Kebudayaan di lihat dari sudut padang HAM





PELANGGARAN HAM DALAM KONFLIK AGRARIA
Oleh : Syahrul Sidin *
Konflik agraria dibanyak tempat berimplikasi pada persoalan sosio-yuridis yang berujung pada pelanggaran HAM. Bentrok di Mesuji beberapa waktu lalu yang melahirkan korban lagi-lagi memberikan gambaran terang dampak dari konflik agraria berkepanjangan. Perlahan tapi pasti konflik-konflik agraria menjadi “bom waktu” yang siap meledak setiap saat. Kasus tewasnya Jailani , warga Mesuji menambah panjang potret pelanggaran HAM dalam konflik-konflik agraria.

 
Mengapa konflik agraria akan menjadi bom waktu? Hal yang harus kita pahami adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan petani adalah akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan. Rakyat khususnya petani membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lain pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi dalam skala besar. Monopoli atas tanah inilah yang menjadi bibit lahirnya konflik-konflik agraria.
Di banyak tempat, ekspansi perkebunan- perkebunan besar terutama sawit memerlukan lahan dalam jumlah yang sangat besar dan pengadaannya seringkali “merampas” tanah-tanah rakyat. Data Sawit Watch menunjukan eskalasi konflik agraria di wilayah perkebunan sawit yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit, meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 240 kasus. Pada proses selanjutnya hal yang membuat situasi bertambah rumit dalam konflik agraria yang melibatkan perusahaan ataupun perkebunan swasta dan masyarakat adalah perilaku perusahaan yang seringkali “menyuapi moncong senjata.” Dalam kasus di Mesuji diberitakan polisi terkesan menjadi “centeng perusahaan” meskipun anggapan ini segera disanggah oleh pihak kepolisian.
Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar beberapa waktu lalu dengan lugas menyatakan bahwa “Polisi jangan jadi centeng, Polisi adalah polisi negara, bukan polisi liberal atau kolonial karenanya negaralah yang harus membiayai.” Sebagai abdi negara, aparat keamanan sebenarnya dilarang menerima atau meminta dana tambahan dari siapapun selain dari negara. Penerimaan dana dari pihak ketiga terlebih dalam situasi konflik tentunya akan mengganggu independensi para penegak hukum. Kondisi inilah mendorong dugaan “kolaborasi” aparat keamanan pada pihak tertentu dalam konflik agraria.
Kerja sama yang rapi antara pemburu rente, perumus kebijakan, ditambah penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan semakin menyulitkan proses penyelesaian konflik agraria. Akibatnya acap kali masyarakat dikejutkan oleh tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, dan setiap kali terjadi skandal selalu berupaya keras ditutupi dengan mengunakan istilah “oknum” atau berdalih “it is illegal but not criminal.” Kasus penerimaan dana Freeport dari Polri menunjukkan dengan terang -benderang hal tersebut. Meski Polri berkelit bahwa hal tersebut diatur dalam peraturan tapi secara etik dan hati nuraninya sebagai abdi negara tentunya mereka memahami hal tersebut tentunya tidak layak.
Budaya Hukum Kapitalistik
Fenomena kolaborasi aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan besar sesungguhnya adalah implikasi dari penerapan budaya hukum kapitalistik. Budaya hukum kapitalistik yang awalnya muncul di Amerika Serikat telah mendorong cara berhukum yang dicampuradukkan dengan kepentingan bisnis. Marc Galanter menyatakan bahwa pencampuradukan antara bisnis dan hukum tersebut cenderung mementingkan kepentingan orang ”berduit.” Atas nama investasi, itulah nabi-nabinya. Akibatnya muncul slogan “the haves always come out a head.” Akibatnya wajar jika rakyat berpandangan bahwa hukum memang seperti permainan yang sarat dengan kepentingan dan menyusahkan. Semakin kompleksnya persoalan bisnis mengakibatkan beban pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator semakin meningkat. Terlebih dewasa ini semakin banyak produk perundang-undangan di bidang ekonomi diproduksi atas pesanan para pemilik modal.
Konsekuensi dari intervensi ekonomi dalam pembuatan hukum adalah lahirnya budaya hukum kapitalistik yang berimplikasi pada melemahnya peran negara sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Penerapan budaya hukum semacam ini juga membuka peluang berbagai pelanggaran HAM. Konteks ini -budaya hukum kapitalistik- yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang tampak congkak dan kejam di mata orang miskin.
Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus tentunya akan melanjutkan berbagai pelanggaran HAM dapat bermuara pada ketidakpercayaan terhadap hukum dan frustrasi sosial. Adagium “Hodie mihi, cras tibi” menjelaskan bahwa ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
Saatnya kita merefleksikan kembali cara berhukum kita, merefleksikan cita-cita negara kita dibentuk dan cita hukum yang sesungguhnya. Institusi-institusi penegak hukum juga perlu berkaca diri dan memiliki keikhlasan untuk mengakui bahwa habitus mereka juga dapat membuat kekeliruan. Ke depan perlu kirannya untuk terus mewujudkan perlindungan yang sama bagi seluruh warga negara dengan mengormati dan melindungi HAM.
* Penulis adalah Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau .prakarsa-rakyat.org).
Prospek Politik Penegakan HAM
Oleh Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta
Visi dan misi para kandidat presiden dan wakil presiden tentang (kehendak) politik penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, baik yang tertulis dalam dokumen resmi para kandidat maupun yang disampaikannya dalam debat-debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak cukup meyakinkan publik dan menunjukkan para kandidat memiliki komitmen kuat pada HAM.
Penilaian serupa juga banyak disajikan oleh studi-studi yang dilakukan organisasi masyarakat sipil maupun ekspresi kekecewaan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.Keterbatasan visi kandidat memunculkan apatisme kolektif para korban,keluarga korban,dan publik terhadap prospek penegakan HAM pada kepemimpinan baru mendatang.
Keterbatasan visi HAM dan minimnya kehendak politik para kandidat sesungguhnya tidak mengejutkan mengingat hampir semua kandidat, khususnya yang berasal dari kalangan militer, adalah subjek-subjek yang selama ini justru menjadi pihak yang belum mampu menunjukkan dugaan ketidakterlibatannya dalam berbagai kejahatan kemanusiaan di Indonesia. Belum ada proses hukum apa pun, apalagi peradilan yang fair terhadap subjek-subjek tertuduh. Beberapa dokumen penyelidikan Komnas HAM secara eksplisit telah menyebut beberapa nama yang diduga kuat terlibat dalam peristiwa kejahatan kemanusiaan.
Namun hingga kini semua dokumen itu tetap menjadi dokumen hasil kerja semata dan belum beranjak menjadi dokumen hukum dalam sebuah proses peradilan. Di tengah kontestasi para kandidat yang meragukan, teramat wajar jika publik berupaya membuka collective memory yang sebagian besar sudah hampir lupa dengan seluruh peristiwa memilukan di masa lalu.Pilihan nrimo atas kekhilafan masa lalu adalah sikap sebagian besar elite dan masyarakat.
Meski demikian, sebagai sebuah kejahatan, pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah objek yang bisa dikuantifikasi dengan setuju atau tidak setuju atas upaya penyelesaiannya. Fakta-fakta kejahatan adalah objek hukum yang menuntut penyelesaian secara tuntas. Hal ini merupakan mandat politik dan mandat konstitusional yang harus dijalankan oleh siapa pun pemimpin bangsa ini.
Kinerja 2004–2009
Untuk memperoleh gambaran prospek penegakan HAM,penting kiranya dikemukakan hasil kajian SETARA Institute terhadap Rancangan Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2004–2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) sehingga diperoleh ukuran-ukuran yang objektif dan berdasar.
Atas landasan dua dokumen perencanaan pemerintah,kinerja penegakan HAM pemerintahan 2004–2009 berada pada derajat minimum. Dari 103 program utama hanya 56 (54,6%) program yang terlaksana dan 47 (45,4%) di antaranya tidak terlaksana. Capaian kinerja ini jelas tidak membanggakan, tapi juga tidak memupuk apatisme berlebihan. Dengan kata lain,prospek penegakan HAM pada kepemimpinan mendatang cukup memiliki modal kuat untuk terus memastikan penegakan HAM dan mainstreaming human rights dalam berbagai produk legislasi dan kebijakan yang akan dikeluarkannya kelak.
Sejumlah 56 program yang terlaksana mayoritas merupakan program-program internal departemen. Sebagian lain merupakan program-program penerapan standar norma HAM bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) meski dengan kualitas minimum.Kebijakan tentang Jamkesmas, alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN, sekolah gratis, akses modal bagi dunia usaha melalui Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatMandiri( PNPM),BantuanLangsung Tunai (BLT), pembangunan perumahan rakyat, dll.merupakan capaian kinerja pemerintahan di bidang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).
Dalam menjalankan program RANHAM pemerintah mengambil kebijakan politik menghindar dari program-program yang mengundang resistensi dan kisruh politik baru dari pihak-pihak yang selama ini diduga melakukan pelanggaran HAM.Program penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti Kasus Trisakti, Semanggi I & II, Kasus Wamena-Wasior, Kasus Timor-Timur, serta penghilangan orang secara paksa sama sekali tidak mendapat perhatian dari pelaksanaan RANHAM.
Janji RANHAM untuk membangun mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme rekonsiliasi juga belum ditindaklanjuti pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.Pascaputusan itu, pemerintah belum menunjukkan ikhtiar lanjutan untuk membuat mekanisme baru, padahal dalam RPJMN pemerintah secara eksplisit mengakui bahwa impunitas adalah salah satu persoalan utama di bidang hak asasi manusia yang menuntut penyelesaian.
Langkah ke depan
Dengan pilihan orientasi penegakan HAM sebagaimana hasil evaluasi di atas plus pilihan jalan politik yang lebih aman yang dilakukan para kandidat, di mana semuanya mencari titik keseimbangan penegakan HAM pada sektor lain, prospek penegakan HAM pada kepemimpinan baru 2009–2014 juga tidak akan jauh berbeda dengan periode sebelumnya.
Penekanan penegakan HAM pada sektor yang tidak mengundang resistensi (elite) dipastikan akan menjadi arah politik penegakan HAM lima tahun mendatang. Itu berarti kewajiban konstitusional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tetap akan menghadapi kendala serius. Pemenuhan hak ekosob (hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan,penghapusan kemiskinan, jaminan pluralitas budaya, dan lain-lain) dipastikan akan menjadi agenda penegakan HAM kepemimpinan baru.
Namun bagaimana kebenaran dan keadilan masa lalu bisa diungkap dan ditunaikan, hingga kini tidak terlihat komitmen para capres dan cawapres yang bertarung. Satu-satunya ikhtiar yang mungkin bisa diharapkan ihwal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah komitmen kandidat presiden yang mengemukakan pentingnya mencari terobosan baru melalui jalan mengungkap kebenaran dan keadilan di luar proses peradilan.
Meski masih terbatas dan tidak sepenuhnya berparadigma HAM,gagasan-gagasan pembangunan sosial ekonomi yang diusung oleh para kandidat menumbuhkan optimisme baru pada pemenuhan hak ekosob pada kepemimpinan mendatang. Prospek politik penegakan HAM pada kepemimpinan baru yang tidak imbang dan pesimisme publik pada komitmen mereka bukan alasan pembenar bagi publik untuk abai dan tidak bergerak mendorong pemajuan HAM.
Justru pada musim suksesi kepemimpinan semacam pemilu inilah ruang-ruang untuk memasukkan agenda-agenda HAM menjadi terbuka dan sangat mungkin akan diakomodasi, termasuk dengan turut serta memastikan RANHAM 2010–2014 harus disusun secara komprehensif dengan berpijak pada rumpun hak dan kebebasan yang harus dijamin oleh negara.
RANHAM juga harus didorong mampu mengintegrasikan diri pada program-program pembangunan (RPJMN 2010–2014) yang sedang dirancang untuk periode lima tahun ke depan. Dengan demikian, mandat legal dan konstitusional pemenuhan HAM untuk segala bidang,besar kemungkinan akan mengalami kemajuan dari tahun sebelumnya.(*)
Penilaian serupa juga banyak disajikan oleh studi-studi yang dilakukan organisasi masyarakat sipil maupun ekspresi kekecewaan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.Keterbatasan visi kandidat memunculkan apatisme kolektif para korban,keluarga korban,dan publik terhadap prospek penegakan HAM pada kepemimpinan baru mendatang.
Keterbatasan visi HAM dan minimnya kehendak politik para kandidat sesungguhnya tidak mengejutkan mengingat hampir semua kandidat, khususnya yang berasal dari kalangan militer, adalah subjek-subjek yang selama ini justru menjadi pihak yang belum mampu menunjukkan dugaan ketidakterlibatannya dalam berbagai kejahatan kemanusiaan di Indonesia. Belum ada proses hukum apa pun, apalagi peradilan yang fair terhadap subjek-subjek tertuduh. Beberapa dokumen penyelidikan Komnas HAM secara eksplisit telah menyebut beberapa nama yang diduga kuat terlibat dalam peristiwa kejahatan kemanusiaan.
Namun hingga kini semua dokumen itu tetap menjadi dokumen hasil kerja semata dan belum beranjak menjadi dokumen hukum dalam sebuah proses peradilan. Di tengah kontestasi para kandidat yang meragukan, teramat wajar jika publik berupaya membuka collective memory yang sebagian besar sudah hampir lupa dengan seluruh peristiwa memilukan di masa lalu.Pilihan nrimo atas kekhilafan masa lalu adalah sikap sebagian besar elite dan masyarakat.
Meski demikian, sebagai sebuah kejahatan, pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah objek yang bisa dikuantifikasi dengan setuju atau tidak setuju atas upaya penyelesaiannya. Fakta-fakta kejahatan adalah objek hukum yang menuntut penyelesaian secara tuntas. Hal ini merupakan mandat politik dan mandat konstitusional yang harus dijalankan oleh siapa pun pemimpin bangsa ini.
Kinerja 2004–2009
Untuk memperoleh gambaran prospek penegakan HAM,penting kiranya dikemukakan hasil kajian SETARA Institute terhadap Rancangan Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2004–2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) sehingga diperoleh ukuran-ukuran yang objektif dan berdasar.
Atas landasan dua dokumen perencanaan pemerintah,kinerja penegakan HAM pemerintahan 2004–2009 berada pada derajat minimum. Dari 103 program utama hanya 56 (54,6%) program yang terlaksana dan 47 (45,4%) di antaranya tidak terlaksana. Capaian kinerja ini jelas tidak membanggakan, tapi juga tidak memupuk apatisme berlebihan. Dengan kata lain,prospek penegakan HAM pada kepemimpinan mendatang cukup memiliki modal kuat untuk terus memastikan penegakan HAM dan mainstreaming human rights dalam berbagai produk legislasi dan kebijakan yang akan dikeluarkannya kelak.
Sejumlah 56 program yang terlaksana mayoritas merupakan program-program internal departemen. Sebagian lain merupakan program-program penerapan standar norma HAM bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) meski dengan kualitas minimum.Kebijakan tentang Jamkesmas, alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN, sekolah gratis, akses modal bagi dunia usaha melalui Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatMandiri( PNPM),BantuanLangsung Tunai (BLT), pembangunan perumahan rakyat, dll.merupakan capaian kinerja pemerintahan di bidang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).
Dalam menjalankan program RANHAM pemerintah mengambil kebijakan politik menghindar dari program-program yang mengundang resistensi dan kisruh politik baru dari pihak-pihak yang selama ini diduga melakukan pelanggaran HAM.Program penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti Kasus Trisakti, Semanggi I & II, Kasus Wamena-Wasior, Kasus Timor-Timur, serta penghilangan orang secara paksa sama sekali tidak mendapat perhatian dari pelaksanaan RANHAM.
Janji RANHAM untuk membangun mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme rekonsiliasi juga belum ditindaklanjuti pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.Pascaputusan itu, pemerintah belum menunjukkan ikhtiar lanjutan untuk membuat mekanisme baru, padahal dalam RPJMN pemerintah secara eksplisit mengakui bahwa impunitas adalah salah satu persoalan utama di bidang hak asasi manusia yang menuntut penyelesaian.
Langkah ke depan
Dengan pilihan orientasi penegakan HAM sebagaimana hasil evaluasi di atas plus pilihan jalan politik yang lebih aman yang dilakukan para kandidat, di mana semuanya mencari titik keseimbangan penegakan HAM pada sektor lain, prospek penegakan HAM pada kepemimpinan baru 2009–2014 juga tidak akan jauh berbeda dengan periode sebelumnya.
Penekanan penegakan HAM pada sektor yang tidak mengundang resistensi (elite) dipastikan akan menjadi arah politik penegakan HAM lima tahun mendatang. Itu berarti kewajiban konstitusional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tetap akan menghadapi kendala serius. Pemenuhan hak ekosob (hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan,penghapusan kemiskinan, jaminan pluralitas budaya, dan lain-lain) dipastikan akan menjadi agenda penegakan HAM kepemimpinan baru.
Namun bagaimana kebenaran dan keadilan masa lalu bisa diungkap dan ditunaikan, hingga kini tidak terlihat komitmen para capres dan cawapres yang bertarung. Satu-satunya ikhtiar yang mungkin bisa diharapkan ihwal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah komitmen kandidat presiden yang mengemukakan pentingnya mencari terobosan baru melalui jalan mengungkap kebenaran dan keadilan di luar proses peradilan.
Meski masih terbatas dan tidak sepenuhnya berparadigma HAM,gagasan-gagasan pembangunan sosial ekonomi yang diusung oleh para kandidat menumbuhkan optimisme baru pada pemenuhan hak ekosob pada kepemimpinan mendatang. Prospek politik penegakan HAM pada kepemimpinan baru yang tidak imbang dan pesimisme publik pada komitmen mereka bukan alasan pembenar bagi publik untuk abai dan tidak bergerak mendorong pemajuan HAM.
Justru pada musim suksesi kepemimpinan semacam pemilu inilah ruang-ruang untuk memasukkan agenda-agenda HAM menjadi terbuka dan sangat mungkin akan diakomodasi, termasuk dengan turut serta memastikan RANHAM 2010–2014 harus disusun secara komprehensif dengan berpijak pada rumpun hak dan kebebasan yang harus dijamin oleh negara.
RANHAM juga harus didorong mampu mengintegrasikan diri pada program-program pembangunan (RPJMN 2010–2014) yang sedang dirancang untuk periode lima tahun ke depan. Dengan demikian, mandat legal dan konstitusional pemenuhan HAM untuk segala bidang,besar kemungkinan akan mengalami kemajuan dari tahun sebelumnya.




















1
Menghadirkan Ideologi HAM kesejahteraan pasca bencana alam : Studi tentang
penanggulangan bencana pada Internally Displaced People (IDP) masa tanggap darurat pada
bencana letusan Merapi 2010

Abctract

Internally Displaced People (IDP) are the main actors of the most vulnerable in the aftermath of the
fulfillment of basic rights of life. They became the most vulnerable in a public toilet facilities, rescue
livelihood, clean water and sanitation needs in post-disaster conditions. Presenting the framework of
disaster management in the paradigm of welfare into something crucial to be presented. Especially in
the perspective of human rights and implementation of legal mechanisms that have been formulated by
the government. It must be admitted that the Government was still many shortcomings in fulfilling these
basic rights, so the role of civil society as well as community-based NGOs as necessary other forces
capable of responding to the provision of basic needs of the disaster for the nation. Hopefully,
multistakeholders synergies this and will bring a new strategy in disaster management paradigm that is
more prosperous society and uphold the values of humanity's dignity.
Keyword : Internally Displaced People (IDP), disaster management,ecosoc rights
Pengantar
Sebagai sebuah negara yang mendasarkan pada ideologi kesejahteraan yang termaktub
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, semestinya negeri ini tidak boleh abai kepada
hak warga negara dalam mendapatkan perlindungan atas apapun yang terjadi pada dirinya.
Skala pada pemenuhan hak ini menjadi mekanisme yang paling dasar bagi hubungan antara
negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan warga negara yang selanjutnya disebut
sebagai masyarakat. Berbicara mengenai Hak Asasi manusia (HAM), saat ini sudah banyak
dipenuhi aturan dalam tata yuridis normatif di negeri ini, ini ditandai dengan lahirnya UU
nomor 39 tentang HAM, Amandemen Pasal 28 UUD 1945 Huruf A sampai J (Bab XA), UU nomor
11 tahun 2005 tentang ratifikasi konvensi hak sipil dan politik serta UU nomor 12 tahun 2005
tentang ratifikasi terhadap kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekososbud). Namun dalam
level pragmatis, persoalan pelanggaran HAM masih difokuskan pada kasus-kasus yang sifatnya
terkait dengan penegakan hak sipil dan politik (Pratiwi et all, 2009, h.32-33) sedangkan untuk
kasus pemenuhan HAM pada Ekosob masih diparamaterkan pada sejauh mana pemerintah
mampu untuk mengatasinya, termasuk pemakluman bahwa negeri ini masih dikategorikan oleh
perserikatan negara-negara G-20 sebagai negara yang berkembang (developing), sehingga


konsepsi melawan Hantu HAM bagi penegak hukum , sebuah pesan dan penekanan Prof. Koesparmono Irsan.


1.Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang paling akhir, jaminan terhadap Hak Asasi Manusia kembali ditegaskan secara eksplisit dengan cakupan yang lebih luas , sebutka dimana letaknya.
Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang paling akhir , jaminan terhadapa HAM kembali ditegaskan secara eksplisit dengan cakupan yang lebih luas dengan adanya empat kali amandemen UUD 1945, perubahan pertama dilakukan pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000 , perubahan ketiga pada tahun 2001 dan perubahan keempat pada tahun 2002, dalam perubahan kedua tahun 2000, jaminan terhadap HAM dicantumkan secara khusus dalam babX tentang HAM kemudian ditambah pula pada sejumlah bab lainnya, yaitu bab XIII tentang pendidikan dan kebudayaan, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan kesejahteraan Sosial.
2. perkembangan persepsi masyarakat terhadap HAM yang makin maju telah mewarnai perkembangan hukum kedokteran, coba jelaskan.
Dimana hukum kedokteran semula bertumpu pada hak individual pada abad ke dua puluh, kini sudah berkembang dan condong memacu perkembangannya kearah titik berat pada kewajiban asasinya ( Human Obligation ) yang merupakan perwujudan dari dimensi sosialnya, hal ini nampak jelas kalau diteliti progaram –program WHO bagi Negara dunia ketiga.
3. Apa pendapat August Comte dan Emile Durkheim sebagai suhu aliran positivisme sosiologis tentang HAM yang kemudian rincian yuridisnya dirumuskan oleh Leon Duguit ?
Adalah dengan menjadikan HAM sebagai fungsi sosial dari pada tatahukum, fungsi mana merupakan akibat dari pembagian kerja dan kerjasama yang berkembang dalam masyarakat.
4. Secara terminologis dan sosiologis, terdapat perbedaan antara konsep HAM dalam Islam dan konsep HAM barat, coba jelaskan.
HAM dalam dalam konsepsi Isalam , dipahami sebagai aktivitas manusia sebagai hamba Allah dan Kahlifah Allah di muka bumi, Dengan demikian dalam Islam tanggung jawab apapun yang dipegang oleh manusia terhadap sesamanya telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai hak, sedangkan dalam pemahaman Barat , HAM ditentukan oleh sejumlah aturan –aturan publik demi terciptanya perdamaian dan kedamaian semesta alam, sebagaimana suatu negara secara bersama sama dengan rakyat harus tunduk kepada hukum, yang berarti negara melindunghi hak-hak Individu.
5. George Jellineck sebagai pelopor aliran aliran positivisme yuridis memandang HAM sebagai hak apa?
Bahwa HAM merupakan hak refleksi, artinya hak-hak itu diperoleh dari negara dan daya berlakunyapun sepenuhnya tergantung kepada negara dan tata hukum positif.
6. Donnely memandang kebudayaan sebagai sumber keabsahan penting dari suatu kebenaran moral atau peraturan moral, coba jelaskan pendapatnya itu?
Menurutnya kebudayaan berfungsi sebagai alat untuk menyaring ekses Universalisme yang mungkin terjadi, namun demikian ini tidak berarti bahwa hak inti, yaitu hak yang berkaitan dengan integritas pribadi manusia, boleh dilanggar, termasuk dalam hak inti adalah Hak hidup, hak untuk tidak dianiaya, atau hak untuk tidak diperlakukan atau dihukum secara keji dan tidak manusiawi, atau secara sengaja menurunkan martabat manusia dan hak atas kebebasan pendapat. Sebagian besar penganut pandangan relativisme budaya sependapat bahwa hak hak ini mesti dihormati.
7. Pembentukan Undang Undang No. 23/2002 tentang perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan apa ?
Didasarkan kepada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian darin kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanggung jawaban orang tua , keluarga masyarakat pemerintah dan negara merupakan rankaian yang dilaksanakan secara berkelanjutan demi terlindunginya Hak hak anak,kegiatan tersebut harus terarah dan berkelanjutan guna memberikan jaminan pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik mental, spiritual dan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh Akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
8. UU No. 23/ 2002 meletakkan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas apa saja ?
Didasarkan kepada asas : non diskriminatif ; kepentingan yang terbaik bagi anak; Hak untuk hidup, kelangsungan hidup,dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.
9.Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas apa saja ?
Didasarkan kepada asas : penghormatan Hak Asasi Manusia; keadilan dan Kesetaraan Gender : Non Diskriminasi :dan Perlindungan Korban.
10.Apa yang diartikan dengan perdagangan orang itu ?
Dalam Undang undang No. 21 tahun 2000 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,penyekapan,pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan ,penjeratan utang atau meberikan bayaran atau manfaat , sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

STUDI GENDER (PEREMPUAN DIANTARA WARISAN BUDAYA PATRIARKI) 

Oleh: Asriyani. Sagi yanto
Sejak awal mulanya kehidupan manusia dikenal adanya laki-laki dan perempuan dimana masing-masing mempunyai peran dan ciri. Peran dari seorang perempuan sejak dulu yaitu mengurus anak dan membesarkan anak atau dikelompokkan ke dalam bidang reproduksi (domistik). Sedangkan peran dari laki-laki adalah mencari nafkah dan peran kemasyarakatan lainnya, atau dikelompokkan kedalam bidang produktif (publik)  kedua peran inilah yang disebut dengan peran gender.
Apakah gender itu ? Menurut Dra Fee Sondak Manumpil Harian Komentar, menjelaskan bahwa “Gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat”. Budaya dan tata nilai dalam masyarakat telah dibentuk sedemikian rupa, sehingga ada peran yang dimaikan oleh kaum laki-laki dan diserahkan kepada perempuan. Peran publik yang dimainkan oleh laki-laki menghasilkan ruang dan pengaruh, karena perannya dalam mencari nafkah. Sedangkan perempuan yang tidak menghasilkan uang, tidak memiliki pengaruh. Hal ini yang membuat ketimpangan dan ketidakadilan gender.
Banyak orang menganggap perempuan selalu dilekatkan kepada citra feminitas. Citra feminitas tersebut diartikan selalu pasrah, mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungan kepada laki-laki serta dituntut untuk mengedepankan peran reproduksinya sebagai “kodrat” (melahirkan dan membesarkan anak). Sedangkan feminisme menurut Rocky Gerung dalam workshopnya yang diadakan Yayasan Jurnal Perempuan adalah kata ganti “keadilan”. Feminisme menerima peran perempuan sebagai ibu r umah tangga, jika itu merupakan pilihan perempuan. Feminisme adalah negosiasi peran domistik dan peran publik antara perempuan dan laki-laki untuk terciptanya keadilan.
Meskipun perempuan dalan nilai feminisme dapat di integrasikan dalam penerapannya dimasyarakat, tetapi masih terhambat dengan adanya budayayang secara turun temurun menjadi warisan hingga saat ini. Nilai-nilai budaya tersebut memperkuat ketimpangan atau rasa ketidakadilan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Budaya yang dimaksud adalah budaya patriarki, dimana budaya patriarki bisa menjadi hambatan besar bagi perempuan untuk mencapai ketidakadilan, mempersulit dan merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perlawanan budaya patriarki saat ini masih menjadi tema yang menarik bagi kaum feminisme.
Apakah bu daya patriaki ? Dra Fee Sondak Manumpil juga menjelaskan “Patriarki berasal dari kata patri-arkat berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, dan sentral. Jadi budaya patriarki adalah budaya yang dibangun atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki menjadi suatu norma”. Salah satu contoh budaya patriarki adalah budaya priyayi.
Menurut Solidaritas Perempuan Untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM) dalam Jurnal Perempuan.com, budaya priyayi adalah budaya yang berasal dari system pemerintahan Kotaraja dimana hubungan rakyat dengan Kraton atau Istana berdasarkan pengabdian. Budaya priyayi banyak diadopsi oleh keluarga Jawa di Surakarta dalam banyak hal menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Standar normatif budaya priyayi bersumber kepada dua hal yaitu aga ma dan kepercayaan (budaya). Hal yang menunjukkan budaya priyayi adalah kegagahan, kewibawaan, dan kekerasan. Sedangkan perempuan adalah kelembutan dan keindahan. Kelembutan perempuan ditampilkan dalam bentuk kesenian seperti tembang dan tari-tarian yang identik dengan sektor domistik, sehingga perempuan hanya dianggap pantas berada pada sektor domistik saja, sedangkan laki-laki berada dalam sektor publik. Dalam konteks inilah perempuan hanya menjadi pelengkap yang berperan besar untuk mengankat kewibawaan laki-laki. Warisan budaya inilah yang akhirnya tumbuh dan tetap mengakar kuat hingga kini di dal am keluarga yang masih mengadopsi nilai-nilai patriarki atau nilai-nilai budaya priyayi yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap dan terkadang takut menyuarakan apa yang ingin mereka lakukan.
Dalam catatan SPEK-HAM, kekerasan terhadap perempuan berbasis gender di Kota Surakarta menempati peringkat ke-2 di Jawa Tengah setelah kota Semarang selama Januari –Desember 2003. Selama tahun tersebut SPEK-HAM Solo mencatat adanya 61 kasus yang terdiri dari 20 kasus perkosaan, 18 kasus pencabulan, 10 kasus penganiayaan, 7 kasus KDRT, 4 kasus pelecehan seksual dan 2 kasus ingkar janji.
Sementara itu untuk data selama April 2003-Maret 2004 dalam lingkup Database Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilakukan bersama Mitra Perempuan, SPEK HAM mencatat pengaduan dan bantuan kasus baru sebanyak 25 perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Eks-Karesidenan Surakarta (Solo, Boyolali, Klaten, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri).
Untuk mengetahui bagaimana k arakteristik kekerasan terhadap 25 orang perempuan tersebut, dapat disimak melalui statistik berikut ini:
§ 36% dari 25 perempuan yang memanfaatkan layanan SPEK-HAM telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya
§ 28% perempuan yang menjadi korban adalah anak-anak
§ 44% dari perempuan mengalami kekerasan seksual
§ 68% dari peremp uan mengalami lebih dari 1 jenis kekerasan (termasuk kekerasan fisik,psikis, seksual dan tekanan secara ekonomi)
§ 12% perempuan me ngalami dampak dari kekerasan berupa gangguan kesehatan reproduksi, disamping gangguan kesakitan fisik dan jiwa/mental.
§ 56% perempuan yang mendatangi SPEK-HAM, sebelumnya pernah meminta bantuan kepada lembaga pelayanan hukum, dan 4% mendatangi layanan kesehatan
§ 24% dari perempuan yang didampingi SPEK-HAM selanjutnya menempuh upaya hukum Pendidikan perempuan bervariasi, terbanyak 24% berpendidikan SMU
§ Pendidikan laki-laki yang melakukan kekerasan bervariasi, terbanyak 32% berpendidikan Universitas dan 20% berpendidikan SMU





DAFTAR PUTAKA