Hubungan BPJS dengan HAM : Penjelasan dan perbandingannya


 
JAMINAN SOSIAL DAN HAM
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal.9) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 11 Tahun 2005, menyatakan bahwa ‘Negara-negara pihak dari Kovenan ini mengakui hak semua orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.’ Hak atas jaminan sosial penting untuk menjamin martabat kemanusiaan bagi semua orang, ketika mereka dihadapkan pada keadaan-keadaan yang melemahkan kapasitasnya untuk mewujudkan sepenuhnya hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan.


Hak atas jaminan sosial memayungi hak untuk mengakses dan memperoleh tunjangan, baik dalam bentuk uang tunai maupun bukan tunai, tanpa diskriminasi, untuk memastikan adanya perlindungan, antara lain, dari keadaan-keadaan:
(a) tidak adanya pendapatan yang diperoleh dari bekerja, karena keadaan sakit, melahirkan kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, lanjut usia, kematian anggota keluarga;
 (b)  akses kepada perawatan tidak terjangkau;
 (c)  tidak cukup mampu untuk menyokong keluarga, terutama anak dan orang dewasa yang bergantung.
Unsur-unsur yang penting dari hak atas jaminan sosial adalah
1. Ketersediaan sitem jaminan sosial
Hak atas jaminan sosial mensyaratkan, supaya dapat dijalankan, tersedianya sebuah sistem, baik dengan satu skema tunggal atau paduan dari beberapa, yang bekerja baik untuk menjamin tersedianya manfaat perlindungan dari risiko-risiko sosial dan keadaan tak terduga yang relevan. Sistem harus ditegakkan di bawah undang-undang, dan kewenangan publik harus mengambil tanggungjawab agar tata kelola atau pengawasan terhadap sistem tersebut efektif. Skema tersebut harus dijaga keberlangsungannya, termasuk skema yang berkaitan dengan penyediaan jaminan pensiun, untuk menjamin agar hak ini dapat dinikmati generasi sekarang dan yang mendatang.
2. .Risiko-risikososialdankeadaantakterduga
Suatu sistem jaminan sosial harus menyediakan perlindungan untuk sembilan cabang utama dari jaminan sosial : perawatan kesehatan, keadaan sakit, usia lanjut, pengangguran, kecelakaan kerja, tunjangan keluarga dan anak, melahirkan, penyandang disabilitas, keluarga yang ditinggalkan
2. Kecukupan
Tunjangan, baik berbentuk tunai maupun bukan, harus dalam besaran dan jangka waktu yang cukup, agar semua orang dapat mewujudkan hak atas perlindungan dan bantuan bagi keluarga, hak atas standar penghidupan yang memadai dan akses kepada perawatan kesehatan yang memadai, sebagaimana dimuat dalam pasal 10, 11 dan 12 dari Kovenan.
3. Aksesibilitas
Semua orang harus dilindungi oleh sistem jaminan sosial, khususnya individu dari kelompok yang paling tidak diuntungkan dan terpinggirkan, tanpa diskriminasi. Kondisi yang dipersyaratkan untuk mendapatkan manfaat/tunjangan harus beralasan, pada tempatnya, dan transparan. Pembatalan, pengurangan atau penundaan pemberian manfaat harus sesuai aturan, didasarkan alasan yang dapat diterima, dapat diperiksa, dan tercantum dalam undang-undang. Apabila suatu skema jaminan sosial menyaratkan adanya iuran, maka hal tersebut tersebut harus dinyatakan di muka. Biaya langsung dan tidak langsung dan biaya lain yang berkaitan dengan kepesertaan dalam iuran harus terjangkau oleh semua, dan tidak mengorbankan perwujudan dari hak-hak lain menurut Kovenan. Para penerima manfaat dari skema jaminan sosial harus dapat berpartisipasi dalam penatalaksanaan sistem jaminan sosial.
Manfaat jaminan sosial harus diberikan tepat pada waktunya dan penerima manfaatnya harus memiliki akses fisik pada layanan jaminan sosial untuk dapat mengakses manfaat dan informasi, dan membayarkan iuran dimana perlu. Perhatian khususnya harus diberikan kepada penyandang cacat, migran, dan orang-orang yang tinggal di tempat jauh terpencil atau kawasan rawan bencana, dan daerah konflik bersenjata, agar mereka memiliki akses terhadap layanan ini. Hak atas jaminan sosial memainkan peranan yang penting dalam mendukung perwujudan dari banyak hak-hak lain dalam Kovenan, namun juga perlu langkah-langkah lain untuk melengkapi hak atas jaminan sosial. Negara-negara pihak, misalnya, harus menyediakan layanan rehabilitasi sosial bagi korban kecelakaan dan penyandang disabilitas.
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebuah sistem jaminan sosial yang ditetapkan di indonesia dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2004. Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.pembangunan sistem dan program jaminan sosial merupakan salah satu karya kebijakan sosial yang terbesar di abad keduapuluh. Untuk pertama kali, program jaminan sosial wajib  (mandatory insurance)diperkenalkan di Eropa pada ahir abad kesembilan belas.  Selanjutnya program jaminan sosial meluas ke berbagai belahan dunia setelah berahirnya perang dunia kedua, paling tidak sebagai dampak dari berahirnya era kolonialisasi dan kemerdekaan negara-negara jajahan.  Penyebaran dan pengembangan jaminan sosial ke seluruh dunia juga didukung oleh konvensi  dan kerjasama internasional. 
Pada tahun 1948  Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan jaminan sosial sebagai hak asasi manusia dalam Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia.  Di dalamnya dinyatakan bahwa:
setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua .....”.
Selanjutnya Internatinal Labour Organization (ILO) dalam konvensi nomor 102 tahun 1952 menganjurkan semua negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang hak jaminan sosial. Konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen internasional untuk penyelenggaraan jaminan sosial, mengatur kesepakatan di antara negara-negara anggota tentang standar minimal untuk penyelenggaraaan sembilan program jaminan sosial.  Sembilan program tersebut mencakup:
· Pelayanan kesehatan (medical care);
· Santunan selama sakit (sickness benefit);
· Santunan pengangguran (unemployment benefit);
· Jaminan hari tua (old-age benefit);
· Jaminan kecelakaan kerja (employment injury benefit);
· Santunan/pelayanan bagi anggota keluarga (family benefit);
· Perawatan kehamilan dan persalinan (maternity benefit);
· Santunan kecacatan (invalidity benefit); dan
· Santunan bagi janda dan ahli waris (survivors' benefit).
Walaupun Konvensi no. 102 mencakup sembilan program, namun tiap negara hanya diwajibkan untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya tiga program. 
Konvensi tidak mengatur dengan detil tata kelola dan mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial. ILO memberikan keleluasaan kepada masing-masing negara untuk mengatur sendiri dan mengembangkan program secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Tujuan penyelenggaraan jaminan sosial dapat dicapai dengan berbagai mekanisme, antara lain program cakupan semesta, asuransi sosial yang dibiayai melalui iuran yang proporsional terhadap pendapatan atau iuran tetap untuk semua tingkatan penghasilan, bantuan sosial atau kombinasi dari model-model ini.
Konvensi No. 102 menyepakati prinsip-prinsip penyelenggaraan jaminan sosial, yaitu:
· Manfaat yang diberikan pasti
· Penyelenggaraan melibatkan partisipasi tri-parti untuk menjamin terselenggaranya dialog antara pemerintah, pekerja dan pemberi kerja
· Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan yang benar dan hak jaminan
· Pembiayaan program oleh pajak atau kontribusi
· Tinjauan aktuaria berkala untuk menjamin kesahehan program.
Hingga saat ini 41 negara telah meratifikasi Konvensi ILO No. 102.  Indonesia belum meratifikasi Konvensi ini ke dalam UU. Negara-negara tergabung dalam Uni Eropa telah mengimplementasikan Konvensi ini dengan menetapkan Undang-Undang Jaminan Sosial Eropa (the European Code of  Social Security) namun dengan manfaat yang jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam Konvensi ILO No. 102. 
 Pengertian Jaminan Sosial
ILO Convension no 102 mendefinisikan jaminan sosial sebagai:
Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh pendapatan akibat berbagai resiko yang diakibatkan oleh sakit, kehamilan, persalinan, kecelakaan kerja, kecacatan, pengangguran, pensiun, usia tua, kematian dini penghasil utama pendapatan, perawatan medis termasuk pemberian santunan kepada anggota keluarga termasuk anak-anak.
Jaminan sosial dapat diwujudkan melalui bantuan sosial dan asuransi sosial. 
Bantuan sosial adalah bentuk dukungan pendapatan kepada penduduk yang tidak mampu, baik dalam bentuk uang tunai atau pelayanan. Pembiayaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara atau dari masyarakat, yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan negara atau masyarakat.  Bantuan sosial diberikan kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan, seperti penduduk berusia lanjut, korban bencana atau mereka yang terpaksa menganggur.    Berbagai negara menetapkan uji kebutuhan (means test) untuk menegakkan keadilan dengan tujuan menyaring mereka yang betul-betul membutuhkan dari mereka yang mampu.
Asuransi sosial adalah bentuk dukungan pendapatan bagi masyarakat pekerja yang dibiayai oleh iuran wajib pekerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama.  Asuransi sosial merupakan upaya negara untuk melindungi pendapatan warga negara agar mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan mengikutkannya secara aktif dalam program jaminan sosial dengan membayar iuran. Kepesertaan wajib ditujukan sebagai solusi dari ketidakmampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidakdisiplinan menabung untuk masa depan.  
Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dipandang dapat mengurangi beban negara dalam penyediaan dana bantuan sosial.  Melalui prinsip kegotong-royongan, asuransi sosial dapat  merupakan sebuah instrumen negara yang kuat dalam penanggulangan risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi.
Perjalanan sejarah pembangunan program jaminan sosial di Indonesia memperlihatkan bahwa jaminan sosial tumbuh dan digerakkan oleh pemerintah bukan muncul dari kebutuhan pekerja akan perlindungan pendapatan sebagaimana yang terjadi di Eropa.  Dalam perjalanannya landasan filosofi jaminan sosial di Indonesia berkembang sesuai filosofi pemerintahan.
Uraian di bawah ini membagi era pembangunan jaminan sosial ke dalam 4 periode, yaitu masa pra kemerdekaan, masa Pemerintah RI Orde Lama, masa Pemerintah RI Orde Baru dan masa Pemerintah RI Orde Reformasi.
Pada masa pra kemerdekaan, program jaminan sosial pertama kali diperkenalkan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda masih berkuasa pada awal abad keduapuluh.  Pemerintah Hindia Belanda mengikutsertakan pegawai pribumi yang bekerja pada lembaga pemerintah Hindia Belanda dalam dua buah program, yaitu jaminan pensiun sejak tahun 1926[2] dan jaminan kesehatan mulai tahun 1934[3].
Di masa pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Pusat (Orde Lama) membangun tiga program jaminan sosial mulai pada tahun 1947, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Program jaminan kecelakaan kerja lahir ketika Pemerintah mengundangkan UU No. 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan (UU Kecelakaan 1947) pada 18 Oktober 1947.  UU ini diberlakukan di seluruh Indonesia sejak tahun 1951 dengan UU No. 2 Tahun 1951 Tentang Berlakunya UU No 33 Tahun 1947 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia.  UU Kecelakaan 1947 adalah UU sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi kemerdekaan, dan hebatnya lagi diundangkan di masa pemerintahan darurat pasca perang agresi Belanda kedua. 
Sejak tahun 1948 Pemerintah melanjutkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan pemerintah Hindia Belanda di masa pra kemerdekaan.  Program ini diselenggarakan berdasarkan pada ketentuan Restitusi Regeling 1948[4].  Peserta dibatasi pada pegawai negeri yang berpenghasilan di bawah Rp 850,00 per bulan.  Penyelenggaraan belum sepenuhnya mengikuti kaidah jaminan sosial, namun masih diselenggarakan sebatas pemotongan gaji (restitusi).  Setiap pegawai yang mendapatkan pelayanan rawat inap dikenakan pemotongan gaji sebesar 3% dari gaji pokok untuk membayar iur bayar (co-payment). Pelayanan kesehatan dasar ditanggung penuh oleh pemerintah. Pelayanan kesehatan dasar di fasilitas pemerintah tidak dipungut bayaran. Sedangkan di fasilitas swasta, peserta membayar terlebih dahulu biaya pelayanan kesehatan kemudian pemerintah mengganti (reimbursement). Pemerintah melakukan proyek percontohan program jaminan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang dikenal dengan “Jakarta Pilot Project” pada tahun 1960.
Program ketiga yang diselenggarakan adalah program pensiun publik yang terbatas untuk pegawai negeri pada tahun 1956 kemudian diikuti dengan program tabungan hari tua pegawai negeri pada tahun 1963.  Program pensiun pegawai negeri didirikan dan diselenggarakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 1956 Tentang Pembelanjaan Pensiun.  Program tabungan hari tua pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1963 Tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan PP No. 10 Tahun 1963 Tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri. 
Pemerintah Orde Baru meningkatkan penyelenggaraan program-program jaminan sosial yang telah dibangun pada masa pemerintahan Orde Lama. Peningkatan dilakukan dengan menyelenggarakan program-program jaminan sosial dengan mekanisme pendanaan oleh peserta (funded social security) dan membangun kelembagaan jaminan sosial. Pendanaan jaminan sosial oleh peserta dan badan penyelenggara jaminan sosial berkembang sesuai dengan kelompok pekerjaan, yaitu pegawai negeri dan pekerja swasta. Sayangnya, Pemerintah Orde Baru pada tahun 1992 menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai Perseroan, Badan Usaha Milik Negara yang berorientasi laba - PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN. Sejak itu, penyelenggaraan program jaminan sosial Indonesia menjauh dari prinsip-prinsip asuransi sosial.
Pemerintah Orde Reformasi, seiring dengan perubahan mendasar ketatanegaraan, meletakkan kembali program jaminan sosial sebagai hak konstitusional Warga Negara dan Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraannya.  Hak atas jaminan sosial dicantumkan dalam UUD Negara R.I 1945 perubahan ketiga dan keempat (1999) dan pelaksanaannya diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (2004).  Penyelenggaraan jaminan sosial wajib bertransformasi dari penyelenggaraan oleh badan privat menjadi badan publik, dari orientasi laba menjadi pemenuhan hak asasi. Namun, hingga kini setelah tujuh tahun berlalu, tarik ulur pengimplementasian UU SJSN masih berlanjut.  Implementasi terhalang oleh kelengkapan peraturan. UU BPJS masih menunggu pengesahan Presiden SBY.  22 Pasal UU SJSN dan 18 Pasal (R)UU BPJS menunggu peraturan pelaksanaan. 
Abad keduapuluh telah berlalu.  Pemenuhan hak konstitusional WNI atas jaminan sosial masih belum terpenuhi. Kapankah kita, bangsa Indonesia, akan menjadi bagian dari karya besar abad keduapuluh? Kita tunggu tanda tangan Pak SBY dalam UU BPJS beserta seluruh peraturan-peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS.







Kesimpulan
Disini saya dapat menyimpulkan bahwa jaminan sosial adalah bentuk dukungan pendapatan kepada penduduk yang tidak mampu baik dalam bentuk uang tunai maupun lyayanan. Pembiayaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara atau dari masysarakat yang besar nya sesuai dengan kemampuan negara atau masyarakat seperti : penduduk berusia lanjut, korban bencana, atau mereka yang terpaksa menganggur.
Bottom of Form