Hubungan Pendidikan, Tenaga Kependidikan dengan HAM



A.Pendidik dan tenaga kependidikan
  Pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua “profesi” yang sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan, sekalipun lingkup keduanya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

 
Sementara Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi di atas jelas bahwa tenaga kependidikan memiliki lingkup “profesi” yang lebih luas, yang juga mencakup di dalamnya tenaga pendidik. Pustakawan, staf administrasi, staf pusat sumber belajar. Kepala sekolah adalah diantara kelompok “profesi” yang masuk dalam kategori sebagai tenaga kependidikan. Sementara mereka yang disebut pendidik adalah orang-orang yang dalam melaksanakan tugasnya akan berhadapan dan berinteraksi langsung dengan para peserta didiknya dalam suatu proses yang sistematis, terencana, dan bertujuan. Penggunaan istilah dalam kelompok pendidik tentu disesuaikan dengan lingkup lingkungan tempat tugasnya masing-masing. Guru dan dosen, misalnya, adalah sebutan tenaga pendidik yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi.   
Hubungan antara pendidik dan tenaga kependidikan dapat digambarkan dalam bentuk spektrum tenaga kependidikan berikut: (Miarso, 1994) Dari gambar di atas, tampak sekalipun pendidik (guru) yang akan berhadapan langsung dengan para peserta didik, namun ia tetap memerlukan dukungan dari para tenaga kependidikan lainnya, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Karena pendidik akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya apabila berada dalam konteks yang hampa, tidak ada aturan yang jelas, tidak didukung sarana prasarana yang memadai, tidak dilengkapi dengan pelayanan dan sarana perpustakaan serta sumber belajar lain yang mendukung. Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran). Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Hal ini telah dipertegas dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 39-40 yaitu :

Pasal 39
(1)  Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2)  Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pasal 40
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a.  penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b.  penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c.  pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d.  perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan e.  kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas.
(2)  Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a.  menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b.  mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c.  memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.

Dalam hal ini telah dipertegas dalam UU no 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, dan (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.  Mencermati tugas yang digariskan oleh Undang-undang di atas khususnya untuk pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan sekolah, jelas bahwa ujung dari pelaksaan tugas adalah terjadinya suatu proses pembelajaran yang berhasil. Segala aktifitas yang dilakukan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan harus mengarah pada keberhasilan pembelajaran yang dialami oleh para peserta didiknya.
Berbagai bentuk pelayanan administrasi yang dilakukan oleh para administratur dilaksanakan dalam rangka menunjang kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru; proses pengelolaan dan pengembangan serta pelayanan-pelayanan teknis lainnya yang dilakukan oleh para manajer sekolah juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Lebih lagi para pendidik (guru), mereka harus mampu merancang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan melibatkan berbagai komponen yang akan terlibat dalamnya. Sungguh suatu tugas yang sangat berat.  
Ruang lingkup tugas yang luas menuntut para pendidik dan tenaga kependidikan untuk mampu melaksanakan aktifitasnya secara sistematis dan sistemik. Karena itu tidak heran kalau ada tuntutan akan kompetensi yang jelas dan tegas yang dipersyaratkan bagi para pendidik, semata-mata agar mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik jelas telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (1), (4), dan (5) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.


B.Hak dan Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan
   1. Pengertian Guru (Pendidik)
Kata pendidikan, pendidik, guru, dan pengajar, telah menjadi pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, masih terjadi “kekeliruan” dalam mengartikan hakikatnya. Nursid Sumaatmadja mengartikan pendidikan sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu kearah kedewasaan dan kematangan.
Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata yang menunjukkan profesi ini, seperti mudarris, mu’allim, murrabi, dan mu’addib, yang meski memiliki makna yang sama, namun masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. 
Di dalam al-Quran ditemukan beberapa kata yang menunjukan kepada pengertian pendidik:
a. Muallim (Q.S. 29:34 dan Q.S. 35:28)
Muallim adalah orang yang menguasai ilmu mampu mengembangkannya dan menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya sekaligus.
b. Murabbi (Q.S. 17:24)
Murabbi adalah pendidik yang mampu menyiapkan mengatur, mengelola, membina, memimpin, membimbing dan mengembangkan potensi kreatif pesera didik, yang dapat digunakan bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berguna bagi dirinya, dan makhluk Tuhan di sekelilingnya.
c. Mudarris
Mudarris adalah pendidik yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang dialogis dan dinamis, mampu membelajarkan peserta didik dengan belajar mandiri, atau memperlancar pengalaman belajar dan menghasilkan warga belajar.
d. Mursyid (Q.S. 18:17)
Mursyid adalah pendidik yang menjadi sentral figur bagi peserta didiknya, memiliki wibawa yang tinggi di depan peserta didiknya, mengamalkan ilmu secara konsisten, merasakan kelezatan dan manisnya iman terhadap Allah Swt
e. Muzakki
Muzakki adalah pendidik yang bersifat hati-hati terhadapapa yang akan diperbuat, senantiasa mensucikan hatinya dengan cara menjauhkan semua bentuk sifat-sifat mazmumah dan mengamalkan sifat-sifat mahmudah.
f. Mukhlis (Q.S. 98:5)
Mukhlis adalah pendidik yang melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengutamakan motivasi ibadah yang benar-benar ikhlas karena Allah.
Sedangkan secara terminologis Guru (pendidik) adalah, pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewanang, dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah, termasuk hak yang melekat dalam jabatan. Pendidik merupakan tenaga prosesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Pasal 39 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003). Guru sebagai figure sentral dalam pendidikan, haruslah dapat diteladani akhlaknya disamping kemampuan keilmuan dan akademisnya. Selain itu, guru haruslah mempunyai tanggung jawab dan keagamaan untuk mendidik anak didiknya menjadi orang yang berilmu dan berakhlak (Syed Hossein Nasr, dalam Azyumardi Azra).
Guru adalah seseorang yang memiliki tugas sebagai fasilitator agar siswa dapat belajar dan atau mengambangan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, melalui lembaga pendidikan sekolah, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat oleh swasta.
Menurut Poerwadarminta (1996: 335), guru adalah orang yang kerjanya mengajar. Sedangkan menurut Zakiyah Daridjat (1992: 39) menyatakan bahwa guru adalah pendidik professional, karena guru itu telah menerima dan memikul beban dari orang tua untuk ikut mendidik anak-anak. Dalam hal ini, orang tua harus tetap sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya, sedangkan guru adalah tenaga professional yang membantu orang tua untuk mendidik anak-anak pada jenjang pendidikan sekolah.
Jadi dapat disimpulkan guru (pendidik) adalah seseorang yang bertugas sebagai fasilitator peserta didik.

   2. Hak Dan Kewajiban Guru (Pendidik)
Pendidik adalah mereka yang terlibat langsung dalam membina, mengarahkan dan mendidik peserta didik, waktu daan kesempatannya dicurahkan dalam rangka mentransformasikan ilmu dan menginternalisasikan nilai termasuk pembinaan akhlak dan karakter peserta didik. Dalam menjalankan tugas dan profesinya, guru memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Hak guru berarti suatu yang harus didapatkan olehnya setelah ia melaksanakan sejumlah kewajibannya sebagai guru. 

Adapun hak guru sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14 Undang-Undang no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen :
a. Memperoleh penghasilan atas kebutuhan hidup minimun dan jaminan kesehatan sosial.
b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya.
e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalannya.
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan dan/atau sanksi kepada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
g. Memperoleh rasa aman, dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
h. Memilikikebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pemerintah.
j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi dan/atau
k. Memperoleh pelatiahan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Selain hak yang harus mereka dapatkan, guru juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan. Adapun yang menjadi kewajiban guru adalah sebagai berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dengan mengevaluasi hasil pembelajaran.
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan  perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
c. Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu,atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi siswa dalam pembelajaran.
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta niali-nilai agama dan etika, serta
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

   3. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
Agama (Islam) memposisikan guru atau pendidik ada kedudukan yang mulia. Para pendidik diposisiskan sebagai bapak ruhani (spiritual father) bagi anak didiknya. Ia memberikan santapan ruhani dengan ilmu dan pembinaan akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) dan meluruskannya.oleh karena itu,pendidik mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, bahkan tinta seorang alim(guru) lebih berharga daripada darah para syuhada. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993). Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan seorang Rasul.
Pendidikan merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen pasal 1 dinyatakan bahwa, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Selain tugas-tugas yang telah di sebutkan, tugas lain seorang pendidik atau guru ialah memiliki pengetahuan yang di perlukan, pengetahuan-pengetahuan keagamaan, dan lain-lainnya. Pengetahuan ini tidak sekedar diketahui, tetapi juga diamalkan dan diyakininya sendiri.
Dengan demikian menurut Al-Ghazali tugas utama guru adalah menyempurnakan, membersihkan, dan menyucikan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sejalan dengan pendapat ini, An-Nahlawi mengatakan bahwa ada dua tugas utama guru, yaitu pertama, fungsi penyucian, yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. kedua, fungsi pengajaran, yakni menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.
Berangkat dari pemahaman tersebut, tanmggungjawab guru sebagaimana dikatakan An-Nahlawi (1996) adalah mendidik individu (anak didik) supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-nya; mendidik diri supaya beramal saleh dan mendidik masyarakat agar saling menasihati dalam melaksanakan kebenaran, saling mensihati agar tabah dalam menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran.

C. Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Perlindungan hukum merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu manusia. Perlindungan hukum merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang akan selalu melekat pada diri manusia itu sendiri, dimana pun manusia itu berada. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian jelas, bahwa perlindungan hukum bagi manusia harus diberikan secara sama tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya.Undang-Undang Dasar 1945 dalam kaitannya dengan perlindungan hukum telah mengamatkannya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan : “Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Berdasarkan pada pasal tersebut bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law). Hal ini memberikan pengertian bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif bagi setiap warga negara termasuk dalam perlindungan hukumnya.
Dalam konteks peningkatan mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, selain aspek penghargaan dan kesejahteraan, maka aspek perlindungan hukum merupakan hal yang sangat penting, karena dengan adanya perlindungan hukum, Pendidik dan Tenaga Kependidikan akan mampu menjalankan profesinya dengan baik, aman dan nyaman. Adanya rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesinya dapat membentuk karakter dan pribadi yang secara kondusif dapat mendorong kreativitas, motivasi, dan produktivitas dalam mengembangkan profesinya, sehingga pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan mutu Pendidikan sebagaimana yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Faktanya pada adanya beberapa masalah hukum yang menimpa Pendidik dan Tenaga Kependidikan khususnya Kepala Sekolah dalam menjalankan tugas profesinya Kepala Sekolah mengalami persoalan-persoalan yang terkait dengan profesinya, padahal Secara ekstrensik persoalan perlindungan hukum bagi Kepala Sekolah yang merupakan Tenaga Kependidikan telah diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) butir (d)  Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan :
“ Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh :
d. Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual.”
Lebih jauh Undang-Undang No.  20 Tahun 2003 sendiri tidak menjelaskan tentang bentuk perlindungan hukum yang diberikan, namun sebagai pembanding tentang bentuk perlindungan hukum ini  Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan menyebutkan :
1. Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan baik di jalur pendidikan sekolah maupun di jalur pendidikan luar sekolah:
2. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
1. Rasa aman dalam melaksanakan baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan tugas  mengajar;
2. Perlindungan terhadap keadan membahayakan yang dapat mengancam jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia;
3. Perlindungan dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang merugikan tenaga kependidikan; Penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bagi tenaga kependidikan yang sesuai dengan tuntutan tugasnya; 
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum, keadilan kenyamanan dan keamanan kerja bagi Tenaga Kependidikan termasuk Kepala Sekolah.
Walaupun secara normatif Kepala Sekolah sebagai Tenaga Kependidikan memiliki payung hukum yang kuat, pada kenyataannya masih banyak Kepala Sekolah yang masih kurang memiliki kesadaran tinggi dan belum memahami secara komprehensif akan pentingnya perlindungan hukum bagi dirinya ketika menjalankan profesinya, bahkan tidak jarang mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka perlu adanya suatu tindakan yang nyata yaitu berupa sosialisasi atau diadakannya suatu pembekalan hukum pagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan tentang hak-hak dan kewajiban mereka serta dilakukannya advokasi bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang sedang memiliki masalah hukum berkaitan dengan tanggungjawab profesinya, hal ini penting  karena bila itu tidak dilaksanakan akan mengakibatkan permasalahan hukum yang terjadi terus berjalan tanpa ada penyelesaian yang jelas
D. Hak Berserikat Terancam, Guru Mengadu ke Komnas HAM
Perwakilan serikat guru dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pasalnya, Kemendikbud diduga sedang merancang regulasi yang melanggar HAM.
Sekjen FSGI, Retno Lisyarti, mengatakan Kemendikbud sedang merancang revisi PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru yang dinilai akan mengancam hak guru. Misalnya, pasal 44 ayat (3) yang mengatur syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan organisasi guru. Bagi Retno, bermacam syarat tersebut sangat sulit untuk dipenuhi. Seperti, organisasi wajib memiliki jumlah anggota di setiap kabupaten/kota minimal 25 persen dari seluruh jumlah guru yang ada di daerah itu. Begitu pula dengan kepengurusan organisasi guru di tingkat nasional dan provinsi. Syarat yang ditetapkan lebih tinggi, yaitu 75 persen. Menurut Retno aturan itu seperti syarat yang wajib dipenuhi partai politik untuk berkompetisi dalam pemilihan umum.
Bagi Retno, serikat guru yang ada tak akan mampu memenuhi syarat itu. Pasalnya, ada organisasi guru warisan orde baru yang jumlah keanggotannya hampir meliputi seluruh guru berstatus PNS. Oleh karenanya, dengan syarat yang dinilai berat itu, peluang guru untuk berserikat sangat kecil. Menurut Retno, syarat tersebut dapat dilihat sebagai sebuah upaya membungkam hak guru untuk berekspresi dan berserikat.
Retno mengakui bahwa organisasi guru di luar PGRI kerap mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Bahkan, tak jarang anggota serikat guru yang lantang mengkritik dimutasi ke sekolah lain yang posisinya lebih jauh. Atas dasar itu koalisi menilai ada indikasi dalam rancangan revisi PP Guru untuk mengebiri sikap kritis guru. "Berpotensi membatasi jumlah organisasi guru," kata dia ketika mengadu ke Komnas HAM Jakarta, Jumat (1/2).
Sebagai upaya agar rancangan revisi PP Guru itu tak diterbitkan, Retno mengatakan Koalisi telah menjumpai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Albert Hasibuan. Dalam pertemuan tersebut, Retno menyebut Wantimpres melihat ada potensi pelanggaran HAM dalam rancangan revisi tersebut. Kemudian, Kemendikbud merespon dan mengadakan pertemuan dengan organisasi yang menolak rancangan revisi PP Guru.
Dalam pertemuan itu, Kemendikbud berjanji akan mengakomodasi kepentingan koalisi. Namun, sampai saat ini koalisi tak mendapat informasi terbaru. Padahal rancangan itu rencananya akan diselesaikan sebagai draf revisi di bulan ini. Menurut Retno, koalisi akan terus mendorong agar rancangan revisi PP Guru yang ada saat ini dibatalkan. Selain itu mendesak agar perwakilan serikat guru yang ada dilibatkan dalam membahas kebijakan di sektor pendidikan.
Pada kesempatan yang sama, pengacara publik LBH Jakarta, Ahmad Biky, berpandangan rancangan revisi PP Guru itu memberangus serikat guru. Karena, persyaratan dalam rancangan itu dirasa sulit dipenuhi oleh mayoritas serikat guru yang ada. "Mereka (pemerintah,-red) coba membungkam serikat guru yang kritis secara halus lewat peraturan," ungkapnya.
Untuk itu Biky meminta Komnas HAM memantau proses revisi PP Guru tersebut. Karena, jika peraturan yang dinilai berpotensi melanggar HAM itu diterbitkan, maka kerja Komnas HAM ke depan akan lebih sulit. Sebab, akan banyak menangani kasus pelanggaran hak berserikat yang menimpa guru. Sebelum hal itu terjadi maka Komnas HAM perlu melakukan upaya penyelesaian yang cepat.
Menanggapi pengaduan itu, Anggota Komnas HAM, Natalis Pigai, berjanji hari ini akan langsung melayangkan surat untuk memanggil Mendikbud. Pigai mengatakan akan meminta keterangan kepada Mendikbud soal rancangan revisi PP Guru. Tapi yang jelas, Pigai menyebut kebebasan berserikat itu dilindungi oleh berbagai macam aturan baik nasional ataupun internasional. Melihat syarat untuk mendirikan organisasi guru sebagaimana termaktub dalam rancangan revisi UU Guru, Pigai menilai itu seperti syarat untuk partai politik untuk maju ke Pemilu. Yaitu menggunakan sistem persentase.
Pigai menguraikan, dalam konsep HAM, kebebasan berekspresi dan berserikat tidak didasarkan pada sistem persentase, melainkan hak individu. Dengan mendasarkan pada individu maka keterwakilan akan lebih terjamin. Menurut Pigai hal itu yang harusnya berlaku untuk serikat guru dan saat ini mekanisme yang sejalan dengan HAM itu telah digunakan dalam aturan membentuk serikat pekerja sebagaimana tercantum di UU Serikat Pekerja. Pigai melihat mekanisme pembentukan serikat guru lebih cocok disandingkan dengan serikat pekerja ketimbang partai politik.
Bila sistem presentase yang digunakan, Pigai memperkirakan guru akan sulit untuk berserikat. Apalagi terdapat organisasi guru yang sudah lama berdiri dan anggotanya mendominasi hampir seluruh guru PNS yaitu PGRI. Namun, secara umum Pigai menilai rancangan revisi PP Guru sangat jelas berpotensi memberangus hak guru untuk berserikat. "Pasal 44 ayat 3 dalam rancangan revisi PP Guru berpotensi terjadi union busting yang dilakukan pemerintah terhadap guru," tegasnya.
E.Kekerasan Tenaga Pendidik dalam Dunia Pendidikan
         1. Tinjauan kekerasan dalam berbagai landasan
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:
·                   Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan

Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1.   pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2.   Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
    1).    Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
    2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    3).  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
    4).  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual:
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
(UU Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
(UU Perlindungan Anak)
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
·         Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Dampak yang timbul dari efek kekerasan adalah siswa menjadi pendiam atau penyendiri, minder  dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri. Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan menjadi kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses belajar anak.

·         Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan hubungan yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika “budaya senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan khususnya dalam dunia pendidikan.
2. Faktor-faktor penyebab kekerasan dalam dunia pendidikan
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya. Guru mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik. Seharusnya guru memperlakukan murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko Indarwanto,2004). Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki  rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan keras. Selain itu kekerasan oleh guru pada siswa disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
·         Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku,
·         Persepsi guru yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan itu,
·         Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
·         Adanya tekanan kerja guru: target yang harus dipenuhi oleh guru, seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa, sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
·         Pola yang dianut guru adalah mengedepankan factor kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guru ke murid),
·         Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan efektif, sehingga guru dalam mengajar suasananya kering, stressful, tidak menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi,
·         Tekanan ekonomi, pada gilirannya bisa menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil,seperti berpikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudka
       3.Solusi masalah
Karena sekolah dan guru yang kurang tegas maka murid jadi bebas sehingga tidak mengindahkan norma-norma dan peraturan yang ada. Misalnya murid akan berpenampilan seenaknya sendiri seperti preman atau spg, bebas bolos sekolah tanpa hukuman yang berat, bebas melakukan kenakalan di luar batas kewajaran, meremehkan guru, dan lain sebagainya.
 Oleh karena itulah maka diperlukan peran pemerintah untuk membuat delapan standar pendidikan yang baik yang dapat membuat murid takut dalam artian yang baik. Guru seharusnya boleh menghukum siswa yang nakal dan tidak disiplin dengan sedikit kekerasan dan hukuman fisik agar para siswa-siswi takut dan terpacu untuk belajar, patuh, taat, hormat, disiplin, bertanggung jawab, tahu aturan, dan lain sebagainya.
Beberapa solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah diantaranyan adalah sebagai berikut:
a)      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
b)      Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan;
- Menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran,
- Membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus,
- Suasana belajar yang meriah,gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis,    menjadi suatu kekuatan yang integral.
c)      Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak,
d)     Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka.
e)      Konseling,Bukan siswa saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
f)       Segera memberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah,dan menindak lanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik.

Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.
1. Tindakan alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan. Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban penuh keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa. Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya. Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang guru.
3. Komunikasi yang jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.  Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan. Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya, arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
4. Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.  Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu. Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.  Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.
5. Saling mempercayai secara penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga.  Alih-alih mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.  Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
6. Ketekunan dan kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.  Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak.  Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi.  Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.  
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.  Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan perhatian.  Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan. Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu.  Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.  Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan.


























Kesimpulan


Pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua “profesi” yang sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan, sekalipun lingkup keduanya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Sementara Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi di atas jelas bahwa tenaga kependidikan memiliki lingkup “profesi” yang lebih luas, yang juga mencakup di dalamnya tenaga pendidik. Pustakawan, staf administrasi, staf pusat sumber belajar. Kepala sekolah adalah diantara kelompok “profesi” yang masuk dalam kategori sebagai tenaga kependidikan. Sementara mereka yang disebut pendidik adalah orang-orang yang dalam melaksanakan tugasnya akan berhadapan dan berinteraksi langsung dengan para peserta didiknya dalam suatu proses yang sistematis, terencana, dan bertujuan. Penggunaan istilah dalam kelompok pendidik tentu disesuaikan dengan lingkup lingkungan tempat tugasnya masing-masing. Guru dan dosen, misalnya, adalah sebutan tenaga pendidik yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi
Mengenai tenaga kependidikan diatur dalam UU no 20 tahun 2003 pasal 39. Hak dan kewajiban tenaga kependidikan diatur juga dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Di satu sisi hak tenaga kependidikan mulai sering dilanggar oleh pemerintah Indonesia sendiri. Hak yang dilanggar tersebut adalah hak berserikat. Namun di sisi lain pelanggaran terhadap hak azazi manusia malah dilakukan oleh tenaga kependidikan oleh sendiri. Seperti pelecehan seksual terhadap peserta didik atau pun kekerasan fisik yang dilakukan kepada peserta didikannya sendiri. Jadi, antara tenaga kependidikan dan HAM memilki kaitan yang sangat erat seperti yang yang dijelaskan diatas.











Daftar Pustaka

UU no 20 tahun 2003 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan
http//:www.artikelpentingnyaperlindunganhukumbagipendidikdantenagakependidikan.com
Chaerul, Gunawan. Pengembengan Kepribadian Guru. Bandung: Nuansa cendikia, 
Hamdani, Fuad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2007
Nursid Sumaatmadja. Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta, 2002 
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008, 
Suparlan. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing. 2006
Anwariansyah. 2009. 7 Prinsip Pendidikan TanpaKekerasan. 

Hardianti. 2008. Kekerasan dalam Pendidikan.
NN. 2009. Menyikapi Fenomena Kekerasan dalam Pendidikan. 
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/4781/menyikapi-fenomena-kekerasan-dalam-pendidikan diakses 28 Desember 2013
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Yanuar,andy.2009. Digampar Guru, Siswa Pamekasan Ngaku Telinganya Berdengung.