Konflik
Pertanahan di Indonesia


JURNAL DEMOKRASI DAN HAM
Terbit Sejak 20 Mei 2000
ISSN: 1411-4631
Penanggung jawab:
Dr. Ahmad Watik Pratiknya, Rahimah Abdulrahim,
Ir. Hadi Kuntjara, M.Eng.Sc
Mitra Bestari:
Prof. Dr. Indria Samego, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Ir. Umar Juoro, MA, MAPE; Ir. Hadi Kuntjara, M.Eng.Sc, Andi Makmur Makka, MA
Editor Pelaksana:
Zamroni Salim, Ph.D
Editor:
Wenny Pahlemy, Bawono Kumoro, Inggrid Galuh Mustikawati
Usaha dan Sirkulasi:
Ghazali Hasan Moesa, Natassa Irena Agam, Tia Nurhidayati Achiri
Desain Grafis:
Muhammad Iqbal Qeis
Penerbit:
The Habibie Center
Alamat Redaksi:
Jl. Kemang Selatan no.98, Jakarta 12560, Indonesia
Telp: +62 21 7817211 Fax: +62 21 7817212
e-mail: jurnaldemokrasi@habibiecenter.or.id, www.habibiecenter.or.id


DAFTAR ISI

Iim Halimatusa’diyah 1
Desentralisasi dan Hydropolitics:
Konflik Air di Indonesia
Mohammad Hasan Ansori 33
Desentralisasi, Korupsi, dan Kemunculan Tumpang
Tindih Izin Usaha Pertambangan di Indonesia
Muchammad Ismail 54
Pemetaan Konflik Kebijakan Sosial-Eksplorasi Migas
dan Resolusi Warga Korban Lumpur di Kabupaten Sidoarjo
Wasisto Raharjo Jati 85
Predatory Regime dalam Ranah Lokal:
Konflik Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo
Wenny Pahlemy 112
Melacak Ideologi Teks Media mengenai Konflik Lahan di Mesuji
Bawono Kumoro 123
 Resensi Buku: Mengurai Konflik Pertanahan di IndonesiA

vi
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013“Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia dan Permasalahannya”
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah mulai dari sumber daya tambang, mineral, air, panas bumi dan lainnya. Sumber daya yang banyak tersebut menjadi salah satu faktor yang menarik bagi pihak luar/investor baik investor dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan sumber daya tersebut, sudah seharusnya Indonesia mampu memanfaatkannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara luas. Namun demikian, pengelolaan sumber daya alam ini terkadang tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai persoalan muncul dalam pengelolan dan pemanfaatannya, yang terkadang memunculkan konflik (yang berkepanjangan) yang melibatkan berbagai pihak (stakeholders) yang ada seperti pemerintah (lokal), swasta (perusahaan), pihak asing (investor), masyarakat (lokal) dan juga pihak lainnya.
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, tahun 2013 ini mengangkat tema “Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia dan Permasalahannya”. Untuk edisi tahun ini, naskah yang masuk beragam mulai yang mengkaji dari sudut pandang ekonomi, sosial, hukum dan lainnya. Dengan alat analisis yang berbeda, diharapkan naskah yang dimuat bisa memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pengelolaan sumber daya alam. Edisi ini juga dilengkapi dengan resensi buku tentang konflik tanah di Indonesia. Dengan diseminasi naskah ini, diharapkan pula bisa memberikan pengertian, pemahaman yang luas tentang manfaat sumber daya alam dan pengelolaannya, sehingga konflik yang ada bisa diredam. Dengan demikian, dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia diharapkan bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat pada umumnya.
Jurnal Demokrasi dan HAM, 2013
The Habibie Center


Pengantar Redaksi vii
1
DESENTRALISASI DAN HYDROPOLITICS: KONFLIK AIR DI INDONESIA
Decentralization and Hydropolitics: Water Conflict in Indonesia
Iim Halimatusa’diyah
Dosen di Program Studi Sosiologi, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: iim_hs@uinjkt.ac.id
Abstrak
Sebagian besar penelitian tentang hydropolitics memfokuskan pada kajian konflik air pada level antar negara. Namun, konflik air antar pemerintah daerah di Indonesia telah mengindikasikan bahwa konflik seperti ini juga dapat terjadi pada tingkat pemerintahan lokal. Dengan memfokuskan pada konflik air di enam pemerintah daerah di Indonesia, makalah ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana desentralisasi telah memberikan kontribusi terhadap sengketa air antar wilayah di Indonesia. Makalah menggunakan beberapa kerangka teoritis dari perspektif Malthus sampai Marxis serta teori rent seeking untuk melihat kerentanan konflik antara daerah dengan kelimpahan air dan daerah dengan sumber daya air yang terbatas. Desentralisasi telah membuka peluang yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk memperoleh dan meningkatkan pendapatan asli daerah sendiri.
Beberapa daerah yang memiliki jumlah penduduk, pembangunan ekonomi rendah, tingkat ketidaksetaraan yang lebih tinggi dan tingkat ketergantungan terhadap sumber daya alam terutama air yang lebih tinggi cenderung memiliki pemerintahan pemburu rente (rent seeker). Namun, ketika kesepakatan terkait kerjasama air tidak tercapai, konflik seringkali terjadi. Selain itu, kurangnya koordinasi antara pemerintah daerah dan interpretasi yang tidak jelas terkait Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air juga berpotensi meningkatkan kerentanan konflik untuk terjadi.
Kata kunci: Hydropolitics, Air, Konflik, Desentralisasi.



1 Makalah ini pertama kali dipresentasikan pada Konferensi Nasional APSSI (Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia) dengan tema “Kecerdasan dalam Mengelola Kon-flik”, di Palembang 23-25 April 2013.
2
Abstract
Most studies on hydropolitics mainly focus on water disputes at inter states level. However, water conflict among regional governments in Indonesia indicated that this kind of conflict may also happened in a state namely at local governmental level. By focusing on the conflict of water in six local governments in Indonesia, this paper aims to examine how decentralization has contributed to water disputes between regions in Indonesia. This paper employs several theoretical frameworks from Malthusian to Marxist perspectives as well as the rent seeking theory in looking at the vulnerability of conflicts between regions with water abundance and those with limited water resource. Decentralization has opened wider opportunity for regional governments to generate their own revenues. Some regions that have a large number of population, lower economic development, higher level of inequality and natural resources dependence particularly water are likely to have a rent seeking government. However, when the agreement on rent seeking could not be achieved, then, conflict emerged. Additionally, lack of coordination among local governments and vague interpretation on the water law (UU no.7/2004) increased the vulnerability of conflict to erupt.
Keywords: hydropolitics, water, conflict, decentralization.












3
I. Pendahuluan
Sejarah panjang sentralisasi di masa Suharto telah menutup peluang bagi daerah untuk mengatur dan mengelola sendiri wilayahnya. Oleh karena itu, kran demokratisasi tahun 1998 tidak bisa lagi membendung tuntutan daerah kepada pemerintah pusat untuk melakukan desentralisasi otoritas dan fungsi. Desentralisasi di Indonesia kemudian digulirkan tahun 1999 ketika pemerintah mensahkan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang implementasinya baru berjalan pada tahun 2001. Undang-undang ini kemudian mengalami revisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Implementasi dari desentralisasi diharapkan mampu memberikan kestabilan bagi kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia dengan asumsi pemerintah daerah akan lebih responsif dalam mengelola kebutuhan dan kepentingan masyarakat di tingkat lokal sehingga kesejahteraan rakyat akan jauh lebih terjamin. Akan tetapi, terlepas dari berbagai dampak positif yang diharapkan, desentralisasi juga berpotensi melahirkan kondisi tidak stabil dan konflik. Hegre et al. (2001 dalam Murshed dan Tadjoeddin, 2008) berpandangan transisi demokrasi memiliki hubungan dengan peningkatan resiko konflik di suatu negara. Beberapa literatur lain juga menyebutkan bahwa desentralisasi membuka kran bagi persaingan antarwilayah sehingga mampu memicu konflik. Gerry van Klinken (2007) misalnya melihat bahwa reformasi yang dibawa desentralisasi memiliki hubungan dengan terjadinya konflik komunal di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan van Klinken, Sudana (2004) juga melihat perubahan yang terjadi karena desentralisasi telah meningkatkan level konflik terkait dengan permasalahan hutan di Indonesia.
Makalah ini bermaksud untuk melihat sejauh mana desentralisasi berpotensi menimbulkan konflik sumber daya alam dengan memfokuskan pada konflik air di beberapa wilayah di Indonesia. Mengapa desentralisasi penting menjadi fokus analisis karena dari semua kasus perselisihan terkait air di beberapa wilayah di Indonesia hampir semua terjadi setelah kebijakan desentralisasi digulirkan. Konflik air di beberapa daerah di Indonesia jugamemiliki beberapa bentuk antara lain konflik antara
4
masyarakat dengan pemerintah daerah, masyarakat dengan masyarakat lain, masyarakat dengan perusahaaan dan pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lain. Makalah ini hanya akan memfokuskan pada bentuk konflik yang terakhir, yakni konflik antara pemerintah daerah terkait dengan air sehingga unit analisis dari studi ini adalah pemerintah daerah.

Tabel 1
Konflik Air di beberapa wilayah di Indonesia setelah Desentralisasi
No
Pihak Yang Berkonflik
Tahun
1
PDAM dan Petani di beberapa daerah di Jawa Tengah
2005
2
Masyarakat dan Perusahaan Industri di Karanganyar, Jawa Tengah
2000
3
Petani di Wonogiri, Sukoharjo dan Klaten, Jawa Tengah
2004
4
PDAM Surakarta dan Masyarakat Boyolali, Jawa Tengah
2002
5
Petani di Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah
2004
6
PDAM Surakarta dan Pemerintah Daerah Klaten, Jawa Tengah
2012-sekarang
7
PDAM Kota Cirebon dan Pemerintah Daerah Kuningan, Jawa Barat
2004-2008
8
PDAM Badung dan Pemerintah Daerah Tabanan, Bali
2001, 2002
9
PDAM Bukittinggi dan Masyarakat Adat Sungai Tanan, Sumatera Barat
2001



















5
Dari beberapa kasus di tabel 1 makalah ini hanya akan memfokuskan pada konflik antara pemerintah daerah di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon; di Kabupaten Klaten dan Kota Surakarta, dan Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung. Pemilihan enam kabupaten dan kota ini tentu saja didasarkan atas alasan-alasan tertentu. Pertama, konflik yang dialami antar wilayah itu. Kedua, jenis konflik yang terjadi adalah konflik antar institusi pemerintah daerah.
Makalah ini merupakan hasil penelitian awal (preliminary research) yang bersumber dari data sekunder berupa data-data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di masing-masing wilayah yang menjadi fokus kajian dan juga dari “The Indonesian Sub-National Growth and Governance Dataset” yang disusun oleh The Institute of Development Studies, Inggris untuk proyek penelitian “Measuring the Economic Benefit of Better Local Economic Governance in Indonesia” pada tahun 2011 yang dipimpin oleh Dr. Neil McCulloch. Selain itu, studi ini juga menggunakan data sekunder dari sumber-sumber pemberitaan media terkait dengan konflik air di wilayah-wilayah yang menjadi fokus penelitian.

II. Kekayaan Sumberdaya Alam dan Konflik
a. Definisi Konsep dan Kajian Terkait
Secara logika, negara atau wilayah yang memiliki sumber daya alam melimpah tentu juga memiliki kemakmuran dan kesejahteraan dari sumber daya yang mereka miliki tersebut. Akan tetapi, banyak kajian ilmiah yang justru menemukan fakta sebaliknya dimana negara dengan kekayaan alam besar cenderung memiliki pertumbuhan rendah dibandingkan negara yang tidak memiliki kekayaan alam melimpah (Sach dan Warner, 1997, 2001 dalam Wick dan Bulte, 2006), rentan terhadap konflik dan perang (Collier dan Bannon, 2003 dalam Wick dan Bulte, 2006) dan rentan dari rent seeking (Leite dan Weidmann, 1999 dalam Wick dan Bulte, 2006). Karena itu, seringkali kekayaan alam yang melimpah dipandang sebagai kutukan. Terkait dengan konflik sumberdaya alam, makalah ini akan menggunakan definisi Green (2005) yang mengatakan konflik sumberdaya alam sebagai “a dispute between groups who are competing for the control over, use of, or responsibility for natural resources.

6
Hubungan antara kekayaan sumber daya alam dan konflik sudah banyak diperdebatkan di berbagai sumber ilmiah. Berbagai kajian empiris, baik yang menggunakan data antar negara maupun studi kasus pada satu negara, telah dilakukan. Di antara kajian-kajian itu, kajian Collier dan Hoeffler (2000) yang berkeyakinan bahwa kekayaan alam melimpah bisa meningkatkan resiko terjadinya konflik menjadi salah satu pelopor dalam melihat hubungan antara kekayaan alam dan konflik. Tidak mengherankan jika studi-studi selanjutnya berusaha menguji dan mengembangkan pandangan Collier dan Hoeffler. Salah satunya adalah studi yang dilakukan James D. Fearon (2005) yang mencoba menguji argumen Collier dan Hoeffler untuk melihat sejauhmana pengaruh melimpahnya kekayaan alam terutama komoditas ekspor utama seperti minyak, permata, dan bahan tambang komoditas ekspor lain terhadap konflik dan perang.
Selain itu, studi yang sama juga dilakukan oleh beberapa tokoh lain seperti James Ron (2005), Macartan Humphreys (2005), Olsson (2006; 2007), Paivi Lujala, Nils Petter Gleditsch dan Elisabeth Gilmore (2005). Selain kajian internasional, dalam konteks Indonesia studi yang dilakukan oleh Tadjoeddin (2007) juga mencoba melihat sejauh mana hubungan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap maraknya konflik di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil dari penelitian Tadjoeddin (2007) menunjukan ada hubungan antara kekayaan alam dengan konflik. Akan tetapi, hubungan itu berbeda-beda tergantung pada jenis konflik yang ada. Dalam penelitian terkait hubungan sumberdaya alam dan konflik, Tadjoeddin membagi konflik dan hubungannya dalam empat kategori. Pertama, terdapat hubungan kuat terkait konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam kategori ini terlihat bahwa distribusi hasil kekayaan yang melimpah antara pusat dan daerah memicu konflik yang terjadi di daerah. Kedua, konflik antara pemerintah dan masyarakat menunjukan hubungan yang kurang signifikan kalaupun terjadi konflik itu lebih disebabkan oleh buruknya manajemen pemerintah dalam mengelola sumberdaya. Ketiga, sumber daya alam dan konflik antara perusahaan dan masyarakat memiliki hubungan langsung dan jelas dan peluang konflik untuk mengarah pada kekerasan skala kecil cukup tinggi. Keempat, hubungan antara sumber daya alam dan konflik antar masyarakat menunjukan hubungan baik langsung maupun tidak langsung. Studi
7
Tadjoeddin ini tidak melihat bagaimana konflik antar pemerintah daerah. Selain itu, penelitiannya juga lebih memfokuskan sumber daya alam utama seperti gas, kayu, minyak, tembaga, dan emas. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengisi kekosongan kajian terkait konflik air antar pemerintah daerah pascadesentralisasi.
Air juga dipandang sebagai salah satu sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan konflik. Air dipandang sebagai sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan. Hal itu dikarenakan air merupakan sumberdaya alam yang bisa mengalami kelangkaan bagi sebagian wilayah. Karena itu, air seringkali menjadi bahan perebutan dan kemudian menjadi isu politik. Kajian terkait dengan konflik air dikenal dengan istilah hydropolitics. Istilah hydropolitics merupakan sebuah istilah baru dalam kajian akademik. Berbagai ahli telah memperdebatkan definisi istilah itu terutama terkait dengan aktor yang terlibat apakah hanya negara atau juga melibatkan aktor non-negara.
Dari beberapa perdebatan konseptual tersebut, makalah ini lebih cenderung akan menggunakan definisi yang dipakai Elhance (1997 dalam Turton dan Henwood, 2002) yang menyatakan hydropolitics adalah analisis sistematis terkait konflik dan kerjasama antar negara terkait dengan sumberdaya air internasional. Dari definisi ini terlihat hydropolitics fokus pada konflik dan kerjasama, melibatkan negara sebagai aktor utama, dan terjadi di cekungan sungai internasional yang melewati batasan antar negara. Walaupun kecenderungan hydropolitics lebih fokus pada kajian antar negara, tetapi fakta menunjukan bahwa air yang mengalir melewati batasan pemerintahan daerah yang berbeda dalam satu negara juga memungkinkan munculnya konflik dan kerjasama seperti yang terjadi di beberapa pemerintahan daerah di Indonesia setelah desentralisasi digulirkan. Oleh karena itu, penulis berpandangan kajian hydropolitics sebenarnya juga dapat diaplikasikan pada level lebih kecil dalam suatu negara, tapi berbeda pemerintahan. Kalau menilik definisi Elhance di atas, aplikasi pada level lokal masih bisa berlaku karena tetap memiliki fokus yang sama yakni melihat konflik dan kerjasama serta negara yang dalam hal ini pemerintah daerah sebagai aktor utama dan terjadi pada air yang mengalir melewati batasan antar daerah. Penelitian ini ingin melihat bagaimana konsep hydropolitics dalam tingkat lokal. Selain itu, merujuk pada definisi konflik sumberdaya alam dari Green di atas dalam makalah ini konflik air
8
didefinisikan sebagai perselisihan/konflik antar kelompok yang berkompetisi untuk mengontrol, menggunakan, dan bertanggung jawab terhadap air.
b. Perspektif Sosiologis dalam Melihat Konflik Sumberdaya Alam
Hubungan antara kekayaan alam dan konflik bisa dianalisis dengan menggunakan berbagai perspektif sosiologi antara lain teori Malthusian yang berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kebutuhan konsumsi manusia yang melebihi ketersediaan sumberdaya alam yang ada. Hal ini kemudian mendorong terjadinya berbagai dampak sosial yang negatif seperti perang (konflik), penyakit dan kelaparan (kemiskinan) (Malthus, 1978 dalam Green 2005). Teori Malthus ini dikritik karena dipandang mengabaikan peran inovasi teknologi dan faktor lainnya yang dipandang mampu meningkatkan kapasitas dunia.
Sementara itu, teori ekonomi klasik berpandangan pengembangan pasar merupakan kunci untuk menyeimbangkan pembangunan dan Jurnal Demokrasi dan HAM konsumsi yang berlebihan (Green, 2005). Dalam hal ini perkembangan ekonomi sangat penting untuk melepaskan ketergantungan suatu wilayah terhadap sumberdaya alam karena pasar akan membuka peluang bagi munculnya sumber ekonomi lain selain sumberdaya alam yakni pendapatan dari sektor riil seperti perdagangan, manufacturing, transportasi, dan pelayanan yang tumbuh dari keterbukaan pasar yang didorong perkembangan inovasi teknologi. Teori ini juga dikritik oleh teori Marxist yang berpandangan bahwa pasar bebas melahirkan disparitas antara kaum berpunya dan kaum tidak berpunya.
Dalam konteks sumberdaya alam, pasar bebas akan melahirkan konflik kepentingan antara kelompok yang mempunyai kepemilikan sumberdaya alam lebih terhadap mereka yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali sumberdaya alam. Oleh karena itu, ketimpangan (inequality) sosial sangat berpengaruh bagi munculnya konflik. Sejalan dengan Marxist, Schnaiberg dan Gould juga berpandangan pertumbuhan ekonomi menyebabkan ketimpangan sosial dan konflik terkait sumber daya alam terjadi sebagai hasil dari polusi dan kerusakan alam yang terjadi serta pembagian hasil alam yang tidak seimbang. (Green, 2005). Terkait dengan pembagian hasil, negara atau wilayah dengan sumberdaya alam yang banyak akan
9
memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan rent seeking. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan usaha yang dilakukan baik untuk memperoleh maupun mempertahankan pemindahan kekayaan (Pasour, 1983). Dalam hal ini, wilayah yang memiliki sumberdaya alam akan cenderung untuk berusaha memperoleh keuntungan dari pemakaian sumberdaya alam yang dilakukan. Wilayah yang memiliki sumberdaya air biasanya akan menentukan aturan batasan pemakaian dan tarif yang harus dipenuhi oleh wilayah atau negara yang memakai. Jika ketentuan kuota pemakaian dan tarif tidak bisa dipenuhi, maka konflik dapat terjadi. Dalam konteks desentralisasi di Indonesia, daerah berpeluang untuk mengurus sendiri pemerintahan sekaligus memberi keleluasaan bagi daerah untuk memperoleh sumber penghasilan sendiri. Hal ini di satu sisi membuka peluang atau pasar terbuka bagi peningkatan ekonomi tiap daerah. Namun, di sisi lain kompetisi tiap daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan inequality antar berbagai daerah yang memiliki penghasilan daerah tinggi dan rendah. Hal ini diperburuk dengan perkembangan ekonomi yang rendah, pendapatan sektor riil yang rendah, tingkat kemiskinan tinggi, dan jumlah penduduk tinggi. Dalam kondisi seperti ini wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alam akan cenderung melakukan tindakan rent seeking untuk meningkatkan pendapatan daerah. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka jalur konflik akan dipilih sebagai penyelesaian.
Makalah ini mencoba melihat bagaimana desentralisasi yang telah bergulir di Indonesia telah mendorong perbedaan faktor struktural di beberapa daerah yang meliputi jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, pendapatan asli daerah, pendapatan dari sektor riil, tingkat kemiskinan tiap daerah, dan juga jumlah penduduk di enam daerah yang menjadi fokus kajian berpengaruh bagi munculnya konflik air di daerah tersebut. Perbedaan struktural tersebut seringkali mendorong pemerintah daerah untuk mencari alternatif bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan daerahnya melalui uang kompensasi penggunaan air oleh daerah lain. Jika kesepakatan terkait kompensasi penggunaan air tidak terwujud, maka seringkali konflik menjadi jalan keluar sebagai bentuk negosiasi dan perlawanan dari pemerintah daerah yang memiliki sumber air.

10
III. Gambaran Konflik Air di Beberapa Wilayah di Indonesia
a. Konflik Air antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon
Dua wilayah ini berada di bawah pemerintahan provinsi Jawa Barat. Kabupaten Kuningan yang berada di lereng gunung Ciremai, dikaruniai sumber air yang melimpah dari bebagai sumber mata air yang ada. Kabupaten ini juga merupakan salah satu wilayah hulu yang banyak mengalirkan air ke wilayah yang lebih rendah seperti salah satunya Kota Cirebon. Kota Cirebon yang berlokasi di wilayah hilir berdekatan dengan pesisir pantai, cenderung memiliki sumber air bersih yang sedikit. Oleh karena itu, sebagian besar atau sekitar 80% sumber air bersih di Kota Cirebon dipasok dari Kabupaten Kuningan.
Kota Cirebon telah menggunakan air dari Kabupaten Cirebon semenjak tahun 1830 yang bersumber dari mata air Cipaniis terletak di Desa Paniis, di kaki Gunung Ciremai (beritadaerah.com, 2008). Pemakaian air yang sebelumnya telah lama terjadi berjalan normal tanpa ada konflik sama sekali. Akan tetapi setelah desentralisasi digulirkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan kemudian mulai meminta kompensasi atas penggunaan air dari wilayahnya. Sebelumnya, Pemerintah Kota Cirebon telah membayar pajak penggunaan air bawah tanah ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang menurut undang-undang, pajak itu harus dibagi dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan sebagai pihak yang memiliki mata air (Koran Tempo dalam infoanda.com, 2004). Namun semenjak tuntutan dari Kabupaten Kuningan untuk menerima langsung kompensasi pemanfaatan air, konflik air di dua wilayah ini mulai mencuat yang kemudian melahirkan Memorandum of Understanding (MoU) bersama antara pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan pada tahun 2004 (Bappenas, 2011). MoU tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan. Pertama, batas air yang bisa dipakai oleh Kota Cirebon sebesar 860 liter per detik untuk itu Kabupaten Kuningan membuat ‘gate valve’ sebagai alat pengatur debit air (Ekowisata.org, 2013). Kedua, Kota Cirebon harus membayar uang kompensasi sebesar Rp. 80,- per meter kubik air yang dikonsumsi oleh pelanggan PDAM Kota Cirebon. Uang kompensasi ini jumlahnya beragam tiap tahun, namun rata-rata Kota Cirebon membayarkan uang kompensasi sebesar 2 miliar rupiah per tahun ke Kabupaten Kuningan uang ini menurut
11
kesepakatan akan digunakan untuk program konservasi agar keberadaan mata air tetap bisa terjaga (beritadaerah.com, 2008). Akan tetapi, tentu saja transparansi dari penggunaan uang kompensasi ini tentu saja masih perlu dipertanyakan.
Sejak MoU itu dibuat pada tahun 2005 Kota Cirebon membayar uang kompensasi kepada Kabupaten Kuningan. Sedangkan pada tahun 2006 dan 2007, pemerintah provinsi Jawa Barat yang menanggung pembayaran kepada pemerintah Kabupaten Kuningan (beritadaerah.com, 2008). Konflik air kemudian memanas kembali pada tahun 2008 karena Kota Cirebon dipandang tidak mau membayar kompensasi tahun 2008 senilai 1.7 millair rupiah. Kabupaten Kuningan mulai menutup aliran air sehingga Kota Cirebon sepanjang tahun 2008 menghadapi demonstrasi penduduk yang kekurangan air. Puncaknya terjadi pada 10 November 2008 ketika massa dalam jumlah besar berdemonstrasi di gedung DPRD. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencoba memediasi kedua pemerintah yang berkonflik hingga tercapai kesepakatan untuk kembali melaksanakan kesepakatan tahun 2004 dan Kota Cirebon membayar uang kompensasi sebesar 1.7 milliar Rupiah kepada Kabupaten Kuningan. Setelah tahun 2008 konflik air Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan beralih pada fase baru. Walaupun sampai saat ini masih membayarkan uang kompensasi kepada Kabupaten Kuningan, Pemerintah Kota Cirebon sejak tahun 2008 sudah mulai mempertanyakan dasar hukum pembayaran uang kompensasi kepada Kabupaten Kuningan karena sejak tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 242/2004 telah dibentuk Badan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai -.
Di samping itu, Walikota Cirebon sendiri mempertanyakan status hukum uang kompensasi tersebut. Apakah memang harus dibayarkan kepada Kabupaten Kuningan langsung atau melalui program konservasi langsung bekerjasama dengan Badan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai (beritadaerah.com, 2008). Jadi, walaupun sampai saat ini belum adalagi konflik yang cukup signifikan setelah tahun 2008, potensi untuk munculnya konflik air di dua daerah ini masih mungkin terbuka mengingat kebijakan penanggung jawab pengelolaan air sampai saat ini belum jelas.


12
b. Konflik Air antara Kabupaten Klaten dan Kota Surakarta
Seperti halnya yang terjadi di Cirebon dan Kuningan, Kota Surakarta yang memiliki sumber daya air yang sedikit, menggantungkan sebagian besar pasokan air dari Kabupaten Klaten yang memiliki sumber air yang jauh melimpah. Hampir 50% kebutuhan air di Kota Surakarta dialirkan dari mata air Umbul Cokro, Tulung, Klaten (Solopos, 2012). Pengaliran air dari Klaten ke Surakarta sudah berlangsung sangat lama, bahkan pipa penyaluran pertama sudah dipasang sejak tahun 1929 yang disalurkan ke Solo melewati Delanggu. Sedangkan pipa kedua dipasang tahun 1981 yang disalurkan ke Solo melalui Janti dan Tegalgondo (Solopos, 2013a). Setelah desentralisasi kedua wilayah ini merupakan bagian integral dari kerjasama Subosukawonosraten yakni kerjasama antar kabupaten dan kota yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karnganyar, Wonogiri, dan Sragen. Kejasama ini diatur dalam Peraturan Bersama Antar Kabupaten/Kota Nomor 10/2001, Nomor 590/398/2001, Nomor 42/2001, Nomor 5/2001, Nomor 54.a/2001 dan Nomor 590/1414/2001 yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 2001. Kerjasama terkait air juga diatur dalam peraturan bersama ini (Solopos, 2013b).
Konflik air antar dua wilayah ini baru mencuat diakhir tahun 2012 lalu. Konflik ini terjadi karena Kota Surkarta dipandang tidak mau membayar tunggakan pemanfaatan air sepanjang tahun 2012 yang berjumlah 4.1 miliar rupiah (Solopos, 2013b). Selain itu, pemerintah Kabupaten Klaten juga menganggap alat pengukur debit air PDAM Solo sudah rusak sejak tahun 2007 sehingga debit air yang mengalir tidak terkontrol (Solopos, 2013a).
Akibat dari konflik tersebut, Bupati Klaten mengancam akan melakukan penghentian pasokan air ke Solo dan lebih memilih mengalirkan ke pertanian di Klaten. Sementara itu, walikota Surakarta balik mengancam jika pemberhentian benar dilakukan bupati Klaten akan dituntut karena dipandang telah melanggar hak asasi manusia. Walaupun sudah dimediasi sampai saat ini belum ada penyelesaian yang jelas. Sebelum konfik berlangsung Kota Surakarta dalam hal ini PDAM Solo memberikan pembayaran kepada pemerintah Kabupaten Klaten sebagai bentuk sumbangan dari pihak ketiga seperti

13
tertuang dalam peraturan daerah provinsi Jawa Tengah Nomor 7/2002 (Solopos, 2013b). Oleh karena status sebagai sumbangan, pembayaran tersebut bersifat tidak mengikat dan tidak ada batasan tarif yang jelas. Selain memberikan pembayaran kepada Pemerintah Kabupaten Klaten ternyata PDAM Solo juga mempunyai kewajiban membayar pajak air permukaan kepada pemerintah provinsi Jawa Tengah (Solopos, 2013b). Penunggakan pembayaran ini menurut pihak Kota Surakarta bukan karena mereka tidak mau membayar akan tetapi menunggu ketetapan yang jelas berapa tarif yang harus dibayarkan, sementara itu penetapan tarif oleh Kabupaten Klaten didasarkan asumsi bahwa air dari Umbul Cokro Tulung merupakan air tanah. Sedangkan bagi pihak Surakarta seperti yang dikemukakan oleh sekretaris daerah Surakarta air tersebut merupakan air permukaan (Solopos, 2013c).
Pihak Surakarta menyerahkan permasalahan ini kepada gubernur provinsi Jawa Tengah untuk memberikan rekomendasi tepat terkait kasus ini (Solopos, 2013b). Walaupun pihak provinsi diwakili sekretaris daerah provinsi mencoba memediasi dan sudah menetapkan bahwa air Cokro Tulung merupakan air tanah ternyata belum dapat menyelesaikan perselisihan terkait air. Kedua belah pihak masih belum mencapai kesepakatan terkait sumbangan yang mesti dibayarkan.
c. Konflik Air antara Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung
Tidak jauh berbeda dengan empat wilayah di atas, Kabupaten Badung juga menggantungkan sebagian besar pasokan air dari Kabupaten Tabanan yang memiliki potensi air jauh lebih banyak dan pemakaian yang terhitung lebih sedikit dibandingkan Kabupaten Badung. Pemakaian air di Kabupaten Badung lebih banyak dialokasikan untuk pariwisata karena sebagian besar penduduk (34,22%) bekerja di sektor pariwisata dan Kabupaten Badung memimiliki 33 tempat wisata yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Badung. Sedangkan bagi Kabupaten Tabanan yang hanya memiliki 13 lokasi wisata, kebutuhan air lebih banyak dialokasikan ke pertanian (Trisnawati, 2011). Akan tetapi, pada tahun 2001 pemerintah Kabupaten Badung berencana menghentikan pembayaran kontribusi pemanfaatan air. Hal ini kemudian menuai respons dari Kabupaten Tabanan untuk menaikan tarif pemakaian air dan penghentian penyaluran air jika memang Kabupaten Badung menghentikan
14
pembayaran (Ramdan, 2006). Walaupun saat ini konflik di antara kedua kabupaten itu tidak muncul lagi, tetapi potensi ke arah itu tetap masih terbuka selama tidak ada kesepakatan jelas antara kedua belah pihak.
IV. Faktor yang Berkontibusi bagi Munculnya Konflik Air
Seperti dikemukakan di bagian kerangka teori di atas, desentraliasi berpotensi untuk memunculkan konflik karena desentralisasi membuka peluang seluas-lausnya bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) mereka dari berbagai sumber termasuk salah satunya dari sumber daya alam yang mereka miliki, seperti air. Ketergantungan daerah terhadap pendapatan dari sumber air bisa terlihat jika pendapatan dari sektor riil mereka juga rendah sehingga, pendapatan dari sumber air merupakan peluang besar bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Ketergantungan terhadap kontribusi air juga akan semakin tinggi ketika ketimpangan antar daerah tinggi, yang dalam hal ini bisa dilihat dari tingkat kemiskinan yang tinggi dan perkembangan ekonomi yang rendah. Kondisi ini diperburuk juga dengan beban daerah yang lebih tinggi karena jumlah penduduk yang juga tinggi. Kondisi-kondisi ini lah yang kemudian mendorong daerah dengan sumber air berlimpah untuk melakukan tindakan rent seeking, yakni mengharapkan pemindahan kekayaan dari daerah pengguna air dalam bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh daerah pengguna air. Jika, hal ini tidak terpenuhi maka konflik lah yang kemudian ditempuh untuk tetap memperoleh kompensasi yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah mereka.
Dari enam wilayah yang menjadi fokus kajian terlihat bahwa konflik muncul ketika daerah pengguna air tidak membayar kompensasi yang diharapkan oleh daerah penyalur air. Untuk mendukung argumen yang penulis bangun, data-data di bawah ini akan menjadi sumber pendukung terkait faktor apa saja yang berkontribusi bagi munculnya konflik air di berbagai wilayah di Indonesia.
a. Pendapatan Asli Daerah Rendah
Dari enam daerah yang menjadi fokus kajian terlihat adanya perbandingan pendapatan asli daerah yang tidak seimbang antara tiga wilayah yang pengguna air dan tiga wilayah penyalur air. Dalam hal ini, daerah dengan sumber air yang melimpah justru memiliki
15
pendapatan asli daerah yang lebih rendah dibandingkan daerah yang sumber airnya sedikit. Grafik di bawah ini misalnya menunjukan bahwa dari tahun ke tahun pendapatan asli daerah Kota Cirebon selalu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan asli daerah Kabupaten Kuningan. Bahkan, pendapatan asli daerah yang dimiliki Kabupaten Kuningan yang rendah itu sudah termasuk sumbangan pemanfaatan air dari Kota Cirebon.
Hal yang serupa juga terjadi dengan Kabupaten Klaten dan Kota Surakarta. Sebagai Kabupaten yang memiliki sumber air yang lebih banyak justru pendapatan asli daerah Kabupaten Klaten selalu lebih rendah dibandingkan dengan Kota Surakarta. Sehingga ketika Kota Surakarta menunggak pembayaran pemakaian air, otomatis mengganggu peningkatan pendapatan asli daerah bagi Kabupaten Klaten. Grafik di bawah ini menunjukan bahwa sejak tahun 2001 berturut-turut hingga tahun 2012 pendapatan asli daerah Kabupaten Klaten selalu lebih rendah dibanding Kota Surakarta. Bahkan ketika pada tahun 2009 pendapatan asli daerah Surakarta sudah mencapai 101 juta pendapatan asli daerah Klaten masih berada diangka 53 juta jadi perbedaan pendapatan asli daerah keduanya hampir 50%.
Seperti halnya keempat daerah di atas, ketimpangan jumlah pendapatan asli daerah yang diperoleh oleh Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung menunjukan angka yang sangat jauh perbedaannya. Dibandingkan dengan empat kabupaten dan kota sebelumnya Kabupaten Tabanan termasuk memiliki pendapatan asli daerah yang cukup tinggi. Akan tetapi, dibandingakan Kabupaten Badung yang memiliki tempat tujuan wisata internasional yang jauh lebih banyak, pendapatan asli daerah Kabupaten Tabanan termasuk jauh lebih rendah. Ketika pendapatan asli daerah Kabupaten Badung sudah mencapai angka ratusan juta rupiah, pendapatan asli daerah Kabupaten Tabanan masih mencapai puluhan juta, dan ketika Kabupaten Badung sudah mencapai angka milyaran rupiah Kabupaten Tabanan baru bisa mencapai angka ratusan juta rupiah. Dari data di atas terlihat jelas rendahnya pendapatan asli daerah daerah yang memiliki sumber air yang melimpah justru membuat daerah-daerah tersebut berusaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah mereka bergantung dari kontribusi daerah yang memakai sumber air yang mereka miliki. Dalam hal ini pemerintah daerah cenderung melakukan tindakan rent seeking. Ketika rent yang diharapkan dalam bentuk pembayaran kompensasi tidak terwujud, maka seperti yang dikemukakan di atas daerah seperti Kuningan, Klaten, dan Tabanan lebih memilih jalur konflik.
b. Pendapatan Sektor Riil Rendah
Selain karena pendapatan asli daerah rendah ketergantungan terhadap pendapatan dari sumber air juga diperkuat dengan rendahnya pendapatan pada sektor riil di masing-masing daerah penyedia air. Pendapatan sektor riil yang rendah ini kemudian membuat daerah bergantung lebih besar kepada rent yang bisa diperoleh dari pemanfaat sumber air yang mereka miliki. Di bawah ini merupakan data pendapatan tiap daerah yang menjadi fokus kajian dari beberapa sektor riil seperti konstruksi, manufaktur, perdagangan, restoran dan hotel, transportasi dan komunikasi.
Dari konstruksi, transportasi dan komunikasi terlihat bahwa daerah yang memiliki sumber air seperti Kuningan, Klaten dan Tabanan hanya memperoleh pendapatan yang jauh sangat rendah dibandingkan daerah-daerah yang memiliki sumber air yang lebih sedikit. Sedangkan dari perdagangan, restoran dan hotel hampir semua wilayah yang memiliki sumber air yang banyak tetap memiliki kecenderungan pendapatan yang rendah kecuali Surakarta yang Justru memperoleh pendapatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Klaten.
Hal yang serupa juga terlihat dari manufaktur, hampir semua daerah yang menjadi fokus kajian menunjukan tren yang sama yakni daerah yang memiliki sumber air cenderung memperoleh pendapatan yang rendah dari sektor ini kecuali yang terjadi pada Badung dan Tabanan, dimana keduanya hampir memiliki pendapatan yang cenderung sama.
c. Produk Domestik Regional Bruto/Gross Regional Domestic Product Rendah
Selain pendapatan asli daerah dan pendapatan sektoral yang rendah, wilayah yang memiliki sumber air yang lebih banyak cenderung justru memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) yang rendah. Produk domestik regional bruto merupakan salah satu indikator dari ekonomi makro yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan dan struktur ekonomi di suatu wilayah.
Berbeda dengan poin sebelumnya yang lebih memfokuskan pada pendapatan sektoral, poin ini lebih menekankan pada total produk domestik regional bruto yang dimiliki oleh suatu wilayah. Kabupaten Kuningan yang memiliki sumber air lebih banyak dibandingkan Kota Cirebon Justru memiliki produk domestik regional bruto yang jauh lebih rendah. Berbeda dengan Kuningan dan Cirebon yang memiliki perbedaan produk
17
domestik regional bruto yang sangat jauh, Kabupaten Klaten dalam hal ini justru memiliki produk domestik regional bruto yang lebih tinggi dibanding Kota Surakarta. Akan tetapi dengan perbedaan yang tidak terlalu banyak dan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak di Klaten (sekitar 1 juta 200an ribu jiwa penduduk pada tahun 2001), nilai produk domestik regional bruto yang dimiliki Klaten saat ini bisa terbilang cukup kecil dibandingkan Surakarta yang hanya memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit (sekitar 400 an ribu jiwa penduduk pada tahun 2001).
Hal yang serupa juga terlihat dari produk domestik regional bruto Kabupaten Tabanan dan Badung. Kabupaten Badung yang menggantungkan kebutuhan airnya dari Tabanan justru memiliki produk domestik regional bruto yang jauh lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Tabanan.
d. Ketimpangan Sosial
Desentralisasi telah membuka keleluasaan bagi daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk peluang bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sumber yang lebih luas. Pada satu sisi kebebasan ini mungkin memotivasi bagi perkembangan ekonomi daerah akan tetapi di sisi yang lain hal ini menimbulkan ketimpangan antara daerah yang kaya dan yang miskin. Dalam poin ini penulis akan melihat bagaimana tingkat kemiskinan dan perkembangan ekonomi di enam daerah yang menjadi fokus kajian. bahwa semua daerah yang memiliki sumber air yang lebih melimpah justru memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kelangkaan sumber air.
e. Jumlah Penduduk Tinggi
Selain pendapatan asli daerah yang rendah, pendapatan domestik dari sektor riil yang rendah, produk domestik regional bruto yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi beban daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya juga semakin berat jika jumlah penduduk di daerah tersebut relatif tinggi.
f. Koordinasi antar Pemerintah Daerah Lemah dan Aturan Hukum Tidak Jelas
Selain beberapa faktor ekonomi yang disebutkan di atas, penulis berargumen bahwa, konflik juga bisa muncul jika koordinasi antar pemerintah daerah tidak jelas terkait dengan kerjasama pemanfaatan air. Koordinasi yang lemah ini juga bisa dipicu oleh ketidakjelasan aturan hukum yang mengatur pemanfaatan air. Dalam kasus Cirebon dan Surakarta misalnya, selain mereka harus membayar kepada Kuningan dan
18
Klaten, ternyata mereka juga harus membayar kepada pemerintah provinsi. Hal ini bisa mengarah pada konflik ketika koordinasi terutama terkait pembagian kompensasi yang tidak jelas terjadi. Desentralisasi yang lebih menekankan pada ranah kabupaten, menimbulkan kerancuan posisi pemerintah provinsi dalam kasus terkait air. Apakah memang pemerintah provinsi juga berhak atas kompensasi atau pajak penggunaan air atau hanya sepenuhnya diserahkan kepada daerah dimana sumber air itu berada. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terkait dengan air, pada pasal 6 ayat satu dan dua misalnya menyebutkan bahwa “sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (ayat 1), “penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah…”(ayat 2).
Dalam konteks desentralisasi seperti sekarang ini, tentu saja perlu dipertegas makna dari pemerintah/pemerintah daerah tersebut, agar tidak menumbulkan pemaknaan ganda. Terkait dengan pembiayaan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terkait dengan air dalam pasal 81 menyebutkan “ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”.
Dalam konteks daerah, peraturan yang lebih detail terkait jumlah nominal pembayaran (tarif) dan kuota pemanfaatan air ini harus lebih diperjelas dan disepakati oleh pikah-pihak terkait sehingga tidak membuka peluang untuk munculnya konflik. Dari beberapa wilayah yang menjadi kajian di atas terlihat bahwa konflik baru muncul ketika tidak ada kesepakatan yang jelas terkait dengan kuota pemanfaatan air dan tarif yang harus dibayarkan oleh pihak pengguna air. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya konflik air di waktu dan daerah yang lain aturan hukum terkait kerjasama penggunaan air antar daerah harus lebih diperjelas dan atas dasar kesepakatan bersama.






V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi memang membuka peluang bagi munculnya konflik air antar daerah ketika daerah-daerah tersebut satu sama lain cenderung memiliki ketimpangan ekonomi yang bisa dilihat dari rendahnya PAD, pendapatan sektor riil, PDRB dan ketimpangan sosial yang bisa dilihat dari tingkat kemiskinan yang tinggi. Selain itu, faktor jumlah penduduk yang cukup tinggi juga memungkinkan beban daerah untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan sosial semakin tinggi. Selain faktor-faktor di atas, koordinasi dan aturan hukum yang tidak jelas juga berpotensi untuk memunculkan konflik air antar daerah yang menggunakan dan menyalurkan air. Desentralisasi saat ini tetap berpotensi bagi munculnya konflik air seperti pada enam wilayah di atas, sehingga pemerintah seharusnya merumuskan aturan hukum yang jelas dan disepakati pihak yang terkait.





















DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. (2011). Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumberdaya Air. Info Kajian Bappenas, Vol 8, No. 1, pp. 102-118.
Beritadaerah.com. (2008). Catatan Akhir Tahun – Konflik Air Cirebon-Kuningan Memanas Sepanjang 2008. 19 Desember, website:
http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa& id=5905&sub=Artikel&page=22 (Diakses 27 November 2010).
Collier, P. dan Hoeffler, A. (2000). Greed and Grievance in Civil Wars. Working Paper WPS 2000-18, World Bank, Washington, DC.
Dirjen Perimbangan Keuangan. (2013). Data Keuangan Daerah. website: http://www.djpk.depkeu.go.id/data-series/data-keuangan-daerah/setelah-ta-2006 (diakses 15 Februari 2013).
Ekowisata.org. (2013). Kuningan – Cirebon, Kemesraan Hulu – Hilir. 28 Januari, website: http://ekowisata.org/kuningan-%E2%80%93-cirebon-kemesraan-hulu-hilir/?article2pdf=1 (diakses 05 April 2013).
Green, B. E. (2005). A General Model of Natural Resource Conflicts: the Case of International Freshwater Disputes. Sociológia, Vol. 37, No. 3, pp. 227-248.
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 31
Fearon. J. D. (2005). Primary Commodity Exports and Civil War. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 4, pp. 483-507.
Humphreys, M. (2005). Natural Resources, Conflict, and Conflict Resolution: Uncovering the Mechanisms. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 4, pp. 508-537.
Koran Tempo .(2004). Kuningan dan Cirebon Bentuk Tim Atasi Konflik Air. 5 November, website: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=U1gBBAVXAV1d (diakses 27 November 2010).
Lujala, P., Gleditsch, N. P. dan Gilmore, E. (2005). A Diamon Curse? Civil War and Lootable Resource’. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 4, pp. 538-562.
Murshed, M. dan Tadjoeddin, M.Z. (2008). Is Fiscal Decentralization Conflict Abating? Routine Violence and District Level Government in Java, Indonesia. MICROCON Research Working Paper 7, MICROCON, Brighton.
Olsson, O. (2006). Diamonds Are a Rebel’s Best Friend. The World Economy, Vol, 29, No. 8, pp. 1133–1149.
Olsson, O. (2007). Conflict Diamonds. Journal of Development Economics, Vol. 82, No. 2, pp. 267–286.
Pasour, E.C. (1983). Rent Seeking: Some Conceptual Problems and Implications’, Paper Presented at a New York University-Liberty Fund Research Seminar in Austrian Economics, USA.
Pudyastuti, P. dan Abdurrosyid, J. (2006). Measuring Water Conflict Potential: A Basic Principles. Dinamika Teknik Sipil, Vol. 6, No. 2, pp. 101-105.
Ramdan, H. (2006). Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Tesis Master, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solopos. (2012). Pemkab Klaten Ancam Solo: Giliran Walikota Solo Ancam Bupati Klaten. 6 Desember, website: http://www.solopos.com/2012/12/06/pemkab-klaten-ancam-solo-giliran-walikota-solo-ancam-bupati-klaten-354780 (diakses 21 maret 2013).




















Kajian Tematis



Meningkatkan Tata Pemerintahan Daerah
Sulawesi Tengah dan Maluku Utara



Juli 2004



Laporan independen ini disusun oleh Nina Shatifan, Rahmi Yunita, Riant Nugroho
Dwidjowijoto dan Muhamad Abas dan tidak mesti mewakili pandangan UNDP atau
BAPPENAS.















2
Singkatan dan Akronim

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, National Budget (and Expenditure)
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Regional Budget (and Expenditure)
Bappeda : Badan Perencana Pembangunan Daerah, Regional Development Planning Agency
Bappenas : Badan Perencana Pembangunan Nasional, National Development Planning Agency
Bawasda : Badan Pengawas Daerah, Regional Auditor Agency
Bedup : Bekal Hidup, Capital (Security) Funds
BKN : Badan Kepegawaian Nasional, National Personnel Agency. Sebelumnya bernama BAKN, Bad anAdministrasi Kepegawaian Negara, National Personnel Administration Agency
BPS : Biro Pusat Statistik, Statistical Central Bureau/Agency
Camat : Kepala unit administrasi kecamatan yang merupakan pegawai negeri sipil
CBO : Community Based Organization, Organisasi Berbasis Masyarakat, merujuk
pada organisasi rakyat/masyarakat yang dipimpin oleh pemimpin
informal/lokal
DAU : Dana Alokasi Umum, General Allocation Fund (Hibah Umum)
DAK : Dana Alokasi Khusus, Specific Allocation Fund (Hibah Khusus)
Diklat : (Pusat) Pendidikan dan Pelatihan, Education and Training (Center)
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat, National Parliament/Legislature
DPRD : Dewan Perwakilan Daerah, Regional/Local Parliament/Legislature
HAM : Hak Asasi Manusia, Human Rights
IDP : Internally Displaced People, pengungsi (dalam tapal batas suatu negara)
Jadup : Jaminan Hidup, Life (Security) Funds
PRSP : Poverty Reduction Strategy and Programme, Program dan Strategi
Pengentasan Kemiskinan
Kesbanglinmas : (Badan) Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
masyarakat/(Board for) National Unity and People’s Protection
KK : Kartu Keluarga, Family Card/Identity
KPK : Komite Penanggulangan Kemiskinan, Committee for Poverty Alleviation
KTP : Kartu Tanda Penduduk, Citizen Identity Card. Ada tiga jenis KTP: nasional,
daerah, dan sementara, tergantung program KTP di daerah yang
bersangkutan.
MDG : Millennium Development Goals, Tujuan Pembangunan Milenium, visi PBB
untuk abad ke 21.
MenPAN : Menteri Negara Pendayagunaan Apatur Negara, State Minister for State Apparatus Utilization or State Minister for State Apparatus Efficiency Increasement ( kadang-kadang diterjemahkan sebagai State Minister for State Apparatus Reform)
MOF : Minister of Finance, Menteri Keuangan
MOHA : Minister of Home Affairs, Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
NGO : Non Government Organization, or Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
PAD : Pendapatan Asli Daerah, or Local/Regional (indigenous) Revenue.
Pemda : Pemerintah Daerah, Regional or Local Government, yang merujuk pada
pemerintah Propinsi, Kota, atau Kabupaten. Dalam laporan ini yang disebut sebagai pemerintah kabupaten dapat berarti pemerintah Kota atau Kabupaten.
Pemkab : Pemerintahan Kabupaten, Municipality Administration
Pemkot ; Pemerintah Kota, City Administration
Pemprov : Pemerintah Propinsi, Province Administration
Perda : Peraturan Daerah, Law at the regional/local leve.
Posko : Pos  Komando,  Commanding Office,  pos militer/polisi di daerah
pascakonflik dengan tugas memantau gerakan konflik
PPK : Program Pengembangan Kecamatan,  Kecamatan Development Program
(KDP); proyek pembangunan mikro dari Bank Dunia
Satkorlak  : Satuan Koordinasi Pelaksana, Provincial Disaster and Emergency
Coordinating Unit
Sekda : Sekretaris Daerah, Regional Secretary. Merupakan kantor tingkat kedua
dalam pemerintah daerah setelah gubernur, bupati, atau walikota. Dapat
disamakan dengan Sekretaris Negara,State Secretary pada tingkat nasional.
SK : Surat Keputusan, Letter of Decision
UU : Undang-Undang, tingkat nasional.





























Kata Pengantar

Unit Pencegahan Krisis dan Pemulihan (Crisis Prevention and Recovery Unit/CPRU) yang bernaung di bawah United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia telah aktif di Maluku Utara dan Maluku selama tiga tahun terakhir ini dengan kegiatan utama prakarsa-prakarsa pemulihan multisektoral yang melengkapi upaya Pemerintah Republik Indonesia melakukan pemulihan pascakonflik, pembinaan perdamaian jangka panjang, dan pembangunan yang berkelanjutan. UNDP juga sedang mengembangkan program tiga tahun di Sulawesi Tengah yang bertujuan mendukung proses perdamaian, melakukan tindakan jangka pendek yang ditujukan bagi masyarakat rentan, dan merancang program untuk masa depan melalui kerjasama dengan pemerintah setempat dan masyarakat madani. Di ketiga propinsi tersebut UNDP bekerja sama dengan berbagai mitra pada tingkat propinsi dan kabupaten seperti Pemerintah, lembaga-lembaga PBB, LSM Internasional, dan organisasi masyarakat madani. Pada tahun 2004, CPRU bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memulai suatu proses perencanaan dalam rangka mengidentifikasi tantangan dan peluang utama pencegahan krisis dan perdamaian yang berkelanjutan di daerah-daerah yang bergejolak di Indonesia. Dari proses tersebut akan diperoleh prioritas-prioritas tahapan program selanjutnya di daerah propinsi, serta revisi strategi dan prioritas Program Pencegahan Krisis dan Pemulihan secara keseluruhan. Analisis di daerah tersebut menekankan tiga propinsi - Maluku Utara, Maluku dan Sulawesi Tengah - tempat CPRU/UNDP telah mendukung berbagai program semenjak tahun 2001.
Masing-masing analisis propinsi memiliki tiga komponen, yaitu (i) lokakarya multi-pemangku kepentingan (multistakeholder) tingkat propinsi, (ii) penelitian yang mencakup tinjauan pustaka, survei persepsi lokal serta studi kasus, dan (iii) kajian tematis atas aspek-aspek utama pencegahan krisis dan pembangunan perdamaian yang telah diidentifikasi. Kajian-kajian tingkat propinsi yang diamanatkan oleh UNDP mencakup isu tematis (a) pembangunan ekonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam, (b) tata pemerintahan daerah yang demokratis, (c) media massa dan informasi, (d) kohesi sosial dan pemuda, dan (e) perempuan dan jender. Kesimpulan utama kajian-kajian tersebut dirangkum dalam makalah sintesis yang bersama dengan semua laporan tematis lainnya dapat dilihat di website UNDP Indonesia www.undp.or.id. Kajian tematis berikut membahas isu peran pemerintahan daerah dalam konflik dan pembangunan perdamaian dan disusun oleh tim pengkaji terdiri dari Nina Shatifan, Rahmi Yunita, Rianti Nugroho Dwidjowijoto, and Muhamad Abas. Tim ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu pelaksanaan kajian ini dan atas waktu yang disediakan untuk berbincang dengan tim pengkaji di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. UNDP mengucapkan terima kasih kepada Bappenas dan  peer reviewer lainnya. Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dana Department for International Development Inggris dan UNDP.


























Daftar Isi

1.  PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………….5
1.1Tata Pemerintahan dan Tanggapan Pascaperang……………………………………………....……5
1.2Tata Pemerintahan Daerah dan Perdamaian…………………………………….……………………6
1.3Mengkaji Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara………………………6

2.TATA PEMERINTAHAN DI SULAWESI TENGAH…………………………………………….………...9
2.1Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Pemerintahan……………………………………………….9
2.2Administrasi Pemerintahan…………………………………………………………………...…………….10
2.3Pelayanan Publik.......................................................................................................................................11
2.4Pengelolaan Fiskal dan Keuangan………………………………………………………………………12
2.5Masyarakat Madani……………………………………………………………………………………….…...12
2.6Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)…………………………………………………………14
2.7Badan Perwakilan Desa (BPD)…………………………………………………………………………...14

3.TATA PEMERINTAHAN DI MALUKU UTARA………………………………………………………...16
3.1Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Pemerintahan…………………………………………….16
3.2Administrasi Pemerintahan……………………………………………………………………………….17
3.3Pelayanan Publik………………………………………………………………………………………………18
3.4Pengelolaan Fiskal dan Keuangan……………………………………………………………………..18
3.5Masyarakat Madani…………………………………………………………………………………………..18
3.6DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)…………………………………………….20
3.7  BADAN PERWAKILAN DESA (BPD)………………………………………………………………….21

4.  MASALAH TATA PEMERINTAHAN DI DAERAH-DAERAH PASCAKONFLIK DI
INDONESIA………………………………………………………………………………………………………22
4.1Tingkat Nasional…………………………………………………………………………………………..…22
4.2Pemerintah Daerah………………………………………………………………………………………....22
4.3DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)…………………………...………………24
4.4Badan Perwakilan Desa………………………………………………………….………………………..24
4.5Masyarakat Madani…………………………………………………………………………………….....25
4.6Risiko-risiko Di Masa Depan………………………………………………………………….………26
4.7Peluang bagi Penyediaan Dukungan………………………………………….…………………..27






























1. Pendahuluan
1.1  Tata Pemerintahan dan Tanggapan Pascaperang
Mempromosikan tata pemerintahan yang baik telah menjadi komponen penting dalam tanggapan-tanggapan pembangunan sesudah peperangan sipil. Secara global, tanggapan-tanggapan seperti ini mencakup penyusunan konstitusi dan desain tatanegara; pendirian lembaga-lembaga pengawas (watchdog institutions); komisi kebenaran dan prosedur-prosedur pengadilan pidana; desentralisasi dan tata pemerintahan daerah; pembaruan sector keamanan; pemilihan umum; penyusunan sistem-sistem pemilu dan partai-partai politik; penyediaan dukungan bagi organisasi-organisasi pembela hak-hak asasi manusia; proyek-proyek pemberdayaan, terutama yangmendorong kerjasama di antara masyarakat-masyarakat yang terbagi dan komite-komite perdamaian. Pertemuan-pertemuan belum lama ini yang diselenggarakan oleh UNDP telah membantu merumuskan beberapa kesimpulan mengenai sifat intervensi pemerintah dalam program-program pascakonflik yang dapat membantu mengarahkan penyusunan program di masa
depan.
Kesimpulan-kesimpulan ini adalah:
• Dibutuhkan perspektif jangka-panjang dan kepemilikan lokal yang kuat bila melaksanakan upaya-upaya pemulihan pascakonflik dan pendekatan tata pemerintahan daerah.
• Para pelaku pemberian bantuan perlu menyesuaikan kebijakan-kebijakan mereka dengan jenis-jenis situasi lokal pascaperang– “kebijakan satu untuk semua” tidak cocok untuk semua kasus. Suatu tipologi dari konteks konflik (mis. “perdamaian penerapan sendiri” (self-enforcing peace) seperti di Timor Timur; “perdamaian yang dimediasi” (mediated peace) seperti di Bosnia dan Kamboja; dan “perdamaian.” Laporan Penyelenggaraan Lokakarya “Pendekatan Tata Pemerintahan Lokal Terhadap Pemulihan Pascakonflik” oleh Lembaga Administrasi Negara, dan diselenggarakan bersama oleh UN Capital Development Fund dan UNDP Bureau of Crisis Prevention and Recovery; Konferensi UNDP Oslo Centre (Mei 2004) – CMI Background Paper – Tata Pemerintahan dalam Situasi Pascakonflik. dengan konflik” (conflictual peace) seperti di Afghanistan) dapat membantu mengarahkan intervensi sesuai dengan konteks lokal.
• Fleksibilitas strategi diperlukan dalam merumuskan dan melaksanakan program, namun harus ada tujuan-tujuan yang jelas,seperti membangun kapasitas pemerintah daerah dan hubungan antara pemerintahtingkat pusat dan daerah. Kuncinya adalah untuk mencapai tujuan-tujuan ini tanpa berkompromi dan juga tanpa pengharapan yang tidak realistis bahwa tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan segera.
• Pendekatan proses vs. pendekatan proyek suatu pendekatan tata pemerintahan daerah difokuskan untuk membangun kapasitas dan proses-proses, bukan hanya pelaksanaan pelayanan.
• Tingkat pemerintahan dekonsentrasi dan desentralisasi secara strategis sangat penting. Selain menjadi unsur operasional dari model, tingkat pemerintahan dekonsentrasi sering menjadi titik masuk utama untuk melakukan intervensi.
• Perlu mempromosikan dialog agar dapat memperjelas strategi dan membenarkan tujuan dan sasaran daripada suatu pendekatan tata pemerintahan daerah.
• Mempromosikan HAM merupakan cara untuk membangun kepercayaan diri, dan dengan demikian adalah penting untuk menetapkan landasan bagi tata pemerintahan demokratis, pascaperang.
• Koordinasi bantuan yang berbasis di lembaga-lembaga pemerintah penyelenggara dapat menjadi pendekatan yang efektif dan berkelanjutan.
• Langkah-langkah pertanggungjawaban diperlukan untuk memastikan tata pemerintahan yang demokratis, tetapi ada banyak bentuk dan struktur pertanggungjawaban.
• Desentralisasi mempunyai keuntungan-keuntungan yang jelas dalam situasi-situasi pascaperang dimana pemerintah pusat dalam keadaan lemah atau harus menghadapi tentangan, namun suatu struktur nasional yang bersifat mengimbangi memang diperlukan.
Laporan ini mengkaji situasi dan kesempatan-kesempatan untuk memberi dukungan kepada tata pemerintahan daerah yang demokratis di dua propinsi, yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, yang belum lama ini mengalami konflik etnis di Indonesia.


1.2  Tata Pemerintahan Daerah dan Perdamaian

Tata pemerintahan yang baik dibutuhkan untuk membuat perubahan-perubahan dalam mengalokasi dan menempatkan kekuasaan dan sumber daya di dalam pemerintah dan masyarakat luas, yang dapat menangani alasan-alasan dasar timbulnya konflik serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan. Di Indonesia, desentralisasi jelas merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian berkelanjutan mengingat bahwa tanggung jawab utama untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat kini terletak pada pemerintah daerah.
Jika ditangani dengan baik, desentralisasi dapat mendukung pembangunan perdamaian dengan mendorong tindakan-tindakan yang transparan dan bertanggung jawab oleh para pelaku utama, meningkatkan partisipasi local dalam proses pembuatan keputusan publik, memberdayakan komunitas-komunitas dan meningkatkan rasa aman rakyat Desentralisasi juga mendorong kohesi sosial dengan memperkuat hubungan-hubungan vertikal dan horizontal. Dengan membuat administrasi local (pemerintah, DPRD, dan LSM) menjadi lebih efisien dan efektif akan meningkatkan kredibilitas mereka di mata masyarakat. Tetapi, jika ditangani dengan kurang baik dan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya, realokasi kekuasaan dan sumber daya dapat berakibat perebutan kekuasaan yang mungkin berkembang menjadi kekerasan dan menimbulkan trauma. Pembaruan dapat memperkuat struktur-struktur kekuasaan yang tidak seimbang, memungkinkan penguasaan sumber daya secara elit, dan perlakuan yang berbeda-beda untuk kelompok-kelompok yang berbeda. Kajian ini mencakup tata pemerintahan lokal  tidak termasuk masalah-masalah berkaitan dengan sector keamanan, akses keadilan dan media. (terutama berhubungan dengan agama dan suku). Kurangnya transparansi mendorong timbulnya desas-desus sedangkan kurangnya pertanggungjawaban (akuntabilitas) akan cepat menimbulkan asumsi terjadinya korupsi dan ketidakadilan. Semua risiko ini menjadi lebih parah apabila, seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, pemerintah daerah tidak mempunyai kerangka kebijakan yang memadai
untuk menangani desentralisasi dan pemulihan pascakonflik, kapasitas yang rendah untuk
menciptakan perdamaian dan pembangunan lokal, kurangnya partisipasi yang berarti dari
masyarakat setempat dan pengerahan sumber daya yang kurang efektif.

1.3  Mengkaji Tata Pemerintahan di
Sulawesi Tengah dan Maluku Utara

Tujuan misi ini adalah untuk melakukan kajian di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara agar dapat memberi rekomendasi kepada UNDP mengenai opsi-opsi strategis untuk
memperkuat tata pemerintahan daerah yang demokratis dan pembangunan perdamaian di
lokasi-lokasi ini. Tim kami memusatkan perhatian pada keterkaitan antara tata pemerintahan berdasarkan sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik di Indonesia pembangunan perdamaian dan desentralisasi sebagai tema pusat pengkajian, dengan perhatian khusus kepada kapasitas lembaga-lembaga, para pelaku dan sistem-sistem lokal
untuk membuat keterkaitan tersebut. Sedianya akan dikunjungi propinsi ketiga, Maluku, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada saat misi. Tim Tata Pemerintahan terdiri dari Nina Shatifan (Pemimpin), Rahmi Yunita (DPRD), Riant Nugroho Dwidjowijoto (Pemerintah  Lokal) dan Muhamad Abas (masyarakat madani). Tim ini  dibantu di Sulawesi Tengah oleh Muhammad Irfan dan Abdul Rivai dari P4K Universitas Tadulako dan di Maluku Utara oleh Jusan Yusuf dari Universitas Khairun dan Ivan Nasution (konsultan UNDP). Masukan tambahan diberikan oleh Henrik Larsen (UNDP SURF). Misi dilaksanakan di Sulawesi Tengah (Palu dan kabupaten Poso, Morowali dan Tojo Una-Una) dari 24 Mei -
5 Juni 2004 dan di Maluku Utara (Kota Ternate, Tobelo, Galela, Jailolo dan Bacan) dari 6 -18 Juni 2004. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Dalam konteks ini, diperiksa kapasitas daripada lembaga-lembaga lokal, para pelaku dan sistem-sistem untuk membuat keterkaitan tersebut. Khususnya, tim telah melakukan serangkaian wawancara semi-struktural dan mempelajari dokumen-dokumen untuk dapat :
• Membuat peta dari para pelaku saat ini (pemerintah dan non-pemerintah) dalam hal melaksanakan tata pemerintahan dan menciptakan perdamaian di propinsi dan kabupaten;
• Menilai kapasitas dan kesediaan lembaga-lembaga pemerintah untuk menangani upaya mencegah konflik dan menciptakan perdamaian melalui tata pemerintahan yang lebih baik;
• Mengidentifikasi bidang-bidang khusus di dalam pemerintahan yang dapat menyumbang kepada penciptaan perdamaian berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan rioritas-prioritas yang diungkapkan oleh wakil-wakil masyarakat madani;
• Mengidentifikasi prioritas-prioritas dari DPRD dan pemerintah (tingkat propinsi dan kabupaten) yang berkaitan dengan prioritas-prioritas masyarakat untuk meningkatkan tata pemerintahan dan yang dapat menyumbang kepada penciptaan perdamaian. Serangkaian pertanyaan dikembangkan sebagai pedoman wawancara (lihat Lampiran 1) dan jawaban-jawaban yang diperoleh ditriangulasi oleh tim untuk mendapat penilaian pertama mengenai kapasitas lembaga untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik.
Penilaian ini menggunakan enam indikator:
1) tersedianya dokumentasi yang berhubungan dengan tata pemerintahan yang baik, terutama dokumen perencanaan dan pedoman tata pemerintahan;
2) pemahaman yang tepat terhadap tata pemerintahan di antara para pelaku utama yang senior;
3) komitmen kuat atau kesediaan untuk mempraktekkan tata pemerintahan yang baik, terutama di antara para pemimpin;
4) cukupnya kebijakan atau kerangka hukum untuk mempraktekkan tata pemerintahan yang baik;
5) dikembangkan strategi untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik; dan
6) bukti adanya program dan tindakan untuk melakukan tata pemerintahan yang baik. Hasil penilaian ini ditabulasikan untuk masing-masing propinsi dalam bab-bab selanjutnya.
Tim bertemu dengan para anggota DPRD dan staf sekretariat mereka; kepala-kepala pemerintahan tingkat propinsi dan kabupaten; dan staf serta wakil-wakil masyarakat madani termasuk pemimpin pendapat, pemimpin agama, pemimpin tradisional, kelompok kerja tradisional (Pokja)  dan LSM-LSM (lihat Lampiran 2 untuk daftar lengkap orang-orang yang ditemui). Tim juga memperolah informasi dari berbagai laporan dan dokumen-
dokumen lain yang disediakan oleh pemerintah dan UNDP (lihat Lampiran 3). Semua informasi ini dianalisa dan dibahas dengan para pelaku untuk mengidentifikasi kemungkinan 10 Prinsip Tata Pemerintahan :
1. Partisipasi - Mendorong semua warga untuk menggunakan hak mengemukakan pendapat dalam proses pembuatan keputusan-keputusan yang berkenaan dengan kepentingan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Negara Hukum - Mewujudkan penegakan hukum yang adil dan tidak berpihak bagi semua orang, tanpa kecuali, dengan menghormati hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
3. Transparansi - Membangun rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat dengan menyediakan informasi dan jaminan kemudahan untuk mengakses informasi yang akurat dan cukup.
4. Kesetaraan. Memberi kesempatan yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
5. Responsif - Meningkatkan kepekaan para pelaku pemerintahan terhadap aspirasi-aspirasi masyarakat.
6. Visi - Mengembangkan daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas, dengan partisipasi warga dalam semua proses pembangunan sehingga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas kemajuan daerahnya.
7. Akuntabilitas - Menngkatkan akuntabilitas dari para pembuat keputusan berkenaan dengan semua masalah yang melibatkan kepentingan publik.
8. Pengawasan - Meningkatkan upaya pengawasan dalam menjalankan pemerintah dan melaksanakan pembangunan dengan melibatkan sektor swasta dan masyarakat umum.
9. Efisiensi & Keefektifan - Menjamin pelayanan publik dengan memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
10. Profesionalisme - Meningkatkan kapasitas dan sikap moral dari para pelaksana pemerintahan sehingga mereka mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, akurat dan terjangkau. Kerangka tata pemerintahan yang digunakan oleh asosiasi pemerintah-pemerintah lokal di Indonesia.  Respons (jawaban) strategis dan titik-masuk untuk suatu program, dengan mengingat pelajaran yang dipetik dari pihak-pihak lain (Pemerintah Indonesia, donor dan program LSM Internasional).
Laporan ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut :
(i) temuan-temuan utama untuk Sulawesi Tengah, (ii) temuan-temuan utama untuk Maluku Utara, (iii) diskusi dari masalah-masalah utama, dan (iv) kerangka untuk mendukung program. (v)  Tim mengakui, berhubung singkatnya waktu untuk pekerjaan lapangan, ada ‘gap’  atau kesenjangan dalam informasi yang diperoleh.

2. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah
2.1  Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Pemerintahan

Semua Dokumen Perencanaan dan Strategi telah mengidentifikasi ‘tata pemerintahan yang
baik’ sebagai suatu tujuan, namun penetapan tolok ukur untuk tata pemerintahan yang baik masih sangat minim (lihat Lampiran 4 untuk melihat rangkuman peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten). Dalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa secara umum pemerintah propinsi lebih tinggi tingkat kesiapannya untuk menjalankan tata pemerintahan yang baik, dimana Poso dan Tojo Una-Una tergolong sedang sampai tinggi sedangkan Morowali paling banyak kesenjangan. Dalam hal pelaku, misi kami menemukan sejumlah orang yang memperlihatkan kesediaan untuk menangani tata pemerintahan yang baik, termasuk Kepala Bagian Pemerintahan Propinsi, Sekretaris Daerah and Sekretaris DRPD di kabupaten Poso, Sekretaris Daerah dan Wakil-Bupati di Morowali dan Kepala Bappeda di Tojo Una-Una. Ini merupakan kajian pendahuluan berdasarkan triangulasi informasi yang dikumpulkan oleh tim melalui wawancara mendalam dan dimaksudkan sebagai petunjuk umum saja. Tentu saja para “aktor dalam pemerintahan yang berpotensi membawa perubahan” (champions) yang diidentifikasi disini dapat berubah bersama pemilu yang akan datang dan kemungkinan dibaginya propinsi menjadi dua dan ada rotasi pekerjaan yang cukup tinggi pada posisi-posisi senior
Universitas Tadulako diidentifikasi sebagai calon pelaku tata pemerintahan karena hubungannya yang kuat dengan pemerintah daerah (sebagian besar staf senior pemerintah
adalah alumni dari Tadulako) dan pusat penelitian untuk pencegahan konflik, meskipun fokusnya sekarang lebih ke tingkat propinsi daripada kabupaten. Namun demikian, baik universitas dan pusat penelitian membutuhkan lebih banyak pembangunan kapasitas dan jangkauan yang lebih luas bila ingin menjadi mitra yang efektif. Pelaku dari LSM mencakup Pokja RKP dan KPKP – ST (LSM wanita yang saat ini didukung UNDP), sedangkan surat kabar ‘Palu Pos’ dinilai berpotensi menjadi pemantau praktek tata pemerintahan. Pokja di Sulawesi Tengah adalah forum para pemangku kepentingan  yang dibentuk untuk mengkoordinasi komunikasi di antara pemerintah dan masyarakat madani mengenai masalah-masalah rekonsiliasi. Pokja ini melapor kepada pemerintah namun tampaknya anya ada sedikit pertanggungjawaban di antara para anggota, terutama para pelaku dari sehingga memberi kesan bahwa UNDP perlu melakukan pengkajian lebih lanjut sebagai bagian dari pelaksanaan program. Sekalipun demikian, ada beberapa lembaga  inti yang dianggap sebagai aktor potensial untuk memperkuat tata pemerintahan lokal: Sekda, Bappeda and Bawasda. Pusat Konflik telah mengembangkan model “bunga matahari”  untuk memahami konflik di Sulawesi Tengah tetapi dokumen ini belum pernah disebarluaskan. Masyarakat madani yang tampaknya bertanggung jawab kepada konstituen-konstituen yang berbeda.

2.2  Administrasi Pemerintahan

Meskipun propinsi-propinsi kini lebih mempunyai peran koordinasi daripada peran pengawasan, didapati bahwa semua penanganan konflik dan pascakonflik dilakukan oleh propinsi. Hanya ada sedikit koordinasi di antara departemen, baik secara horizontal maupun vertikal, tentang penggunaan dana dekonsentrasi untuk program-program pemulihan (Dana Dekonsentrasi untuk Penanganan Konflik dan Pascakonflik). Ini akan menimbulkan ketegangan apabila masyarakat dan pemerintah kabupaten meyakini bahwa dana tersebut masuk ke dalam kantong para pelaku pemerintah tingkat propinsi, sebagaimana terlihat dalam hubungan yang kurang baik antara propinsi dengan kabupaten Poso dan kabupaten Morowali. Kabupaten-kabupaten ini cenderung mengabaikan propinsi dan ada upaya-upaya untuk menciptakan suatu propinsi baru,  Sulawesi Timur,  yang akan mencakup kedua kabupaten tersebut. Karena pemerintah masih sibuk dengan soal pemekaran wilayah, maka tidak mengherankan bahwa masalah tata pemerintahan dan penciptaan perdamaian tidak diutamakan dalam agenda pemerintah. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh pejabat-pejabat senior adalah perlunya meningkatkan kapasitas staf serta mengembangkan pelayanan publik yang profesional agar dapat melayani masyarakat dengan lebih baik. Morowali, kabupaten yang paling baru, mempunyai kapasitas SDM yang paling buruk (dan juga menunjukkan tata pemerintahan yang paling rendah). Kapasitas yang paling tinggi tentu saja ada pada tingkat propinsi, diikuti oleh kabupaten Poso yang eksistensinya jauh lebih lama. Kabupaten Tojo Una-Una masih mempunyai seorang “pejabat Bupati” sedangkan DPRD akan dilantik pada akhir bulan Juli  2004. Satu-satunya pelatihan. Daerah dekonsentrasi adalah propinsi – lihat Pasal 1-f UU No. 22/1999. Kemungkinan revisi terhadap UU22/1999 akan menimbulkan ketegangan lagi jika berarti lebih banyak pengawasan dikembalikan kepada propinsi. Contoh terburuk adalah hubungan antara Gubernur dan Bupati Morowali. Pelantikan Bupati tertunda-tunda sampai lebih dari delapan belas bulan dan sekarang ia tidak pernah menghadiri rapat propinsi dan lebih banyak berada di Jakarta. staf yang didanai pemerintah dilakukan sebagai pelatihan struktural atau fungsional melalui Direktorat Pendidikan dan Latihan.
Tampaknya tidak ada rencana Diklat untuk mengadakan pelatihan mengenai tata pemerintahan dan sampai sekarang ini hanya dilakukan secara ad hoc melalui perguruan-perguruan tinggi dan LSM-LSM. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan sumber daya manusia di pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten mendorong timbulnya persepsi-persepsi dan desas-desus tentang korupsi, kolusi, nepotisme, dan praktek suap dalam kaitan dengan kepegawaian pemerintah. Pada tahun 2004 tidak ada rekrutmen untuk pegawai negeri sipil di tingkat propinsi maupun di kabupaten Poso dan Morowali. Sebagai gantinya, posisi diisi melalui promosi dan rotasi, sehingga masalah controversial mengenai tidak terwakilinya orang Kristen dibandingkan Muslim, terutama pada tingkat senior, belum tertangani. Pada saat yang sama, para birokrat senior tidak menganggap masalah ini berpotensi memicu kekerasan di waktu mendatang dan mengaku bahwa mereka menggunakan sistem berdasarkan nilai (merit) untuk merekrut dan mempromosikan pegawai, berdasarkan alat penilai dan prosedur-prosedur dari Departemen Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Nasional. Walaupun administrasi di bawah desentralisasi dimaksudkan untuk membantu pembangunan di tingkat desa, dalam praktek biasanya hanya terbatas pada pelayanan dasar tertentu. Termasuk menerbitkan kartu tanda penduduk (KTP) nasional, kartu keluarga (KK), akte lahir, dan sertifikat kepemilikan tanah. Lebih lanjut dilaporkan bahwa beberapa Camat masih tetap bertindak sebagai  Kepala Wilayah dan beroperasi seolah-olah kecamatan tersebut adalah daerah otonomi (peninggalan dari UU No. 5 tahun 1974 tentang desentralisasi). Ini sangat mempengaruhi
perkembangan otonomi desa dan tata pemerintahan daerah, menurut Wakil-Bupati Morowali dan Kepala Bappeda di Tojo Una Una. Pembangunan sumber daya manusia adalah masalah pemerintah nasional yang ditangani melalui MenPAN dengan dukungan donor, seperti Program Pembangunan Kapasitas Berkelanjutan ADB. Pengembangan kapasita aparat negara dilakukan oleh departemen-departemen lainnya, terutama oleh Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan.  Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Akhirnya, terdapat sistem peringatan dini untuk konflik di Sulawesi Tengah dan Poso yang menjadi tanggungjawab dari  Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas). Namun, Badan ini tidak memiliki data yang terbaru dan dalam operasinya bersifat birokratis dan berinteraksi terutama dengan para pemimpin masyarakat, bukan masyarakat luas. Sistem peringatan dini di Morowali dan Tojo Una Una menghadapi persoalan yang sama. Secara keseluruhan, tidak ada koordinasi dan kerjasama yang baik i antara  Kesbanglinmas, terutama di tingkat kabupaten.

2.3  Pelayanan Publik

Pelaksanaan pelayanan publik  secara mendasar  dipengaruhi oleh proses penetapan prioritas oleh pemerintah serta kurangnya keterlibatan masyarakat umum. Prioritas kabupaten Poso adalah pencegahan konflik dengan meningkatkan keamanan dan ketertiban, membangun kembali fasilitas umum dan rumah-rumah warga yang rusak dengan menggunakan dana dekonsentrasi dan mencegah konflik melalui proses-proses formal seperti Pokja. Di kabupaten Morowali prioritasnya adalah untuk menentukan lokasi
baru untuk ibu kota Kabupaten dan membangun Kantor Pemda, sedangkan Tojo Una Una memprioritaskan pembangunan gedung-gedung pemerintah dan rekrutmen staf. Kalaupun ada, partisipasi masyarakat dalam merencanakan pelayanan publik sangat lemah. Di Morowali, misalnya, staf Bappeda mengakui bahwa mereka tidak tahu tentang perencanaan yang partisipatif dan tergantung pada kecamatan untuk ‘memobilisasi’ masyarakat, yaitu mengundang orang-orang untuk mengadakan pertemuan guna membicarakan tuntutan-tuntutan mereka akan dukungan pemerintah. Namun dalam kenyataan, seringkali ini berarti mengisi formulir saja dan bukan merupakan pelibatan masyarakat  yang sesungguhnya. Meskipun pendekatan  Program Pembangunan Kecamatan (PPK) untuk perencanaan partisipatif disetujui oleh BPM di Poso, namun belum diterapkan ke dalam kegiatan-kegiatan perencanaan lain di departemen dan belum mempengaruhi perencanaan pembangunan di kabupaten. Lagipula, seperti diusulkan oleh
Lurah Pamona Utara/Tentena, konflik mungkin mendorong orang untuk menjadi tergantung pada pimpinan-pimpinan mereka, yang telah diserahi wewenang untuk membuat keputusan dan mewakili rakyat. Jika Kabupaten Poso menetapkan “peningkatan kapasitas pemerintah untuk memberi pelayanan terbaik kepada public dalam arti pelayanan yang efisien dan efektif”12  sebagai prioritas di samping pembangunan ekonomi (Rencana Strategis Kabupaten Poso 2000-2004), dalam prakteknya sebagian besar anggaran digunakan untuk merehabilitasi prasarana-prasarana yang rusak seperti pos-pos pelayanan kesehatan dan rumah-rumah penduduk. Ada anggaran yang dialokasikan untuk ‘pencegahan konflik’ tetapi dokumen-dokumen anggaran tidak merinci bagaimana uangnya digunakan. Juga ada modal untuk mengembangkan Koperasi Pasar sebagai institusi keuangan pasar local (tradisional). Rendahnya mutu pelayanan public terutama kelihatan di Morowali dimana tidak ada transportasi teratur, jalan-jalan kurang terawat, tidak ada rencana untuk memperbaiki jalan dari Poso ke Morowali yang keadaannya cukup parah dan tidak ada sistem informasi umum (mis. bagaimana membuat KTP, Kartu Pellagra, and sertifikat tanah). Di lain pihak, masyarakat sepertinya tidak menyadari atau tidak mampu mengeluh tentang tidak adanya pelayanan publik yang memadai. Dan ketidakhadiran Bupati Morowali semakin mengurangi kemungkinan meningkatkan mutu pelayanan publik. Perencanaan dan pemantauan juga terhambat oleh kurangnya data dan kapasitas.
Sistem data dari Biro Pusat Statistik (BPS) setempat kurang lengkap, maka data yang paling dapat diandalkan di Poso diperoleh dari Komite Penanggulangan Kemiskinan yang menggunakan data statistik BKKBN tentang kemiskinan, namun demikian diketahui bahwa
ada ketidaktepatan dalam data ini. Semua kabupaten melaporkan bahwa mereka telah mencoba menciptakan sistem yang lebih efisien (pelayanan cepat) untuk membuat KTP nasional dengan biaya wajar (berkisar antara Rp 7000 sampai Rp 25.000) dan selesai dalam waktu kurang dari satu minggu. Namun demikian, Bappeda Maluku Utara dan Halmahera Selatan melaporkan bahwa cakupan untuk KTP nasional masih belum tinggi. Ini dibentuk untuk melengkapi program nasional pengentasan kemiskinan dan menentukan arah untuk Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara Dukungan untuk para pengungsi melalui Jaminan Hidup (Jadup)  dan  Bekal Hidup (Bedup) telah membantu banyak keluarga membangun kembali desa mereka dan memulai hidup yang baru. Tetapi ada tuduhan- tuduhan korupsi di dalam program-program ini yang terutama ditujukan kepada Dinas Sosial. Di Morowali, dilaporkan bahwa pemerintah dan aparat keamanan setempat (tentara dan polisi) bersekongkol untuk mempertahankan program pascakonflik yang ada sedangkan secara umum ada laporan-laporan bahwa pengungsi-pengungsi memalsukan data untuk mengambil jatah.

2.4  Pengelolaan Fiskal dan Keuangan

Pengelolaan fiskal dan keuangan yang buruk mudah sekali menimbulkan ketegangan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah. Meskipun  Bawasda  mempunyai fungsi audit yang memfokuskan pada prosedur-prosedur
akuntansi, belum ada mekanisme untuk menilai kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Semua pemerintah daerah masih harus memenuhi persyaratan nasional untuk
penganggaran berdasarkan kinerja. Upaya mengumpulkan pendapatan Negara juga dapat menimbulkan masalah, contohnya apabila rakyat mempersepsikan adanya ketidakadilan mengenai siapa yang harus membayar pajak; apabila ada kebocoran dana karena terlalu banyak kantor yang menagih uang; apabila ada perselisihan di antara kantor- kantor penagih mengenai siapa yang memiliki uang pendapatan itu, terutama jika tidak ada pemahaman mengenai pengumpulan pendapatan secara terpadu, dan jika pemerintah daerah memungut retribusi yang sifatnya kontra-produktif terhadap pembangunan. Seluruh pendapatan asli daerah (PAD) adalah kurang dari lima persen dari seluruh anggaran daerah (jauh di bawah tolok ukur 10-20 persen yang ditetapkan dalam penelitian tahun 1998 yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Depdagri tentang kesiapan daerah). Dengan  database  yang tidak lengkap, system pencatatan yang kurang dikembangkan, dan metode penagihan sederhana seperti penagihan pajak dari pintu-ke-pintu, maka tidak mengherankan bahwa tingkat kegagalan pembayaran cukup tinggi. Lagipula, dengan perencanaan penanggulangan kemiskinan di kabupaten dan propinsi. tidak adanya strategi untuk meningkatkan inovasi bisnis dan produktivitas, maka pemerintah daerah akan tetap tergantung pada mekanisme-mekanisme tradisional seperti dana dekonsentrasi serta program-program pemberdayaan ekonomi dari program-program donor.

2.5  Masyarakat Madani

Setelah konflik, prioritas masyarakat di Poso adalah keamanan, pembangunan ekonomi, dan pemekaran kabupaten. Setelah itu, masalah keadilan dalam merekrut pegawai negeri sipil dan penempatan pejabat untuk mencerminkan keberagaman agama. Masih ada rasa kurang percaya kepada pemerintah tingkat propinsi maupun kabupaten yang menangani repatriasi pengungsi karena tidak menyeluruh, dan dianggap ada korupsi dalam melaksanakan program rehabilitasi. Di kabupaten Poso, khususnya, penduduk mengatakan  bahwa mereka belum merasa aman, dan juga bahwa mereka tidak melihat pemerintah daerah mendukung kepentingan mereka dalam menekuni mata pencaharian mereka. Secara umum, masyarakat kurang menyadari hak mereka untuk dilibatkan dalam proses pembangunan. Juga tidak ada evaluasi oleh masyarakat terhadap pemerintah pada tingkat desa atau tingkat-tingkat yang lebih lebih tinggi. Penduduk mengeluh bahwa mereka tidak mempunyai akses ke informasi dan dokumen-dokumen publik sulit sekali diakses, terutama yang berhubungan dengan anggaran. Tampaknya  belum ada rencana untuk meningkatkan akses ke informasi. Ini semakin mempertebal rasa tidak percaya kepada pemerintah, terutama di Morowali dimana desas-desus tumbuh subur. Masyarakat menanggapi dengan positif prakarsa-prakarsa seperti Deklarasi Malino, proses rekonsiliasi yang didorong oleh forum-forum desa (a.l.  Forum Komunikasi Antar Umat Beragama) dan kegiatan-kegiatan untuk membina perdamaian (olahraga, kesenian, dan acara-acara tradisional). Ada pula kesempatan untuk memperkuat tata pemerintahan sebagai cara untuk membina perdamaian, seperti terlihat di Kelurahan Poso Pesisir (desa Islam) dan  Kelurahan Pamona Utara/Tentena  (desa Kristen). Dilaporkan bahwa sistem-sistem tata pemerintahan tradisional mulai muncul Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara kembali dan ini sangat didukung oleh semua pemangku kepentingan. Upaya-upaya masyarakat dan rasa lelah terhadap konflik telah memperkuat tekad masyarakat untuk membina perdamaian dan meningkatkan ketahanan terhadap gangguan para provokator.
Juga ada tanggapan positif dari para pejabat kabupaten Poso mengenai peran media di dalam perdamaian dan rekonsiliasi. Namun demikian masih belum ada program jelas untuk membina perdamaian. Masyarakat mengikuti petunjuk dari pihak berwenang setempat dan terlibat dalam proses- proses formal yang tidak mengenal upaya-upaya masyarakat atau peran yang dapat dimainkan oleh perempuan dan pemuda. Tambahan pula, Pokja Deklama sebagai badan rekonsiliasi yang diprakarsai oleh pemerintah dianggap tidak efektif karena koordinasinya yang lemah dengan kelompok-kelompok lain, kurangnya kemampuan para fasilitator untuk menciptakan kerangka untuk perdamaian dan rekonsiliasi, tidak ada transparansi maupun pertanggungjawaban di dalam pelaksanaan program. Pemerintah cenderung untuk lebih mengandalkan organisasi-organisasi masyarakat daripada LSM-LSM (terutama lembaga-lembaga agama)  karena mereka tampak lebih bersedia membantu upaya rekonsiliasi. Organisasi-organisasi berbasis  masyarakat dapat sangat membantu menciptakan perdamaian. Pertama, mereka dapat melakukan mediasi antara masyarakat dan pemerintah mengenai kebutuhan rakyat. Kedua, mereka dapat mengawasi pelaksanaan program-program terutama yang berhubungan dengan pengungsi. Ketiga, mereka bertindak sebagai fasilitator untuk membina perdamaian di tingkat masyarakat, melintasi suku, agama, dan kebudayaan. Keempat, mereka dapat dianggap sebagai mitra independen untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah. Menurut data  Kesbanglinmas, ada tujuh LSM internasional dan 60 LSM lokal yang bekerja di Sulawesi Tengah. 29 diantaranya
terdapat di Poso, 14 di Tentena dan sisanya di kabupaten-kabupaten lain. Dua contoh yang
baik adalah Aliansi LSM untuk pendidikan perdamaian di Poso serta Pusat Krisis untuk remaja yang mengalami trauma di Tentena (lihat Boks). LSM-LSM terlibat dalam menyelenggarakan forum para pemangku kepentingan, pertemuan antara daerah-daerah sub-desa dan pelatihan bagi pemimpin- pemimpin daerah mengenai pencegahan konflik (lihat Boks 1). Beberapa LSM juga telah memberi pelayanan langsung termasuk penyediaan prasarana, pendidikan, dan pelayanan kesehatan bagi para korban konflik.
Yang lain ada yang bekerja dalam bidang pemberdayaan ekonomi, kekerasan terhadap perempuan, dan pelanggaran HAM. LSM-LSM di seluruh Indonesia mempunyai hubungan dikotomis dengan pemerintah. Dalam mendukung tata pemerintahan daerah, LSM-LSM dapat mendukung partisipasi maupun peningkatan kesadaran masyarakat pada saat melakukan pembangunan. Kedua, LSM dapat membantu memperkuat aliansi strategis di antara kelompok-kelompok masyarakat madani untuk meningkatkan kualitas  tata pemerintahan melalui advokasi. Namun, fungsi LSM untuk memberi pelayanan membawa mereka lebih dekat kepada pemerintah sebagai fasilitator yang di subkontrak untuk program-program masyarakat (namun bukan sebagai mitra), sedangkan fungsi sebagai pendukung masyarakat madani justru dapat menempatkan LSM dalam posisi menentang pemerintah. LSM-LSM di Sulawesi Tengah melaporkan bahwa mereka menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah daerah untuk Prakarsa Membina Perdamaian Pusat Krisis adalah organisasi pemuda denga 4 program (i) membina perdamaian melalui olahraga dan rekreasi, (ii) pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan demokrasi dan HAM, (iii) pemberdayaan ekonomi dan (iv) dukungan kepada kelompok remaja korban konflik (masyarakat Nurwana di Tentena). Pusat ini bekerjasama dengan CWS dan Pemuda Muslim Al-Khairat. (Noldy Tacoh, Executive Director, Crisis Center). Konsorsium Pendidikan Damai Sintuwumoroso (Aliansi untuk Pendidikan Perdamaian) adalah hasil lokakarya yang diselenggarakan OCA-UNDP di Poso. 25 LSM dari Poso membentuk aliansi yang mencakup Satlak dan Kanwil Pendidikan. Tujuannya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perdamaian di antara anak-anak sekolah. Langkah pertama adalah mengembangkan kurikulum lokal untuk pendidikan perdamaian serta strategi untuk mengajarkan tentang perdamaian, terutama di Poso. Iskandar: Eksekutif Direktur Aliansi Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara memberi pelayanan kepada publik, tetapi masih kurang jelas peran dan tanggung jawab mereka sebagai pendukung masyarakat madani. Namun sebaliknya, baik pemerintah daerah maupun masyarakat melihat LSM-LSM sebagai organisasi yang mementingkan diri mereka sendiri dengan motivasi rendah dan kurang mampu bekerja dengan kelompok- kelompok masyarakat. LSM-LSM tidak menunjukkan adanya niat untuk meningkatkan aliansi mereka atau memperkuat ormas di tingkat desa.  Satkorlak  telah memfasilitasi koordinasi antara pemerintah dan LSM-LSM melalui pertemuan bulanan namun ada keengganan untuk mengevaluasi keefektifan pertemuan-pertemuan tersebut. Hubungan antara LSM-LSM dan universitas kabarnya kurang baik sehingga tidak dapat mengembangkan kemitraan tata pemerintahan yang baik. Secara keseluruhan, LSM-LSM dan ormas-ormas memerlukan pengembangan kapasitas dalam banyak bidang seperti pengelolaan organisasi, perencanaan, advokasi, partisipasi jender, dan keberlanjutan keuangan. Setiap upaya untuk bermitra dengan organisasi-organisasi ini harus memperhitungkan hal tersebut.

2.6  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Pemerintah kabupaten telah dibentuk di Kabupaten Morowali ketika terjadi pemekaran
Kabupaten Poso dalam tahun 1999. Kabupaten Poso kemudian dimekarkan lagi dalam tahun 2003, sehingga lahir Kabupaten Tojo Una-Una yang dikelola oleh suatu pemerintah sementara hingga pelantikan DPRD nanti. Partai Golkar memimpin perolehan suara di banyak kabupaten kecuali di Poso, dimana partai Kristen PDS mempunyai enam kursi diikuti oleh Golkar dengan lima kursi. Ini menghasilkan dewan legislatif di Poso yang lebih terfaksionalisasi dibandingkan kabupaten tetangga dimana Golkar tetap unggul. Dalam hal Morowali dan Tojo Una-Una, meski menurun, Golkar tidak dapat dikalahkan sekalipun semua partai Islam bersatu dan membentuk satu fraksi. Program ACCESS dari AusAID mendukung Program Pembangunan Kapasitas Generik untuk LSM dan ormas dan akan menjadi sumber informasi dan keahlian yang sangat berharga. Para anggota DPRD yang baru memiliki kekurangan yang sama dengan kebanyakan politisi Indonesia, yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi perwakilan yang mereka emban. Banyak yang tidak mempunyai rencana jelas untuk suatu program hubungan konstituen, bahkan banyak yang tidak melihatnya sebagai masalah yang perlu diperhatikan. Untuk sebagian besar anggota, banyak sekali yang harus dipelajari dalam tahun pertama jabatan mereka. Sementara itu rakyat mempunyai relatif sedikit kepercayaan terhadap DPRD, terutama di kabupaten Morowali dimana Ketua DPRD dianggap merupakan sekutu dari Bupati mereka yang kinerjanya rendah. Di kabupaten Poso, DPRD belum menjalankan fungsi pengawasan yang semestinya terhadap pemerintah. Meskipun demikian, kepemimpinan Sekretaris DPRD di Poso (salah satu dari sedikit pejabat senior perempuan) telah menghasilkan sebuah perpustakaan legislatif, prosedur untuk menangani unjuk rasa secara efektif, mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari masyarakat melalui kunjungan ke lapangan, suatu forum public yang diadakan setiap tahun untuk mempresentasikan agenda, hasil yang dicapai, dan pengeluaran tahun yang lalu, maupun dilibatkannya universitas untuk membantu membuat rancangan peraturan daerah. Yang terakhir telah menghasilkan tiga perda dalam masa jabatan yang sekarang. Sayangnya, mekanisme umpan balik yang diciptakan oleh DPRD belum banyak dikenal oleh masyarakat sedangkan LSM-LSM tidak dianggap sebagai organisasi perantara yang kredibel yang dapat dimanfaatkan oleh DPRD untuk memperoleh informasi yang relevan dengan fungsinya sebagai pengawas.

2.7  Badan Perwakilan Desa (BPD)

Sebagai kabupaten yang sudah lama ada, pemerintah Poso sudah membentuk  Badan Perwakilan Desa (BPD) di banyak desa di wilayah Poso (sebaliknya Morowali belum memulai proses ini). Meskipun demikian, pemerintah kabupaten Poso mengakui bahwa Perlu dicatat bahwa mulai tahun depan DPRD tidak lagi berwenang mengeluarkan suara tidak percaya terhadap seorang kepala wilayah, baik itu bupati atau walikota. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara belum pernah dilakukan pembangunan kapasitas sebagaimana mestinya untuk BPD- BPD tersebut. Ini sebagian disebabkan sulitnya merencanakan dan melaksanakan kegiatan di tingkat desa karena konflik dan juga karena kurangnya dana untuk melaksanakan PP No.76/2001. Ini berarti BPD pada umumnya belum merupakan institusi pemerintah yang efektif.16 Kegiatan-kegiatan orientasi perlu dilakukan pada tingkat  kecamatan  yang dihadiri oleh kepala desa dan wakil-wakil dari BPD. Tetapi bahan-bahan yang terbatas berarti hanya ada sedikit referensi untuk membimbing para anggota BPD dalam menjalankan peran mereka17. Badan Pemberdayaan Masyarakat di Poso menyatakan ingin menerima lebih banyak dukungan agar dapat memperkuat tata pemerintahan desa melalui BPD, terutama dimana Program Pembangunan Kecamatan sudah bekerja untuk mendukung pendekatan pemberdayaan masyarakat yang diterapkan oleh BPD.18 Komunikasi yang terbatas antara
pemerintah-pemerintah desa dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah tidak membangun rasa percaya kepada administrasi publik.. Salah satu anggota DPRD di Poso mengatakan pemerintah meyakini bahwa masyarakat di desa tidak dapat menyumbang banyak kepada perencanaan pembangunan, namun ia percaya bahwa ini hanya disebabkan
karena masyarakat desa kurang mendapat informasi yang memadai. Pemerintah perlu mencari cara-cara untuk menjangkau pemerintah desa dan masyarakatnya. LSM-LSM dan media harus ikut berperan di sini sementara BPD-BPD perlu ditingkatkan kapasitasnya dan mendapat referensi dasar mengenai kerangka hukum yang ada. Sebagai contoh, BPD dapat mengusulkan diberhentikannya kepala desa kepada Bupati, tidak seperti DPRD, bilamana orang tersebut melanggar adat desa. Program ini dilaksanakan di kecamatan Poso Pesisir,
seperti dikatakan dalam wawancara dengan BPD Tambarana-Trans. Menurut Bank Dunia di Jakarta, program KDP berusaha memperkuat peran pengawasan dari BPD. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

3.1  Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Pemerintahan

Ketika propinsi Maluku Utara dibentuk, kabupaten Maluku Utara yang lama dibagi menjadi Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula; dan kabupaten Halmahera Tengah menjadi Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Kota Tidore.  Semua kabupaten baru semula merupakan bagian dari kabupaten Maluku Utara dan diharapkan sudah berfungsi penuh pada awal 2005. Pada umumnya, hubungan antara pemerintah propinsi dan pemerintah-pemerintah kabupaten di sini lebih sehat daripada di Sulawesi Tengah. Masalah yang utama tampaknya berhubungan dengan pemulihan pascakonflik di mana Dinas Sosial menguasai dana dekonsentrasi untuk para pengungsi dalam pelaksanaan program-program yang terkait, terutama di Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Meskipun semua dokumen perencanaan propinsi dan kabupaten mengidentifikasi ‘tata pemerintahan yang baik’ sebagai tujuan, hanya Kota Ternate yang tampak serius mengenai pelaksanaannya. Yang diduga akan menjadi aktor yang mendorong perbaikan tata pemerintahah (champions) adalah Kepala Bawasda di Maluku Utara, Bupati Halmahera Utara, Kepala Bagian Pemerintahan dan Kepala Bagian Kepegawaian di Tobelo, Jakob Soselisa dari DPRD Halmahera Utara, Pejabat Bupati dan Kepala Bawasda Halmahera Selatan dan Kepala Bappeda Halmahera Barat. Pelaku-pelaku tata pemerintahan di antara LSM atau ormas antara lain Gama Lama Corruption Watch, Yayasan Sanro dan Kepala Lembaga Penelitian, Universitas Khairun. Banyak lulusan universitas kini menduduki posisi-posisi administrasi publik tingkat tinggi dan universitas memiliki pusat penelitian dan pengkajian untuk pencegahan konflik. Surat kabar  Maluku Utara Pos  berpotensi menjadi badan pemantau praktek tata pemerintahan. Tabel 2 memperlihatkan bahwa Kota Ternate mempunyai kinerja terbaik dalam hubungan dengan tata pemerintahan, diikuti Halmahera Utara dan Selatan. Tim menilai propinsi Maluku Utara relatif lemah dalam tata pemerintahan dan secara umum pemahaman maupun komitmen kepada tata pemerintahan  juga rendah. Halmahera Barat tidak menunjukkan bukti jelas adanya prakarsa-prakarsa dalam tata pemerintahan. Halmahera Selatan mengambil inisiatif untuk melaksanakan strategi rekrutmen putra daerah 19  Pemerintah nasional dalam kerjasama dengan BIGG19 telah melaksanakan prakarsa tata pemerintahan yang baik dengan pemerintah Ternate sejak 2001. Akibatnya, kota ini
mempunyai SK Walikota mengenai Pelaksanaan Tata Pemerintahan Yang Baik dan draft Perda tentang Transparansi.  Pelaku yang paling menonjol adalah Sekda Ternate. untuk sektor publik di lokasi-lokasi yang berbeda untuk mengatasi ketidakseimbangan dalam keterwakilan masyarakat setempat. Pemerintah di sana bersedia mempromosikan tata pemerintahan yang baik namun fokusnya lebih ke peningkatan transparansi daripada partisipasi masyarakat.

3.2  Administrasi Pemerintahan

Secara umum, kesiapan staf administrasi untuk menjalankan tata pemerintahan di Maluku Utara adalah rendah. Rendahnya kapasitas ini diperparah oleh kurangnya bimbingan dari Pusat mengenai desentralisasi. Pemerintah Maluku Utara menghadapi tiga masalah yang berpotensi menjadi konflik. Pertama, ada ketidaksepakatan mengenai lokasi beberapa ibukota. Pada saat ini ibukota propinsi adalah Ternate tetapi berdasarkan undang-undang untuk propinsi yang baru, ibukota yang baru adalah Sofifi, di Pulau Halmahera. Ibukota untuk Kabupaten Halmahera Barat adalah Jailolo di Pulau Halmahera, sementara pemerintah yang sekarang berada di Ternate. Karena belum ada prasarana lengkap di lokasi-lokasi yang baru, maka pemindahan ibukota akan memerlukan biaya yang besar sekali. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa harga sewa gedung untuk kantor-kantor pemerintah di Jailolo sudah melonjak tiga kali lipat. Kedua, geografi Maluku Utara telah menciptakan banyak komunitas terpencil yang sulit dijangkau, riskan (perjalanan lewat laut), dan mahal untuk dilayani oleh pemerintah. Akibatnya terjadi ketimpangan dalam pelayanan publik (tidak merata) yang menimbulkan rasa dendam dan ketegangan. Ketiga, pemerintah pusat hanya sedikit melakukan program untuk meningkatkan kapasitas aparat daerah. Mendirikan pemerintahan baru menghabiskan banyak energi maupun dana sehingga masalah-masalah tata pemerintahan merupakan prioritas paling bawah (dari Kota Ternate). Keempat, ada laporan bahwa Dinas Sosial kurang transparan dalam hal-hal yang berhubungan dengan dana pengungsi. Meskipun pengungsi tidak dianggap sebagai risiko oleh pemerintah, Perlu dicatat bahwa Halmahera Selatan merencanakan gelombang transmigrasi baru ke dalam wilayah kabupaten untuk mengembangkan metodologi pertanian. Ini contoh baik dimana perencanaan yang peka konflik merupakan hal yang sangat penting. salah satu LSM melaporkan bahwa beberapa keluarga pengungsi merasa semakin resah dengan kurangnya respons dari pemerintah. Pemerintah-pemerintah daerah mendapat pelajaran mengenai pentingnya transparansi ketika dalam tahun 2004 setelah rekrutmen staf untuk Kota Tidore muncul protes masyarakat tentang adanya ketidakadilan dalam proses rekrutmen. Lebih lanjut, pemerintah propinsi tidak bisa menerima bahwa dominasi suku Makian dalam kepegawaian negeri masih saja menimbulkan rasa tidak senang. Pemerintah perlu memperhitungkan sentimen anti-Makian ang khususnya dapat meledak pada waktu pemilihan Bupati Halmahera Selatan kelak. Diskusi-diskusi dengan lurah dan kepala desa mengungkapkan adanya kesempatan untuk bekerja di pemerintah pada tingkat-tingkat paling rendah. Pengkajian di desa Ngidiho di Galela kabupaten Halmahera Utara, menemukan bahwa pemerintah desa mempromosikan tata pemerintahan yang baik melalui transparansi dan partisipasi. Diskusi-diskusi di Tobelo mengungkap bahwa pelayanan dasar yang berhubungan dengan kewarganegaraan (KTP, KK, Akte Lahir, dll.) diselenggarakan secara efisien. Namun ada kekhawatiran dari kepala desa dan camat tentang panjangnya waktu tanpa gaji atau imbalan serta beban kerja yang berlebihan yang menurut mereka mengurangi motivasi untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Ada sistem peringatan dini dalam pemerintah propinsi Maluku Utara, yang dikelola oleh  Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas). Namun sistem ini berbasis militer, bukan berbasis koalisi antara masyarakat madani dan pemerintah. Ada satu Posko militer/polisi pada jalan antara Sidangoli ke Tobelo. Tidak ada sistem peringatan dini Kesbanglinmas di tingkat kabupaten dan pemerintah hanya mengandalkan pekerjaan dari para pemimpin adat dan pemimpin agama, LSM, dan ormas. Pemerintah daerah cenderung menganggapkonflik di Ambon sebagai barometer untuk kekerasan di waktu mendatang, daripada situasi di Maluku Utara sendiri dan disbanding 21 Bulan Maret 2004 konflik Ambon merebak dan Gubernur Maluku Utara langsung mengundang semua bupati dan komandan untuk membentuk tim pencegah konflik untuk mencegah agar dampak konflik Ambon tidak menular. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara dengan Poso, hanya ada sedikit program untuk perdamaian sehingga pemerintah daerah lebih memilih pendekatan yang reaktif daripada proaktif.

3.3  Pelayanan Publik

Sekalipun pemerintah sudah melakukan upaya untuk memberi pelayanan yang lebih efisien dalam pembuatan KTP, Kartu Miskin, dan beberapa sertifikat, belum ada mekanisme untuk memantau dan mengevaluasi kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah daerah. Satu-satunya mekanisme pemantauan dan evaluasi adalah Bawasda dan ini pun lebih ditujukan pada akuntansi daripada kepuasan pelanggan/masyarakat. Seperti kebanyakan propinsi,  database untuk perencanaan dan pemantauan tidak memadai dan BPS juga lemah. Akibatnya,  Bappeda  dan lembaga-lembaga lain menyatakan sangat berminat mendapatkan dukungan dari donor untuk
mengembangkan database. Memang data yang berhubungan dengan konflik yang diperbaharui oleh Kesbanglinmas pada tingkat propinsi dan kabupaten sangat sedikit. Perencanaan dari bawah ke atas dilakukan di Ternate, Halmahera Utara, dan Halmahera Selatan. Perencanaan yang bersifat kemasyarakatan di Halmahera Barat sangat sedikit. Ada beberapa kegiatan pembangunankapasitas di tingkat desa, namun biasanya inihanya terjadi apabila ada kompetisi desa. Pada umumnya warga desa kurang memiliki kemampuan untuk menyusun dokumen perencanaan. Di Tobelo, misalnya, camat Tobelo menyediakan format di mana warga dapat menulis ‘apa yang mereka inginkan’, yang biasanya berada di luar kemampuan pemerintah kabupaten untuk memenuhinya. Walaupun kini proses perencanaan di kabupaten menggunakan istilah-istilah lain untuk langkah-langkah perencanaan, sebenarnya prosesnya tetap sama, di mana keputusan sering dibuat oleh para pemimpin desa sehingga tidak heran bahwa masyarakat merasa kecewa karena tidak pernah mendapatapa yang mereka inginkan. Pada umumnya mereka sama sekali tidak tahu dana apa yang tersedia atau apa prioritas pemerintah atau bagaimana proses menentukan prioritas kebutuhan masyarakat. Keadaan yang tidak transparan seperti ini mudah sekali menimbulkan gosip dan desas-desus.

3.4  Pengelolaan Fiskal dan Keuangan

Menurut pemerintah propinsi, pertumbuhan ekonomi adalah 4,2 persen namun dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh ketergantungan yang kuat pada sektor publik. Akibatnya, administrasi publik menjadi sumber yang lebih besar lagi dari sumber daya ekonomi. Ini juga dapat mengakibatkan warga (terutama dari golongan elit) berebut untuk menguasai sumber-sumber daya ini dan mengurangi potensi untuk membina tata pemerintahan yang baik (seperti pengadaan dan rekrutmen yang transparan). Di Kota Ternate, ada banyak pemuda yang menganggur. Di Jailolo dan Galela, pertumbuhan ekonomi lebih lambat daripada di ibukota. Di Bacan, pertumbuhan ekonomi sudah lebih cepat yang dibuktikan oleh pembangunan prasarana oleh pemerintah lokal. Di Jailolo dan Sidangoli (Halmahera Barat), kegiatan ekonominya lebih sedikit dan tidak ada program khusus untuk pembangunan ekonomi lokal. Di suatu wilayah pascakonflik, perekonomian akan tumbuh dengan sangat lambat. Sebagian besar anggaran dipergunakan untuk administrasi (gaji dan pengeluaran rutin) dan hanya di Kota Ternate ada (sedikit) alokasi untuk pengukuran tata pemerintahan (mis. dengar pendapat umum). Prioritas dari pemerintah daerah, terutama untuk kabupaten-kabupaten baru (Halmahera Barat, Halmahera Utara, dan Halmahera Selatan), adalah untuk melembagakan pemerintahan yang ada tanpa alokasi khusus untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Hanya Pemerintah Kota Ternate dan Halmahera Selatan yang melakukanpenyusunan anggaran berbasis kinerja dan Kota Ternate menunjukkan kinerja pelayanan yang paling baik, kemudian Halmahera Selatan dan Halmahera Utara. Pemerintah kabupaten Halmahera Barat ternyata paling kurang efektif dalam melayani penduduk, ini sebagian disebabkan karena lokasinya jauh dari penduduk selain itu staf seniornya tampak sudah sangat puas dengan keadaan mereka. Tidak ada mekanisme di daerah untuk mengajukan keluhan atau pengaduan.

3.5  Masyarakat Madani

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan baik pada tingkat desa maupun kabupaten dilakukan sebagai formalitas, dan Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara biasanya melibatkan aparat pemerintah desa serta pimpinan warga tanpa partisipasi masyarakat yang lebih luas. Partisipasi yang rendah ini dibarengi dengan mentalitas proyek di antara para anggota masyarakat serta ketergantungan pada dana pemerintah dan kurangnya waktu untuk berpartisipasi karena beban pekerjaan sehari-hari sudah banyak. Kemampuan BPD yang rendah juga membatasi proses-proses pembangunan partisipatif. Pada tingkat kabupaten, prosesnya terbatas pada Bappeda dan dinas teknis dan masyarakat tidak mempunyai suara dalam
menentukan prioritas, penganggaran, atau evaluasi program. Kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban umum berarti bahwa masyarakat tetap tidak tahu tentang rencana-rencana pemerintah. Sementara itu LSM-LSM tidak mengambil inisiatif untuk mendorong perencanaan partisipatif di tingkat desa dan kabupaten, sedangkan kesadaran masyarakat mengenai apa saja yang menjadi hak mereka perlu ditingkatkan. Di tingkat komunitas, ada upaya-upaya untuk meningkatkan solidaritas sosial dan menghidupkan kembali kebudayaan lokal yang selama ini ditelantarkan, antara lain kebudayaan  Saruma (Bacan),  Basudara (Ternate) dan Hibualamo  (Tobelo). Nilai-nilai budaya ini dapat menjadi tuntunan untuk membina perdamaian di tingkat lokal bersamadengan forum komunikasi dan konsultasi antar-agama seperti FKKAUB. Juga ada minat yang kuat dari komunitas-komunitas untuk memperkuat lembaga-lembaga tradisional agar
berfungsi sebagai mekanisme komunikasi. Tetapi, masih saja belum ada upaya sistematis untuk mencoba mengidentifikasi berbagai potensi konflik dan membuat peta dari masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat. LSM-LSM secara aktif menyediakan jasa pelayanan untuk masyarakat, seperti bantuan prasarana untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, membagikan paket bantuan untuk pengungsi, advokasi mengenai masalah-masalah lingkungan hidup dan memberi modal untuk kegiatan produktif. Mereka juga bekerja untuk masalah kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak manusia. Kegiatan-kegiatan mereka dilakukan secara terpadu  dengan program-program pemberdayaan masyarakat yang berhubungan dengan perdamaian, seperti pelatihan penyelesaian konflik, pendidikan tentang perdamaian, pendidikan non-kekerasan, dialog tentang pluralisme dan penguatan forum-forum sub-desa. LSM-LSM juga telah mengembangkan evaluasi partisipatif terhadap program-program mereka. Beberapa kelompok telah membentuk  xsuatu aliansi LSM dan dalam beberapa kasus membentuk kemitraan dengan pemerintah namun ini biasanya terbatas pada pelaksanaan program. Karena tidak ada koordinasi yang semestinya antara LSM-LSM dengan pemerintah, maka timbul perasaan saling mencurigai. Khususnya, LSM-LSM melihat cara pendekatan yang biasa digunakan oleh pemerintah justru merusak upaya mereka untuk melibatkan masyarakat luas. LSM-LSM advokasi biasanya menjaga jarak dengan pemerintah karena menganggap pemerintah
melanggar hak-hak masyarakat, sebaliknya pemerintah mengkritik LSM-LSM karena selalu cepat ‘mencari-cari masalah’ tanpa menawarkan solusi. Hubungan antara LSM-LSM dan masyarakat biasanya terbatas pada masalah pelaksanaan program. Para LSM, ormas dan mahasiswa dapat menjadi agen perubahan pada tingkat lokal. Namun demikian, semuanya menyadari keterbatasan kapasitas masing-masing dalam melakukan advokasi, komitmen mereka yang rendah dalam mengembangkan kelompok-kelompok komunitas, minimnya partisipasi dari masyarakat madani serta kelemahan mereka dalam menggalang dana. Para pemimpin ormas khususnya, merasa bahwa pemerintah mengandalkan mereka pada waktu terjadi konflik, tetapi begitu keadaan aman kembali maka peran mereka tidak diakui. Selama ini belum ada upaya mengembangkan kapasitas ormas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan ormas-ormas itu sendiri tidak terlibat dalam proses perencanaan pembangunan. LSM-LSM internasional juga bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin LSM daerah namun biasanya terbatas pada pengalihan
pengetahuan dalam hal pembangunan. Tujuan aliansi adalah 1) meningkatkan kekuatan menawar
(bargaining power) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di hadapan pemerintah daerah, misalnya aliansi LSM untuk memberantas korupsi, 2) koordinasi antara mereka sendiri agar program-program dapat dilaksanakan secara terpadu. perdamaian  guna mendukung kegiatan LSM internasional di lapangan. Tidak adanya koordinasi yang kuat antara LSM-LSM
internasional dengan LSM-LSM daerah menimbulkan kecurigaan bahwa LSM-LSM internasional tidak mempunyai komitmen untuk membangun kapasitas LSM lokal dan bahwa mereka tidak bersedia mendorong terciptanya transparansi dan pertanggunggugatan kepada masyarakat. Namun, beberapa komunitas merasa bahwa LSM-LSM internasional banyak menyumbang kepada pemberdayaan masyarakat, sementara yang lain melihat LSM-LSM internasional sebagai tidak adil karena menyalurkan bantuan kepada kelompok-kelompok tertentu saja. Sebaliknya, LSM-LSM internasional tersebut berargumentasi bahwa pemberian bantuan mereka selalu dikoordinasikan dengan pemerintah, termasuk penetapan daerah sasaran dan kelompok-kelompok sasaran.

3.6  DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)

DPRD Halmahera Barat yang terdahulu dianggap oleh para pemilih maupun anggota-anggotanya yang baru terpilih, sebagai tidak memiliki praktek tata pemerintahan yang baik. Sebaliknya Kota Ternate telah dibantu oleh beberapa program donor dan mencapai hasil yang menggembirakan dalam masa jabatan terakhir, antara lain telah menghasilkan dua peraturan daerah inisiatif. Kota Ternate juga menunjukkan tingkat transparansi yang cukup baik. Sementara Partai Golkar mendominasi percaturan politik di Indonesia bagian timur setelah Pemilu yang terakhir, telah terjadi pergeseran kekuatan di mana sekitar 10 partai mempunyai wakil-wakilnya di dalam DPRD yang beranggotakan 20 sampai 25 orang, sehingga susunan DPRD terbagi-bagi menjadi beberapa fraksi. Karena anggota DPRD tersebut merupakan satu-satunya atau setidaknya salah satu dari beberapa wakil partainya, ia semakin jelas terlihat oleh masyarakat. Lebih banyak laki-laki yang terpilih karena mereka lebih sering berada pada urutan teratas dalam daftar, akibatnya hanya sedikit perempuan yang terpilih untuk menjadi anggota badan pembuat kebijakan ini. Setelah dibentuk propinsi Maluku Utara, empat kabupaten baru - Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur dan Kepulauan Sula - akan memiliki DPRD mereka yang pertama setelah pelantikan anggota-anggota yang baru. Ini berarti mereka tidak mewarisi suatu struktur, baik dalam bentuk aturan-aturan atau staf yang berpengalaman, pada waktu mereka datang ke kantor. Kebanyakan anggota yang baru terpilih belum mempunyai cukup pengetahuan tentang fungsi perwakilan. Beberapa ide untuk kegiatan di bidang perwakilan telah diusulkan kepada tim. Seorang anggota legislative merencanakan untuk memakai prasarana artainya di tingkat desa untuk mempertahankan hubungan dengan konstituennya. (lihat Boks – Anggota Legislatif dan Konstituennya). Namun demikian, pendekatan ini tidak dimiliki oleh partai-partai yang lebih besar. Kebanyakan anggota tidak tahu sama sekali bagaimana menggalang dukungan, baik dari partai mereka sendiri atau dari sekretariat untuk kegiatan hubungan konstituen. Ketidaktahuan ini menunjukkan kurangnya pemahaman bahwa fungsi perwakilan mereka akan tetap berlanjut dan bahkan berkembang setelah mereka terpilih. Meskipun semua anggota prihatin akan kemungkinan timbulnya kekerasan karena konflik di masa depan, kurangnya kesadaran mereka tentang fungsi sebagai wakil rakyat dapat berdampak dalam keadaan pascakonflik di mana berbagai kelompok yang berbeda-beda ingin merasa diperhatikan dan didengar. Untuk itu, penguatan DPRD di Maluku Utara perlu menekankan pembangunan kapasitas untuk melatih fungsi perwakilan, baik di antara para Anggota Legislatif dan Konstituen PPDK telah mendirikan kepengurusan partai tingkat desa yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan partai untuk seluruh masa jabatan DPRD. Dewan partai ini akan membantu para anggota menjembatani aspirasi-aspirasi rakyat di desa dan memantau perkembangannya. Direncanakan untuk membuat daftar tentang hal-hal yang menurut penduduk desa dibutuhkan oleh masyarakat, dan kemudian memverifikasikannya. Saya telah belajar dari preseden buruk di kabupaten Maluku Utara dimana para anggota DPRD, setelah terpilih, memutuskan hubungan dengan para pemilih (elektorat) mereka. Pak Abdul Kahfi Iskandar Alam, anggota DPRD Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara anggota maupun di dalam sekretariat dengan memperhitungkan keragaman budaya pada waktu merencanakan pembangunan.

3.7  BADAN PERWAKILAN DESA (BPD)

Sementara tata pemerintahan di desa-desa menjadi lemah setelah konflik di Sulawesi Tengah, situasinya menjadi lebih buruk di Maluku Utara karena akses yang buruk di daerah di mana banyak desa hanya dapat dijangkau dengan transportasi air yang cukup mahal. Ini sangat mempengaruhi hubungan antara desa dengan pemerintah kabupaten, terutama desa-desa yang letaknya jauh dari Ternate. Yang lebih memperparah keadaan, kebanyakan aparat desa tidak mampu beroperasi secara memadai, termasuk menyediakan prasarana dasar untuk sebuah kantor desa, dan tidak ada bimbingan mengenai peran-peran dan fungsi-fungsi ataupun penghargaan untuk staf atas masa bakti mereka kepada masyarakat. Kabupaten-kabupaten yang dikunjungi oleh tim di Maluku Utara mulai meminta desa-desa mendirikan BPD dalam paruh kedua tahun 2003, dan hanya sedikit yang tidak dapat melakukannya (yaitu sekitar 10 desa di Halmahera Selatan) karena beberapa alasan. Tetapi, cara kabupaten meminta desa-desa mendirikan BPD, tidak disertai dengan referensi tertulis. Kepala desa hanya diundang ke kantor kecamatan, dijelaskan prosedurnya, dan kemudian diminta melaporkan hasilnya. Hasilnya adalah kapasitas yang rendah dan tindakan yang sedikit. Namun, ada beberapa contoh di mana BPD sudah mengusulkan diberhentikannya kepala-kepala desa yang korup, dan bahkan satu orang sudah diberhentikan di Halmahera Selatan. Pemerintah propinsi tampaknya memainkan peran dalam memberi bimbingan kepada BPD-BPD yang baru. Semua pemerintah kabupaten melaporkan bahwa mereka telah menyusun rencana program orientasi bagi BPD dan para kepala desa untuk tahun anggaran berikutnya, sementara kabupaten Halmahera Selatan sudah melaksanakan program tersebut tahun ini.Mereka mengatakan bahwa kurangnya dana membatasi jumlah buku pedoman yang dapat diproduksi untuk para anggota BPD dan kepala desa. Masalah Tata Pemerintahan di Daerah-Daerah Pascakonflik di Indonesia


4.1  Tingkat Nasional

Retorika reformasi belum mewujudkan perubahan-perubahan yang berarti di dalam pemerintah pusat untuk melengkapi desentralisai kekuasaan ke daerah-daerah. Semua pemerintah daerah mengatakan bahwa bimbingan  dari pemerintah pusat  sehubungan dengan pengaturan pembagian kekuasaan masih kurang23 sementara UU No. 22 tahun 1999 hanya memberi sedikit penjelasan dan tidak banyak mendorong pengarusutamaan tata pemerintahan di dalam pemerintah. Koordinasi antara kabupaten dan propinsi untuk pemakaian dana dekonsentrasi untuk pembangunan ekonomi/pengentasan kemiskinan belum efektif sehingga masyarakat masih mengalami program pembangunan yang sasarannya kurang tepat sehingga tidak ada dampak jelas. Sehingga secara umum terjadi jurang yang semakin membesar di antara harapan publik dan hasil desentralisasi dan otonomi daerah. Beberapa masalah yang mempengaruhi laju perubahan: •  Perbedaan yang signifikan antara lembaga-lembaga di tingkat pusat mengenai pengembangan kebijakan yang berhubungan dengan desentralisasi;
•  Konflik kepentingan antara Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan tentang masalah pengelolaan keuangan;
•  Konflik antara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Adminstrasi Negara (LAN) dan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (MenPAN) mengenai pembaruan system kepegawaian negeri (PNS);
•  Belum ada perhatian yang sungguh-sungguh dari DPR terhadap pembaruan sistem PNS;
•  Beberapa departemen dan faksi-faksi di dalam departemen, tampaknya menentang perubahan  dan perencanaan dari atas ke bawah masih merupakan kebiasaan yang mengakar dalam organisasi.
Sebagai contoh, aturan-aturan sektoral baru per sektor, seperti Kepmendagri No. 29/2003 tentang Penganggaran Berdasarkan Kinerja  oleh Departemen Dalam Negeri menciptakan masalah baru bagi desentralisasi. •  Hanya lapisan atas birokrasi yang diganti dan kebanyakan pejabat belum sepenuhnya memahami prosedur-prosedur dan standar-standar yang baru maupun reformasi demokratis sehingga pola kerja dan sikap-sikap yang lama masih ada; dan •  Partai-partai politik tetap tidak mempunyai basis  yang berarti di tingkat akar rumput.


4.2  Pemerintah Daerah

Keadaan tata pemerintahan di kedua propinsi ini mirip dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pemerintah-pemerintah daerah harus menghadapi tantangan merasionalisasi pendanaan dan menetapkan harga untuk jenis-jenis pelayanan publik agar dapat menggunakan sumber-sumber daya secara lebih efisien, namun belum memiliki wewenang penuh maupun dana atau kapasitas untuk mengelola pengadaan jasa pelayanan. Sebagai contoh, pada tingkat nasional masih diperdebatkan apakah pemerintah-pemerintah daerah harus mentaati standar nasional atau
perlu diberi kelonggaran untuk bereksperimen dengan cara-cara inovatif. SK No. 105/2000 dan Kepmendagri 29/2003 untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja mencerminkan keinginan agar pemerintah-pemerintah daerah mengikuti standar nasional pembuatan anggaran dan syarat-syarat pelaporan keuangan (walau untuk kantor departemen di daerah agak membingungkan dan sulit diterapkan) Meskipun demikian, pihak otoritas di kabupaten-kabupaten yang dikunjungi tampaknya lebih suka mengikuti pedoman dari pemerintah pusat daripada menciptakan cara mereka sendiri. Walaupun pemerintah-pemerintah daerah sekarang menerima jauh lebih banyak pendapatan, yang hampir seluruhnya berasal dari transfer fiskal pemerintah pusat, mereka tidak dapat berbuat banyak karena sebagian  Pengalaman dari BIGG (USAID) di wilayah lain Indonesia menunjukkan bahwa penganggaran berdasarkan kinerja dapat dilakukan tapi membutuhkan cukup banyak waktu dan tenaga. Disarankan untuk memulai dengan skala kecil pada departemen-departemen berorientasi pelayanan dimana hasil dan akibat lebih mudah diidentifikasi dan diukur.  Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara besar dana tersebut digunakan untuk membayar gaji dan biaya operasional dasar. Dalam setiap departemen, alokasi tahunan cenderung selalu sama kecuali ada prioritas baru yang diusulkan oleh Bupati (atau oleh DPRD namun ini jarang terjadi). Sekalipun demikian, pengalaman dari propinsi-propinsi lain mengesankan bahwa masalah utama dari pemerintah-pemerintah daerah bukan masalah kurangnya sumber daya melainkan lebih merupakan persoalan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada (dan sumber daya lain yang belum digali) secara efektif.25 Sebagai contoh, kabupaten-kabupaten baru mengalokasi sejumlah besar dana untuk   membangun prasarana pemerintah dengan terpaksa ‘mengabaikan’ pelayanan publik. Dokumen-dokumen anggaran kurang berguna untuk perencanaan karena berisi banyak angka namun hanya sedikit informasi yang dapat menjelaskan bagaimana anggaran berkaitan dengan tujuan pembangunan atau tujuan pelayanan publik. Misalnya, meskipun beberapa pemerintah daerah mengalokasi sebagian anggaran mereka untuk keadaan darurat sesuai dengan garis pedoman nasional, hanya sedikit bukti bahwa pihak otoritas memahami perlu adanya program atau kebijakan yang peka konflik. DPRD akan mengalami kesulitan dalam mengkaji rencanaanggaran yang kini lebih menantang karena  tidak lagi disusun berdasarkan pengeluaran rutin dan pengeluaran untuk pembangunan melainkan sesuai dengan fungsi-fungsi administrasi utama dan kegiatan-kegiatan pelayanan publik. Sekarang lebih sulit melihat seberapa banyak dana anggaran dialokasikan untuk pembangunan dan anggaran masih tetap digunakan lebih sebagai cara mengalokasi dan mengendalikan pengeluaran, daripada sebagai alat untuk mengelola pembangunan. Seluruh proses pengganggaran harus lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga para anggota DPRD, kelompok-kelompok masyarakat madani yang berminat, dan staf pemerintah dapat memberikan lebih banyak sumbangan secara lebih efektif. Tata pemerintahan diperlemah oleh kekurangan-kekurangan struktural dan sistematis dalam administrasi publik termasuk . Contoh, lihat  Local Solutions for Local Development –Issues Paper, Area Focus Approach Scoping Mission Document, Juni 2004, Canberra proses-proses dan prosedur yang lemah untuk perencanaan, partisipasi, penganggaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan sumber daya manusia, dan koordinasi. Selain itu,kesetaraan jender tidak diarusutamakan di dalam sektor publik pada tingkat manapun, pelayanan publik belum bersifat ‘gender- inclusive’, perempuan tetap kurang terwakili dalam posisi-posisi senior, sedangkan kantor- kantor yang bertanggung jawab atas pemberdayaan perempuan (yang ada) mempunyai status dan otoritas yang rendah sekali. Ada himbauan dari beberapa pihak agar transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah ditingkatkan pada semua tingkatan. Orang menginginkan praktek rekrutmen yang lebih terbuka26, informasi yang lebih jelas tentang program-program pemerintah, akses yang lebih baik terhadap pelayanan dasar, dan agar masyarakat lebih mempunyai ‘suara’ dalam pembangunan daerah. Hingga sekarang belum ada mekanisme untuk warga yang ingin melaporkan kecurigaan tentang perilaku yang meyimpang atau melanggar kecuali melalui DRPD yang ternyata kurang dihormati oleh masyarakat. Demikian pula, meskipun Bawasda  memantau kinerja pemerintah, ini lebih merupakan latihan mengaudit daripada menilai tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan sangat diragukan
apakah semua departemen dapat diaudit dengan seksama.  Mungkin tidak salah bila dikatakan bahwa kebanyakan pemerintah daerah belum merupakan badan tata pemerintahan walaupun setiap kabupaten mempunyai aktor-aktor yang bisa diandalkan. Konsep  tata pemerintahan sendiri belum dipahami dengan baik dan ada risiko bahwa konsep ini akan dianggap sebagai ide dari donor yang menuntut kewajiban-kewajiban tertentu dari sektor publik tanpa ada manfaat yang jelas. Pemerintah-pemerintah mungkin juga akan merasa terancam dengan kewajiban adanya partisipasi masyarakat madani dan transparansi yang lebih tinggi sehingga praktek-praktek mencari tambahan penghasilan akan berkurang. Membangun ‘struktur-struktur keterlibatan’ penting sekali untuk memantau kinerja pemerintah dan sebaiknya mencakup dukungan kepada jaringan lembaga-lembaga tradisional dan Ada demonstrasi menentang pemerintah di Tidore pada tahun 2003 karena masyarakat merasa tidak ada transparansi dalam rekrutmen pegawai. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara mekanisme-mekanisme baru seperti  forum warga.  Ini dapat didukung melalui peraturan-peraturan daerah mengenai transparansi dan partisipasi dan dengan memperkuat BPD serta kelompok-kelompok yang ada.

4.3  DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)

DPRD selalu merupakan pencerminan dari pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Sebelum reformasi, DPRD hanya merupakan badan stempel untuk keputusan-keputusan yang diambil untuk pemerintah daerah, tetapi sekarang UU mengenai Tata Pemerintahan memberiwewenang kepada DPRD untuk benar-benar bertindak sebagai badan legislatif yang mewakili rakyat. Ini berarti, misalnya, bahwa DPRD dapat mengeluarkan suara tidak percaya terhadap kepala daerah dan memberhentikannya dari jabatan tersebut. Dalam konteks ini, DPRD sudah diberi mandate untuk semua fungsi yang diperlukan untuk tata pemerintahan dan untuk menciptakan system check-dan-balance antara kedua cabang pemerintah daerah: fungsi perancangan untuk membuat peraturan daerah, fungsi pengawasan untuk memantau pelaksanaan peraturan, dan fungsi penyusunan anggaran untuk memastikan bahwa pemerintah tidak mempunyai kewenangan tanpa batasan-batasan daam membuat anggaran. Pemilu 2004 telah memunculkan politisi-politisi baru yang masih segar dengan semangat besar untuk memperbaiki situasi. Ini dapat dilihat sebagai kesempatan yang ideal untuk mendukung mereka dalam membangun pertanggungjawaban pemerintah daerah dengan memperkenalkan praktek-praktek baru. Ini akan menghasilkan politik yang lebih sehat seiring dengan semakin independennya kedua cabang pemerintah tersebut setelah diberlakukan undang-undang yang menetapkan pemilihan kepala daerah secara langsung pada penghujung tahun ini atau pada awal tahun 2005. Sekretariat DPRD pada umumnya lemah dan dalam bidang pembuatan peraturan DPRD perlu meningkatkan kapasitas dari staf komisi-komisinya. Melatih komisi dan staf penelitianbisa menjadi satu pilihan apabila anggaranmemungkinkan rekrutmen staf yang permanen.Jika tidak ada dana maka pilihan lain adalah untuk membangun  database tenaga ahli yang dapat diakses oleh DPRD atau menciptakan perpustakaan peraturan perundang-undangan
propinsi. Peran sekretariat mungkin adalah titik yang paling mudah untuk melakukan intervensi karena secara politis paling sedikit mengandung kontroversi., terutama dalam DPRD baru. Menunjukkan kelebihan dan keuntungan dari suatu sekretariat yang lebih kuat adalah salah satu cara untuk mendorong para anggota DPRD agar mempertimbangkan untuk mengalokasi lebih banyak dana untuk fungsi ini. Paket bantuan dapat terdiri dari proses menciptakan system pencatatan/pembukuan yang lebih baik sehingga akan meningkatkan transparansi; menetapkan standar prosedur administrasi termasuk menyusun buku pedoman prosedur-prosedur administrasi; dan meningkatkan fasilitas-fasilitas fisik dan peralatan. Namun demikian, harus ada  itikad politik sebelum melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan kapasitas. Jika program intervensi tidak dimulai pada awal masa bakti DPRD, maka  tata tertib  sudah telanjur diberlakukan dan beberapa praktek akan sudah menjadi kebiasaan. Komitmen perlu dikembangkan dengan memperkenalkan praktek-praktek yang sukses di daerah lain kepada para pelaku utama di DPRD, misalnya melalui  study tour atau lokakarya gabungan. Menciptakan permintaan dari konstituen juga merupakan cara untuk menimbulkan itikad politik yang lebih besar dengan mendorong dibentuknya forum-forum di mana masyarakat mengungkapkan kepentingannya, melatih organisasi-organisasi masyarakat madani mengenai advokasi dan mempersiapkan mereka untuk memberi kesaksian dalam dengar pendapat, dan melatih wartawan
tentang bagaimana menghadapi masalah- masalah legislatif. Jika komitmen jelas ada, maka para anggota akan senang menerima bantuan dalam menyelenggarakan dengar pendapat umum maupun dalam program media dan program konstituen.

4.4  Badan Perwakilan Desa

Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Garis Pedoman Pengaturan Administrasi Desa menetapkan adanya dewan desa yang disebut  Badan Perwakilan Desa (BPD). Badan ini bertanggung jawab untuk membuat peraturan-peraturan desa, mengawasi Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara  pemakaian anggaran dan pertanggungjawaban kepala desa, dan mempertahankan adat setempat. BPD yang efektif, misalnya, adalah BPD yang berfungsi sebagai badan perwakilan kelompok-kelompok yang berbeda di desa, namun pemerintah daerah belum mempunyai perda  mengenai administrasi tingkat desa sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Pemerintah. Namun demikian, ada beberapa model yang memberi contoh yang baik.
Bahayanya adalah bahwa desa mungkin akan mendirikan BPD dengan perwakilan yang kurang tepat (misalnya, didominasi kaum elit), tanpa landasan hukum dan kurang partisipasi publik. BPD memerlukan program orientasi dasar dan pembangunan kapasitas, maupun referensi
dasar mengenai kerangka hukum. Suatu program tata pemerintahan di tingkat desa mungkin akan lebih efektif jika dijalin ke dalam program tingkat kabupaten untuk penguatan tata pemerintahan. Dengan mendukung kedua pihak diharapkan dapat meningkatkan kemampuan BPD untuk memainkan perannya secara lebih efektif dan menghasilkan praktek-praktek baik yang dapat disebarluaskan oleh pemerintah dan diulangi di daerah lain, terutama di daerah di mana ada kegiatan pembangunan perdamaian. Salah satu pendekatan adalah untuk memperkuat tata pemerintahan (melalui pembangunan kapasitas BPD dan program-program kepemimpinan) di beberapa desa tertentu (mencakup agama atau suku yang berbeda-beda) dalam kerjasama dengan pemerintah kabupaten agar melembagakan pendekatan ini di dalam administrasi publik. Ini dapat dilakukan dengan memberi bantuan teknis kepada BPM atau Pemda misalnya, untuk melatih dan menjadi Desa Tambarana Trans memiliki BPD dengan 6 orang anggota dimana tiga komunitas agama diwakili secara proporsional: 3 wakil Hindu mewakili 250 KK, 2 orangMuslim mewakili 110 KK Islam dan 1 orang Kristen mewakili sisa 400HH masyarakat desa yang beragama Kristen. Sistem perwakilan ini menghasillkan hanya 1 perempuan terpilih yang beragama Kristen. Peraturan Pemerintah hanya mensyaratkan bahwa BPD mempunyai paling sedikit 5 anggota yang dipilih dari penduduk desa sesuai dengan Peraturan Daerah (Peraturan Pemerintah nomor 76/2001, pasal 31). 29 BPD juga perlu memahami peraturan-peraturan pajak di daerah yang bersangkutan, karena desa tidak dapat membebankan pajak atas barang yang sama dengan pemerintah kabupaten. Untuk itu perlu ringkasan dari semua kerangka hukum yang berkaitan untuk membantu BPD mendorong  pembangunan desa tanpa melanggar peraturan kabupaten. mentor untuk staf departemen dan penyedia jasa lainnya (jika dikerjakan oleh pihak lain). Namun, karena tanggung jawab untuk mendukung BPD mungkin berada pada Bagian Tata Pemerintahan Umum dan Pedesaan di bawah kantor Sekretaris Daerah  tingkat kabupaten, PMD kabupaten atau PMD propinsi, maka lembaga-lembaga ini perlu berkoordinasi secara lebih efektif dan bekerja bersama.  

4.5  Masyarakat Madani

Penduduk kini menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang lebih besar karena kehilangan mata pencaharian dan ditariknya dana investasi dari daerah ini karena ditimpa krisis ekonomi, kemudian konflik-konflik. Ketergantungan kepada pemerintah menjadi semakin tinggi dan swadaya masyarakat menjadi sangat rendah. Bertahun-tahun melakukan perencanaan dari bawah ke atas ternyata tidak menghasilkan kesejahteraan bagikomunitas maupun kelompok-kelompok khusus. Koordinasi yang buruk antara pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi menghasilkan duplikasi program pembangunan  di desa-desa yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan desa tersebut. Status perempuan belum meningkat30, kaum muda yang berpendidikan sulit mencari pekerjaan dan adanya pengungsi-pengungsi masih merupakan tantangan terhadap kohesi sosial dan pembangunan manusia (terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi). Kurangnya koordinasi antara pemerintah tingkat desa, kecamatan dan
propinsi berarti bahwa persoalan-persoalan yang muncul di tingkat desa jarang sekali sampai ke tingkat kabupaten apalagi ke tingkat propinsi dan sebaliknya, kebijakan-kebijakan tingkat propinsi dan kabupaten hampir tidak pernah sampai ke masyarakat di desa (terutama perempuan dan kaum miskin). Ada sedikit organisasi masyarakat madani (OMM) atau media yang mengupayakan lebih Khususnya kekerasan dalam rumahtangga terhadap perempuan dan anak-anak diidentifikasi dalam kedua propinsi sebagai masalah yang menuntut perhatian dan penanganan segera.  Pedoman Teknis Pelaksanaan dan Pengelolaan Program untuk Kemajuan Perempuan di Tingkat Sub-Nasional (Instruksi No. 17/1996)  bertujuan meningkatkan koordinasi  program-program pembangunan perempuan di tingkat sub-nasional,, yang dijalankan oleh gubernur. Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara banyak transparansi dan sikap anti-korupsi. Upaya memperkuat jaringan OMM untuk berbagi informasi, mempromosikan
pendidikan kewarganegaraan, dan memastikan agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat tidak berat sebelah memang perlu dilakukan, namun pertama-tama OMM perlu kesempatan untuk merenungkan peran apa yang dapat mereka mainkan dalam mendorong terciptanya tata pemerintahan yang demokratis. Belum ada suatu Koda Etik untuk LSM-LSM maupun OMM-OMM di kedua propinsi. Juga ada banyak ruang untuk pemerintah daerah dan LSM-LSM untuk bekerja bersama dalam membina tata pemerintahan dan perdamaian melalui kegiatan-kegiatan yang mendukung pemberdayaan masyarakat dan ekonomi. LSM-LSM mungkin perlu ditugaskan di lokasi yang lebih tepat agar dapat bekerja secara intensif dengan kelompok-kelompok dalam jumlah yang lebih sedikit agar dana dapat disebar untuk jangkauan yang lebih luas. (misalnya, alokasi pekerja padat karya) walupun perlu ada pembangunan kapasitas secara besar-besaran bila ingin efektif. Ada beberapa LSM yang tampaknya mempunyai kemampuan baik untuk menjangkau danmengelola masyarakat yang lebih luas, dan ini perlu dikembangkan lebih lanjut.  

4.6  Risiko-risiko Di Masa Depan

Seperti di tempat-tempat lain di Indonesia, upaya pembangunan sosial dan ekonomi di propinsi-propinsi ini dilakukan di lingkungan di mana aturan-aturan dan lembaga-lembaga dipersepsikan mempunyai sikap berat sebelah terhadap kelompok tertentu dan lokasi geografis tertentu. Komunitas-komunitas di  kedua propinsi menghadapi ketidakpastian dalam hal mengakses keadilan dan kesempatan bekerja, tersedianya pelayanan dasar, dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. Banyak persoalan yang dialami oleh para pengungsi dan/atau mereka yang menderita trauma karena konflik masih belum diselesaikan hingga kini. Adanya persepsi ketidakadilan, ketersisihan, dan nepotisme terus memupuk rasa dendam dan frustrasi dan mengakibatkan penduduk sangat kurang percaya kepada pemerintah daerah dan kohesi sosial pun buruk.Kajian tematis UNDP tentang Kohesi Sosial (untuk Sulawesi Tengah dan Maluku) berisi analisa terperinci mengenai dinamika konflik di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Dari sudut pandang tata pemerintahan, risiko-risiko ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1.  Masalah kritis adalah bahwa kelompok- kelompok tertentu masih tetap merasa resah karena diperlakukan sebagai ‘warga kelas dua’ dan melihat kurangnya kepedulian pemerintah terhadap masalah sosial dan kesejahteraan mereka. Pencarian pekerjaan di sektor publik masih menjadi masalah yang sangat kontroversial karena merupakan salah satu dari tiga sumber utama pendapatan penduduk (selain pertanian dan perdagangan). Persaingan yang ketat membuat orang sangat waspada terhadap kemungkinan adanya nepotisme dan diskriminasi berdasarkan agama atau suku dalam promosi dan rekrutmen pegawai, dan kemungkinan bahwa orang bisa ‘membeli’ jabatan (Ini ditunjukkan dalam sentimen anti-Makian di Maluku Utara dan kekhawatiran bahwa seorang Bupati Kristen akan dipilih di wilayah Poso yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.) 2.  Kelompok masalah kritis kedua berkisar tentang persepsi adanya kurang rasa hormat dari pemerintah dan pihak-pihak lain terhadap identitas dan warisan budaya penduduk lokal, sehingga terjadi perebutan dan perjuangan untuk mempertahankan sumber-sumber daya seperti tanah dan hutan yang dianggap sebagai milik masyarakat adat setempat. Ini tampak jelas sekali dalam perdebatan dengan masyarakat Kao mengenai tapal batas wilayah Malifut yang baru di Maluku Utara dan akses memperoleh keuntungan ari tambang-tambang yang ada disana. Juga ada keresahan pada komunitas-komunitas yang merasa terancam dengan kurang transparannya pemerintah daerah dalam mengalokasi hak pertambangan dan hak pengusahaan hutan yang dapat
mempengaruhi kehidupan dan sumber mata pencaharian mereka. Camat Kao misalnya, mengatakan bahwa komunitas-komunitas Kao di Malifut tertarik untuk membentuk kecamatan baru, yaitu Kao Selatan (lihat Cutura, J dan Watanabe, M (2004), Decentralisation and Violent Conflicts: The Case of North Maluku, Indonesia, Bank Dunia, Jakarta). Tata Pemerintahan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara 3.  Persepsi adanya korupsi dalam menggunakan dana publik, praktek kolusi dalam pembuatan kontrak dan pengadaan barang publik, serta mekanisme
pertanggungjawaban yang buruk dari pemerintah dan DPRD menciptakan kelompok risiko ketiga, yaitu yang timbul karena kurang transparansi dan pembuatan keputusan yang kurang partisipatif dalam memberi pelayana publik, pengawasan dan pemeriksaan terhadap program-program pemerintah. Ditemukan tiga jenis penyalahgunaan dana selama misi: (i) uang dialokasi kembali ke program lain tanpa konsultasi, (ii) nilai kontrak untuk proyek prasarana dilambungkan sehingga memberi keuntungan bagi pihak yang memberikan kontrak, (iii) dana diambil untuk keperluan pribadi. 4.  Potensi munculnya rasa saling tidak percaya di antara masyarakat merupakan risiko lebih lanjut bila desa-desa dan daerah-daerah menjadi semakin homogeny dalam suku dan/atau agama dengan hanya ada sedikit saluran komunikasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda itu. Pemekaran kabupaten sebagai cara untuk mengatasi masalah pembagian kekuasaan dan alokasi sumber daya. Meningkatkan risiko, karena garis pembedaan agama dan kesukuan semakin jelas. 5.  Tidak adanya tindakan dari pemerintah (termasuk DPR) terhadap sejumlah masalah kualitas hidup yang sangat mempengaruhi mata pencaharian dan kesejahteraan penduduk sudah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat yang dapat saja menjadi lebih parah. Termasuk di sini semakin banyaknya pengangguran pemuda, masalah pengungsi yang tidak terselesaikan, kurangnya dukungan bagi mereka yang menderita trauma, dan kurangnya tindakan dari pemerintah untuk meminimalkan kerusakan lingkungan karena penebangan liar dan pertambangan liar. 6.  Jika pemerintah tidak menangani ketegangan-ketegangan dan pemicu- pemicu ini secara efektif, maka selalu ada kemungkinan bahwa kaum elit akan terlibat perebutan kekuasaan dan memanfaatkan rasa dendam dan ketidakpuasan di antara warga untuk memberi momentum kepada munculkan kerusuhan sosial dan kekerasan.

4.7  Peluang bagi Penyediaan Dukungan

Tidak ada informasi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menghadapi masalah-masalah ini. Bahkan, baik pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten di kedua propinsi ingin menganggap konflik sebagai masalah yang pada dasarnya ‘sudah selesai.’ Pejabat-pejabat senior padaumumnya menegaskan bahwa apabila terjadi konflik di masa depan maka kemungkinanbesar merupakan ulah dari provokator-provokator dan harus ditangani sebagai tindakan kriminal dan diproses melalui  kepolisian dan pengadilan. Ada pengakuan di antara para pejabat bahwa transparansi dan partisipasi penting untuk mencegah konflik, namun pada saat yang sama tampaknya hampir tidak ada kritik mengenai sejauh mana hal-hali ini ada di dalam kabupaten atau bagaimana dapat ditingkatkan. Akibatnya, masyarakat harus mencari sendiri strategi-strategi untuk membangun perdamaian, sedangkan pemerintah-pemerintahdaerah cenderung mengandalkan prosedur operasi standar yang telah ditetapkan oleh Pusat untuk menangani konflik-konflik yang tidak peka konteks dan tidak berfokus pada kajian atas risiko atau tindakan pencegahan. Perencana-perencana senior (seperti  Bappeda dan  Pemda), ketua lembaga, dan  Bawasda jelas membutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat dan dukungan untuk dapat melihat pentingnya analisa konflik ketika melakukan perencanaan dan mengalokasi sumber daya di antara pihak-pihak yang bersaing dan memantau pemakaian sumber daya ini.
Sekalipun banyak halangan dan tantangan,tim telah mengidentifikasi beberapa pijakan untuk mulai membangun di kedua propinsi, termasuk:
•  Setiap propinsi mempunyai administrasi/pemerintah kabupaten yang baru yang membutuhkan bantuan dari luar untuk dapat memberikan pelayanan publik.
•  Ada contoh-contoh dari kepemimpinan pemerintah dan komitmen dengan tata pemerintahan serta komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat.
•  Garis pedoman dan kebijakan nasional untuk desentralisasi dapat dipakai sebagai titik awal untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah, termasuk garis pedoman untuk
penganggaran berbasis kinerja dan pengembangan standar minimum pelayanan publik.
•  Ada minat dari pihak-pihak pemerintah yang berkepentingan untuk meningkatkan perencanaan yang partisipatif.
•  Ada kemajuan yang tetap pada pembangunan prasarana-prasarana di semua lokasi.
•  Para manajer senior mempunyai perhatian besar terhadap profesionalisme di sector publik.
•  Ada beberapa contoh dari masyarakat madani yang menjadi lebih pro-aktif dalam hal-hal kebijakan publik.
•  Ada jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok pembina perdamaian yang aktif di dalam masyarakat.
•  Ada komitmen yang sangat tinggi di antara anggota-anggota DPRD yang baru pertama kali menjabat, untuk melayani konstituen mereka.
•  Ada peluang-peluang baru untuk memperbaiki cara meningkatkan pendapatan.
Misalnya, Kota Ternate telah meluncurkan sejumlah prakarsa untuk membangun kerangka bagi kegiatan prakarsa tata pemerintahan dan mengharapkan dukungan lebih lanjut untuk pelaksanaannya.