Pengantar
Memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tanpa ideologi merupakan pekerjaan sia-sia. Ideologi politik dapat mendorong pemenuhan HAM dan sebaliknya dapat menjadi aral bagi pemajuan hak-hak asasi. Jika ini argumennya, mengapa tidak kita pikirkan, menjadikan HAM sebagai sebuah ideologi politik? Kemudian, lingkup batas ‘HAM’ yang mana yang hendak diposisikan sebagai ideologi?
Tulisan ini akan mengeksplorasi tema ideologi politik dan HAM. Dalam artikel singkat ini akan mengeksplorasi tema promosi HAM didunia saat ini termasuk di Indonesia. Selanjutnya, artikel ini hendak mendeskripsikan klaim ideologi politik HAM – terutama yang dibangun oleh elite badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan aktivis HAM. Tulisan ini relatif bersifat pembuka untuk mengetahui: apakah ideologi dan HAM itu saling terpisah satu sama lain; ataukah HAM itu bisa posisikan sebagai ideologi politik?
Kepentingan menyusun artikel ini lebih ditujukan untuk mendiskusikan dua tema besar tersebut. Tidak berlebihan jika banyak komentator, menyatakan sekarang kita tinggal di abad HAM.[1] Sementara, ideologi juga merupakan tema yang hidup hingga sekarang. Bahkan, ideologi, menjadi konsep yang paling elusive dalam keseluruhan ilmu sosial.[2]
Sebuah alat bantu dalam menyusun artikel ini, yakni buku berisi kumpulan artikel yang diedit Roger Eatwell dan Antony Wright berjudul ‘Contemporary Political Ideologies’. Dalam buku ini, Eatwell dan Wright mengkompilasi 10 ideologi politik yang berkembang di abad 20, yakni: (1) liberalism; (2) conservatism; (3) socialism and social democracy; (4) marxism and communism; (5) anarchism; (6) nationalism; (7) facism; (8) feminism; (9) ecologism; serta (10) islam and fundamentalism. Kategori terakhir tidak dimuat dalam edisi pertama. Sementara dalam buku ini, isme hak asasi manusia - HAMisme (human rightism) – yang menjadi obyek tulisan ini – tidak dimuat sebagai sebuah ideologi politik.
Dalam pengantar buku tersebut Eatwell menyatakan buku ini berisikan ideologi-ideologi politik yang dipahami sebagai “a relatively coherent set of values – a set of ‘isms’ which have been, and in most cases remain, central to the language of post-Enlightement politics.”[3] Dengan demikian, ideologi-ideologi ini “have a variety of more concrete effects, including both inspiring and constraining behavior and policy.”[4] Menurutnya, dari sekian banyak pendekatan yang menopang argumen rupa ideologi, tema ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) ideologi sebagai pemikiran politik (political thought); (2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan (beliefs) dan norma-norma (norms); (3) ideologi sebagai bahasa (language), simbol-simbol (symbols) dan mitos (myths); serta ideologi sebagai kekuasaan elite (élite power).[5]
Pendekatan tersebut, dalam kalimat Eatwell, “are not entirely exclusive”, namun keempat kategori tersebut “point to different areas of primary study”.[6] Menurutnya, kategori pertama, studi diarahkan pada isme-isme besar (great ‘isms’) dan para pemikir utamanya (key thinkers). Kelompok kedua, berkaitan dengan pandangan orang kebanyakan, yang relatif kurang sistematis. Pendekatan ketiga, melihat lebih pada diskursus (discourse) dan ikonografi (semiotics). Sementara, pendekatan keempat, berhubungan lebih pada bagaiman elites mencari dan memastikan dukungan, lewat beragam cara, seperti represi fisik, media, atau sistem pendidikan.
Selanjutnya, Eatwell menyatakan ideologi-ideologi (ideologi politik) yang dimuat dalam bukunya, mesti mempunyai seperangkat atribut, yang secara khusus ideologi: “has an overt or implicit set of empirical and normative views” which are goal-oriented about: (1) human nature; (2) the process of history; (3) the socio-political structure.”[7]
Karena ‘aturan’ tersebut, maka menurutnya, democracy tidak dapat disebut sebagai sebuah ideologi politik. Karena alasan sederhana, demokrasi lebih pas disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana semua ideologi-idologi utama berupaya memonopoli term ‘democracy’.[8]
Jika merujuk pada argument Eatwell tersebut maka ‘democracy’ tidak dikategorikan sebagai ideologi politik telah mendapat dasar. Namun, bagaimana jika argument tersebut diterapkan pada HAM: “human rights as an ideology” dan ‘human rightism’ as political ideology”? Pertanyaan semacam ini memunculkan kontroversi tentunya. Untuk itu, ada baiknya jika dideskripsikan lagi beberapa rumusan ideologi dan ideologi politik.
Dalam sebuah kamus filsafat (Oxford Dictionary of Philosophy), ideologi dirumuskan sebagai berikut:
“Any wide-ranging system of beliefs, way of thought, and categories that provide the foundation of programmes of political and social action: an ideology is a conceptual scheme with a practical application…[9]
Eatwell sendiri, mendefinisikan ideologi politik (political ideology) yang digunakan untuk mendeskripsikan ‘ism’, dalam bukunya, sebagai ideologi politik:
“A political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought, focusing on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It is usually related to a programme of specific short run concern. Depending on its relationship to the dominant value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers may embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore, seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political ideologies are essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be confused with specific movement, parties or regimes which may bear their name.”[10]
Sistem kepercayaan (beliefs) dan pola pikir (thought) tersebut, merujuk, Raymond Williams, dibedakan kedalam bentuk-bentuk formasi ideologi, yakni: (1) “residual” ideological formations, yakni rupa-rupa ideologi yang saling bergantian mendominasi, namun tetap bersiklus dalam beragam cara; (2) “emergent” ideological formations, yakni ideologi-ideologi baru, yang sedang berproses memantapkan pengaruhnya (3) “dominant” ideological formations, yakni ideologi – yang oleh Louis Althuser diistilahkan sebagai “ideological state apparatuses”; seperti, sekolah (schools), pemerintah (government), polisi dan militer.[11]
Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagai kata benda (noun), hak (right) dapat diartikan secara abstrak (an abstract sense) dengan makna keadilan (justice), sesuatu yang secara etik dianggap benar (ethical correctness) atau disejajarkan artinya dengan norma hukum (rules of law) atau prinsip-prinsip dasar moralitas (principles of marals). [12] Selanjutnya, secara konkret (a concrete sense), berarti kekuasaan (power), keistimewaan (privilege), atau tuntutan (demand) yang inheren dimiliki seseorang dan incident dengan yang lain; dimana hak secara umum dapat diartikan sebagai “powers of free action”. [13] Dalam bahasa hukum, istilah hak, didefinisikan sebagai: “a capacity residing in one man of controlling, with the assent and assistance of the state, the actions of others.”[14] Sementara, hak (right) sebagai kata sifat, berarti kebenaran moral, sejalan dengan prinsip-prinsip etika atau norma hukum positif. Hak (rights) sebagai kata sifat, menjadi lawan kata dari unjust, wrong dan illegal.[15]
Merujuk definisi dari Black’s Law Dictionary tersebut, tentu tidak memadai untuk menjelaskan apa yang menjadi arti dari “human rights” (hak asasi manusia). Namun pengertian dalam kamus hukum ini, berguna bagi kita untuk, paling tidak, melihat praktek-praktek pemenuhan HAM, yang oleh banyak kalangan, menggunakan prosedur hukum. Dengan memakai logika dalam kamus ini, maka HAM dapat diartikan kemampuan sesorang untuk melakukan kontrol prilaku aparat Negara (dan pelaku Non-Negara), dengan persetujuan dan bantuan Negara. Paling tidak, definisi seperti ini diadopsi dalam beragam norma dan standar internasional HAM, dimana dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah.[16]
Batas lingkup saat ini, agaknya sudah berakhir, di meja para anggota Komite yang dibentuk oleh perjanjian internasional HAM. Salah satu fungsi Komite ini yakni mengelaborasi definisi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang dimuat dimuat, dikategorikan dan diatur dalam pasal-pasal dalam perjanjian internasional kovenan dan konvensi HAM.[17] General Comment dan General Recommendation yang dirumuskan oleh masing-masing Komite, merupakan versi formal penjelasan pasal-pasal dalam perjanjian internasional HAM. Secara formal, penjelasan inilah yang kemudian lebih dirujuk sebagai referensi bagi banyak aktivis HAM atau jurist, bahkan apparatus Negara Pihak.
Dalam sejarahnya, banyak pemikir yang dianggap punya kontribusi untuk menjelaskan definisi dan batas lingkup HAM – dan juga mengevaluasi dan mengajukan kritik terhadap konsep HAM. Patrick Hayden, membagi kategori para pemikir ini mewakili empat persepektif.[18] Perspektif HAM klasik, diwakili para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Cicero, St. Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius. Perspektif kedua: perspektif modern, diwakili para pemikir antara lain: Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Edmund Burk, Thomas Paine, Mary Wollstonecraft, Immanuel Kant, Jeremy Bentham, Karl Marx, dan Johan Stuart Mill. Selanjutnya, Hayden, mengkategorikan para pemikir yang mewakili perspektif kontemporer, antara lain H.L.A. Hart, Maurice Cranstaon, Joel Feinberg, Thomas W. Pogge, Martha C. Nussbaum, Richard Rorty dan Jacques Derida.
Dari Heyden, ketiga perspektif itu mewaliki perspektif Barat (Western). Selanjutnya, perspektif Non-Barat, diklasifikasikan Heyden diwakili oleh ajaran dan tulisan Confusius, Mo Tzu, Buddha, Dalai Lama, dan para pemikir seperti Kwasi Wiredu dan Abdullahi Ahmed An-Naim.
Bagaimana persepektif para pemikir Indonesia? Tentu beragam. Namun kecendrungannya, aktivis HAM – terutama dari kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Jurist, memakai perspektif PBB untuk mendeskripsikan dan mengemukakan batas lingkup HAM. Lebih dalam, perspektif HAM di Indonesia cenderung mentok di jurist, karena dari sekian kasus, para petani justru lebih percaya kepada NGOs yang program-programnya mengerjakan advokasi hukum, termasuk beracara di Pengadilan, ketimbang para korban petani mempercayakan penyelesaian kasus lewat sebuah Partai Politik, atau membangun Partai Politik dan organisasi revolusioner lain secara mandiri dengan tujuan untuk mencapai tujuan pencapaian kesejahteraan, termasuk menjalankan agenda pembaruan agraria.
Dari sisi praktik HAM, kasus Bulu Kumba, merupakan pelajaran bagi konsep HAM. Hak atas tanah merupakah HAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah petani Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, ditangkap aparat kepolisian. Keluarga para petani kemudian banyak mengungsi. Penangkapan ini menjadi ujung dari konflik pertanahan antara petani dengan korporasi internasional PT London Sumatra. Masing-masing pihak mengklaim punya hak atas tanah yang disengketakan.
Konflik tanah tersebut, cuma mewakili satu kasus, dari ribuan kasus yang lain. Yayasan LBH Indonesia menerima pengaduan kasus tanah dari masyarakat, utamanya keluarga petani mencapai ratusan kasus pertahun.[19] Tahun 1995 tercatat 366 kasus; tahun 1996 sebanyak 352 kasus; tahun berikutnya 455 kasus; tahun 1997 dan 1998 masing-masing 553 dan 577 kasus. Dari ribuan kasus tanah selama periode 1995 – 1998, muncul juga konflik tanah yang mengajukan hak atas tanah dengan konsep kepemilikan komunal bukan individual. Ketiadaan organisasi revolusioner atau Partai Politik yang beranggotakan para petani dan intellectual organic yang bersimpati pada perjuangan petani, menyebabkan gerakan reclaiming tanah macet dipenghujung tahun 2001. Situasi yang sama, juga dirasakan para buruh.
Ideologi HAM sama dengan Ideologi PBB?
Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948 oleh PBB, badan supra-nasional ini secara sistematis mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM disemua penjuru dunia. Tentu saja definisi-definisi ideologi tidak menjadi pokok bahasan utama dalam badan-badan PBB yang berkaitan dengan pemenuhan HAM. Namun demikian, paling tidak sejak dekade 60-an, muncul pernyataan HAM merupakan sebuah ideologi bagi PBB. De Mello, Komisioner Tinggi HAM PBB pernah mengutip pernyataan Abdul Rahman Pazhwak, Presiden Majelis Umum PBB, yang menyatakan “if the United Nations could be said to have any ideology, it must be that of human rights”[20]
Lewat Badan PBB, pertumbuhan norma dan standard PPB tentang HAM sangat subur: deklarasi, perjanjian (treaties) baik covenant maupun convention; rencana serta platform aksi, dan seterusnya. Bahkan, seorang komentator menyebut saat ini sebagai ‘abad hak asasi’ (the age of rights). PBB boleh dikatakan tengah mendorong sebuah ide HAM yang universal. Bukan hanya dilakukan apparatus PBB, promosi dan perlindungan HAM universal, yang sekarang dikerjakan jutaan, bahkan milyaran orang, termasuk di Indonesia. Apakah gejala ini bisa disebut dengan proses pembentukan HAM sebagai sebuah “ideology”?
Dokumen UDHR dapat dikatakan menjadi sebuah dokumen untuk menutup trauma Perang Dunia ke-2. Penduduk dunia, merujuk pada dokumen ini untuk masuk ke era baru: era perdamaian yang menjunjung tinggi HAM. Namun era baru ini didampingi dengan facet dari Perang Dunia ke-2, sebuah era ‘Perang Dingin’ dimana terjadi pertentangan dua ideologi: liberalism dan communism. Menariknya, kedua system politik ini menyetujui ide HAM, dimana pada 1966, General Assembly – yang beranggotakan negara-negara dari kedua blok ini – menyetujui diadopsinya dua perjanjian: the international covenant on civil and political rights (ICCPR) dan the international covenent on economic, social and political rights (ICESCR).
Bubarnya Uni Soviet pada 1991, kemudian, membuka era baru perkembangan promosi dan perlindungan HAM, dimana PBB melaksanakan seri konferensi dunia. Dimulai pada 1992, di Rio de Janeiro (UN Conference for Environment and Development); pada 1993 di Vienna (UN Conference on Human Rights); Di Kairo pada 1994, the World Summit for Society Development; setahun kemudian, the Fourth World Conference on Women di Beijing; pada 1996 di Istanbul dilaksanakan the Habitat Conference; the Food Sumit pada 1996 di Roma, hingga the World Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada 2002.
Merujuk pada perkembangan tersebut, Shulamith Koenig, Direktur Eksekutif Gerakan Rakyat untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (PDHRE) pernah menyatakan proses tersebut pada dasarnya telah mendorong kelahiran sebuah ideologi politik baru di abad ke-21. Ideologi baru ini tidak lain HAM.[21] Koenig merefer definisi ideologi dari Webster’s Dictionary, yakni: “a systematic body of concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories that constitute a sociopolitical programme.”
Dalam tulisannya, Koenig menyatakan dirinya sadar betul memasuki sebuah zona berbaya (danger-zone) mendiskusikan HAM sebagai sebuah ‘political ideology’. Salah satu bahaya, menurutnya, istilah ‘idology’ dan ‘political’ dapat menciptakan hambatan yang tak perlu bagi realisasi HAM dan membatasi kemampuan untuk mengintrodusir pendidikan HAM (human rights education) dalam semua sektor masyarakat.
Koenig menyatakan, ideologi HAM dikonstruksikan dengan bertahap dan didefinisikan secara jelas. Norma dan standard HAM ditopang oleh filsafat, yang menurut Koening sebagai ‘ideology of hope’. Ideologi ini, agaknya yang dianut oleh PBB dan NGOs. Deretan norma dan standar internasional tentang HAM yang diadopsi PBB dan ditandatangani Negara Pihak menyediakan dasar bagi aksi komprohensif dan mobilisasi melawan ancaman bagi human dignity and security.
Membaca tulisan Koenig, untuk selanjutnya, dipersandingkan dengan tulisan Eatwell yang berisikan parameter sebuah ideologi, maka memang klaim HAM sebagai ideologi bisa saja muncul, sebagaimana kompilasi Eatwell yang memuat feminism, ecologism, atau islam/fundamentalism sebagai rupa-rupa ideologi-ideologi politik.
Hamisme Sebagai Ideologi Politik?
Dalam sebuah tulisan, Alwyn Thomson, peneliti pada ECONI menyatakan HAM merupakan agama baru Western liberalism.[22] Agama ini berkitab UDHR dengan para denominasi: Amnesty Internasional dan Human Rights Watch. Para advokat dan aktivis HAM sebagai ‘priests’.
Dalam prakteknya, tidak mengejutkan, karena dianggap sebagai turunan dari Western liberalism, promosi hak-hak sipil dan politik (hak sipol) yang dimuat dalam the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) maju pesat ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), terutama terasa diera Perang Dingin. Muncul apa yang diistilahkan sebagai ‘marjinalisasi’ hak-hak ekosob. Marjinalisasi ini dapat dilihat dari beberapa rupa. Paska Perang Dunia ke-2, Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi pilar bagi promosi dan perlindungan hak sipil dan politik dibawah payung kebebasan sipil mengambil sikap pasif terhadap promosi hak ekosob. Hal ini disebabkan, apa yang dikatakan Marry Robinson, High Commissioner on Human Rights sebagai alasan-alasan ideologis (ideological reasons).[23]
Secara umum, Eropa Barat dan AS berpegang pada prinsip-prinsip liberalism, individualism, dan market in economics.[24] sebaliknya Uni Soviet (USSR) menganut Marxism in practice.[25] Ajaran Marx menekankan prinsip communality dan equality in sense of economics access.[26] Pertarungan ideologi politik ini dilapangan HAM, menghasilkan dua dokumen terpisah: the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICCPR (1966) dan the International Covenant on Civil and Political Rights – ICESCR (1996).
Secara lebih detail, marjinalisasi hak ekosob dapat dilihat dari aspek sistem pengawasan bagi implementasi hak ekosob. Komite Hak-hak Ekosob (CESR) baru terbentuk pada 1987, sedangkan Komite Hak Asasi Manusia (CHR) – yang tidak disebut dengan Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CPPR) – telah dibentuk sejak ICCPR berlaku (entered into force) pada 23 Maret 1976. Hingga sekarang, belum diadopsi optional protocol yang menyediakan prosedur komplain dibawah Kovenan Internasional Hak Ekosob.[27] Sebaliknya, the optional protocol Kovenan Hak Sipol menyediakan peluang bagi petisi individu.[28] Marjinalisasi hak ekosob, juga dapat dilihat dari aspek non-treaty based procedure dalam sistem PPB.
Secara umum, terdapat ketertinggalan elaborasi normative ketentuan yang dimuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Dukungan internasional termasuk gerak dorong NGOs sejak lama memfokuskan pada hak sipol.[29] Sebagai konsekwensi, sangat terlihat kesenjangan fasilitas untuk mempromosikan dan melindungi hak ekosob, jika dibandingkan fasilitas yang dicurahkan pada promosi dan perlindungan hak sipol. Bagi NGOs yang bekerja di rana hak sipol, dengan dukungan funding agency atau lembaga donor, dukungan terhadap kerja-kerja promosi hak sipol lebih lebih besar.
Marjinalisasi hak ekosob juga dapat dibuktikan dari aspek jsutisiabilitas hak-hak ini.[30] Dilevel domestik, terjadi ketertinggalan promosi dan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, kelembagaan dan prosedur nasional.[31] Pencapaian hak ekosob cenderung menjadi capaian kebijakan negara, ketimbang diatur sebagai sesuatu yang justiciable.
Beragam fakta marjinalisasi tersebut, menyebabkan banyak problem dilevel teknis dan operasional untuk mengimplentasikan hak-hak ekosob. Sebagai contoh, masyarakat sipil menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan pemenuhan hak ekosob. Lebih lanjut, masalah menjadi kompleks, saat pelaku kejahatan terhadap hak-hak ini tidak saja pelaku negara (state apparatus) melainkan juga non-state actors (pelaku non-negara) seperti korporasi.
Problem intellectual clarity, sebagai tambahan, menampilkan bentuk marjinalisasi yang lain. Kesenjangan pengetahuan muncul saat mendefinisikan dan mengambil batas lingkup hak-hak ekosob. Sebagai contoh, sebuah laporan konferensi Komisi Internasional Jurist (ICJ),[32] menunjukkan jurists cenderung tidak mengambil peran aktif dalam mempromosikan pencapaian hak ekosob. Ketidakperhatian dan prilaku konservatif para jurist ini tentu saja menyulitkan upaya perlindungan dibidang hukum saat terjadi kejahatan hak-hak ekosob.[33] Problem pengetahuan dan keterampilan ini memang telah menjadi bagian dari kerja dan perhatian bagi banyak aktivis NGOs.[34]
Dekade gelap promosi hak-hak ekosob kiranya berakhir. Jurist dan aktivis NGOs saat ini, dapat dikatakan, bergiat untuk membangun dan mengelaborasi hak-hak ekosob, termasuk memperkokoh definisi, batasab lingkup, justiciability dan biaya pemenuhan.[35] Faktanya memang cukup menggembirakan.[36] Demikian juga agen-agen PBB yang bekerja dibidang HAM. Komite Hak Ekosob PBB, telah mengadopsi General Comment dari serangkaian pasal-pasal yang dimuat dalam ICESCR, diantaranya pasal 2 ayat (1), 11, 11.1, 12, 13, 14, 17 and pasal 22.[37]
Dilevel regional, di Eropa, pembangunan mekanisme perlindungan hak-hak ekosob, lewat teks European Social Charter Text dan dokumen yang berkaitan dengan piagam ini. Di Afrika, perlindungan hak ekosob mempunyai alas dasar beberapa dokumen, diantaranya: the African Charter on Human and Peoples' Rights, the African Economic Treaty and the Organization of African (OAU) treaties seperti the Bamako Convention on the Environment and the African Economic Treaty. Selanjutnya, didataran Amerika, terdapat the American Convention on Human Rights and Additional Protocol (Protocol of San Salvador).[38]
Dilevel dometik, sebagaimana dinyatakan Sandra Liebenberg, dibeberapa negara, terdapat trend baru dimana hak-hak ekosob didorong menjadi hak yang justiciable. Hak ekosob diposisikan sebagai hak yang secara langsung justiciable oleh Konstitusi Afrika Selatan 1996.[39] Beberapa contoh dimana negara memasukkan hak-hak ekosob kedalam konstitusinya sekaligus sebagai subyek dari bentuk proses-proses yudisial, seperti Kanada, Finlandia, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Selandia Baru, Portugal, dan bahkan di Amerika Serikat.[40] Selanjutnya, menurut, Rodolfo Stavenbargen, in Amerika Latin: Argentina, Brazil, Colombia, Nikaragua and Paraguai, merupakan contoh-contoh negara yang memuat hak-hak budaya penduduk asli (indigenous cultural rights) kedalam konsitusi atau amandemen konstitusi negaranya.[41]
Lebih jauh, terdapat juga kasus-kasus sebagai bahan yang diperuntukkan bagi referensi dan studi lanjutan tentang perlindungan hak ekosob lewat proses yudisial. The European court of Human Rights telah mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan terhadap hak ekosob, seperti Lopez Ostra v. Spain[42]; Belgian Linguistic cases[43]; Salesi v. Italy[44]; Schuler-Zgragegen v. Switzerland. Upaya mereklaim hak-hak ekosob ini juga penah dilakukan di level domestik, seperti Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court,[45] Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court),[46] Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina),[47] Upaya judicial review tentang hak-hak ekosob di UK[48], serta putusan di pengadilan tingkat banding Guyana memutuskan hak-hak ekosob dalam konstitusi negara ini dengan tegas dinyakatan “are not mere political rhetoric” and “justiciable”.[49]
Di Indonesia sendiri, konsep HAM telah diadopsi dalam ketentuan konstitusi, menjadi hak konstitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang HAM telah menjadi alas dasar bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional HAM – table 2.
Tabel 1
Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia
Konvensi Yang Diratifikasi
Inkorporasi dalam Hukum Domestik
1. CERD (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
UU No. 29/1999
2. CAT (the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
UU No. 5/1998
3. CEDAW (the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
UU No. 7/1994
4. CRC (the Convention on the Rights to Child)
Keppres No. 36/1990
5. Hak-hak Perempuan
UU No. 68/1959
Indonesia merupakan sebuah Negara di dunia, yang pada dasarnya mengadopsi ‘universalisme HAM’ yang dimuat dalam perjanjian internasional. Asumsinya, ketentuan-ketentuan dalam CERD, CAT, CEDAW atau CRC menjadi hukum dilevel nasional. Karenanya, dalam praktik, diperlukan sinkronisasi perundang-undangan, yang selanjutnya membenarkan dan menjadi acuan bagi segala bentuk kebiasaan masyarakat dilevel local agar berkesesuaian dengan norma dan standard HAM ini.
Jika dilihat dari sejarah UDHR, promosi universalisme HAM yang dimuat dalam standard dan norma internasional HAM semakin cepat denyutnya paska bubarnya Uni Soviet. Sebelum lewat tengah malam, pada 10 Desember 1948, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi UDHR, dengan 48 Negara menyatakan setuju; dan 8 Negara bersikap abstain: USSR, Ukrania, Belarusia, Yugoslavia, Polandia (enam negara blok Komunis); Saudi Arabia dan Afrika Selatan.
Keberatan Arab Saudi terutama pada pasal 16 dan pasal 18 UDHR tentang “equal marriage rights” dan hak setiap orang untuk bebas (memeluk, dan berpindah) agama. Mengapa hanya Arab Saudi, sementara Negara yang juga berpenduduk Muslim, seperti Siria, Iran, Turki dan Paksitan menyatakan persetujuannya terhadap UDHR. Sementara, abstainnya Afrika Selatan, khusunya berkaitan dengan isu diskriminasi rasial yang dilarang dalam UDHR, dimana rezim Apartheid Afrika Selatan masih berkuasa pada saat itu. Hal yang menarik, jika UDHR ini merupakan representasi dari Western Liberalism, seharusnya Blok Uni Soviet menyatakan penolakan, bukan pernyataaan abstain – karena dalam banyak hak Liberalism berkontradiksi antagonis dengan Marxism dan Communism.
Per 9 Juni 2004 Negara-negara pada 1948 menyatakan abstain terhadap pengadopsian UDHR, yakni Federasi Rusia – sebelumnya USSR, Saudi Arabia dan Afrika Selatan telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM yang utama – sebagaima terlihat dalam table 1.
Tabel 2
Status Ratifikasi Perjanjian Internasional HAM di 3 Negara: Federasi Rusia, Saudi Arabia dan Afrika Selatan
Per 9 Juni 2004
Sumber: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights.
Sebagai tambahan Republik Rakyat Cina, juga tercatat telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM. Cina telah meratifikasi CESCR (27 Juni 2001), menandatangani CCPR (5 Oktober 1998), serta meratifikasi CERD, CEDAW, CAT dan CRC beserta dua Optional Protokol dibawah CRC. Sementara Kuba telah meratifikasi CERD, CEDAW, CEDAWOP, CAT serta CRC beserta dua Optional Protokolnya.
Cina dan Kuba, dua Negara, yang banyak kalangan diklasifikasikan menjalankan Marxism – Communism, secara formal, menerima perjanjian internasional menjadi hukum positif di Negaranya. Dilevel masyarakat sipil – para aktivis HAM dari segenap penjuru menyatakan memperjuangkan HAM, dimana seringkali, definisi HAM dirujuk dari dokumen perjanjian internasional HAM yang diadopsi PBB.
“Mereka tidak tahu, tapi mereka melakukannya”
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, ideologi juga di rumuskan sebagai berikut:
…(d)erogatorily, another person’s ideology may be thought of as spectacles that distort and disguise the real status quo….[50]
Selanjutnya, dinyatakan:
“Promises that political philosophy and morality can be freed from ideology are apt to be vain, since allegedly cleansed and pure programmes depend, for instance, upon particular views of human nature, what counts as human flourishing, and the conditions under which it is found.[51]
Merujuk Slavoj Zizek, definisi yang paling dasar dari ideologi, diambil dari frase dalam tulisan Marx, “Sie wissen das nicht, aber sie tun es" (“mereka tidak tahu, tetapi mereka melakukannya”).[52] Definisi tersebut pada dasarnya merumuskan ideologi sebagai sebuah false ideas dimana ideologi diletakkan sebagai “other of science” – atau dalam kamus diatas diistilahkan “…as spectacles that distort and disguise the real status quo”. Menurut Eatwell, kerja Engels yang mengajukan argument ‘false consciousness’ – yang kemudian menjadi kerja utama bagi Marxist.[53] Kesadaran palsu ini merujuk pada situasi atau pandangan sosial, yang menopang sebuah sistem tertentu. Sebagai contoh dari kesadaran palsu, antara lain dinyatakan Eatwell, dengan mengangap ‘Negara Demokrasi Liberal’ adalah ‘netral’: dengan kata lain, percaya bahwa individu dan kelompok mempunyai persamaan didepan hukum, aparat Negara tidak melayani kepentingan-kelas, dan seterusnya. Karenanya, bagi Marx dan Engels, hukum mempunyai tujuan utama bagi perlindungan kapitalism dan kepemilikan, dimana keduanya merupakan corak utama dari Negara Demokrasi Liberal.
Dengan demikian, bagaimanakah mendamaikan elemen-elemen Western Liberalism yang disadur oleh pasal-pasal dalam perjanjian-perjanjian internasional HAM dengan elemen-elemen Marxism dan Consevatism, sebagai ideologi politik residual. Upaya untuk mendamaikan isme lain, antara agama dan sekularisme, pernah dilakukan Abdullahi A. An-Na’im, dalam konteks pemenuhan dan pemajuan HAM. Namun, An-Na’im dalam tulisannya memposisikan HAM, agama dan sekularisme, masing-masing sebagai paradigma.
Hak asasi manusia, didefiniskan An-Na’im, sebagai: “hak yang bersifat universal yang melekat atas semua manusia sesuai dengan hak mereka sebagai manusia, tanpa ada perbedaan dengan alasan apapun seperti ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau kebangsaan”.[54] Menurut, Na’im, kata kunci dalam pengertian partikular ini, adalah universalisme. An-Na’im dalam tulisannya, mengajukan argumentasi adanya sinergitas antara HAM, agama dan sekularisme, dimana ketiganya, saling bergantung. Hak asasi manusia, memerlukan keduanya untuk mencapai dan memenuhi tuntutannya.
Argument An-Na’im yang menjelaskan HAM sebagai paradigma, bisa dipakai, untuk menjelaskan mengapa Cina dan Kuba, dalam level praktik, juga menandatangai atau meratifikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional HAM. Dengan menggunakan paradigma HAM, lebih lanjut, ada benarnya jika ada pendapat baik liberals dan para penentangnya, walaupun banyak berbeda premise, menyetujui sebuah keperluan kerangka kerja yang universal dan plural, dimana setiap individu dapat hidup tanpa harus membunuh dan merepresi individu yang lain. Faktanya, dalam hukum internasional HAM, Negara Pihak, diberikan peluang untuk melakukan aksesi dan reservasi terhadap pasal-pasal dalam perjanjian internasional. Prosedur aksesi dan reservasi ini, walaupun banyak dikritik, boleh jadi sebagai upaya mendamaikan partikularisme.
Dari uraian tersebut, jika klaim HAM sebagai sebuah “ideologi politik” maka ideologi ini tengah berkembang dan meningkat pengaruhnya. Lebih jauh, problem yang muncul: dimanakah HAM, sebagai ‘ism’ atau HAMism, ditaruh dalam spektrum politik. Kalau hak asasi manusia tidak pantasi diklaim sebagai ideologi lalu apakah hak asasi manusia hanya sebatas paradigma? Semua pembaca mendapat undangan untuk menanggapinya.*****
DAFTAR PUSTAKA
Bellamy, Richard, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies. 1999. Pinter: London and New York, 2nd edition.
Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., p. 1189.
Blackburn, Simon. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University
Bobbio, N, 1996. The Age of Rights. A. Cameran (translator). Cambridge: Polity Press.
Craven, Matthew. (2001). ‘The UN Committee On Economic, Social, Cultural Rights’. In Economic, Social, Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 455 – 472. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Eatwell, Roger and Anthony Wright (eds.). 1999. Second Edition. Contemporary Political Ideologies. London and New York: Pinter.
Eatwell, Roger ‘Introduction: What are Political Ideologies’ in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies, Pinter: London and New York, 2nd edition, 1999.
English, Kathryn and Adam Stapleton. 1995. The Human Rights Handbook, A Practical Guide to Monitoring Human Rights, Human Rights Center, University if Essex.
Hayden, Patrick. 2001. Philosophy of Human Rights: Reading in Context. St. Paul: Paragon House.
Hunt, Paul. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth.
Jessop, Bob, State Theory. Putting Capitalist State in their Place, Polity Press, Oxford, 1990.
Leckie, Scott. 2001. ‘‘The Human Rights to Adequate Housing’. In In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 149 – 168. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Liebenberg, Sandra. 2001. ‘The Protection of Economic and Social Rights in Domestic Legal Systems’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 55 – 84. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
McLellan, David. 1995. Concept in Social Thought Ideology, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2nd edition.
McLellan, David. 1995. Idology. Buckingham: Open University Press.
Novak, Manfred. 2001. ‘The Right to Education’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 245 – 271. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Shelton, Dinah L. 1984. ‘Individual Complaint Machinery under the UN 1503 Procedure and the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights’. In Guide to International Human Rights Practice. (ed.). Hurst Hannum, pp. 59 – 73. London: Macmillan Press.
Scheinin, Martin. 2001. ‘Economic and Social Rights As Legal Rights’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 29 – 54. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Stavenhagen, Rodolfo. 2001. ‘Cultural Rights: A Social Science Perspective’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 85 – 109. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Szyszczak, Erika, ‘Protecting Social Rights in the European Union’ In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 493 – 513. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Tucker, Robert C. (ed.), The Marx-Engels Reader, Princeton University, New York and London, 1978.
Williams, Raymond. 1980. Problems of Materialism and Culture. Verso: London.
Zizek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. London; New York: Verso
Artikel di Jurnal
An-Na’im, Abdullahi A.. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: Haruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004.
Articles dan material di Web Page:
AAAS and Hurridocs. ‘Thesaurus of ECSR http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
CESCR. General Comment on ICESCR implementation, Text in http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
Koenig, Shulamith. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
Hansen, Stephen A. “Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of
Economic Social and Cultural Rights”, paper on the Huridocs International Conference,
Gammarth, Tunisia, 22-25 March 1998. Text in http://www.huridocs.org/hansen.htm.
ICJ. Report and Banglore Declaration and Plan of Action on these rights. Text in http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
ICJ. Report of the Region seminar on economic, social and cultural rights organized by the ICJ in
collaboration with The African Development Bank (ADB), 9-12 March 1998. Text in http://www.icj.org/escr/loa.htm
Thomson, Alwyn. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945
UU No. 29/1999
UU No. 5/1998
UU No. 7/1994
Keppres No. 36/1990
UU No. 68/1959
Dokumen Perserikatan Bangsa-bangsa
UN Doc. Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003.
CCPR/C/3/Ref.6
24 April 2001
Rules of Procedure of the Human Rights Committee.
E/CN.4/RES/2001/27
20 April 2001
Commission on Human Rights Resolution, Effect of structural adjustment policies and foreign debt on the full enjoyment of all human rights, particularly economic, social and cultural rights;
E/CN.4/2001/62,
21 December 2001
Draft optional protocol to the ICESCR.
E/CN.4/2000/53
14 March 2000
Open-ended working group on structural adjustment programmes
E/CN.4/2000/51
14 January 2000
Joint report by the Independent expert on Structural adjustment policies, and the Special Rapporteur on foreign debt
E/CN.4/1999/112/Add.1
4 March 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/1999/36
14 January 1999
Report of the Independent Expert on the effects of structural adjustment program policies on the full enjoyment on human rights
E/CN.4/1999/112
7 January 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/DEC/1998/102
9 April 1998
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/CN.4/1998/84
16 January 1998
Report of the Secretary General on the Draft optional protocol to the ICESCR
E/CN.4/DEC/1997/103
3 April 1997
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/C.12/1994/12
Draft Optional Protocol: Report submitted by Mr. Phillip Alston
E/CN.4/1997/105
18 December 1996
Status of the International Covenants on Human Rights, Draft optional to the ICESCR, Note by the Secretary-General
E/1996/22
12 December 1996
Report on the Twelfth and Thirteenth sessions (1-19 May 1995, 20 November – 8 December 1995)
GA Resolution, 2200A (XXI)
16 December 1966
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
GA Resolution, 2200A
16 December 1966
International Covenant on Civil and Political Rights
Daftar Kasus
Pengadilan Eropa:
· Lopez Ostra v. Spain
· Belgian Linguistic cases
· Salesi v. Italy
· Schuler-Zgragegen v. Switzerland.
Pengadilan Domestik:
· Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court
· Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court)
· Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina).
Lainnya
Palmer, Ellie ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
The Economist, September 18th 2001.
YLBHI. Kompilasi Data Penanganan Kasus. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
Catatan Belakang:
[1] Lihat N. Bobbio. 1996, p. 32.
[2] David McLellan. 1995. p. 1.
[3] Roger Eatwell. 1999. p. vii.
[4] Ibid.
[5] Ibid. p. 3.
[6] Ibid.
[7] Ibid., p. 14.
[8] Ibid, p. 13.
[9] Simon Blackburn. 1996, p. 185
[10] Roger Eatwell. Op.cit, p. 17.
[11] Lihat Raymond Williams. 1980, pp 31-49.
[12] Dikutip dari Henry Campbell Black. 1979, p. 1189.
[13] Ibid, p. 1189.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Di Indonesia, rumusan ini diadopsi dalam konstitusi UUD 1945, pasal 28I ayat (4).
[17] Masing-masing perjanjian international, mempunyai badan yang mengawasi pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian. Badan ini disebut dengan Komite. Sebagai contoh Committee on Economic, Social and Cultural Rights dan Committee on Civil and Political Rights, dua komite yang dibentuk oleh International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Untuk mengetahui prosedur ini, antara lain Lihat, English Kathryn and Adam Stapleton. 1995.
[18] Lihat Patrick Hayden. 2001.
[19] Kompilasi Data Penanganan Kasus. Yayasan LBH Indonesia. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
[20] Dikutip dari Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003. Pernyataan Pazhwak tersebut, dinyatakan di Majelis Umum PBB pada 1966.
[21] Lihat Shulamith Koenig. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
[22] Lihat Alwyn Thomson. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI merupakah sebuah lembaga berbasis di Irlandia Utara, yang bekerja melayani umant Nasrani, terutama Evangelicals dalam membangun perdamaian dan rekonsiliasi.
[23] Statemen ini dikutip dari The Economist, September 18th 2001.
[24] Ajaran John Stuart Mill tentang (1806-73) dan F.A. Hayek (1899-1992) tentang individual freedom berpengaruh luas di US dan Eropa Barat. Lihat Richard Bellamy, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony (eds.) 1999, p. 25-48. Secara khusus, mengenai idologi di Amerika Serikat, lihat David McLellan. 1995, p. 46-47, 55. Lihat juga, Bob Jessop. 1990, pp.145-169.
[25] Sementara di Soviet Union dan Eropa Timur, dipengaruhi oleh project Karl Marx (1818-83) and Friedrich Engels (1820-95). Lihat David McLellan. Ibid, pp. 19, 25, 47; Roger Eatwell. Op.cit, pp. 12-13.
[26] Tentang ajaran Karl Marx-Engels dapat dilihat dalam Robert C. Tucker (ed.), 1978, terutama, pp. 93-101;525-541.
[27] Draft optional protocol dibawah ICESCR, lihat UN Doc. E/C.12/1994/12; E/CN.4/2001/62, 21 December 20001. UN Doc. Related with this issue: E/CN.4/1997/105, E/1996/22, E/CN.4/1998/84, E/CN.4/1999/112 and E/CN.4/1999/112/Add.1. Lihat juga Matthew Craven dalam Eide, Krause and Rosas 2001, pp. 468 – 71; Martin Scheinin dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., pp. 48-9;
[28] UN Doc. CCPR/C/3/Rev.6. Lihat juga Dinah L. Shelton (1984) dalam Hurst Hannum (ed.), pp. 59-73.
[29] ‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
[30] Tentang isu ini lihat Paul Hunt. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth. pp. 24-31.
[31] Ibid., p. 1.
[32] ICJ Report on Banglore Conference, October 1995, http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
[33] Report of the Region Seminar of ESCR, 9-12 March 1998. http://www.icj.org/escr/loa.htm
[34] Lihat Stephen A. Hansen, Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of Economic Social and Cultural Rights, http://www.huridocs.org/hansen.htm.
[35] Lihat Banglore Report, Op.cit.
[36] Sebagai contoh, proyek dikerjakan AAAS and Huridocs menyusun thesaurus hak ekosob. Versi online pada: http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
[37] Dokumen tersebut dapat dibaca di: http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
[38] Lihat Leckie dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 152; Szyszczak dalam Eide, Krause and Rosas 2001. pp. 493 – 513.
[39] Liebenberg. dalam Eide, Krause and Rosas. 2001, p. 61.
[40] Ibid. pp. 61, 69, 71; P. Hunt. Op.cit., p. 29; Scheinin. Op.cit., p. 51.
[41] Rodolfo Stavenhargen dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 107.
[42] Scheinin. Op.cit. p. 41.
[43] Novak. dalam Eide, Krause and Rosas (2001), p. 260.
[44] Scheinin. Op.cit., p. 37.
[45] Liebenberg, Op.cit., p. 71.
[46] Ibid., pp. 72 – 3.
[47] Ibid., p. 79.
[48] Lihat Ellie Palmer ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
[49] P. Hunt. Op.cit.
[50] Simon Blackburn. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University Press. 185
[51] Ibid., p. 185
[52] Slavoj Zizek. 1989. p. 28.
[53] Roger Eatwell. Op.cit, p. 5.
[54] Abdullahi A. An-Na’im. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: HAruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004., h. 9.
Memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tanpa ideologi merupakan pekerjaan sia-sia. Ideologi politik dapat mendorong pemenuhan HAM dan sebaliknya dapat menjadi aral bagi pemajuan hak-hak asasi. Jika ini argumennya, mengapa tidak kita pikirkan, menjadikan HAM sebagai sebuah ideologi politik? Kemudian, lingkup batas ‘HAM’ yang mana yang hendak diposisikan sebagai ideologi?
Tulisan ini akan mengeksplorasi tema ideologi politik dan HAM. Dalam artikel singkat ini akan mengeksplorasi tema promosi HAM didunia saat ini termasuk di Indonesia. Selanjutnya, artikel ini hendak mendeskripsikan klaim ideologi politik HAM – terutama yang dibangun oleh elite badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan aktivis HAM. Tulisan ini relatif bersifat pembuka untuk mengetahui: apakah ideologi dan HAM itu saling terpisah satu sama lain; ataukah HAM itu bisa posisikan sebagai ideologi politik?
Kepentingan menyusun artikel ini lebih ditujukan untuk mendiskusikan dua tema besar tersebut. Tidak berlebihan jika banyak komentator, menyatakan sekarang kita tinggal di abad HAM.[1] Sementara, ideologi juga merupakan tema yang hidup hingga sekarang. Bahkan, ideologi, menjadi konsep yang paling elusive dalam keseluruhan ilmu sosial.[2]
Sebuah alat bantu dalam menyusun artikel ini, yakni buku berisi kumpulan artikel yang diedit Roger Eatwell dan Antony Wright berjudul ‘Contemporary Political Ideologies’. Dalam buku ini, Eatwell dan Wright mengkompilasi 10 ideologi politik yang berkembang di abad 20, yakni: (1) liberalism; (2) conservatism; (3) socialism and social democracy; (4) marxism and communism; (5) anarchism; (6) nationalism; (7) facism; (8) feminism; (9) ecologism; serta (10) islam and fundamentalism. Kategori terakhir tidak dimuat dalam edisi pertama. Sementara dalam buku ini, isme hak asasi manusia - HAMisme (human rightism) – yang menjadi obyek tulisan ini – tidak dimuat sebagai sebuah ideologi politik.
Dalam pengantar buku tersebut Eatwell menyatakan buku ini berisikan ideologi-ideologi politik yang dipahami sebagai “a relatively coherent set of values – a set of ‘isms’ which have been, and in most cases remain, central to the language of post-Enlightement politics.”[3] Dengan demikian, ideologi-ideologi ini “have a variety of more concrete effects, including both inspiring and constraining behavior and policy.”[4] Menurutnya, dari sekian banyak pendekatan yang menopang argumen rupa ideologi, tema ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) ideologi sebagai pemikiran politik (political thought); (2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan (beliefs) dan norma-norma (norms); (3) ideologi sebagai bahasa (language), simbol-simbol (symbols) dan mitos (myths); serta ideologi sebagai kekuasaan elite (élite power).[5]
Pendekatan tersebut, dalam kalimat Eatwell, “are not entirely exclusive”, namun keempat kategori tersebut “point to different areas of primary study”.[6] Menurutnya, kategori pertama, studi diarahkan pada isme-isme besar (great ‘isms’) dan para pemikir utamanya (key thinkers). Kelompok kedua, berkaitan dengan pandangan orang kebanyakan, yang relatif kurang sistematis. Pendekatan ketiga, melihat lebih pada diskursus (discourse) dan ikonografi (semiotics). Sementara, pendekatan keempat, berhubungan lebih pada bagaiman elites mencari dan memastikan dukungan, lewat beragam cara, seperti represi fisik, media, atau sistem pendidikan.
Selanjutnya, Eatwell menyatakan ideologi-ideologi (ideologi politik) yang dimuat dalam bukunya, mesti mempunyai seperangkat atribut, yang secara khusus ideologi: “has an overt or implicit set of empirical and normative views” which are goal-oriented about: (1) human nature; (2) the process of history; (3) the socio-political structure.”[7]
Karena ‘aturan’ tersebut, maka menurutnya, democracy tidak dapat disebut sebagai sebuah ideologi politik. Karena alasan sederhana, demokrasi lebih pas disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana semua ideologi-idologi utama berupaya memonopoli term ‘democracy’.[8]
Jika merujuk pada argument Eatwell tersebut maka ‘democracy’ tidak dikategorikan sebagai ideologi politik telah mendapat dasar. Namun, bagaimana jika argument tersebut diterapkan pada HAM: “human rights as an ideology” dan ‘human rightism’ as political ideology”? Pertanyaan semacam ini memunculkan kontroversi tentunya. Untuk itu, ada baiknya jika dideskripsikan lagi beberapa rumusan ideologi dan ideologi politik.
Dalam sebuah kamus filsafat (Oxford Dictionary of Philosophy), ideologi dirumuskan sebagai berikut:
“Any wide-ranging system of beliefs, way of thought, and categories that provide the foundation of programmes of political and social action: an ideology is a conceptual scheme with a practical application…[9]
Eatwell sendiri, mendefinisikan ideologi politik (political ideology) yang digunakan untuk mendeskripsikan ‘ism’, dalam bukunya, sebagai ideologi politik:
“A political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought, focusing on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It is usually related to a programme of specific short run concern. Depending on its relationship to the dominant value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers may embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore, seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political ideologies are essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be confused with specific movement, parties or regimes which may bear their name.”[10]
Sistem kepercayaan (beliefs) dan pola pikir (thought) tersebut, merujuk, Raymond Williams, dibedakan kedalam bentuk-bentuk formasi ideologi, yakni: (1) “residual” ideological formations, yakni rupa-rupa ideologi yang saling bergantian mendominasi, namun tetap bersiklus dalam beragam cara; (2) “emergent” ideological formations, yakni ideologi-ideologi baru, yang sedang berproses memantapkan pengaruhnya (3) “dominant” ideological formations, yakni ideologi – yang oleh Louis Althuser diistilahkan sebagai “ideological state apparatuses”; seperti, sekolah (schools), pemerintah (government), polisi dan militer.[11]
Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagai kata benda (noun), hak (right) dapat diartikan secara abstrak (an abstract sense) dengan makna keadilan (justice), sesuatu yang secara etik dianggap benar (ethical correctness) atau disejajarkan artinya dengan norma hukum (rules of law) atau prinsip-prinsip dasar moralitas (principles of marals). [12] Selanjutnya, secara konkret (a concrete sense), berarti kekuasaan (power), keistimewaan (privilege), atau tuntutan (demand) yang inheren dimiliki seseorang dan incident dengan yang lain; dimana hak secara umum dapat diartikan sebagai “powers of free action”. [13] Dalam bahasa hukum, istilah hak, didefinisikan sebagai: “a capacity residing in one man of controlling, with the assent and assistance of the state, the actions of others.”[14] Sementara, hak (right) sebagai kata sifat, berarti kebenaran moral, sejalan dengan prinsip-prinsip etika atau norma hukum positif. Hak (rights) sebagai kata sifat, menjadi lawan kata dari unjust, wrong dan illegal.[15]
Merujuk definisi dari Black’s Law Dictionary tersebut, tentu tidak memadai untuk menjelaskan apa yang menjadi arti dari “human rights” (hak asasi manusia). Namun pengertian dalam kamus hukum ini, berguna bagi kita untuk, paling tidak, melihat praktek-praktek pemenuhan HAM, yang oleh banyak kalangan, menggunakan prosedur hukum. Dengan memakai logika dalam kamus ini, maka HAM dapat diartikan kemampuan sesorang untuk melakukan kontrol prilaku aparat Negara (dan pelaku Non-Negara), dengan persetujuan dan bantuan Negara. Paling tidak, definisi seperti ini diadopsi dalam beragam norma dan standar internasional HAM, dimana dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah.[16]
Batas lingkup saat ini, agaknya sudah berakhir, di meja para anggota Komite yang dibentuk oleh perjanjian internasional HAM. Salah satu fungsi Komite ini yakni mengelaborasi definisi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang dimuat dimuat, dikategorikan dan diatur dalam pasal-pasal dalam perjanjian internasional kovenan dan konvensi HAM.[17] General Comment dan General Recommendation yang dirumuskan oleh masing-masing Komite, merupakan versi formal penjelasan pasal-pasal dalam perjanjian internasional HAM. Secara formal, penjelasan inilah yang kemudian lebih dirujuk sebagai referensi bagi banyak aktivis HAM atau jurist, bahkan apparatus Negara Pihak.
Dalam sejarahnya, banyak pemikir yang dianggap punya kontribusi untuk menjelaskan definisi dan batas lingkup HAM – dan juga mengevaluasi dan mengajukan kritik terhadap konsep HAM. Patrick Hayden, membagi kategori para pemikir ini mewakili empat persepektif.[18] Perspektif HAM klasik, diwakili para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Cicero, St. Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius. Perspektif kedua: perspektif modern, diwakili para pemikir antara lain: Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Edmund Burk, Thomas Paine, Mary Wollstonecraft, Immanuel Kant, Jeremy Bentham, Karl Marx, dan Johan Stuart Mill. Selanjutnya, Hayden, mengkategorikan para pemikir yang mewakili perspektif kontemporer, antara lain H.L.A. Hart, Maurice Cranstaon, Joel Feinberg, Thomas W. Pogge, Martha C. Nussbaum, Richard Rorty dan Jacques Derida.
Dari Heyden, ketiga perspektif itu mewaliki perspektif Barat (Western). Selanjutnya, perspektif Non-Barat, diklasifikasikan Heyden diwakili oleh ajaran dan tulisan Confusius, Mo Tzu, Buddha, Dalai Lama, dan para pemikir seperti Kwasi Wiredu dan Abdullahi Ahmed An-Naim.
Bagaimana persepektif para pemikir Indonesia? Tentu beragam. Namun kecendrungannya, aktivis HAM – terutama dari kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Jurist, memakai perspektif PBB untuk mendeskripsikan dan mengemukakan batas lingkup HAM. Lebih dalam, perspektif HAM di Indonesia cenderung mentok di jurist, karena dari sekian kasus, para petani justru lebih percaya kepada NGOs yang program-programnya mengerjakan advokasi hukum, termasuk beracara di Pengadilan, ketimbang para korban petani mempercayakan penyelesaian kasus lewat sebuah Partai Politik, atau membangun Partai Politik dan organisasi revolusioner lain secara mandiri dengan tujuan untuk mencapai tujuan pencapaian kesejahteraan, termasuk menjalankan agenda pembaruan agraria.
Dari sisi praktik HAM, kasus Bulu Kumba, merupakan pelajaran bagi konsep HAM. Hak atas tanah merupakah HAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah petani Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, ditangkap aparat kepolisian. Keluarga para petani kemudian banyak mengungsi. Penangkapan ini menjadi ujung dari konflik pertanahan antara petani dengan korporasi internasional PT London Sumatra. Masing-masing pihak mengklaim punya hak atas tanah yang disengketakan.
Konflik tanah tersebut, cuma mewakili satu kasus, dari ribuan kasus yang lain. Yayasan LBH Indonesia menerima pengaduan kasus tanah dari masyarakat, utamanya keluarga petani mencapai ratusan kasus pertahun.[19] Tahun 1995 tercatat 366 kasus; tahun 1996 sebanyak 352 kasus; tahun berikutnya 455 kasus; tahun 1997 dan 1998 masing-masing 553 dan 577 kasus. Dari ribuan kasus tanah selama periode 1995 – 1998, muncul juga konflik tanah yang mengajukan hak atas tanah dengan konsep kepemilikan komunal bukan individual. Ketiadaan organisasi revolusioner atau Partai Politik yang beranggotakan para petani dan intellectual organic yang bersimpati pada perjuangan petani, menyebabkan gerakan reclaiming tanah macet dipenghujung tahun 2001. Situasi yang sama, juga dirasakan para buruh.
Ideologi HAM sama dengan Ideologi PBB?
Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948 oleh PBB, badan supra-nasional ini secara sistematis mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM disemua penjuru dunia. Tentu saja definisi-definisi ideologi tidak menjadi pokok bahasan utama dalam badan-badan PBB yang berkaitan dengan pemenuhan HAM. Namun demikian, paling tidak sejak dekade 60-an, muncul pernyataan HAM merupakan sebuah ideologi bagi PBB. De Mello, Komisioner Tinggi HAM PBB pernah mengutip pernyataan Abdul Rahman Pazhwak, Presiden Majelis Umum PBB, yang menyatakan “if the United Nations could be said to have any ideology, it must be that of human rights”[20]
Lewat Badan PBB, pertumbuhan norma dan standard PPB tentang HAM sangat subur: deklarasi, perjanjian (treaties) baik covenant maupun convention; rencana serta platform aksi, dan seterusnya. Bahkan, seorang komentator menyebut saat ini sebagai ‘abad hak asasi’ (the age of rights). PBB boleh dikatakan tengah mendorong sebuah ide HAM yang universal. Bukan hanya dilakukan apparatus PBB, promosi dan perlindungan HAM universal, yang sekarang dikerjakan jutaan, bahkan milyaran orang, termasuk di Indonesia. Apakah gejala ini bisa disebut dengan proses pembentukan HAM sebagai sebuah “ideology”?
Dokumen UDHR dapat dikatakan menjadi sebuah dokumen untuk menutup trauma Perang Dunia ke-2. Penduduk dunia, merujuk pada dokumen ini untuk masuk ke era baru: era perdamaian yang menjunjung tinggi HAM. Namun era baru ini didampingi dengan facet dari Perang Dunia ke-2, sebuah era ‘Perang Dingin’ dimana terjadi pertentangan dua ideologi: liberalism dan communism. Menariknya, kedua system politik ini menyetujui ide HAM, dimana pada 1966, General Assembly – yang beranggotakan negara-negara dari kedua blok ini – menyetujui diadopsinya dua perjanjian: the international covenant on civil and political rights (ICCPR) dan the international covenent on economic, social and political rights (ICESCR).
Bubarnya Uni Soviet pada 1991, kemudian, membuka era baru perkembangan promosi dan perlindungan HAM, dimana PBB melaksanakan seri konferensi dunia. Dimulai pada 1992, di Rio de Janeiro (UN Conference for Environment and Development); pada 1993 di Vienna (UN Conference on Human Rights); Di Kairo pada 1994, the World Summit for Society Development; setahun kemudian, the Fourth World Conference on Women di Beijing; pada 1996 di Istanbul dilaksanakan the Habitat Conference; the Food Sumit pada 1996 di Roma, hingga the World Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada 2002.
Merujuk pada perkembangan tersebut, Shulamith Koenig, Direktur Eksekutif Gerakan Rakyat untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (PDHRE) pernah menyatakan proses tersebut pada dasarnya telah mendorong kelahiran sebuah ideologi politik baru di abad ke-21. Ideologi baru ini tidak lain HAM.[21] Koenig merefer definisi ideologi dari Webster’s Dictionary, yakni: “a systematic body of concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories that constitute a sociopolitical programme.”
Dalam tulisannya, Koenig menyatakan dirinya sadar betul memasuki sebuah zona berbaya (danger-zone) mendiskusikan HAM sebagai sebuah ‘political ideology’. Salah satu bahaya, menurutnya, istilah ‘idology’ dan ‘political’ dapat menciptakan hambatan yang tak perlu bagi realisasi HAM dan membatasi kemampuan untuk mengintrodusir pendidikan HAM (human rights education) dalam semua sektor masyarakat.
Koenig menyatakan, ideologi HAM dikonstruksikan dengan bertahap dan didefinisikan secara jelas. Norma dan standard HAM ditopang oleh filsafat, yang menurut Koening sebagai ‘ideology of hope’. Ideologi ini, agaknya yang dianut oleh PBB dan NGOs. Deretan norma dan standar internasional tentang HAM yang diadopsi PBB dan ditandatangani Negara Pihak menyediakan dasar bagi aksi komprohensif dan mobilisasi melawan ancaman bagi human dignity and security.
Membaca tulisan Koenig, untuk selanjutnya, dipersandingkan dengan tulisan Eatwell yang berisikan parameter sebuah ideologi, maka memang klaim HAM sebagai ideologi bisa saja muncul, sebagaimana kompilasi Eatwell yang memuat feminism, ecologism, atau islam/fundamentalism sebagai rupa-rupa ideologi-ideologi politik.
Hamisme Sebagai Ideologi Politik?
Dalam sebuah tulisan, Alwyn Thomson, peneliti pada ECONI menyatakan HAM merupakan agama baru Western liberalism.[22] Agama ini berkitab UDHR dengan para denominasi: Amnesty Internasional dan Human Rights Watch. Para advokat dan aktivis HAM sebagai ‘priests’.
Dalam prakteknya, tidak mengejutkan, karena dianggap sebagai turunan dari Western liberalism, promosi hak-hak sipil dan politik (hak sipol) yang dimuat dalam the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) maju pesat ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), terutama terasa diera Perang Dingin. Muncul apa yang diistilahkan sebagai ‘marjinalisasi’ hak-hak ekosob. Marjinalisasi ini dapat dilihat dari beberapa rupa. Paska Perang Dunia ke-2, Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi pilar bagi promosi dan perlindungan hak sipil dan politik dibawah payung kebebasan sipil mengambil sikap pasif terhadap promosi hak ekosob. Hal ini disebabkan, apa yang dikatakan Marry Robinson, High Commissioner on Human Rights sebagai alasan-alasan ideologis (ideological reasons).[23]
Secara umum, Eropa Barat dan AS berpegang pada prinsip-prinsip liberalism, individualism, dan market in economics.[24] sebaliknya Uni Soviet (USSR) menganut Marxism in practice.[25] Ajaran Marx menekankan prinsip communality dan equality in sense of economics access.[26] Pertarungan ideologi politik ini dilapangan HAM, menghasilkan dua dokumen terpisah: the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICCPR (1966) dan the International Covenant on Civil and Political Rights – ICESCR (1996).
Secara lebih detail, marjinalisasi hak ekosob dapat dilihat dari aspek sistem pengawasan bagi implementasi hak ekosob. Komite Hak-hak Ekosob (CESR) baru terbentuk pada 1987, sedangkan Komite Hak Asasi Manusia (CHR) – yang tidak disebut dengan Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CPPR) – telah dibentuk sejak ICCPR berlaku (entered into force) pada 23 Maret 1976. Hingga sekarang, belum diadopsi optional protocol yang menyediakan prosedur komplain dibawah Kovenan Internasional Hak Ekosob.[27] Sebaliknya, the optional protocol Kovenan Hak Sipol menyediakan peluang bagi petisi individu.[28] Marjinalisasi hak ekosob, juga dapat dilihat dari aspek non-treaty based procedure dalam sistem PPB.
Secara umum, terdapat ketertinggalan elaborasi normative ketentuan yang dimuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Dukungan internasional termasuk gerak dorong NGOs sejak lama memfokuskan pada hak sipol.[29] Sebagai konsekwensi, sangat terlihat kesenjangan fasilitas untuk mempromosikan dan melindungi hak ekosob, jika dibandingkan fasilitas yang dicurahkan pada promosi dan perlindungan hak sipol. Bagi NGOs yang bekerja di rana hak sipol, dengan dukungan funding agency atau lembaga donor, dukungan terhadap kerja-kerja promosi hak sipol lebih lebih besar.
Marjinalisasi hak ekosob juga dapat dibuktikan dari aspek jsutisiabilitas hak-hak ini.[30] Dilevel domestik, terjadi ketertinggalan promosi dan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, kelembagaan dan prosedur nasional.[31] Pencapaian hak ekosob cenderung menjadi capaian kebijakan negara, ketimbang diatur sebagai sesuatu yang justiciable.
Beragam fakta marjinalisasi tersebut, menyebabkan banyak problem dilevel teknis dan operasional untuk mengimplentasikan hak-hak ekosob. Sebagai contoh, masyarakat sipil menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan pemenuhan hak ekosob. Lebih lanjut, masalah menjadi kompleks, saat pelaku kejahatan terhadap hak-hak ini tidak saja pelaku negara (state apparatus) melainkan juga non-state actors (pelaku non-negara) seperti korporasi.
Problem intellectual clarity, sebagai tambahan, menampilkan bentuk marjinalisasi yang lain. Kesenjangan pengetahuan muncul saat mendefinisikan dan mengambil batas lingkup hak-hak ekosob. Sebagai contoh, sebuah laporan konferensi Komisi Internasional Jurist (ICJ),[32] menunjukkan jurists cenderung tidak mengambil peran aktif dalam mempromosikan pencapaian hak ekosob. Ketidakperhatian dan prilaku konservatif para jurist ini tentu saja menyulitkan upaya perlindungan dibidang hukum saat terjadi kejahatan hak-hak ekosob.[33] Problem pengetahuan dan keterampilan ini memang telah menjadi bagian dari kerja dan perhatian bagi banyak aktivis NGOs.[34]
Dekade gelap promosi hak-hak ekosob kiranya berakhir. Jurist dan aktivis NGOs saat ini, dapat dikatakan, bergiat untuk membangun dan mengelaborasi hak-hak ekosob, termasuk memperkokoh definisi, batasab lingkup, justiciability dan biaya pemenuhan.[35] Faktanya memang cukup menggembirakan.[36] Demikian juga agen-agen PBB yang bekerja dibidang HAM. Komite Hak Ekosob PBB, telah mengadopsi General Comment dari serangkaian pasal-pasal yang dimuat dalam ICESCR, diantaranya pasal 2 ayat (1), 11, 11.1, 12, 13, 14, 17 and pasal 22.[37]
Dilevel regional, di Eropa, pembangunan mekanisme perlindungan hak-hak ekosob, lewat teks European Social Charter Text dan dokumen yang berkaitan dengan piagam ini. Di Afrika, perlindungan hak ekosob mempunyai alas dasar beberapa dokumen, diantaranya: the African Charter on Human and Peoples' Rights, the African Economic Treaty and the Organization of African (OAU) treaties seperti the Bamako Convention on the Environment and the African Economic Treaty. Selanjutnya, didataran Amerika, terdapat the American Convention on Human Rights and Additional Protocol (Protocol of San Salvador).[38]
Dilevel dometik, sebagaimana dinyatakan Sandra Liebenberg, dibeberapa negara, terdapat trend baru dimana hak-hak ekosob didorong menjadi hak yang justiciable. Hak ekosob diposisikan sebagai hak yang secara langsung justiciable oleh Konstitusi Afrika Selatan 1996.[39] Beberapa contoh dimana negara memasukkan hak-hak ekosob kedalam konstitusinya sekaligus sebagai subyek dari bentuk proses-proses yudisial, seperti Kanada, Finlandia, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Selandia Baru, Portugal, dan bahkan di Amerika Serikat.[40] Selanjutnya, menurut, Rodolfo Stavenbargen, in Amerika Latin: Argentina, Brazil, Colombia, Nikaragua and Paraguai, merupakan contoh-contoh negara yang memuat hak-hak budaya penduduk asli (indigenous cultural rights) kedalam konsitusi atau amandemen konstitusi negaranya.[41]
Lebih jauh, terdapat juga kasus-kasus sebagai bahan yang diperuntukkan bagi referensi dan studi lanjutan tentang perlindungan hak ekosob lewat proses yudisial. The European court of Human Rights telah mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan terhadap hak ekosob, seperti Lopez Ostra v. Spain[42]; Belgian Linguistic cases[43]; Salesi v. Italy[44]; Schuler-Zgragegen v. Switzerland. Upaya mereklaim hak-hak ekosob ini juga penah dilakukan di level domestik, seperti Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court,[45] Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court),[46] Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina),[47] Upaya judicial review tentang hak-hak ekosob di UK[48], serta putusan di pengadilan tingkat banding Guyana memutuskan hak-hak ekosob dalam konstitusi negara ini dengan tegas dinyakatan “are not mere political rhetoric” and “justiciable”.[49]
Di Indonesia sendiri, konsep HAM telah diadopsi dalam ketentuan konstitusi, menjadi hak konstitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang HAM telah menjadi alas dasar bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional HAM – table 2.
Tabel 1
Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia
Konvensi Yang Diratifikasi
Inkorporasi dalam Hukum Domestik
1. CERD (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
UU No. 29/1999
2. CAT (the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
UU No. 5/1998
3. CEDAW (the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
UU No. 7/1994
4. CRC (the Convention on the Rights to Child)
Keppres No. 36/1990
5. Hak-hak Perempuan
UU No. 68/1959
Indonesia merupakan sebuah Negara di dunia, yang pada dasarnya mengadopsi ‘universalisme HAM’ yang dimuat dalam perjanjian internasional. Asumsinya, ketentuan-ketentuan dalam CERD, CAT, CEDAW atau CRC menjadi hukum dilevel nasional. Karenanya, dalam praktik, diperlukan sinkronisasi perundang-undangan, yang selanjutnya membenarkan dan menjadi acuan bagi segala bentuk kebiasaan masyarakat dilevel local agar berkesesuaian dengan norma dan standard HAM ini.
Jika dilihat dari sejarah UDHR, promosi universalisme HAM yang dimuat dalam standard dan norma internasional HAM semakin cepat denyutnya paska bubarnya Uni Soviet. Sebelum lewat tengah malam, pada 10 Desember 1948, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi UDHR, dengan 48 Negara menyatakan setuju; dan 8 Negara bersikap abstain: USSR, Ukrania, Belarusia, Yugoslavia, Polandia (enam negara blok Komunis); Saudi Arabia dan Afrika Selatan.
Keberatan Arab Saudi terutama pada pasal 16 dan pasal 18 UDHR tentang “equal marriage rights” dan hak setiap orang untuk bebas (memeluk, dan berpindah) agama. Mengapa hanya Arab Saudi, sementara Negara yang juga berpenduduk Muslim, seperti Siria, Iran, Turki dan Paksitan menyatakan persetujuannya terhadap UDHR. Sementara, abstainnya Afrika Selatan, khusunya berkaitan dengan isu diskriminasi rasial yang dilarang dalam UDHR, dimana rezim Apartheid Afrika Selatan masih berkuasa pada saat itu. Hal yang menarik, jika UDHR ini merupakan representasi dari Western Liberalism, seharusnya Blok Uni Soviet menyatakan penolakan, bukan pernyataaan abstain – karena dalam banyak hak Liberalism berkontradiksi antagonis dengan Marxism dan Communism.
Per 9 Juni 2004 Negara-negara pada 1948 menyatakan abstain terhadap pengadopsian UDHR, yakni Federasi Rusia – sebelumnya USSR, Saudi Arabia dan Afrika Selatan telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM yang utama – sebagaima terlihat dalam table 1.
Tabel 2
Status Ratifikasi Perjanjian Internasional HAM di 3 Negara: Federasi Rusia, Saudi Arabia dan Afrika Selatan
Per 9 Juni 2004
Sumber: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights.
Sebagai tambahan Republik Rakyat Cina, juga tercatat telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM. Cina telah meratifikasi CESCR (27 Juni 2001), menandatangani CCPR (5 Oktober 1998), serta meratifikasi CERD, CEDAW, CAT dan CRC beserta dua Optional Protokol dibawah CRC. Sementara Kuba telah meratifikasi CERD, CEDAW, CEDAWOP, CAT serta CRC beserta dua Optional Protokolnya.
Cina dan Kuba, dua Negara, yang banyak kalangan diklasifikasikan menjalankan Marxism – Communism, secara formal, menerima perjanjian internasional menjadi hukum positif di Negaranya. Dilevel masyarakat sipil – para aktivis HAM dari segenap penjuru menyatakan memperjuangkan HAM, dimana seringkali, definisi HAM dirujuk dari dokumen perjanjian internasional HAM yang diadopsi PBB.
“Mereka tidak tahu, tapi mereka melakukannya”
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, ideologi juga di rumuskan sebagai berikut:
…(d)erogatorily, another person’s ideology may be thought of as spectacles that distort and disguise the real status quo….[50]
Selanjutnya, dinyatakan:
“Promises that political philosophy and morality can be freed from ideology are apt to be vain, since allegedly cleansed and pure programmes depend, for instance, upon particular views of human nature, what counts as human flourishing, and the conditions under which it is found.[51]
Merujuk Slavoj Zizek, definisi yang paling dasar dari ideologi, diambil dari frase dalam tulisan Marx, “Sie wissen das nicht, aber sie tun es" (“mereka tidak tahu, tetapi mereka melakukannya”).[52] Definisi tersebut pada dasarnya merumuskan ideologi sebagai sebuah false ideas dimana ideologi diletakkan sebagai “other of science” – atau dalam kamus diatas diistilahkan “…as spectacles that distort and disguise the real status quo”. Menurut Eatwell, kerja Engels yang mengajukan argument ‘false consciousness’ – yang kemudian menjadi kerja utama bagi Marxist.[53] Kesadaran palsu ini merujuk pada situasi atau pandangan sosial, yang menopang sebuah sistem tertentu. Sebagai contoh dari kesadaran palsu, antara lain dinyatakan Eatwell, dengan mengangap ‘Negara Demokrasi Liberal’ adalah ‘netral’: dengan kata lain, percaya bahwa individu dan kelompok mempunyai persamaan didepan hukum, aparat Negara tidak melayani kepentingan-kelas, dan seterusnya. Karenanya, bagi Marx dan Engels, hukum mempunyai tujuan utama bagi perlindungan kapitalism dan kepemilikan, dimana keduanya merupakan corak utama dari Negara Demokrasi Liberal.
Dengan demikian, bagaimanakah mendamaikan elemen-elemen Western Liberalism yang disadur oleh pasal-pasal dalam perjanjian-perjanjian internasional HAM dengan elemen-elemen Marxism dan Consevatism, sebagai ideologi politik residual. Upaya untuk mendamaikan isme lain, antara agama dan sekularisme, pernah dilakukan Abdullahi A. An-Na’im, dalam konteks pemenuhan dan pemajuan HAM. Namun, An-Na’im dalam tulisannya memposisikan HAM, agama dan sekularisme, masing-masing sebagai paradigma.
Hak asasi manusia, didefiniskan An-Na’im, sebagai: “hak yang bersifat universal yang melekat atas semua manusia sesuai dengan hak mereka sebagai manusia, tanpa ada perbedaan dengan alasan apapun seperti ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau kebangsaan”.[54] Menurut, Na’im, kata kunci dalam pengertian partikular ini, adalah universalisme. An-Na’im dalam tulisannya, mengajukan argumentasi adanya sinergitas antara HAM, agama dan sekularisme, dimana ketiganya, saling bergantung. Hak asasi manusia, memerlukan keduanya untuk mencapai dan memenuhi tuntutannya.
Argument An-Na’im yang menjelaskan HAM sebagai paradigma, bisa dipakai, untuk menjelaskan mengapa Cina dan Kuba, dalam level praktik, juga menandatangai atau meratifikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional HAM. Dengan menggunakan paradigma HAM, lebih lanjut, ada benarnya jika ada pendapat baik liberals dan para penentangnya, walaupun banyak berbeda premise, menyetujui sebuah keperluan kerangka kerja yang universal dan plural, dimana setiap individu dapat hidup tanpa harus membunuh dan merepresi individu yang lain. Faktanya, dalam hukum internasional HAM, Negara Pihak, diberikan peluang untuk melakukan aksesi dan reservasi terhadap pasal-pasal dalam perjanjian internasional. Prosedur aksesi dan reservasi ini, walaupun banyak dikritik, boleh jadi sebagai upaya mendamaikan partikularisme.
Dari uraian tersebut, jika klaim HAM sebagai sebuah “ideologi politik” maka ideologi ini tengah berkembang dan meningkat pengaruhnya. Lebih jauh, problem yang muncul: dimanakah HAM, sebagai ‘ism’ atau HAMism, ditaruh dalam spektrum politik. Kalau hak asasi manusia tidak pantasi diklaim sebagai ideologi lalu apakah hak asasi manusia hanya sebatas paradigma? Semua pembaca mendapat undangan untuk menanggapinya.*****
DAFTAR PUSTAKA
Bellamy, Richard, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies. 1999. Pinter: London and New York, 2nd edition.
Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., p. 1189.
Blackburn, Simon. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University
Bobbio, N, 1996. The Age of Rights. A. Cameran (translator). Cambridge: Polity Press.
Craven, Matthew. (2001). ‘The UN Committee On Economic, Social, Cultural Rights’. In Economic, Social, Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 455 – 472. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Eatwell, Roger and Anthony Wright (eds.). 1999. Second Edition. Contemporary Political Ideologies. London and New York: Pinter.
Eatwell, Roger ‘Introduction: What are Political Ideologies’ in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies, Pinter: London and New York, 2nd edition, 1999.
English, Kathryn and Adam Stapleton. 1995. The Human Rights Handbook, A Practical Guide to Monitoring Human Rights, Human Rights Center, University if Essex.
Hayden, Patrick. 2001. Philosophy of Human Rights: Reading in Context. St. Paul: Paragon House.
Hunt, Paul. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth.
Jessop, Bob, State Theory. Putting Capitalist State in their Place, Polity Press, Oxford, 1990.
Leckie, Scott. 2001. ‘‘The Human Rights to Adequate Housing’. In In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 149 – 168. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Liebenberg, Sandra. 2001. ‘The Protection of Economic and Social Rights in Domestic Legal Systems’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 55 – 84. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
McLellan, David. 1995. Concept in Social Thought Ideology, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2nd edition.
McLellan, David. 1995. Idology. Buckingham: Open University Press.
Novak, Manfred. 2001. ‘The Right to Education’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 245 – 271. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Shelton, Dinah L. 1984. ‘Individual Complaint Machinery under the UN 1503 Procedure and the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights’. In Guide to International Human Rights Practice. (ed.). Hurst Hannum, pp. 59 – 73. London: Macmillan Press.
Scheinin, Martin. 2001. ‘Economic and Social Rights As Legal Rights’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 29 – 54. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Stavenhagen, Rodolfo. 2001. ‘Cultural Rights: A Social Science Perspective’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 85 – 109. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Szyszczak, Erika, ‘Protecting Social Rights in the European Union’ In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 493 – 513. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Tucker, Robert C. (ed.), The Marx-Engels Reader, Princeton University, New York and London, 1978.
Williams, Raymond. 1980. Problems of Materialism and Culture. Verso: London.
Zizek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. London; New York: Verso
Artikel di Jurnal
An-Na’im, Abdullahi A.. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: Haruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004.
Articles dan material di Web Page:
AAAS and Hurridocs. ‘Thesaurus of ECSR http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
CESCR. General Comment on ICESCR implementation, Text in http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
Koenig, Shulamith. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
Hansen, Stephen A. “Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of
Economic Social and Cultural Rights”, paper on the Huridocs International Conference,
Gammarth, Tunisia, 22-25 March 1998. Text in http://www.huridocs.org/hansen.htm.
ICJ. Report and Banglore Declaration and Plan of Action on these rights. Text in http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
ICJ. Report of the Region seminar on economic, social and cultural rights organized by the ICJ in
collaboration with The African Development Bank (ADB), 9-12 March 1998. Text in http://www.icj.org/escr/loa.htm
Thomson, Alwyn. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945
UU No. 29/1999
UU No. 5/1998
UU No. 7/1994
Keppres No. 36/1990
UU No. 68/1959
Dokumen Perserikatan Bangsa-bangsa
UN Doc. Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003.
CCPR/C/3/Ref.6
24 April 2001
Rules of Procedure of the Human Rights Committee.
E/CN.4/RES/2001/27
20 April 2001
Commission on Human Rights Resolution, Effect of structural adjustment policies and foreign debt on the full enjoyment of all human rights, particularly economic, social and cultural rights;
E/CN.4/2001/62,
21 December 2001
Draft optional protocol to the ICESCR.
E/CN.4/2000/53
14 March 2000
Open-ended working group on structural adjustment programmes
E/CN.4/2000/51
14 January 2000
Joint report by the Independent expert on Structural adjustment policies, and the Special Rapporteur on foreign debt
E/CN.4/1999/112/Add.1
4 March 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/1999/36
14 January 1999
Report of the Independent Expert on the effects of structural adjustment program policies on the full enjoyment on human rights
E/CN.4/1999/112
7 January 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/DEC/1998/102
9 April 1998
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/CN.4/1998/84
16 January 1998
Report of the Secretary General on the Draft optional protocol to the ICESCR
E/CN.4/DEC/1997/103
3 April 1997
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/C.12/1994/12
Draft Optional Protocol: Report submitted by Mr. Phillip Alston
E/CN.4/1997/105
18 December 1996
Status of the International Covenants on Human Rights, Draft optional to the ICESCR, Note by the Secretary-General
E/1996/22
12 December 1996
Report on the Twelfth and Thirteenth sessions (1-19 May 1995, 20 November – 8 December 1995)
GA Resolution, 2200A (XXI)
16 December 1966
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
GA Resolution, 2200A
16 December 1966
International Covenant on Civil and Political Rights
Daftar Kasus
Pengadilan Eropa:
· Lopez Ostra v. Spain
· Belgian Linguistic cases
· Salesi v. Italy
· Schuler-Zgragegen v. Switzerland.
Pengadilan Domestik:
· Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court
· Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court)
· Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina).
Lainnya
Palmer, Ellie ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
The Economist, September 18th 2001.
YLBHI. Kompilasi Data Penanganan Kasus. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
Catatan Belakang:
[1] Lihat N. Bobbio. 1996, p. 32.
[2] David McLellan. 1995. p. 1.
[3] Roger Eatwell. 1999. p. vii.
[4] Ibid.
[5] Ibid. p. 3.
[6] Ibid.
[7] Ibid., p. 14.
[8] Ibid, p. 13.
[9] Simon Blackburn. 1996, p. 185
[10] Roger Eatwell. Op.cit, p. 17.
[11] Lihat Raymond Williams. 1980, pp 31-49.
[12] Dikutip dari Henry Campbell Black. 1979, p. 1189.
[13] Ibid, p. 1189.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Di Indonesia, rumusan ini diadopsi dalam konstitusi UUD 1945, pasal 28I ayat (4).
[17] Masing-masing perjanjian international, mempunyai badan yang mengawasi pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian. Badan ini disebut dengan Komite. Sebagai contoh Committee on Economic, Social and Cultural Rights dan Committee on Civil and Political Rights, dua komite yang dibentuk oleh International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Untuk mengetahui prosedur ini, antara lain Lihat, English Kathryn and Adam Stapleton. 1995.
[18] Lihat Patrick Hayden. 2001.
[19] Kompilasi Data Penanganan Kasus. Yayasan LBH Indonesia. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
[20] Dikutip dari Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003. Pernyataan Pazhwak tersebut, dinyatakan di Majelis Umum PBB pada 1966.
[21] Lihat Shulamith Koenig. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
[22] Lihat Alwyn Thomson. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI merupakah sebuah lembaga berbasis di Irlandia Utara, yang bekerja melayani umant Nasrani, terutama Evangelicals dalam membangun perdamaian dan rekonsiliasi.
[23] Statemen ini dikutip dari The Economist, September 18th 2001.
[24] Ajaran John Stuart Mill tentang (1806-73) dan F.A. Hayek (1899-1992) tentang individual freedom berpengaruh luas di US dan Eropa Barat. Lihat Richard Bellamy, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony (eds.) 1999, p. 25-48. Secara khusus, mengenai idologi di Amerika Serikat, lihat David McLellan. 1995, p. 46-47, 55. Lihat juga, Bob Jessop. 1990, pp.145-169.
[25] Sementara di Soviet Union dan Eropa Timur, dipengaruhi oleh project Karl Marx (1818-83) and Friedrich Engels (1820-95). Lihat David McLellan. Ibid, pp. 19, 25, 47; Roger Eatwell. Op.cit, pp. 12-13.
[26] Tentang ajaran Karl Marx-Engels dapat dilihat dalam Robert C. Tucker (ed.), 1978, terutama, pp. 93-101;525-541.
[27] Draft optional protocol dibawah ICESCR, lihat UN Doc. E/C.12/1994/12; E/CN.4/2001/62, 21 December 20001. UN Doc. Related with this issue: E/CN.4/1997/105, E/1996/22, E/CN.4/1998/84, E/CN.4/1999/112 and E/CN.4/1999/112/Add.1. Lihat juga Matthew Craven dalam Eide, Krause and Rosas 2001, pp. 468 – 71; Martin Scheinin dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., pp. 48-9;
[28] UN Doc. CCPR/C/3/Rev.6. Lihat juga Dinah L. Shelton (1984) dalam Hurst Hannum (ed.), pp. 59-73.
[29] ‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
[30] Tentang isu ini lihat Paul Hunt. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth. pp. 24-31.
[31] Ibid., p. 1.
[32] ICJ Report on Banglore Conference, October 1995, http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
[33] Report of the Region Seminar of ESCR, 9-12 March 1998. http://www.icj.org/escr/loa.htm
[34] Lihat Stephen A. Hansen, Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of Economic Social and Cultural Rights, http://www.huridocs.org/hansen.htm.
[35] Lihat Banglore Report, Op.cit.
[36] Sebagai contoh, proyek dikerjakan AAAS and Huridocs menyusun thesaurus hak ekosob. Versi online pada: http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
[37] Dokumen tersebut dapat dibaca di: http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
[38] Lihat Leckie dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 152; Szyszczak dalam Eide, Krause and Rosas 2001. pp. 493 – 513.
[39] Liebenberg. dalam Eide, Krause and Rosas. 2001, p. 61.
[40] Ibid. pp. 61, 69, 71; P. Hunt. Op.cit., p. 29; Scheinin. Op.cit., p. 51.
[41] Rodolfo Stavenhargen dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 107.
[42] Scheinin. Op.cit. p. 41.
[43] Novak. dalam Eide, Krause and Rosas (2001), p. 260.
[44] Scheinin. Op.cit., p. 37.
[45] Liebenberg, Op.cit., p. 71.
[46] Ibid., pp. 72 – 3.
[47] Ibid., p. 79.
[48] Lihat Ellie Palmer ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
[49] P. Hunt. Op.cit.
[50] Simon Blackburn. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University Press. 185
[51] Ibid., p. 185
[52] Slavoj Zizek. 1989. p. 28.
[53] Roger Eatwell. Op.cit, p. 5.
[54] Abdullahi A. An-Na’im. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: HAruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004., h. 9.
KEPRIBADIAN OTORITARIAN DAN IDEOLOGI POLITIK
(STUDI KUALITATIF TERHADAP FUNGSIONARIS DAN
SIMPATISAN EMPAT PARTAI POLITIK DI
SURABAYA)
Akhmad Fauzie
Hawaim Machrus
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk menget
ahui karakteristik kepribadian otoritarian dari empat ideologi
politik yang ada di Indonesia: Nasionalis, Islam Tradisional, Islam Modern dan Sosial Demokrat. Subjek
dalam penelitian ini adalah fungsionaris dan simpatisan dari empat partai politik: Partai
Nasional
Indonesia
-
Front Marhaenis (PNI
-
FM), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB)
dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berdomisili di Surabaya.
Tipe penelitian ini adalah kualitatif deskripstif. Variabel atau fenomena yang diamati
dalam
penelitian ini adalah kepribadian otoritarian dan ideologi politik. Data didapatkan melalui wawancara
(interview) dengan subjek terpilih. Subjek terpilih adalah mereka yang memiliki tingkat otoritarian tinggi
dari masing
-
masing kelompok ideologi pol
itik. Pemilihan subjek dilakukan dengan Skala F yang diadopsi
dari Skala F Adorno d.k.k. Responden penelitian ini adalah 40 orang yang berasal dari keempat
kelompok ideologi politik tersebut, sedangkan subjek terpilih dari masing
-
masing kelompok adalah 2 o
rang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian otoritarian kelompok nasionalis adalah
paham kebangsaan yang kuat, dan menolak segala bentuk sektarian dalam ketatanegaraan, tipe
kepribadian otoritarian kelompok islam tradisional adalah pola k
epatuhan yang kuat terhadap pemimpin
serta penolakan terhadap wacana islam sebagai dasar negara, tipe kepribadian otoritarian islam modern
adalah kecenderungan yang kuat untuk menjadikan syariah islam sebagai aturan bermasyarakat dan
bernegara serta menola
k segala bentuk sekulerisme, dan tipe kepribadian otoritarian sosial demokrat adalah
adanya kecenderungan untuk menjadikan demokrasi ala sosialis sebagai pola penataan negara.
Kata Kunci
:
Kepribadian Otoritarian, Ideologi Politik, Nasionalis, Islam Tradis
ional, Islam
Modern, Sosial Demokrat
Persaingan politik (
political competition
) antar kelompok dengan ideologi politik tertentu,
adalah hal yang wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam persaingan tersebut,
setiap kelompok atau kekuatan polit
ik berusaha menarik simpati dan dukungan sebanyak
mungkin dengan mengunggulkan kelompoknya dan merendahkan kelompok lain. Hanya
dengan dukungan atau perolehan suara yang besar dalam pemilihan umum (pemilu), maka
kelompok atau partai politik dapat berkuasa
atas kebijakan negara. Disamping itu, dengan
menguasai negara, maka sebuah partai atau kekuatan politik dapat menerapkan pandangan
atau ideologi politiknya bagi masyarakat. Kecenderungan untuk menguasai dan
mengunggulkan kelompok sendiri, oleh Adorno (1950
) disebut dengan kepribadian
otoritarian (
the authoritarian personality
).
Sejarah mencatat bagaimana Orde Baru dengan kekuatan dan pandangan politiknya,
berhasil membentuk rezim otoriter selama 32 tahun. Namun sejarah juga mencatat
Orde Baru deng
an ideologi fasisnya yang berpusat pada Jawanisasi dan
militerisasi, penyeragaman Indonesia yang multi
-
kultur, multi
-
ras, dan multi
-
agama, serta
sistem ekonomi konglomerasi pemonopoli perdagangan yang penuh proteksi, namun
menjalankan
trickle down effect
g
una memajukan perekonomiannya kelas bawah karena
ketidakmampuannya untuk mandiri, mengalami kehancurannya pada tahun 1998
(Rusbiantoro, 2001).
Era reformasi lahir sebagai upaya untuk menata kembali bangsa dan negara Indonesia.
Reformasi dalam bidang politi
k, salah satunya ditandai dengan dikembalikannya sistem
kepartaian pada sistem multi
-
partai.
Maka, pada tanggal 7 Juni 1999, dengan diikuti 48 partai
politik, bangsa Indonesia menggelar pesta demokrasi pertama paska Orde Baru.
Munculnya banyak partai poli
tik dengan berbagai macam ideologi politik, merupakan
fenomena yang menarik untuk dikaji. Dari berbagai ideologi politik yang ada, dapat
dikelompokkan menjadi empat: nasionalis, islam (tradisional dan modern) dan sosial
demokrat. Hal ini menjadi bukti bahw
a pemikiran dan ideologi politik di Indonesia,
sebagaimana yang dirumuskan oleh Herbeth Feith (1980), mengkristal pada empat kekuatan
ideologi politik tersebut.
Lebih lanjut, dua wacana di atas, kepribadian otoritarian dan ideologi politik yang
terwujud da
lam partai politik, bila dijadikan tema penelitian, adalah tema yang benar
-
benar
baru. Hal ini dikarenakan, secara teoritis dari dua disiplin yang terkait dengan tema ini,
psikologi dan ilmu politik, terutama yang berkembang di Indonesia, jarang menjadikan
nya
sebagai kajian yang mendalam. Bila ditinjau secara praktis, penelitian tentang tema ini
merupakan salah satu upaya penting untuk menggali dimensi karakteristik kepribadian politik
di Indonesia serta memberi fakta sosial tentang berkembangnya sikap anti
demokrasi dalam
sebuah masyarakat demokrasi.
Kepribadian
Kepribadian (
personality
), diantara istilah
-
istilah umum yang lain dalam lingkup kajian
psikologi, adalah istilah yang banyak mendapat perhatian. Kata yang berasal dari bahasa Latin
“
persona
”, yait
u topeng yang dipakai oleh pemain teater pada jaman Yunani Kuno ini (Hjelle
& Ziegler, 1992), dalam perkembangan selanjutnya, memiliki pengertian yang luas. Namun,
luasnya pengertian kepribadian, yang ditandai oleh berbagai definisi dari para ahli dengan
b
eragam sudut pandang, bukan sebuah ranah yang tidak mengenal batas.
Walaupun terdapat beragam definisi teoritis tentang kepribadian, namun seperti yang
dinyatakan oleh Hjelle dan Ziegler (1992), sebagian besar definisi mengandung unsur
-
unsur
yang umum yait
u:
1.
Menekankan arti penting individualitas atau perbedaan individu. Kepribadian
menghadirkan kualitas individu yang berbeda sehingga dapat membedakan
individu satu dengan yang lain. Definisi ini muncul dari hasil penelitian terhadap
perbedaan kualitas atau
kombinasi dari kualitas individu yang bersifat
membedakan antar individu sehingga dapat memahami hakekat individu.
2.
Menggambarkan kepribadian sebagai struktur atau organisasi yang bersifat
hipotetik. Setidaknya, perilaku yang tampak adalah hal yang dipahami
sebagai
bagian dari kepribadian. Dengan kata lain, kepribadian adalah sebuah abstraksi
yang didasarkan pada bukti
-
bukti yang didapatkan dari pengamatan perilaku.
3.
Memfokuskan pada arti penting memandang kepribadian dalam kaitannya dengan
sejarah kehidupan
atau perspektif perkembangan. Kepribadian merupakan sebuah
proses yang berkembang pada berbagai pengaruh internal dan eksternal, meliputi
-
sifat genetik dan biologis, pengalaman sosial dan adanya perubahan
lingkungan sosial.
4.
Menekankan kepribadian seb
agai karakteristik atau pola perilaku yang konsisten.
Kepribadian merupakan sesuatu yang bersifat stabil dan relatif abadi dalam
berbagai situasi dan dari waktu ke waktu.
Otoritarian dan Kepribadian Otoritarian
Kata otoritarian merupakan istilah terjem
ahan dari kata
authoritarian.
Kata
authoritarian
sendiri berasal dari kata
authority
yang sebenarnya turunan dari kata Latin
auctoritas.
Kata
authority
atau
auctoritas
berarti „pengaruh‟, „kuasa‟, „wibawa‟, „otoritas‟. Dengan otoritas yang
dimilikinya, ses
eorang dapat mempengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku
orang lain, baik secara perorangan maupun kelompok. Kata lain yang terkait erat dengan
otoritas adalah otoritarianisme yang berarti paham atau pendirian yang berpegang pada
otoritas, keku
asaan, kewibawaan‟. Hal ini meliputi pula cara hidup dan cara bertindak
(Mangunhardjana, 1997).
Kajian teoritis tentang kepribadian otoritarian, menurut Stephen Frosh (1989), jarang
dipaparkan secara mendalam, bahkan boleh dikatakan hilang. Hal ini, lebih
lanjut menurut
Frosh, karena telah terjadi kesalahbacaan sistematik (
systematic misreading
) atas kepribadian
otoritarian. Wacana yang secara teoritis sangat dipengaruhi oleh teori psikoanalisa ini, dalam
banyak kajian, diperkecil ruang lingkupnya hanya ter
batas pada penggunaan Skala F (
F Scale
),
skala yang digunakan Adorno d.k.k untuk mengukur potensi Fasisme dan kecenderungan
sikap anti demokrasi (Janowits & Marvick, 1974)
Penelitian tersebut didasarkan pada hipotesa bahwa: “
keyakinan politik, ekonomi dan
sosial
yang ada dalam diri individu, seringkali membentuk suatu pola yang luas dan koheren, seakan
-
akan
membentuk mentalitas dan semangat, dan ...polanya adalah sebuah ekspresi dari kecenderungan mendalam
dalam kepribadiannya
” (Adorno, dalam Shahakian, 198
2). Sebagai jawaban atas hipotesa
tersebut, melalui serangkaian penelitian yang dilakukan dengan Skala Anti
-
Semitisme (
A
-
S
Scale
), Skala Etnosentrisme (
E Scale
), Skala Konservatisme Politik Ekonomi (
PEC Scale
) dan
Skala Fasis (
F Scale
) sebagai alat ukurnya
, ditemukan bahwa keyakinan politik, ideologi,
ekonomi dan sosial, telah membentuk kecenderungan sikap fasistik pada individu. Pengaruh
utama dari kecenderungan ini adalah, akan membentuk sikap mendukung fasistik (
profasistic
)
dan sebaliknya bersikap anti
demokratik.
Erich Fromm dalam bukunya
Escape From Freedom
(1997), mengartikan otoritas bukan
sebagai kualitas yang dimiliki seorang pribadi dalam arti memiliki kekayaan atau kualitas
-
kualitas fisik.
Otoritas, menurut Fromm, menunjuk pada hubungan antar
-
pri
badi, dimana
orang yang satu memandang orang lain lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada dirinya.
Dalam banyak kajian, otoritarian adalah kata yang lebih banyak digunakan dalam dunia
politik. Menurut pengertian politik, otoritarian berarti pemerintaha
n yang dijalankan oleh
seseorang atau kelompok kecil yang menuntut ketaatan mutlak dari sebagian besar atau
seluruh masyarakat. Masih dalam pengertian politik, kata otoritarian seringkali disepadankan
dengan kata totalitarian, otoriter, pemerintahan diktat
ur, atau secara praktis dikaitkan dengan
Naziisme maupun Fasisme. Karena inti dari otoritarian adalah penguasaan mutlak atas
seluruh anggota masyarakat serta menolak adanya proses dialogis, maka kata ini seringkali
ditempatkan sebagai lawan dari demokrasi.
Tidak jauh berbeda dengan pengertian politik, otoritarian dalam pengertian psikologi
diartikan sebagai orang yang bertingkah laku dengan cara diktatoris dalam hubungannya
dengan orang lain. Kata ini adalah kata sifat yang berkaitan dengan peranan pemimpin
dalam
sikap
-
sikap sosial (Kartono dan Gulo, 1987).
kepribadian yang ditandai oleh suatu keinginan akan ketaatan dari seluruh orang yang
dipandang memiliki kepribadian
lebih rendah. Bentuk kepribadian ini muncul karena
rendahnya toleransi terhadap sikap mendua dan tidak pasti terutama pada orang
-
orang yang
memiliki kedudukan tinggi dan terhormat.
Kurt W. Back (1977) mendefinisikan kepribadian otoritarian sebagai keprib
adian yang
dicirikan oleh kebutuhan yang tinggi akan kepatuhan, ketaatan dan subordinasi yang tidak
diragukan; seringkali disertai dengan kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, memandang
rendah kelemahan dan ketidaksesuaian, dan permusuhan dengan orang
-
ora
ng di luar
kelompok.
Kepribadian otoritarian, berdasar variabel
-
variabel yang digunakan dalam skala F,
secara umum ditandai oleh ciri
-
ciri sebagai berikut (Sanford dan Capaldi, 1967):
1.
Konvensionalisme (
Conventionalism
): ketaatan yang kuat terhadap nilai
-
n
ilai konvensional
dan nilai
-
nilai dari kelas menengah.
2.
Kepatuhan Otoritarian (
Authoritarian Submission
): sikap tunduk, patuh dan tidak kritis
terhadap otoritas moral yang diidealkan bagi anggota kelompok.
3.
Agresi Otoritarian (
Authoritarian Agression
): kece
nderungan untuk mencela, menghina,
menolak dan menghukum orang
-
orang yang melanggar nilai
-
nilai konvensional.
4.
Anti Intrasepsi (
Anti
-
Intraception
): menolak pemikiran subjektif, imajinatif dan lemah.
5.
Ketahayulan dan Stereotipe (
Superstition and Stereotype
):
percaya terhadap determinan yang
bersifat mistik atas takdir manusia; kecenderungan untuk berpikir dalam kategori yang
kaku.
6.
Kekuasaan dan “Kekerasan” (
Power and “Toughness”
): mengkategorikan dalam batasan dua
atau dimensi hal yang berlawanan, seperti kua
t
-
lemah, pemimpin
-
pengikut;
mengidentifikasi dengan figur yang berkuasa.
7.
Pengerusakan dan Sinisme (
Destructiveness and Cynicism
): rasa permusuhan yang
digeneralisir, melakukan fitnahan terhadap manusia.
8.
Proyektivitas (
Projectivity
): kecenderungan untuk p
ercaya bahwa berbagai hal yang liar dan
berbahaya terjadi di dunia; proyeksi ditujukan atas dorongan emosional tak sadar.
9.
Seks (
Sex
): perhatian yang lebih terhadap tindakan seksual.
Variabel tersebut dianggap secara bersama
-
sama membentuk suatu sindrom tu
nggal,
suatu struktur yang kurang lebih bersifat abadi dalam diri seseorang. Struktur tersebut
mendorong seseorang untuk menerima propaganda anti demokratik (Sanford & Capaldi,
1967). Tetapi, dan hal ini banyak dilakukan dalam penelitian
-
penelitian selanju
tnya tentang
kepribadian otoritarian, bahwa definisi konseptual dan operasional dari setiap variabel
tersebut ditafsirkan kembali dan tidak semua variabel tersebut digunakan, terutama untuk
mengetahui sifat anti demokrasi.
David O. Sears, dkk. (1991), misa
lnya, menyatakan bahwa kepribadian otoritarian yang
menyebabkan orang bersikap anti demokrasi, secara psikologis dicirikan oleh:
1.
Ketaatan kaku terhadap (dan hukuman keras bagi orang
-
orang yang menyimpang dari)
nilai dan pola perilaku konvensional.
2.
Kebutu
han yang berlebihan untuk tunduk pada, dan mengidentifikasi dengan otoritas
yang lebih kuat.
3.
Rasa permusuhan yang digeneralisir.
4.
Pemikiran yang diwarnai oleh mistik dan tahayul.
Dengan sifat
-
sifat tersebut, lebih lanjut Sears menjelaskan bahwa, orang otori
ter
beranggapan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang sangat hebat, sedangkan kelompok
lain buruk dan memuakkan (Sears, 1991).
bahwa, karya Adorno d.k.k. adalah kajian orisi
nil yang menonjol mengenai kepribadian
otoritarian. Lebih lanjut Apter berpendapat, kepribadian otoritarian adalah kepribadian yang
kaku, selalu mengalah, dan disiplin, yang hanya mampu memberi kasih sayang yang sedikit
dan bersyarat, dan ditandai oleh sua
tu kecenderungan menuju kepemimpinan tokoh
-
bapak,
serta menyetujui, walaupun secara diam
-
diam terhadap prasangka sosial (
prejudice
).
Menurut Adorno, seperti yang dikutip oleh Apter, bahwa orang dengan kepribadian
otoritarian, ketika dihadapkan pada masalah
akan mencari “kambing hitam”; mereka
menghendaki diperluasnya konformitas seperti militer kepada sipil; mereka dengan sengaja
membatasi kebebasan pribadi dan mendukung intervensi negara dalam semua aspek
kehidupan.
Maurice Duverger (1982), dalam pembacaan
nya atas kepribadian otoritarian
menyatakan bahwa, kepribadian otoritarian didefinisikan sebagai konformitas yang sangat
kuat, kepatuhan buta kepada sistem
-
sistem nilai tradisional, dengan tidak mempertanyakan
kepatuhan kepada otoritas, oleh penglihatan ya
ng disederhanakan tentang semesta sosial dan
moral yang dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih, salah dan
benar), dimana segala
-
galanya dibagi secara teliti, diatur, dan dibatasi
—
karena merekalah
yang terbaik, yang lemah harus
mendapatkan tempat di bawah karena dari segala segi mereka
lebih rendah, dan nilai orang ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada
kondisi sosial.
Mengutip pendapat dari Alfred Adler, lebih lanjut Duverger berpendapat bahwa,
kecender
ungan otoritarianisme adalah suatu unsur fundamental dalam jiwa manusia.
Menurut Adler, sebagaimana yang dikutip Duverger, bahwa naluri untuk menguasai adalah
sumber utama perilaku manusia, yang menggantikan libido
—
naluri kesenangan
—
dalam
konsep Freudian (
Duverger, 1982).
Analisa Psikologis atas Otoritarian
Dalam bukunya
Escape From Freedom
(1947/1997), Erich Fromm dengan sudut
pandang psikoanalisa, membahas Fasisme dan makna kebebasan dalam sistem otoriter dan
sistem demokrasi. Berawal dari kajian atas m
asyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang
menurut Fromm ditandai oleh keinginan individu untuk lari dari kebebasan, maka ditegaskan
oleh Fromm bahwa diperlukan adanya mekanisme untuk melarikan diri. Mekanisme tersebut,
lebih lanjut Fromm menjelaskan, m
eliputi otoritarianisme, kedestruktifan dan penyesuaian
diri secara otomatis.
Otoritarianisme ditandai oleh dua kecenderungan psikologis.
Pertama
adalah
kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri seseorang sendiri,
kedua
,
kecenderungan seseorang
untuk menguasai orang lain di luar dirinya agar mendapat kekuatan
yang dirasa kurang dari dirinya. Maka, bentuk nyata dari mekanisme ini adalah usaha untuk
tunduk dan menguasai (Fromm, 1997).
Sikap tunduk atau yang disebut oleh Fromm sebagai masokistis, ad
alah perasaan
rendah diri, inferior, tidak berdaya dan tidak berarti. Orang
-
orang yang mengalami kondisi
ini, ditandai oleh kecenderungan untuk tidak menegakkan dirinya sendiri, tidak mengerjakan
apa yang mereka inginkan, tetapi justru tunduk pada perintah
-
perintah yang dikatakan oleh
kekuatan luar.
Sebaliknya, sikap menguasai atau yang disebut oleh Fromm sebagai sadistis, ditandai
oleh tiga kecenderungan.
Pertama
adalah kecenderungan untuk membuat orang lain
tergantung pada dirinya sendiri dan menanamkan k
ekuasaan mutlak dan tidak terbatas
terhadap orang lain, sehingga mereka menjadi sekedar alat.
Kedua
adalah kecenderungan
orang lain. Dan
ketiga
adalah kecenderungan untuk
membuat orang lain menderita atau
melihat mereka sengsara. Bentuk penderitaan yang diinginkan, bukan hanya fisik, tetapi juga
mental.
Dari dua kecenderungan tersebut, Fromm menjelaskan bahwa, kecenderungan sadistis
dalam wujud sosialnya, seringkali dirasio
nalisasikan ketimbang kecenderungan masokistis,
antara lain dengan berbagai bentuk perhatian terhadap orang lain atau cara
-
cara persuasif
lainnya. Bentuk rasionalisasi yang paling sering dilakukan, Fromm memberi contoh, adalah:
“Saya menguasai anda karena
saya tahu apa yang terbaik untuk anda, dan dengan keinginan anda
sendiri, anda harus mengikuti saya tanpa melawan”.
Pandangan Fromm tentang sadistis tersebut, sangat dipengaruhi oleh pandangan
-
pandangan sebelumnya, salah satunya adalah Thomas Hobbes. Dalam
Leviathan
(1651),
seperti yang dikutip oleh Fromm, Hobbes menganggap sadisme sebagai kecenderungan
umum umat manusia. Hasrat tersebut mendorong manusia untuk selalu ingin berkuasa, dan
mencapai titik akhir pada kematian. Lebih lanjut Hobbes berpendapat ba
hwa, hasrat untuk
berkuasa bukan merupakan sifat yang kejam, tetapi merupakan akibat paling rasional dari
hasrat manusia untuk kenikmatan dan keamanan.
Tetapi, pada sosok Frederich Nietzsche
-
lah (1844
-
1900), pandangan filosofis
-
psikologis tentang hasrat a
tau kehendak untuk berkuasa (
will to power
), dipandang mencapai
titik yang sempurna. Menurut Nietzsche, dalam tiga bukunya:
Beyond God and Evil, The
Genealogy of Morals
dan
The Will to Power
, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dunia,
hakekat hidup dan
hakekat terdalam dari ada (
being
). Singkatnya, kehendak untuk berkuasa
adalah hakekat dari dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari
segala
-
galanya (Sunardi, 1996).
Kehendak untuk berkuasa adalah akibat langsung dari hakekat hidup
manusia.
Nietzsche mendefinisikan hidup sebagai sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu
proses
-
pemeliharaan. Hidup merupakan suatu bentuk yang mengakhiri proses
-
proses
kekuatan sebelumnya, yang berusaha saling berkuasa, menonjolkan diri dan saling mela
wan
(Sunardi, 1996). Inti dari pandangan Nitzsche tentang hidup, seperti yang dikutip oleh St.
Sunardi dari buku
The Will to Power
, adalah:
“sejumlah kekuatan, yang disatukan oleh proses
-
pemeliharaan umum, kita sebut hidup. Yang termasuk
dalam proses
-
peme
liharaan umum ini
—
sebagai sarana yang membuat hidup itu mungkin
—
adalah
semua yang disebut perasaan. Ide, pikiran; yaitu (1) penolakan terhadap semua kekuatan lain, (2)
penyesuaian semua (kekuatan) yang sama sesuai dengan bentuk dan ritme, (3) pertimbangan
berhubungan dengan penyatuan atau pemindahan”. (dikutip dari Sunardi, 1996: 48)
Walaupun jarang disebut dalam kajian teoritis psikologi, pandangan Nietzsche tentang
hidup, manusia dan kehendak untuk berkuasa, dapat dikatakan mengandung nilai
-
nilai
psikol
ogis. Hal tersebut dapat dilihat, terutama dalam pandangan Nietzsche bahwa manusia
akan merasa dirinya benar
-
benar hidup, apabila manusia merasakan pergolakan kehendak
untuk berkuasa. Akibatnya, untuk mencapai kekuasaan, maka manusia harus mengatasi
segala
hambatan yang ada. Tetapi, hal yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu
mempertahankan kekuasaannya, dan prinsip otoritarian adalah pilar utamanya.
Pergolakan tersebut terjadi dalam ruang
-
ruang psikologis manusia, yang berakibat
munculnya perilak
u untuk berkuasa. Bila tujuan hidup adalah kebahagian, maka menurut
Nietzsche, hal tersebut dapat dipenuhi dengan perasaan akan bertambahnya kekuasaan.
Dengan kata lain, kebahagian manusia dapat dicapai apabila segala hambatan untuk berkuasa,
dan juga upay
a untuk merebut kekuasaan darinya, dapat diatasi. Tujuan hidup untuk menjadi
tulisannya:
“percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan ter
tinggi manusia adalah
hidup dengan bahaya! Dirikanlah kota
-
kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal
-
kapalmu
ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”
(dikutip dari Sunardi, 1996)
Pandangan Ni
etzsche bahwa hidup didominasi oleh dorongan
-
dorongan untuk
bertindak agresif, walaupun kurang ada bukti yang jelas, memiliki kesamaan dengan
pandangan Freud tentang Thanatos. Thanatos atau insting mati bersifat merusak. Menurut
Bapak Psikoanalisa ini, dal
am sebuah fatwanya yang terkenal, bahwa “tujuan semua
kehidupan adalah kematian” (Hall & Lindzey, 1993). Salah satu bentuk turunan dari insting
-
insting mati adalah dorongan destruktif. Dorongan tersebut menjadi sebab utama munculnya
keagresifan, yaitu peng
erusakan diri yang diarahkan ke objek
-
objek substitusi.
Dalam kajian psikologi politik berperspektif psikoanalisa, karena sifat utamanya yang
cenderung merusak, maka thanatos atau insting mati dipandang sebagai sumber bagi sifat
-
sifat otoritarian, sedangka
n eros atau insting hidup adalah sumber bagi sifat
-
sifat demokratis
(Duverger, 1997).
Lebih lanjut, pengejawantahan sifat
-
sifat otoritarian dalam perilaku, terutama dalam
komunikasi, orang otoritarian dipandang memiliki ciri
-
ciri tertentu. Dalam komunikasi
, orang
berpendirian otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah. Sebaliknya,
komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan segala
kemungkinan perbedaan dan pertentangan pendapat, secara konseptual mu
ngkin dipahami,
tetapi sulit untuk dihayati (Mangunhardjana, 1997).
Ideologi Politik
Dari bentuk katanya, ideologi politik (
Political Ideology
) merupakan gabungan dari dua
buah kata, dimana masing
-
masing kata memiliki definisi konseptual yang mandiri, ya
itu
ideologi dan politik.
Tetapi, dalam penggunaannya, ideologi politik seringkali tidak diartikan
secara terpisah. Kedua kata tersebut, walaupun memiliki definisi konseptual masing
-
masing,
dipandang sebagai kesatuan kata yang melahirkan definisi baru.
Ist
ilah ideologi dimasukkan ke dalam khazanah bahasa ilmu
-
ilmu sosial oleh S.L.C.
Destutt de Tracy (1754
-
1836), seorang politisi dan filsof pada awal abad sembilanbelas
(Baradat, 1988; Suseno, 1992).
Kata ideologi, pada awalnya berarti ilmu tentang ide (
scien
ce of
ideas
), yaitu studi tentang asal mula, evolusi dan sifat dasar dari ide. Dari kata ini, diturunkan
sebuah kata yaitu
ideologues
, yang berarti orang
-
orang yang berjuang untuk melahirkan ide
-
ide,
dalam hal ini gagasan
-
gagasan progresif seperti hak asas
i manusia atau negara konstitusional
(Suseno, 1992).
Secara umum, ideologi dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang berorientasi
pada tingkah laku (
an action
-
oriented set of belief
). Sistem pemikiran yang didasarkan atas
ideologi, akan menghasilkan per
buatan. Hal ini memunculkan sebuah logika yaitu, bahwa
dengan mengamati perbuatan seseorang, maka dapat diketahui apa ideologinya. Dengan kata
lain, bilamana keyakinan
-
keyakinan tersebut tidak mampu memaksakan perbuatan, maka itu
bukan ideologi (Daniel Dha
kidae,
Prisma
No.1, Januari 1982 Tahun XI, LP3ES).
Francois Houtart (dalam M. Sastrapartedja,
Prisma
No.1, Januari 1982 Tahun XI,
LP3ES ) berpendapat bahwa, ideologi juga dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan
tentang eksistensi suatu kelompok s
osial, sejarah dan proyeksinya ke masa depan dan
pertama
, ideologi memuat sejarah masa lampau yang diukur menurut sistem nilai yang dicita
-
citakan;
kedua
, suatu visi me
ngenai masa depan sebagai hasil penilaian sejarah masa lampau
dan nilai yang dicita
-
citakan itu;
ketiga
, mengarah pada suatu tindakan atau praksis (F.
Houtart, dalam Y.B. Sudarmanto,
Majalah Filsafat Driyarkara
Tahun. XIII No.2 1986).
Hal lain yang terkand
ung dalam ideologi politik adalah, bahwa ideologi politik memiliki
dua fungsi: individual dan sosial. Fungsi individual, seperti yang diungkapkan oleh Paul
Ricoer (dalam M. Sastrapartedja,
Prisma
No.1, Januari 1982 Tahun XI, LP3ES), bahwa
ideologi politik
berfungsi untuk “memolakan, mengkonsolidasi, menciptakan tertib dalam
arus tindakan manusia”. Hal ini memiliki hubungan yang erat dengan ideologi sebagai
pembentuk identitas sosial (
social identity
) dan tipe kepribadian.
Secara sosial, fungsi dari ideologi
politik mendapat berbagai tafsiran. Fungsi dari
ideologi politik sendiri telah menjadi salah satu tema kajian utama dalam psikologi politik.
McGuire (1993), seperti yang dikutip oleh Maritza Montero (1997, dalam Fox dan
Prileltensky, 1997) menyatakan bahw
a, di Amerika Serikat, ideologi lebih diartikan sebagai
sistem keyakinan. Di bagian dunia lain (Amerika Latin dan Eropa), ideologi dipahami sebagai
hegemoni atau dominansi dari gagasan
-
gagasan tertentu terhadap gagasan lain. Sedang dalam
wilayah yang telah
dipengaruhi oleh pemikiran Marx, ideologi dipahami sebagai kesadaran
palsu (
false consciousness
).
Secara umum, Reo M. Christension dalam kata pengantar buku
Ideologies and Modern
Politic
(1972) berpendapat bahwa ideologi politik berfungsi sebagai:
1.
Sebagai
sistem keyakinan politis, ideologi yang memberikan suatu struktur kognitif
2.
Memberikan suatu formula yang bersifat menentukan
—
suatu arahan bagi individu
dan tindakan serta pertimbangan kolektif.
3.
Sebagai alat untuk mengatasi dan mengintegrasikan konflik.
4.
Me
ngetahui identifikasi diri (
self
-
identification
) seseorang.
5.
Untuk mengetahui kekuatan dinamis dalam kehidupan individu dan kolektif,
memberikan suatu pengertian mengenai misi dan tujuan, serta suatu komitmen
hingga tindakan yang dihasilkan.
Pendapat lain t
entang fungsi ideologi politik dikemukakan oleh Roy C. Macridis dalam
bukunya
Contemporary Political Ideologies, Movement and Regime
(1989) yaitu:
1.
Ideologi politik sebagai alat legitimasi
2.
Ideologi politik sebagai alat solidaritas dan mobilisasi
3.
Ideologi p
olitik sebagai alat ekspresi
4.
Ideologi politik sebagai alat kritik dan utopia
5.
Ideologi politik sebagai ideologi dan tindakan politik
Dari sudut pandang psikologi, sebagaimana pendapat Erich Fromm, bahwa ideologi
lahir karena manusia didorong untuk mencari s
uperioritas, kekuasaan, status, dan
kemenangan dalam arena politik, terutama melalui ideologi dan gerakan otoritarian.
Dorongan tersebut muncul sebagai akibat dari perasaan rendah diri, tidak aman, tidak
mumpuni, kesendirian, penghinaan dan pengkerdilan
M
ETODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah fungsionaris atau pengurus tingkat propinsi dan
kotamadya dan simpatisan dari empat partai politik: PNI
-
Front Marhaen, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Pa
rtai Rakyat Demokratik (PRD) dengan
-
ciri sebagai berikut: (1) bertempat tinggal di Surabaya, (2) berusia 25 tahun dan (3)
memiliki tingkat otoritarian tinggi berdasar pengukuran dengan Skala F.
Desain Penelitian
Untuk menunjukkan langkah
-
langkah dala
m penelitian ini, maka penelitian didesain
sebagai berikut:
Gambar 1
Desain Penelitian
Keterangan:
Pml
: Pemilihan
Otr
: Otoritarian
Trds
: Tradisi
onal
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara (
interview
) dengan subyek penelitian
yang terpilih. Wawancara digunakan sebagai metode pengambilan data karena melalui
metode ini, peneliti akan bisa memperoleh pengetahuan tentang m
akna
-
makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti (Banister, d.k.k dalam Poerwandari,
1997).
Jenis wawancara yang akan digunakan adalah wawancara tidak terstruktur, berfokus
dan terbuka.
Wawancara tidak terstruktur dipilih k
arena sifatnya yang luwes sehingga susunan
pertanyaan dan susunan kata
-
kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat
wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara, termasuk
karakteristik sosial
-
budaya responden (Mulyana, 200
1). Adapun yang dimaksud berfokus
dalam penelitian ini, karena pertanyaan
-
pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mengacu
pada indikator
-
indikator dalam Skala F.
Wawancara terbuka dipilih karena memungkinkan responden menggunakan cara
-
caranya sendiri unt
uk menanggapi permasalahan yang diajukan serta memungkinkan
Kel. Subyek
Nasionalis
Kel. Subyek
Sos
-
Dem
Kel. Subyek
Islam Modern
Kel. Subyek
Islam
-
Trds
Pml. Subjek
SubjekSubj
ek
SKALA
F
Otr. Tinggi
Nasionalis
Otr. Tinggi
Islam
-
Trds
Otr. Tinggi
Islam Modern
Otr. Tinggi
Sos
-
Dem
Wawancara
Data
Analisis
-
isu penting yang tidak terjadwal (Denzin, 1970 dalam Mulyana,
2001; Silverman,1993)
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh melalui wawancara tersebut, akan dianalis
is dengan metode
analisis wacana (
discourse analysis
). Analisis wacana dipilih sebagai metode analisa data karena
penelitian ini berfokus pada bahasa dalam konteks sosialnya (Brown dan Yule, 1993; van
Dijk, dalam Potter dan Wetherell, 1987). Sebagai penel
itian dalam konteks psikologi sosial,
maka analisa wacana yang ditekankan dalam penelitian ini berbeda dengan analisa wacana
yang umum digunakan dalam analisa media.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Potter dan
Wetherell (1987), analisis wacana dalam peneli
tian psikologi sosial tidak berfokus pada (a)
hubungan antara wacana dan kognisi (b) permasalahan linguistik
tetapi lebih menekankan pada makna sosial (
social meaning
) dari rangkaian kata yang
digunakan oleh responden dalam menanggapi suatu permasalahan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Islam Tradisional
Dari data yang diperoleh melalui wawancara dengan subjek terpilih kelompok Islam
Tradisional (PKB), maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik kepribadian otoritariannya
adalah:
v
Kebangsaan, nasionalis dan
sekuler, adalah tata kehidupan yang sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia
v
Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin adalah syarat bagi kemajuan masyarakat.
v
Orang yang paham agama, atau dalam tradisi Islam Tradisional disebut kyai, adalah
orang yang harus m
enjadi pemimpin.
v
Dalam politik empiris, ada kecenderungan yang kuat untuk mempertahankan pola
kenegaraan dengan dasar Pancasila, sehingga ada kecenderungan untuk
menghambat perkembangan wacana Islam
kaffah
dari kelompok berazaskan Islam
Islam Modern
Ide
ologi politik yang menjadikan Islam sebagai azas partai ini, melalui serangkaian data
yang diperoleh, memiliki karakteristik kepribadian otoritarian sebagai berikut:
v
Menjadikan ajaran Islam sebagai dasar pembenar segala pemikiran dan tindakan
politik.
v
Ada
keyakinan yang kuat bahwa mereka telah melaksanakan Islam secara
menyeluruh atau
kaffah
.
v
Memandang rendah segala bentuk pemikiran yang memisahkan antara ajaran
agama dengan tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
v
Adanya kecenderungan pandangan yang k
uat bahwa figur atau sosok pemimpin
yang ideal, adalah mereka yang berasal dari kelompok Islam Modern.
v
Dalam politik empiris, upaya politik mereka menuju pada penerapan syariah Islam
dan menolak segala yang bersifat sekulerisme.
Dari pandangan
-
pandangan yang diungkapkan oleh subjek terpilih kelompok
nasionalis, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik kepribadian otoritarian nasionalis
adalah:
v
Ada kecenderungan pandangan yang kuat bahwa hanya kelompok Nasionalis
-
lah
yang peduli dengan nasib
wong cilik
.
v
Ada kecenderungan pandangan yang kuat bahwa orang
-
orang Nasionalis adalah
orang
-
orang yang berjuang demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa.
v
Ada pandangan yang kuat, bahwa antara agama dan negara, adalah entitas yang
berbeda dan tidak dapat
disatukan. Dalam politik empiris, mereka mendukung dan
mempertahankan sekulerisme.
v
Ada kecenderungan untuk mengkultuskan pemimpin, sehingga akan membentuk
pola kepatuhan yang buta terhadap pemimpin.
v
Ada kecenderungan untuk menata masyarakat dan negara da
lam pola sentralistis
atau terpimpin.
Hal ini merupakan pengaruh dari pandangan sosialis sebagai salah
satu unsur pembentuk Marhaenisme.
Sosial Demokrat
Dalam pandangan umum, kelompok sosial demokrat yang dalam politik praktis di
Indonesia diwakili oleh P
artai Rakyat Demokratik, dipandang memiliki kedekatan atau
bahkan sama dengan kelompok komunis. Dari hasil wawancara dengan subjek terpilih
kelompok sosial demokrat, dapat disimpulkan bahwa karakteristik kepribadian otoritariannya
adalah:
v
Ada kecenderungan
yang kuat memandang rendah pemikiran politik kelompok
lain.
v
Ada keyakinan yang kuat bahwa merekalah kelompok yang benar
-
benar
memperjuangkan nasib orang
-
orang yang tertindas, terutama kaum buruh.
v
Ada kecenderungan penolakan yang kuat terhadap segala bent
uk kerjasama dengan
kelompok politik lainnya, terutama kelompok yang berkuasa.
v
Ada kecenderungan yang kuat untuk menjadi kekuatan politik kritis
-
radikal,
sehingga menjadikan kelompok ini sebagai oposan.
v
Ada kecenderungan untuk menolak pengaruh agama dalam
masyarakat dan juga
negara.
Mengkaji tema kepribadian otoritarian dalam konteks politik saat ini, bukan sebuah
upaya yang mudah. Hal ini dikarenakan belum adanya kekuatan politik tunggal (
single majority
)
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Orde Baru selam
a 32 tahun. Namun, sebagaimana yang
dihipotesakan oleh Adorno (1950), bahwa kepribadian otoritarian merupakan potensi
psikologis yang ada dalam setiap pribadi dan juga kelompok, terutama yang memiliki
pandangan atau keyakinan tertentu. Potensi tersebut aka
n berkembang dan mewujud
menjadi tindakan praktis
-
otoriter, apabila ada kesempatan untuk menjadi kekuatan tunggal.
Dari data penelitian, baik data kualitatif maupun kuantitatif yang diperoleh dari skor
otoritarian, dapat digambarkan adanya dinamika in
teraksi karakteristik kepribadian
otoritarian antar ideologi politik. Dari penghitungan dengan teknik ANOVA, dapat
disimpulkan bahwa, dengan nilai mean otoritarian 21,78, kelompok Islam Modern (PBB)
memiliki tingkat otoritarian paling tinggi.
Hal ini didas
arkan pada perbandingan dengan nilai
mean otoritarian total yaitu 14,85.
memiliki tingkat otoritarian cukup tinggi. Nilai mean otoritarian dua kelompok lainnya, Sosial
Demokra
t dan Nasionalis, masing
-
masing sebesar 10,38 dan 11,70, berada dibawah nilai
mean otoritarian total. Hal ini dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa, tingkat
otoritarian kedua kelompok tersebut lebih rendah daripada dua kelompok lainnya.
Tingginya ting
kat otoritarian kelompok Islam Modern, disebabkan adanya keyakinan
yang kuat bahwa pandangan dan ideologi politiknya selalu benar karena didasarkan pada
ajaran Islam. Maka, penegakan syariat Islam bagi tata kehidupan negara, adalah bagian dari
perjuangan s
uci. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh kedua subjek terpilih dari kelompok
ini:
“...bagaimana mencapai
Islam secara kaffah
, sehingga kalau belum terjadi Islam secara kaffah, kalau
kita sesama Islam, kita harus saling mengingatkan...namun kalau berbeda ke
yakinan, artinya kita harus
menjaganya, selama mereka tidak menganggu urusan kita...kalau mereka mendahului memerangi kita,
kita tidak harus berdiam diri...”
“...kaffah sesuai ajaran Al Qur‟an, adalah
secara menyeluruh kita melaksanakan Islam
, dalam
masyarakat
, keluarga, dan juga bernegara, maka kita akan ajak masyarakat supaya mau ke arah itu...”
Pandangan politik ini, tentu saja bertentangan dengan pandangan politik dari
kelompok Nasionalis, Islam Tradisional dan juga Sosial Demokrat.
“... ideologi yang cocok
adalah yang wajar
-
wajar saja...ya kayak,
balance
lah, antara Islam, bukan Islam
modern dengan tradisional,
Islam dengan nasionalis itu saja
...masalahnya Indonesia bukan negara
Islam, dan tidak murni nasionalis juga kan...”(Islam Tradisional)
“...
tapi kalau dijad
ikan negara Islam, ya tidak akan setuju
...” (Nasionalis)
“...banyak sekali dari saudara
-
saudara kita yang menuntut dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam
UUD...ya jelas ngak bisa...
ini suatu contoh pemaksaan kehendak
...” (Nasionalis)
“...kalau negara kita, mau dibuat
suatu unsur atau aliran...yo ngak bisa...kenapa...Indonesia itu khan
Binneka Tunggal Ika...lalu bagaimana...
harus NASA, nasionalis
-
agama, harus ada perpaduan
...”
(Nasionalis)
“...agama adalah urusan pribadi, dan negara adalah urusan umum. Keduanya tidak bisa digabungk
an,
negara ya diurus dengan tata kenegaraan...agama diurus dengan ajaran agama
...(Sosial
Demokrat)
Dinamika lain yang adapt digambarkan adalah adanya kesamaan pandangan antara
ketiga kelompok ideologi politik: Nasionalis, IslamTradisional dan Sosial Demokra
t.
Kesamaan pandangan politik ketiga kelompok tersebut adalah pada penegakan demokrasi
dan sekulerisme.
“...di sini masyarakat agamis yang tidak beragama, PKB sendiri ingin menarik
kaum abangan
...”
(Islam Tradisional)
“...sesungguhnya
sosial
-
demokrat
itu pas d
engan kita, dan PKB bergaul dengan mereka, karena tidak
ada yang salah dengan mereka...dan lebih berani mengedepankan demokratnya, lebih berani mengikis
kemungkaran...kalau dilihat dari
platform
-
nya
, nampaknya
sejalan dengan kita
...” (Islam
Tradisional)
negara kita, mau dibuat suatu unsur atau aliran...yo ngak bisa...kenapa...Indonesia itu khan
Binneka Tunggal Ika...lalu bagaimana...
harus NASA, nasionalis
-
agama, harus ada perpaduan
...”
(Nasionalis)
“...ya saya katakan tadi, biarpun 90 % orang Indonesia itu Islam, nam
un kalau dikatakan syariat Islam
itu harus masuk, sangat sukar...
karena kita nasio...Indonesia itu nasional
...” (Nasionalis)
“...masih jauh dari apa yang dicita
-
citakan, terutama oleh kelompok pro
-
demokrasi...kenyataannya,
masih ada kelompok yang memandang anak
-
ana
k PRD sebagai komunis...
ada kelompok yang
memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan kondisi dan realitas yang ada
...” (Sosial
Demokrat)
Gambaran tersebut mendapat penguatan bukti dari hasil olahan dalam
Homogeneous
Subset
, dimana pada subset 1, ditempati ol
eh Sosial Demokrat, Nasionalis dan Islam
Tradisional. Hal ini menandakan bahwa perbedaan diantara ketiga kelompok ideologi politik
tersebut, tidak benar
-
benar nyata.
Pada subset 2 juga terdapat tiga kelompok, Nasionalis,
Islam Tradisional dan Islam Modern.
Berkumpulnya ketiga kelompok tersebut pada subset 2,
mengindikasikan bahwa perbedaan diantara ketiganya tidak benar
-
benar nyata. Hal ini dapat
digambarkan bahwa kelompok Islam Modern masih dapat menjalin hubungan politik dengan
kelompok Nasionalis dan Isl
am Tradisional, karena kedua kelompok tersebut, masih
memiliki pandangan yang didasarkan pada agama.
“...ideologi itu harus menerima ideologi lain yang dia punya...tapi di Indonesia, ideologi
harus pakai
agama
, kalau tidak pakai agama, ya koyo komunis iku...” (
Islam Tradisional)
“...pendidikan politik secara masyarakat adalah
akhlakul karimah dari para pemimpinnya
...(Islam
Tradisional)
“...kalau negara kita, mau dibuat suatu unsur atau aliran...yo ngak bisa...kenapa...Indonesia itu khan
Binneka Tunggal Ika...lalu bagaimana...
harus NASA, nasionalis
-
agama, harus ada perpaduan
...”
(Nasionalis)
“...
yang baik itu NASA, nasional dan agama
...” (Nasionalis)
Gambaran di atas juga mengindikasikan bahwa, pertentangan atau perbedaan
karakteristik kepribadian otoritarian yang benar
-
benar ny
ata, adalah antara kelompok Sosial
Demokrat dengan Islam Modern. Hal ini dibuktikan pada hasil olahan
Tukey Test
dan
Bonferroni Test
, dimana antara Islam Modern (PBB) dengan Sosial Demokrat (PRD),
diperoleh nilai probabilitas 0,039, sedangkan antara Sosial
Demokrat dengan Islam Modern,
juga diperoleh nilai probabilitas
Bukti Kejahatan Korporasi Asing Berkedok HAM
Posted on Dec 22, 2009 in JURNAL
Oleh: Taufik Hidayat
HAM atau yang sering dikenal dengan Hak Asasi Manusia, saat ini merupakan sebuah gagasan yang sangat populer. Ide ini meluas keseluruh penjuru dunia dan dianggap sebagai dewa penolong bagi umat manusia. Bahkan gagasan HAM sudah menjadi standar baik dan buruk bagi manusia. Segala perbuatan yang melanggar HAM dianggap tercela, sedangkan perbuatan yang sesuai dengan HAM dianggap terpuji.
Berabad-abad lamanya HAM telah mendasari ide perjuangan kemerdekaan di berbagai negara dalam menginspirasi perjuangan rakyat melawan tirani/para diktator. Tetapi, seiring berkembangnya jaman, HAM gagal sebagai spirit perjuangan rakyat terhadap kedzaliman, penindasan, dan kediktatoran. Bahkan lambat laun, secara konsepsi maupun realitanya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan dibalik ide HAM.
Pelaksanaan the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sering menggunakan standar ganda. Korporasi besar (MNCs) lewat aktivitasnya yang merusak lingkungan, menteror manusia, menjarah kekayaan alam sebuah negara, bahkan sering memberangus lembaga-lembaga yang berseberangan. Anehnya, perbuatan tersebut dibiarkan begitu saja atas nama kebebasan. Tetapi, ketika ada seseorang yang mencoba kritis terhadap kebijakan korporasi (MNCs), ia langsung diajukan ke pengadilan dan dikatakan melanggar HAM.
KONTRADIKSI HAM DALAM CENGKRAMAN KORPORASI
Kemunculan ide HAM berawal dari sebuah pandangan filsafat dan tradisi politik dalam konteks liberalisme. Liberalisme yang menjadikan kebebasan sebagai nilai politik yang utama, mempunyai akar sejarah di Eropa Barat pada abad kegelapan (The Dark Age). Nilai kebebasan menemukan puncaknya ketika Eropa mengalami era pencerahan. Kaum cendekiawan dan filosof berteriak lantang memperjuangkan dan mengagung-agungkan kebebasan demi meraih idealisme kebahagian umat manusia.
Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, liberalisme menyakini bahwa individu-individu yang bebas merupakan pondasi masyarakat yang baik. Hal ini merupakan buah pikiran Locke yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1) kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan; (2) kebebasan intelektual, di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran khas empirisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern HAM.
Gagasan tersirat dari ide ini menegaskan bahwa manusia akan menemukan eksistensinya ketika diberi kebebasan dalam hidupnya. Dengan akalnya, manusia akan mampu menggunakan kebebasannya secara optimal dalam berkreasi dan berekspresi. Disamping itu, kebebasan individu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga akan memunculkan balance (keseimbangan). Maka dari itu siapapun boleh hidup dengan mengatasnamakan kebebasan dirinya.
Dalam implementasinya, ide kebebasan HAM banyak kontradiksinya. Individu, masyarakat, dan negara yang mengatasnamakan kebebasan HAM justru menimbulkan banyak kerusakan dan konflik sosial. Semakin HAM diterapkan oleh semua pihak, semakin menimbulkan banyak virus yang menghancurkan kehidupan manusia. Beberapa kontradiksi yang muncul pada kebebasan dalam HAM antara lain;
Pertama, HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain secara sistematis. Dengan adanya kebebasan ekonomi dalam konteks kebebasan kepemilikan yang dilandasi rasa ingin memiliki kekayaan sebesar-besarnya. Manusia akan berpikir bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Prinsipnya cukup sederhana, mengumpulkan kekayaan merupakan hak asasi manusia, maka orang akan berpikir seribu satu cara untuk meraup untung sebesar-besarnya, walaupun cara yang dia tempuh merugikan banyak orang.
Logika inilah yang diterapkan oleh korporasi multinasional (MNCs). Demi melaksanakan hak asasi manusianya dalam meraup keuntungan, para korporasi ini akhirnya tidak mempedulikan berapa nyawa sekalipun yang sudah jadi tumbalnya. Sebut saja korporasi bernama ‘Merck’, perusahaan ini tercatat telah mengakibatkan tercabutnya 55.000 orang meninggal dunia. Adalah Dr. David Graham, pegawai pada Unit Keamanan Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration, FDA) yang kesaksiannya sebelum rapat komite senat mengguncangkan publik AS. Riset Graham mencatat sekitar 88.000 sampai 139.000 orang di AS menderita serangan jantung atau stroke akibat meminum obat radang sendi Vioxx buatan Merck. “Sekitar 40 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 35.000-55.000 orang, meninggal”, kata Graham.
Kedua, Dengan menggunakan HAM, korporasi multinasional tersebut melancarkan isu berkeinginan membantu beberapa negara berkembang. Membantu dalam menyelesaikan problem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini belum optimal. Tetapi keyataannya, hal ini hanya merupakan kedok semata untuk bisa merampok kekayaan alam yang ada pada sebuah negara.
Korporasi multinasional (MNCs) ini akhirnya merampok kekayaan SDA di wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.
Dari hasil perampokan mereka mengatasnamakan HAM, mereka mendapatkan banyak sekali keuntungan finansial. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.
Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.
Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.
Ketiga, Oleh korporasi multinasional, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.
Termasuk dampak yang ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa bahwa hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan tersebut tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Laporan 6 Nopember 2009 dari Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau Sumatera dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.
Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan dataran tinggi hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan PT RAPP, IKPP dan anak anak perusahaannya . Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang.
AYO… KAUM MUSLIMIN !!!
Maka dari ketiga realita tersebut, sebenarnya menggambarkan bahwa HAM telah menjebak umat manusia dalam berbagai macam penindasan. Tentu saja dengan adanya wajah baru penindasan via HAM, dunia akan di isi oleh manusia-manusia yang tidak bermoral. Kondisi duniapun berubah menjadi tatanan sosial yang penuh dengan tipu muslihat dan konflik manusia secara makro seperti saat ini.
Adanya kerusakan HAM yang dideklarasikan PBB dari mulai ide dan implementasinya, maka sudah saatnya HAM disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan umat manusia. Semakin banyak manusia meninggalkan HAM berarti satu langkah maju untuk melawan dan menolak liberalisme berkedok kebebasan. Banyaknya manusia menolak HAM berarti telah membela umat manusia untuk lepas dari berbagai kedzaliman dan penindasan oleh para korporasi. []
Nilai-Nilai HAM dalam Ideologi Negara Indonesia
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan dimanapun tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini. Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat/ warga negara, dalam mengembangkan diri, berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat itulah yang dirumuskan menjadi dasar negara.
Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh setiap negara termasuk Indonesia, harus memiliki landasan yang kuat baik dalam ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak asasi manusia sangat rentan terjadi. Jadi perlu adanya ketegasan dan ketetapan yang betul-betul bisa mengatur Hak Asasi Manusia tersebut. Lalu, bagaimana HAM dipandang dari sudut pandang ideologi dan konstitusi Indonesia, dan bagaimana pelaksanaannya sejauh ini, itulah yang akan dibahas dalam makalah ini. Selengkapnya bisa didownload di nilai-nilai HAM.
HAM Dibatasi Ideologi Setiap Negara
Semarang ( Berita ) : Hak asasi manusia (HAM) bersifat universal, tetapi perwujudannya tetap dibatasi oleh ideologi dan filosofi setiap negara.
Prof. Dr. Suyahmo, M.Si di Semarang, Selasa [03/03] , mengatakan, HAM pada hakikatnya bersifat universal dan berlaku bagi siapa pun, namun ketika masuk dalam konteks suatu negara tertentu, perwujudannya akan disesuaikan dengan ideologi dan filosofi negara tersebut.
“Sebab, setiap negara diberi kebebasan untuk menentukan HAM sesuai dengan ideologi yang dianutnya,” kata dia, usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Oleh karena itu, katanya, penerapan HAM di Indonesia akan berbeda dengan negara-negara lainnya, meskipun HAM secara hakikat bersifat universal.
“Di negara yang menganut ideologi sekuler, setiap warga negara bebas untuk memeluk agama, atau tidak sama sekali, namun itu bukanlah sebagai bentuk perwujudan HAM,” kata Guru Besar ke-54 Unnes tersebut. Namun, katanya, perwujudan HAM di Indonesia tentang permasalahan agama berbeda.
Ia mengatakan, meskipun memeluk agama atau tidak merupakan hak asasi setiap manusia, namun setiap warga negara Indonesia (WNI) diharuskan untuk memeluk suatu agama. “Sebab, negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan sesuai dengan sila pertama Pancasila,” katanya.
Keharusan memeluk agama tersebut tidak melanggar HAM, karena setiap negara diberi kebebasan mewujudkan HAM sesuai ideologi dan filosofinya, kata Suyahmo.
Ia menjelaskan, sebagai perwujudan HAM dalam permasalahan agama, setiap WNI memiliki kebebasan untuk memilih agama yang diyakininya.
“Sehingga, meskipun diharuskan untuk memeluk agama, namun negara memberi kebebasan untuk memilih agama yang akan dipeluk,” katanya.
“Warga negara asing berpaham atheis (tidak bertuhan) di Indonesia pun harus menghormati hak asasi dengan tidak menyebarkan paham atheisme, dan negara Indonesia juga tidak boleh memaksanya untuk beragama, karena negaranya membebaskan dia untuk tidak memeluk agama,” katanya.Disinggung mengenai pembatasan agama yang dipeluk di Indonesia, ia mengatakan, sesungguhnya Pancasila tidak pernah membatasi agama apa saja yang dipeluk warga negara Indonesia. “Kalau dalam pelaksanaannya terjadi pembatasan agama, maka itu pun bertentangan dengan HAM,” ujarnya menegaskan. ( ant
Daftar Pustaka