Lembaga Pemasyarakatan (lapas) dalam di lihat dari sudut HAM



A. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara.

 
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, di mana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.






KASUS KELEMBAGAAN  PERMASYARAKATAN DAN HAM
CONTOH KASUS :
1. PENUMPANG GELAP DALAM AKSI ANARKHISME WARGA BINAAN RUTAN TANJUNG GUSTA MEDAN
2. Fakta2
Pada tanggal telah terjadi aksi perusakkan dan pembakaran terhadap fasilitas Lapas kelas 1 Tanjung Gusta ( TG) ! Aksi pembakaran yg dilakukan oleh warga binaan rutan juga menyebabkan kaburnya 212 orang dari dalam rutan , walaupun akhirnya secara bertahap warga binaan yg berhasil kabur satu persatu berhasil dikembalikan ke balik jeruji besi.
Peristiwa anarkhisme berupa perusakkan bahkan pembakaran rutan maupun lapas seperti yg terjadi di Lapas TG adalah bukan merupakan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Beberapa peristiwa perusakkan dan pembakaran fasilitas Rutan dan Lapas yg pernah terjadi di indonesia adalah.
1. Pembakaran Lapas Super maksimum Security / SMS yang terjadi sebelum pelaksanaan   eksekusi mati terhadap 2 terpidana mati asal nigeria yg didakwa dalam kasus narkotika , akibat provokasi dari kawan kawan
Terpidana khususnya yg berasal dari kawasan afrika maka upaya jaksa eksekutor untuk menjemput terpida menjadi berantakan .
Pada tanggal 24 juni 2008 akhirnya 1 ssk brimob Banyumas dan jajaran polres Cilacap harus berjuang memadamkan api yg hampir membakar habis lapas SMS. Termasuk menenangkan dan memindahkan sebagian warga binaan yg dinilai sebagai provokator ke beberpa lapas disekitar SMS.
2 Pembakaran dan kerusuhan di lapas
Kerobokan , 21 Februari 2012, diawali dengan salah paham antar pribadi sesama warga binaan akhirnya meluas menjadi perkelahian antar kelompok yg lebih besar dengan korban luka luka di kedua pihak.
3 kerusuhan dan saling serang antar kelompok Napi di lapas Salemba pada hari senin tanggal 21 Januari 2013, masalah ejekan antar sesama napi berkembanh jadi saling serang antar blok dan berakhir dengan penusukan salah satu napi dari kelompok yang menjadi lawannya.
3. Analisa
Beberapa catatan sejarah terkait aksi anarkhisme di lapas daan Rutan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kesamaan latar belakang , kondisi dan akibat yag ditimbulkan .
Latar belakang dalam hal ini issue yang memicu terjadinya konflik terbuka dalam bentuk aksi anarkisme seperti pembakaran adalah perlakuan diskriminatif terhadap warga binaan , kelemahan sistem pengawasan dan keterbatasan sarana dan prasarana
Menjadi pemicu munculnya aksi anarkhisme.
Faktor kekerasan secara kolektif dengan identitas primordialisme yang sangat mengakar menjadi in group dan out group sesama napi makin menguatkan akar permasalahan konflik yang berujung kepada aksi anarkhisme .
Aspek jiwa massa para napi yang bergerak secara kolektif dengan adanya kesadaran bahwa kekerasan yang dilakukan asalakan secara massif dan bersama sama nantinya mampu menumpulkan upaya penegakkan hukum.
tidak dipungkiri adanya perlakuan yg kurang sesuai dengan harapan maupun perlakuan yang kurang manusiawi yang berangkat dari segala keterbatasan lapas secara struktural di indonesia , masalah lapas atau rutan overkapasitas pada akhirnya menjadi alasan benar yang dibenar benarkan sebagai sebuah permakluman, dan saling menyalahkan.
Terdapat temuan menarik khususnya terkait dengan pembakaran Rutan TG beberapa hari yang lalu , pasca kejadian tersebut dibeberapa media massa yang mencuat justru. adalah diskusi dalam bentuk statement saling bersahutan terkait implementasi PP 99 tahun 2012.
Implementasi bentuk PP 99 tahun 2012, pada akhirnya memberikan pembatasan terhadap gerak gerik narapidana ( Terorisme , Korupsi , Narkoba dan Illegal Loging ) TKNI.
Harapan untuk mendapatkan remisi sebagai hak para napi yg memenuhi syarat ,walaupun dengan segala cara, maka secara khusus akan dianulir atas pertimbangan hukum tertentu .
Urgensi untuk melihat bagaimana issue PP 99 tahun 2012 ini dalam konteks pembakaran Rutan TG adalah tidak terlepas dari fakta yg menunjukkan bahwa napi TKNI umumnya memiliki jejaring yang sangat kuat dari segi keuangan , politik dan basis massa.
Menjadi fenomena umum yang dapat menjelaskan bagaimana jejaring pendukung yg berada di luar lapas telah menggunakan kekuatan Uang , politik dan basis massa untuk melakukan pengkondisian kedalam lapas sendiri maupun di luar lapas.
Sebagai sebuah rujukan adalah bagaimana perilaku kehidupan dalam tahanan yang menurut TB Nitibaskara dalam buku “ketika kejahatan berdaulat ” adalah suatu bentuk kehidupan yang keras, adanya penguasaan napi senior intimidasi terhadap napi yang lemah, seolah olah lenyap dan terbantahkan ditangan dingin BS semasa berada dalam masa tahanan di Nusa Kambangan dengan “membeli” perlakuan hormat dan segan lewat program padat karya produksi batu akik, dan tani ternak bagi sesama napi lainnya di NK
Pengaruh uang , politik dan basis massa secara terbuka maupun tersamar muncul dalam beberapa fakta antara lain :
bagaimana jaringan narkotika mampu menjebak dan memperdaya seorang oknum kalapas batu di NK untuk mengamini transaksi narkoba yang dilakukan dari dalam jeruji besi.
fakta lainnya adalah bagaimana pengaruh radikal jaringan terorisme Indonesia dengan mudah menular kepada sesama napi bahkan kepada petugas lapas sehingga dengan sukarela menyelundupkan laptop kepada Imam Samudera LP kerobokan Bali.
Secara tersamar atas nama tugas mewakili kepentingan masyarakat , pemimpin suatu basis massa dengan jumawa melakukan sidak atau kunjungan khusus kedalam sel, padahal sebagaimana diketahui beberapa napi TKNI khususnya napi korupsi adalah merupakan kerabat, kolega, rekan dan handai taulan dekat dari para pembuat statemen yg menetang penerapan pp 99 tahun 2012.
Sudah jamak beberapa pejabat karir negara maupun berlatar belakang partai politik, saat ini banyak yang terjerat kasus korupsi yang dilakukan secara berjamaah , sistematis dan tanpa malu-malu.
Dukungan keuangan yang sedemikian kuat , dukungan massa yang dikemas dalam statement berbau politis cukup menjadi munisi tambahan yang tinggal menunggu waktu untuk diledakkan .
Kritisasi perlu dilakukan terhadap statement yang mengatakan bahwa pembakaran lapas TG sebagai akibat diskriminasi dan ketidak pastian atas implementasi PP 99 tahun 2012 adalah menimbulkan pertanyaan sekaligus rasa ingin tahu mengapa hanya di TG issue tersebut muncul dan mengemuka.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa lapas dan rutan lainnya di Indonesia dikenal sebagai rumah pembinaan bagi napi TNKI, nama LP sukamiskin yang dikhusukan sebagai LP narkokita dan Lapas lain dengan predikat khusus bagi napi TKNI sementara ini masih adem ayem .
Keberadaan napi TNKI yg berada di Rutan TG hanyalah merupakan bagian kecil semata, dari sejumlah tahanan yang melarikan diri pasca kerusuhan menunjukkan seluruh napi teroris ( 13 orang ) memilih langsung kabur meninggalkan lapas sedangkan sisanya adalah para Napi yang terkait TP umum saja.
Issue diskriminasi yang dipertentangkan dalam implementasi pp 99 tahun 2012 perlu menjadi perhatian,dengan atas nama kepentingan umum PP tersebut akan tetap memasung hak napi TKNI untuk dapat menikmati remisi dan kebebasan lebih cepat dari seharusnya, dimana hal ini akan menjadi mimpi buruk bagi para napi TKNI
Masalah keterbatasan air bersih dan listrik serta masalah overkapasitas yang mendera para warga binaan dalam lapas selama ini adalah merupakan issue utama yang pada akhirnya dikesampingkan dengan ditunggani oleh kepentingan penumpang gelap yang memunculkan kritisasi implementasi PP 99 thn 2012 .
Kekuatan uang , politik dan basis massa dapat secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pemikiran masyarakat lewat hingar bingar silang pendapat beberapa tokoh nasional dii media massa.
4. Prediksi
Bahwa kekuatan keuangan , politik dan basis massa yang umumnya dimiliki oleh napi TKNI diyakini akan terus digalang untuk memunculkan wacana menolak implementasi PP 99 tahun 2012, hal ini adalah merupakan konsekuensi logis perlawanan atas hilangnya secara tiba-tiba dari harapan untuk memperoleh remisi dan kebebasan lebih cepat dari napi TKNI.
Bahwa anarkhisme berupa pembakaran dan lainnya tidak akan berhenti sampai kasus TG saja, selama kondisi pra konflik seperti masalah overkapasitas dan masalah hak -hak manusiawi para warga binaan belum diperbaiki.
Isue diskriminasi dari implentasi PP 99 tahun 2012 akan terus dimunculkan ke media dan masyarakat umum di luar lapas oleh jejaring napi TKNI, sedangkan issue perlakuan yang kurang manusiawi akan ditumbuh kembangkan dikalangan sesama warga binaan di dalam lapas oleh napi TKNI itu sendiri maupun sesama napi yang direkrut dengan motivasi tertentu.
5. Rekomendasi
Perlu diadakan upaya penyelidikan secara mendalam dan menyeluruh untuk mengungkap bagaimana jejari. Napi TKNI memanfaatkan sumda keuangan , politik dan basis massa yang dimiliki untuk mempengaruhi publik agar menolak pelaksanaan pp 99 tahun 2012.
1. Langkah taktis adalah dengan melakukan penyelidikan secara terbuka atas pembakaran TG dengan mengungkap pelaku , provokator dan motif yang mendorong aksi anarkhisme di dalam lapas.
Memberikan pembatasan secara fisik dan pemantauan terhadap akses komunikasi para napi TKNI terhadap keluarga, pendukung dan basis massa yang dimiliki.
2. Upaya memiskinkan dengan membekukan semua asset yg dimiliki napi TKNI akan           memperkuat kemampuan negara untuk menanggulangi tindak pidana TKNI di Indonesia.
Rekomendasi kedua terhadap prediksi bahwa peristiwa serupa akan terjadi di lokasi rutan dan lapas lainnya di Indonesia adalah dengan :
1. Memasukkan masalah pengamanan lapas dan Rutan sebagai bagian dalam manajemen sistem pengamanan kota yang dimiliki polri, maupun dalam manajemen penanggulangan bencana daerah yang dimiliki pemda.
2. Membangun kerjasama antara kepolisian , Tni , Pemda dan Lapas untuk membuat MOU dan SOP penangulangan keadaan darurat dalam pengamanan Lapas termasuk penyebaran database Tahanan TKNI, informasi desain bangunan dan daya tampung lapas yang berada di wilayah masing-masing.
Rekomendasi terkait adanya issue diskriminasi pelaksanaan pembatasan remisi bagi napi TKNI adalah dengan memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas terhadap urgensi pembatasan remisi sebagai upaya nyata pemerintah dalam efektifitas perlindungan hajat hidup orang banyak.
Pelaksanaan rekomendasi untuk memberikan pemahaman atas urgensi penerapan PP 99 tahun 2012 adalah dapat dilakukan dengan :
1. Pemerintah mengambil inisiatif melakukan sosialisasi lewat debat publik untuk menunjukkan bahwa tindak pidana TKNI merupakan musuh bersama yang harus dilawan dengan tidak bertoleransi memberikan keringanan berupa remisi ketika pemberian keringan seperti remisi seperti yang sudah pernah diberikan ternyata tidak sejalan dengan semangat untuk melindungi kepentingan hajat hidup masyarakat.
2. Mengagas peran serta aktif masyarakat dan LSM dengan mengedepankan asosiasi korban kejahatan tindak pidana TKNI di Indonesia, untuk menangkal penggunaan issue diskriminasi PP 99 tahun 2013 sebagai penumpang gelap dalam urusan memasyarakatkan kembali manusia yang tersesat di lapas selama ini.





TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DAN RUMAH TAHANAN NEGARA SESUAI DENGAN PERATURAN
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.  bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di lembaga pemasyarakatan danrumah tahanan Negara dan agar terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap narapidana dantahanan beserta mekanisme penjatuhan hukuman disiplin;
b. bahwa kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara menjadi salah satu indikator dalam menentukan kriteria berkelakuan baik terhadap narapidana dan tahanan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara;

Mengingat: 
1.  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614);
2.  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3.  Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858);
4.  Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3846) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5359);
5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141);
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676);













Menetapkan:
  PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
2. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Petugas Pemasyarakatan adalah Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di bidang pemasyarakatan.
4. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas.
5. Tahanan adalah seorang tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam Rutan.
6. Tindakan Disiplin adalah tindakan pengamanan terhadap Narapidana atau Tahanan berupa penempatan sementara dalam kamar terasing (sel pengasingan).
7. Hukuman Disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada Narapidana atau Tahanan sebagai akibat melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib Lapas atau Rutan.
8. Steril Area adalah tempat atau wilayah di dalam Lapas atau Rutan yang dinyatakan terlarang untuk dimasuki dan/atau dijadikan tempat beraktifitas oleh Narapidana dan Tahanan tanpa izin yang sah.
9. Tim Pengamat Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat TPP adalah adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Narapidana.
10. Tim Pemeriksa Hukuman Displin yang selanjutnya disebut Tim Pemeriksa adalahtim yang dibentuk oleh Kepala Lapas atau Kepala Rutan untuk melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan terhadap Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib.

Pasal 2
(1)   Setiap Narapidana dan Tahanan wajib mematuhi tata tertib Lapas atau Rutan.
(2)   Tata tertib Lapas atau Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban dan larangan bagi Narapidana dan Tahanan. 

HUBUNGAN SISTEM PEMASYARAKATAN DENGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM
LAINNYA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU

A. Pelaksanaan Misi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
1. Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
Cara pandang kedepan terkait dengan pembaruan Pemasyarakatan, idealnya ditempatkan dalam
kerangka bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu, dimana pada konteks tersebut akan
mengindikasikan bahwa permasalahan-permasalahan pada sub sistem pemasyarakatan harus
direspon pula oleh sub sistem peradilan pidana yang lain. Bekerjanya institusi-institusi penegak
hukum dalam kerangka sistem yang terpadu, didasari oleh konsepsi teori sistem yang menjelaskan bahwa sistem merupakan suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi.Pendekatan sistem mengandung implikasi adanya suatu proses interaksi. Terkait dengan kesatuan interaksi tersebut, akan menempatkan ruang relasi masing-masing elemen dalam satu satu kesatuan hubungan yang satu sama lainnya saling bergantung (interdependent). Sebagai satu kesatuan maka suatu sistem tidak dapat dikenali jika ia dipisahkan atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan kesatuan tersebut. Jelas dalam konteks sistem peradilan pidana, Pemasyarakatan sebagai intitusi
yang terintegrasi dengan sub sistem lainnya – yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dan Advokat -, memiliki bobot dan peran yang sama dalam bekerjanya sistem, sesuai dengan proporsi fungsi dan tugasnya sebagaimana telah diatur melalui peraturan perundang-undangan. Konteks
tersebut menegaskan bahwa sistem peradilan pidana terpadu merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, berikut sikap tindak penegak hukum dan
masyarakat. Pada titik inilah misi pemasyarakatan penting untuk ditempatkan dalam jaring relasi
pada sistem peradilan pidana terpadu, sebagaimana dirumuskan melalui Rencana Strategis
Pembangunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2004 – 2009, yakni ; melaksanakan
perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan
benda sitaan negara dalam rangka penegakan hukum, pencegahan, dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Dalam konteks interaksi tersebut, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan yang
menggunakan hukum pidana materiil dan formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan
makna terpadu dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada sinkronisasi dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga penegak hukum, substansi dalam hukum positif (baik secara vertikal maupun horizontal), dan aspek kulturalnya dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari berjalannya sistem peradilan pidana.

Nilai-nilai dasar yang menjadi prinsip dari pendekatan sistem peradilan pidana yakni :

a. menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
   (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, serta Advokat);
b. menekankan adanya pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh seluruh
   komponen yang terlibat dalam sistem peradilan pidana;
c. menempatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama daripada efisiensi
   penyelesaian perkara;
d. mengoptimalkan penggunaan hukum sebagai instrumen dalam rangka untuk
  memantapkan administrasi peradilan pidana.