Kesepakatan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) oleh para pemimpin negara di Asia Tenggara sampai pada 2015 dan hasil kesepakatan konferensi negara-negara anggota APEC di Bali, menjadi dentum untuk segera menata kekuatan pasar domestik menuju globalisasi ekonomi. Sebuah langkah untuk membangun kekuatan ekonomi kawasan yang jelas harus dimaksudkan untuk meningkatkan produk domestik Indonesia, bukan sekadar membuka lebar-lebar produk asing sedangkan kekuatan ekonomi dalam negeri hanya menjadi penonton sebagaimana telah diperingatkan melalui gempuran produk pertanian asing.
Globalisasi ekonomi pada akhirnya juga akan berpengaruh pada globalisasi hukum karena adanya perjanjian-perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan negara lain. Dalam langkah inilah yang akan mempengaruhi lahirnya budaya global yang berorientasi pada universalisme budaya yang tidak akan mengenal batas-batas teritorial negara atau keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
Untuk mengatur perjanjian dagang dan perjanjian ekonomi sebagai perkembangan budaya global yang dimungkinkan banyaknya peniruan produk karya cipta manusia, maka berkembang pengaturan tentang Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disingkat HKI[2]sebagai salah satu jaminan dalam perdagangan internasional. Hal ini ditunjukkan dengan dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 yang di dalam perjanjiannya mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Rights (Persetujuan TRIPs/WTO).
Indonesia sendiri sudah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi Persetujuan TRIPs/WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Perjanjian Pembentukan WTO.Konsekuensi sebagai anggota WTO, Indonesia diharuskan untuk memenuhi ketentuan minimum yang ada dalam perjanjian WTO.Persetujuan TRIPs/WTO merupakan perjanjian yang mengatur mengenai aspek-aspek dagang terkait jaminan HKI, dengan cakupan bidang hak cipta, hak paten, hak merek, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, hak rahasia dagang, dan hak perlindungan varietas tanaman.
Lahirnya persetujuan TRIPs/WTO sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi dan menegakkan hak kekayaan intelektual melalui promosi inovasi teknologi serta pengalihan dan penyebaran teknologi yang nantinya dapat memberikan keuntungan bagi pencipta atau juga bagi pengguna pengetahuan teknologi. Oleh karena itu, pengaturan dan penerapan sistem perlindungan HKIdi Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya nasional agar tetap berdasarkan prinsip-prinsip dasar Pancasila sebagaimana pembangunan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.
Sistem Perlindungan HKI
Dalam proses pembentukan hukum perlindungan HKI, tetap perlu memperhatikan adanya kepentingan nasional, walaupun ketentuan-ketentuan dalam persetujuan TRIPs/WTO tentu harus diperhatikan. Hal ini sangat penting karena dalam dunia perdagangan dan ekonomi global, rezim kapitalis dan liberalis tentu akan membenarkan berbagai cara guna pencapaian orientasi keuntungan dagang tanpa mempedulikan nilai-nilai dasar suatu bangsa. Dengan demikian, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka perlu mengedepankan keseimbangan antara hak-hak individual dan hak masyarakat berdasarkan realitas sosial bangsa Indonesia.
Prinsip keseimbangan hak individu dan hak masyarakat atau hak sosial merupakan wujud dari falsafah hidup bangsa Indonesia yang tercantum di dalam Pancasila. Setidaknya itu dapat dilihat dari sila kelima misalnya, bahwa bangsa Indonesia berkeinginan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan secara formal kepada rakyat Indonesia. Hal demikian tentu berimplikasi pada penerapan sistem hukum perlindungan HKI yang dimaksudkan juga untuk melindungi kepentingan masyarakat dengan tetap menghargai hak individu dalam menghasilkan karya intelektual.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang bersumber dari adat istiadat, tradisi dan kebudayaan masyarakat Nusantara. Oleh karenanya kelima sila Pancasila tentu memiliki keterkaitan, sehingga dalam sila terdahulu akan menjadi sumber bagi sila selanjutnya atau sila di belakang merupakan penjelmaan dari sila di depannya.Keadilan yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia adalah keadilan berdasarkan Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan sistem hukum perlindungan HKI yang berdasarkan nilai-nilai dasar Pancasila jelas menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu hak dasar yang harus dilindungi untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang. Terlebih hak dasar perlindungan HKI tersebut dapat berpegangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia dapat memanfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya, salah satunya dengan HKI untuk mendapatkan jaminan hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Konsekuensi logis dari ketentuan di atas adalah adanya keharusan bahwa ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan di Indonesia harus berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan berpuncak pada nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[7] Keharusan pengembangan ilmu pengetahuan dengan menjaga prinsip-prinsip dasar di dalam Pancasila tentu dapat menjunjung semangat nasionalisme. Hal demikian dapat diwujudkan dengan pengaturan sistem perlindungan HKI yang mengutamakan kepentingan nasional dengan tetap berpegang pada ketentuan perjanjian internasional.
Pada dasarnya konsep HKI meliputi hak milik hasil pemikiran (intelektual) yang melekat pada pemiliknya dan bersifat tetap maupun eksklusif, dan hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik sehingga bersifat sementara. Hasil kemampuan berpikir ini adalah ide yang kemudian dijelmakan dalam wujud ciptaan atau invensi. Sedangkan hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik, sebagaimana hak untuk memperbanyak, hak untuk menggunakan produk tertentu atau hak untuk menghasilkan suatu produk tertentu.
Dalam upaya membangun sistem perlindungan HKI, hukum harus menyesuaikan proses perkembangan di masyarakat. Hukum merupakan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk adanya lembaga untuk pelaksanaan hukum tersebut.Hukum juga pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.
Pada dasarnya pembangunan sistem hukum HKI mengandung makna ganda.Pertama, dimaknai sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif agar sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kepentingan nasional. Kedua, dimaknai sebagai usaha untuk memfungsionalisasikan hukum HKI agar dapat mendukung proses pembangunan dengan adanya keikutsertaan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah yang dikehendaki undang-undang tentang HKI. Oleh karenanya, pembangunan sistem hukum perlindungan HKI sangat berkaitan dengan pembaharuan hukum positif untuk mendorong perubahan sosial agar tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Tujuan utama hukum adalah mewujudkan ketertiban (order), kepastian, dan keadilan. Kebutuhan inilah fakta bagi setiap masyarakat dapat terbangun melalui komponen-komponen sistem hukum dalam proses pembangunan hukum. Dengan demikian, tujuan pembangunan hukum perlindungan HKI dapat diwujudkan dengan baik dan nyata jika proses hukum berlangsung dengan baik dan stabil yang dipengaruhi berfungsinya setiap komponen hukum dengan baik.
Sistem hukum (legal system)adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur dan aturan hukum, yang meliputi substansi, struktur, dan budaya (kultur) hukum. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum beserta aparatnya, yang mencakup kepolisian dengan para polisi, kejaksaaan dengan para jaksa, kantorbantuan hukum dengan para advokat, dan pengadilan dengan para hakim. Dalam sistem hukum perlindungan HKI, struktur hukumnya mencakup institusi penegakan hukum beserta aparatnya yang menangani bidang HKI.
Demikian juga dalam sistem hukum perlindungan HKI, substansi hukumnya mencakup asas hukum, norma hukum dan aturan hukum termasuk putusan pengadilan yang berkaitan dengan pengaturan HKI. Dalam hal ini, selain undang-undang nasional termasuk juga perjanjian internasional yang telah diratikasi sebagaimana Persetujuan TRIPs/WTO. Substansi hukum pada akhirnya akan berinteraksi dengan budaya hukum berupa kebiasaan, opini, cara berpikir dan cara bertindak, dari para penegak hukum dan warga masyarakat.
Berangkat dari perubahan perilaku masyarakat yang demikian cepat karena kuatnya pengaruh perubahan lingkungan dimana dia tinggal yang diakibatkan oleh pesatnya pembangunan dan arus informasi melalui teknologi, maka hal yang sangat mendasar adalah membuat suatu peraturan hukum bidang HKI yang up to date. Dengan kata lain, hukum perlindungan HKI tidak boleh ketinggalan dengan proses perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Pembangunan sistem hukum perlindungan HKI yang berkesinambungan menghendaki adanya konsep hukum yang mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern.9
Simpulan
Sebagaimana uraian di atas, sangat difahami bahwa hukum sifatnya dinamis dengan memperhatikan perkembangan masyarakat. Sehingga posisi teori hukum itu sendiri akan mengkaji keberadaan hukum yang berlaku pada masyarakat dalam periode waktu tertentu. Dengan demikian teori hukum sangat diperlukan untuk mengkaji dan memberikan gagasan-gagasan baru dalam memberikan solusi hukum yang lebih optimal dilihat dari berbagi bidang ilmu, termasuk dalam upaya pembangunan sistem hukum perlindungan HKI, sehingga akan diperoleh adanya penemuan-penemuan hukum yang sesuai dengan zamannnya dan tidak berpotensi untuk ketinggalan jaman.
Munculnya era baru berupa globalisasi, sejak saat itulah sudah hampir tidak ada lagi batas antara satu negara dengan negara lain dalam hal melakukan perdagangan maupun pertukaran informasi. Kenyataan ini akan mengakibatkan munculnya dampak yang luar biasa, tidak hanya menyangkut ekonomi tetapi juga menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap perubahan-perubahan perilaku masyarakat yang ditimbulkan oleh berubahnya sistem dan gaya kehidupan masyarakat tradisional ke arah modern. Dengan demikian kehidupan sosial masyarakat lambat laun akan mengalami perubahan yang cukup signifikan sebagaimana perlindungan HKI Indonesia.
Eka Ari Wibawa, Fungsional Widyaiswara Kemenkumham
Lembaga diklat sebagai pelaksana tanggung jawab meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparatur dalam gelombang reformasi birokrasi menuntut kreativitas untuk mendesain diklat yang berbasis kompetensi. Hal demikian dimaksudkan agar penyelenggaraan diklat dapat terintegrasi dengan strategi penataan SDM dalam meningkatkan produktivitas organisasi. Baik dalam manajemen penilaian kerja, promosi, atau sistem hadiah dan hukuman.
Setidaknya ada tujuh maksud utama program pelatihan dan pengembangan diselenggarakan dalam suatu organisasi, yaitu memperbaiki kinerja, meningkatkan keterampilan karyawan, menghindari ketertinggalan zaman atas model manajerial, memecahkan permasalahan, orientasi karyawan baru, persiapan promosi, pengukuran keberhasilan manajerial, dan memberi kepuasan untuk kebutuhan pengembangan personal. Semua rangkaian tujuan tersebut harus menyatu dan saling menguatkan.
Oleh karena itu, proses mengintegrasikan semua tujuan kediklatan atau pengembangan SDM membutuhkan adanya pelatihan berbasis kompetensi baik secara tradisi atau konvensional yang didapatkan dari analisis kebutuhan diklat. Model akhir dari diklat demikian adalah peserta yang telah usai mengikuti pelatihan tidak hanya sekadar mengetahui tataran konseptual, melainkan juga dapat melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan berdasarkan diskrepansi kemampuan masing-masing.
Dalam sistem berbasis kompetensi, pelatihan untuk PNS difokuskan pada kinerja aktual khususnya kinerja organisasi sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam sistem pelatihan berbasis kompetensi tahap awal yang harus dirumuskan adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan pegawai dengan baik, sehingga membutuhkan analisis kebutuhan diklat yang mengedepankan kompetensi.
Sebagai PNS Hukum dan HAM, tentu mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan terhadap publik dalam penguatan nilai-nilai HAM dan hukum. Tentunya untuk memberikan pelayanan yang baik, dibutuhkan aparatur yang benar-benar kompeten dengan pendekatan soft skill (40 %), networking (30%), keahlian di bidangnya(20%), Finansial (10%). Tentunya 4 (empat) faktor tersebut harus dimiliki oleh aparatur hukum dan HAM untuk mampu menghadapi tantangan global. Untuk itu, dalam meningkatkan soft skill dan keahlian di bidangnya, perlu dibuat pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan serta kejelasan penjenjangan. Profesional akan dimiliki apabila memiliki kompetensi, dan kompetensi akan dimiliki jika diklat yang dilangsungkan benar-benar mengedepankan basis kompetensi yang jelas adanya kamus kompetensi.
Sebagaimana tantangan saat ini, pelayanan di bidang hukum dan HAM, terutama yang berada dalam tatanan pelayanan pemasyarakatan di bawah Direktorat Pemasyarakatan, selalu menjadi sorotan karena belum maksimal dalam penanganan jaringan narkoba di dalam lembaga pemasayarakatan. Hal ini disebabkan kurangnya kualitas Sumber Daya Manusianya, sarana dan prasarana, serta alat penunjang lainnya. Sarana dan prasarana ada, tetapi tidak ditunjang oleh SDM yang terampil mengoperasionalkan alat-alat canggih, akhirnya terjadi kerusakan pada alat-alat karena ketidak tahuan. Bukan rahasia lagi dalam suatu instansi ada PNS selama menjadi pegawai belum pernah mengikuti pelatihan, dan sebaliknya ada PNS yang lebih sering disebut dengan spesialis pelatihan, selalu dikirim pelatihan, walaupun pelatihan itu tidak sesuai dengan bidang kerjanya. Kondisi ini yang terjadi pada area kerja PNS Hukum dan HAM. Tentunya hal ini tidak akan berdampak terhadap peningkatan kualitas kinerja individu tersebut.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2025 disebutkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya. Fokus pengembangannya diarahkan pada birokrasi pemerintah dengan prioritas pada kemampuan sektor publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan menerapkan tata pemerintahan yang baik.
Arah kebijakan reformasi birokrasi adalah membangun profil dan perilaku aparatur negara yang berintegritas tinggi, produktif, dan mampu memberikan pelayanan yang prima kepada publik/masyarakat. Selain itu, reformasi birokrasi juga diharapkan dapat membangun birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel dalam melayani dan memberdayakan masyarakat. Sasaran dari reformasi birokrasi tersebut adalah mengubah pola pikir(mind set), budaya dan manajemen pemerintahan. Dengan demikian, aparatur penyelenggara pemerintahan menjadi pengungkit (leverage point) reformasi birokrasi Indonesia dalam pelayanan prima kepada masyarakat. Dan tentunya harus didukung dengan pelatihan berbasis kompetensi yang dihasilkan dari rekomendasi analisis kebutuhan diklat (AKD).
Simpulan
Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan secara professional suatu kegiatan dalam kategori atau fungsi praktek keprofesian sesuai dengan standar operasional yang baku. Dalam pengertian lain, kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Kompetensi dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (soft skill), atribut pribadi atau sikap dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin dalam tampilan kinerja seseorang, dapat diukur, diamati dan dievaluasi.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) aparatur merupakan suatu keharusan yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan tugas sekaligus menjawab tantangan masa depan. Keharusan pengembangan tersebut meliputi dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, sehingga tujuan maupun sasaran organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Fokus dari semua dimensi pengembangan SDM demikian adalah menciptakan pegawai yang memiliki kompetensi unggul dalam pencapaian tujuan pekerjaan berupa pelayanan kepada masyarakat.
Dalam upaya menjadikan SDM aparatur memiliki kontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi, maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan kualitas secara komprehensif dan sistematik melalui pendidikan dan pelatihan serta pemberdayaan. Pengembangan SDM ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pelatihan kerja, dan pengembangan di tempat pegawai bekerja. Hal itu untuk menjawab banyaknya fenomena SDM aparatur yang kurang mampu dan kurang produktif, kurang memiliki inisiatif dan kreatif, termasuk kurang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. Kondisi pegawai demikian jelas disebabkan pendidikan formal yang pernah diterimanya belum mampu mengejar perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kerjanya akibat belum optimalnya menggunakan hasil rekomendasi AKD untuk ditindaklanjuti.
Muh. Khamdan, Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga memiliki naluri dasar secara alamiah untuk berhubungan dan membutuhkan dengan sesama. Hubungan deikian dimulai dari tingkat pasangan, keluarga, tetangga, masyarakat, negara, dan komunitas internasional. Dalam hal ini, koordinasi menjadi jembatan penghubung relasi yang telah terbangun guna memudahkan individu maupun komunitas tersebut melakukan pekerjaan sesuai tugas maupun fungsi dan peran yang diemban.
Relasi dan koordinasi dalam melakukan pekerjaan menjadi sangat penting karena seseorang tidak mungkin dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan keberhasilan membangun koordinasi tersebut dipengaruhi oleh kuatnya relasi horisontal dan relasi vertikal. Relasi secara horisontal dilakukan antara sesama pegawai yang setara, sementara relasi vertikal terbangun antara pegawai dengan atasan atau dengan level yang lebih tinggi.
Terbangunnya koordinasi antara sesama pegawai maupun dengan pimpinan yang lebih tinggi pada dasarnya akan memberikan manfaat dalam pencapaian sasaran kinerja. Pertama, saling memahami karakter teman sejawat masing-masing, termasuk dengan pimpinan dan arah sebaliknya menjadikan pimpinan mengetahui yang di bawahnya. Kedua, saling memahami uraian pekerjaan dan tahap pelaksanaan suatu pekerjaan yang dipimpin oleh atasan atau pekerjaan yang membutuhkan kerjasama tim. Ketiga, terbangunnya kerjasama dalam suatu tim kerja yang kompak sehingga mewujudkan adanya dinamika kelompok. Keempat, meminimalisir terjadinya konflik horosontal maupun konflik vertikal. Kelima, menciptakan lingkungan kerja yang harmonis sekaligus budaya kerja yang mempengaruhi adanya peningkatan kinerja karyawan.
Hal penting dari relasi yang terbangun atas adanya koordinasi bagi organisasi adalah suasana nyaman bekerja dan budaya kerja yang sangat mendukung pencapaian target organisasi. Pada gilirannya standar kinerja organisasi pun akan tercapai karena dukungan hubungan secara formal maupun jalur informal dalam wadahsilaturrahim. Secara formal maka relasi yang dibangun tentu akan bersesuaian dengan standar baku operasional yang telah disepakati organisasi. Koordinasi kerja di lapangan dan rapat kerja mulai dari tingkat terkecil atau ujung pelayanan adalah contoh dalam bentuk relasi formal. Selain itu jalur ini bisa dilakukan secara individual, baik pegawai dengan pimpinan maupun sebaliknya.
Langkah formal tentu dapat didukung adanya koordinasi dalam jalur informal sebagaimana kegiatan-kegiatan sosial kekeluargaan seperti darmawisata bersama, olahraga, peringatan ulang tahun organisasi, dan silaturahmi acara hari lebaran maupun hari-hari besar agama lainnya. Membangkitkan semangat memiliki organisasi tentu dapat dibangun dari segi psikologi pegawai yang nyaman.
Selain relasi internal sesama anggota organisasi, maka membangun relasi eksternal menjadi sangaat penting. Pegawai dan pimpinan harus mampu membangun relasi dengan pemangku kepentingan seperti dengan pemasok bahan baku, pebisnis lainnya, dan pelanggan. Tujuannya adalah agar dapat dibangun suasana hubungan organisasi yang nyaman. Oleh karenanya, memelihara hubungan yang saling memperkuat dan saling menguntungkan membutuhkan suasana keterbukaan dan kepercayaan yang tentunya akan semakin mudah terbangun melalui hubungan informal.
Tentu dalam membangun hubungan antarpegawai ditentukan oleh banyak faktor, terutama terkait kecakapan untuk menjaga dan membawa diri dalam waktu dan tempat yang tepat dengan lingungan kerja dan lingkungan sekitarnya. Dalam proses ini, pegawai maupun pimpinan harus memiliki keterampilan soft skills di antaranya kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Contoh perilaku yang perlu diterapkan adalah bersikap wajar dan menjaga etika pergaulan, bergaul secara sehat dalam jaringan yang sehat dan tepat dan waktu yang tepat, membangun saling pengertian, mampu mengendalikan kehidupan diri dengan perilaku yang baik, dan mampu membawa orang lain untuk sukses bersama.
Dalam proses koordinasi maka yang terpenting adalah membangun tim kerja yang solid sehingga mampu berkolaborasi dalam merumuskan pembaharuan organisasi. We don’t create superman or woman, we develop super team. Demikian kredo yang perlu menjadi pijakan dalam membangun antusiasme organisasi, sebab tanpa kualitas kerjasama tim maka sebuah organisasi dapat berjalan lambat dan justru tergerus arus perubahan yang berjalan kencang.
Elemen terpenting dalam membangun koordinasi tim kerja adalah adanya tujuan dan sasaran kinerja yang jelas dan telah tersedianya pemetaan tanggung jawab masing-masing anggota tim. Di kantor pemerintahan, kelemahan mendasar yang dihadapi adalah pegawai saling bekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas, sehingga membuat arah persimpangan. Komunikasi dan koordinasi memang kata yang sangat sederhana, namun seringkali dua hal tersebut tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya ego sektoral sehingga tidak terjalin sesama pegawai.
Dengan demikian, elemen terpenting dalam suatu organisasi adalah mekanisme yang sistematis untuk menjembatani adanya saluran komunikasi yang baik sesama pegawai. Dalam hal ini untuk menumbuhkan masing-masing anggota memahami apa kontribusinya menjadi bagian dari tim yang ada. Pemahaman demikian guna melahirkan sense of togetherness yang solid atau spirit kebersamaan untuk pencapaian kinerja organisasi. Oleh karena itu, perasaan egoisme yang kental atau perasaan sebagai pihak yang memiliki kontribusi terbesar dapat dikurangi karena adanya hubungan timbal balik dari masing-masing pegawai. Hasil terakhir dari proses koordinasi dan komunikasi adalah organisasi yang dapat membantu pegawainya untuk mengembangkan dan mencapai potensi penuh dari dirinya (aktualisasi diri).
Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyebutkan budaya spiritualitas yang sangat perlu dibentuk di dunia kerja. Budaya ini dapat berupa semangat strong sense of purpose. Meskipun pencapaian keuntungan itu penting, tetapi hal yang lebih penting adalah pencapaian tujuan perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi.Kedua, trust and respect pada akhirnya akan memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan, dan kejujuran yang tercermin dari tidak takutnya pegawai maupun pimpinan untuk melakukan dan mengakui kesalahan.
Dengan terbentuknya budaya kerja yang diinspirasi adanya ikatan emosional yang sangat erat di tempat kerja, maka akan dapat dibentuk karyawan yang happy, sekaligus tahu dan mampu memenuhi tujuan organisasi. Pegawai yang demikian tentu akan memiliki hidup yang seimbang antara kerja dan pribadi, antara tugas dan pelayanan. Komitmen demikian merupakan bentuk dari menginternalisasikan kecerdasan spiritual dalam pemberdayaan aparatur sehingga membutuhkan adanya komitmen konsep diri, konsep identitas sosial, dan pemantapan tujuan yang akan dicapai.Konsep diri inilah yang mengantarkan seseorang mau dan mampu berkoordinasi dan berkomunikasi karena tahu posisinya dalam suatu organisasi dan kontribusi pencapaian kinerjanya.
Oleh : Prasetyo Nugroho, S.P., M.Si
I. PENDAHULUAN
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 ditandai oleh runtuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa 32 tahun, diharapkan menciptakan perubahan yang besar menuju ke arah yang lebih baik. Berbagai tututan yang muncul dengan arah pada perubahan memberikan semangat dalam melakukan perubahan di berbagai sektor.
Dalam seleksi alam menurut Darwin, bukan yang terkuat yang akan bertahan, melainkan yang palingadaptif (Kasali, 2007). Jadi pada masa perubahan hanya yang dapat berdaptasi dengan keadaanlah yang mampu tetap eksis menjalankan roda kehidupannya. Dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai pelaku birokrasi.
Setelah digulirkannya reformasi di Indonesia, pemerintahan telah dipegang oleh empat presiden sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kebijakan yang berbeda pula. Tetapi pada kenyataanya belum dapat dirasakan secara singifikan oleh masyarakat secara luas perubahan yang terjadi. Kelemahan yang mendasar dari proses pembangunan di Indonesia antara lain disebabkan oleh pemerintahan yang buruk (bad governance). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri akibat telah mendarah dagingnya pola pemerintahan lama yang cenderung kurang dapat terbuka, baik dalam menerima arahan atau sebaliknya.
Kekhawatiran dan kecemasan warga negara yang bersumber pada krisis politik dan kepemimpinan nasional ini sebenarnya dapat dikurangi jika : jajaran birokrasi dapat tegak dan kokoh tidak terlibat dalam krisis politik. Mereka tidak masuk dalam pemihakan politis dan tetap menjalankan aturan yang memang rasional, tidak mengundang penafsiran ganda untuk diterima oleh masyarakat luas. Selain itu seluruh departemen dan birokrasi pemerintah provinsi serta kabupaten, kecamatan dan desa termasuk dalam katagori birokrasi yang dimaksud sebagai lembaga non politis dapat menciptakan pemerintahan yang baik. birokrasi adalah cara kerja yang “rasional”. Rasional berarti bahwa orang-orang yang bekerja dalam organisasi itu menyusun aktivitasnya secara jelas, terencana, punya tujuan yang terukur berdsarkan aturan tertulis. Untuk mencapai karakteristik legal formal, akuntabilitas, efisien dan fleksibel, birokrasi dipersyaratkan untuk bekerja secara transparan di hadapan masyarakat (eksternal) dan terkait dengan desentralistis di dalam dirinya sendiri (internal).
Transparan berarti bahwa kiprah birokrasi harus dapat dilihat tidak saja oleh para birokrat dari departemen lain, melainkan juga terlihat oleh masyarakat (Wibawa, 2001).Dengan transparasi dimungkinkan dilakukan evaluasi oleh politisi dan masyarakat. atas dasar evaluasi itulah pemerintah dan parlemen dapat merumuskan agenda penyempurnaan atau reformasi untuk terus-menerus berusaha menciptakan birokrasi yang ideal. Menurut Kasali (2007), penyebab utama lambannya pembaharuan aparatur pemerintahan bukan karena kualitas sumberdaya manusia atau sistem rekruitmen yang sarat dengan koneksi, tetapi bersumber dari minimnya unsur pembentuk sifat perubahan (change DNA) organisasi. Sehingga dimungkinkan hal tersebut juga berpengaruh terhadap budaya kerja atau organisasi pemerintahan saat ini.
Menurut majalah National Geographic edisi Maret 2006, para ahli berpendapat bahwa setiap manusia memiliki unsur yang dikenal sebagai DNA (Deoxiribio Nuclead Acid). Unsur DNA menjadi sangat penting karena memberi indikasi tentang hidup.Sebuah studi yang dilakukann oleh Arvey (2005) dalam Kasali, menemukan bahwa unsur DNA membentuk sekitar 30 persen perbedaan antar manusia dalam kepemimpinannya (Kasali, 2006).
Birokrasi di Indonesia masih terkesan memenitingkan prosedur daripada substansi sebagai abdi masyarakat.Menurut Islamy (1998), birokrasi di kebanyakan negara berkembangtermasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangatotoritatif dan represif. Oleh sebab itu maka perlu dilakukan pembenahan pada SDM nya. Sebelum melakukan pembenahan SDM di lingkungan Pemkab terlebih dahulu harus diukur kadar potensi perubahan yang dapat dilakukan.
Terkait dengan unsur pembentuk atribut atau sifat aparatur, Kasali (2006) mengidentifikasikan lima komponen pembentuk kepribadian yang potensial untuk melakukan perubahan, yaitu keterbukaan pikiran (openness to experience), keterbukaan hati dan telinga (openness to conscientiousness), keterbukaan diri terhadap orang lain, kebersamaan dan hubungan-hubungan (openness to extroversion), keterbukaan terhadap kesepakatan (openness to agreeableness), dan keterbukaan terhadap tekanan (openness to neuroticism).
II. SUMBER DAYA APARATUR
Birokrat merupakan pelaku birokrasi atau pemerintahan di suatu wilayah, menurut Atmosudirdjo dalam Syafi’i (2003) tugas pemerintah antara lain tata usaha negara, rumah tangga negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu pemerintah harus melaksanakan pemerintahan yang baik (good governance). Tapi pemerintahan yang terdapat individu-individu di dalamnya dengan berbagai kepentingan terkadang malah menimbulkan ketidakpuasan masyarakat serta menciptakan pemerintahan yang buruk (bad governance) di mata masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk mewujudkan good public governance yang bukan merupakan pilihan kebijakan pemerintah dalam jangka menengah. Mengingat terbentuknya good public governance punya implikasi yang sangat luas, seperti; menyangkut penataan administrasi negara yang efesien, terbentuknya ethos kerja yang tinggi, hadirnya semangat profesionalisme dikalangan aparatur pemerintahan, maupun sebagai prasyarat bagi pemulihan krisis ekonomi yang berlarut-larut. Maka, kita harus mendesak agar pilihan terhadap kebijakan itu dapat dilaksanakan secepat mungkin tanpa harus menunggu pemerintahan mendatang.
Desakan itu muncul disebabkan kenyataan bahwa justru dalam proses restrukturalisasi peran pemerintah yang tengah berlangsung kini sebagai konsekuensi terhadap reformasi sepatutnya telah dihasilkan landasan peraturan dan kelembagaan serta budaya politik baru yang tercipta di kemudian hari (Syahputra, 2000). Perubahan keorganisasian (organizational change) merupakan tindakan beralihnya suatu organisasi dari kondisi yang berlaku kini menuju kondisi masa datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitasnya ( Jones dalam Winardi, 2005)
Berbagai ketidakpuasan masyarakat menciptakan image yang beragam dan menjurus arah negatif tehadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Gejolak dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini sadar atau tidak, sangat mempengaruhi kehidupan bagi suatu organisasi. Hal tersebut dapat digunakan sebagai pendorong untuk dilakukannya reformasi birokrasi secara total terhadap pemerintahan. Walaupun tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik, hingga dalam hal tersebut perlu diupayakan agar bila dimunkinkan perubahan diarahkan ke arah hal yang lebih baik dibandingkan kondisi sebelumnya. Keharusan untuk melaksanakan perubahan dalam lingkungan yang penuh turbelensi dan dinamika, merupakan sebuah fakta kehidupan, bagi kebanyakan organisasi-organisasi dewasa ini tidak boleh menunggu hingga mengalami proses kemunduran terlebih dahulu (Winardi, 2005).
Berbagai hal yang kurang menggembirakan pada wajah birokrasi Indonesia banyak diakibatkan adanya patologi birokrasi di dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal (Siagian,1994). Hal senada diungkapkan Kartasasmita (1995) yang menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan.
Rendahnya kualitas SDM aparatur, tercermin dari kondisi: kesejahteraan pegawai, rekruitmen dan pembinaan karir, budaya kerja, dan profesionalisme sumberdaya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur negara.
Kesejahteraan pegawai di republik ini diakui banyak pihak relatif masih belum layak. Sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan prestasi kerja. Sistem penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi. Saat ini PNS pada tingkat struktural yang sama, pegawai yang memiliki produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif, dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Sistem penggajian yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang produktif dan yang rajin. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak jujur, asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat dipertanggungjawabkan secara semu kepada badan pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat ini (Bappenas, 2004)
Menurut Osborne dan Plastrik (2004) untuk merombak lembaga pemerintahan adalah pekerjaan yang besar. Agar berhasil, harus di gunakan strategi yang tepat. Untuk itu maka hal yang paling cepat dapat dilakukan yaitu dengan memperbaiki perilaku individu pelaku pemerintahan lebih dahulu. Dalam situasi demikian, solusinya adalah rekayasa genetika dengan mengubah DNA dari sitem tersebut. Para pembaharu yang yang berhasil, secara kebetulan menemukan pandangan dasar yang sama, dibalik rumitnya sistem pemerintahan terdapat beberapa pendongkrak fundamental yang membuat lembaga pemerintah berjalan dengan cara mereka. Ada banyak cara untuk mengkatagorikan pendongkrak utama perubahan. Yang dikelompokan dalam lima strategi dasar. Masing-masing strategi mencakup beberapa pendekatan dan alat atau metodenya, dapat digambarkan dan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel .Lima Strategi Pendongkrak Perubahan
Lima Strategi
| ||
Pendongkrak
|
Strategi
|
Pendekatan
|
Tujuan
|
Strategi inti
|
Kejelasan Tujuan
Kejelasan Peran
Kejelasan Arah
|
Inisiatif
|
Strategi Konsekuensi
|
Persaingan Terkendali
Manajemen Perusahaan
Manajemen Kinerja
|
Pertanggungjawaban
|
Strategi Pelanggan
|
Pilihan Pelanggan
Pilihan Kompetitif
Pemastian Mutu Pelanggan
|
Kekuasaan
|
Strategi Pengendalian
|
Organisasional
Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan Masyarakat
|
Budaya
|
Strategi Budaya
|
Menghentikan Kebiasaan
Menyentuh Perasaan
Mangubah Pikiran
|
Sumber : Memangkas Birokrasi karangan David Osborne dan Peter Plastrik tahun 2001
Cara kerja tradisional mewarnai kehidupan manajemen, baik di pemerintahan maupun masyarakat. Cara tersebut sudah tidak efisien lagi, karena sangat lamban dan menghambat perubahan. Menurut J.C. Tukiman Taruna dalam Supriyadi dan Guno (2006) masyarakat Indonesia masih bersifat feodalistik, ketat pada peraturan, lebih menyenangi tertutup, lebih suka mempersulit pelayanan kepada orang lain, menghadapi orang lain dengan penuh curiga dalam keadaan tertentu suka main hakim sendiri, dan suka membuat peraturan untuk memperkuat diri sendiri. Prof. Dr. Warren Bennis menyatakan keadaan seperti itu disebut matinya birokrasi, karena bersifat kaku dan lamban sehingga tidak mampu bersifat cepat dan mendasar. Disebut mendasar karena menyangkut SDM dalam upaya perubahan sikap dan periku manajemen baru yang lebih dinamik dan fleksibel. Namun perubahan sikap dan perilaku SDM tersebut memerlukan proses waktu yang cukup lama agar benar-benar menjadi budaya baru (Supriyadi dan Guno, 2006).
Menurut Kasali (2007), penyebab utama lambannya pembaharuan aparatur pemerintahan bukan karena kualitas sumberdaya manusia atau sistem rekruitmen yang sarat dengan koneksi, tetapi bersumber dari minimnya unsur pembentuk sifat perubahan (change DNA) organisasi. Terkait dengan unsur pembentuk sifat pada individu birokrat, Kasali mengidentifikasikan lima komponen pembentuk kepribadian yang potensial untuk melakukan perubahan, yaitu keterbukaan pikiran (openness to experience), keterbukaan hati dan telinga (openness to conscientiousness), keterbukaan diri terhadap orang lain, kebersamaan dan hubungan-hubungan (openness to extroversion), keterbukaan terhadap kesepakatan (openness to agreeableness), dan keterbukaan terhadap tekanan (openness to neuroticism).
III. Budaya Birokrasi
Organisasi pemerintah atau lazim disebut birokrasi mempunyai pengertian dalam arti statis adalah merupakan wadah yang berupa struktur atau bagan organisasi, tempat berkumpul orang-orang atau anggota yang melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan dalam arti dinamis merupakan proses penetapan dan pembagian pekerjaan. Dalam operasionalnya organisasi pemerintah dapat dibedakan dalam Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen (LPND). Adapun bentuk organisasi pemerintah merupakan gabungan dari unsur lini, unsur staf dan fungsional. (Supriyadi dan Guno, 2006).
Dalam pelaksanaan pemerintahan dengan menciptakan tata pemerintahan yang baik, maka diperlukan budaya kerja yang baik bagi seluruh elemen pelaku pemerintahan. Menurut Koentjoroningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Budaya kerja itu sendiri merupakan cara kerja baru yang berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat.
Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena dapat merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi masa depan. Manfaat yang didapat antara lain : menjamin hasil kerja dengan kualitas lebih baik; membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan kebersamaan, kegotong royongan, kekeluargaan, menemukan masalah dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dari perkembangan dari luar ( Supriyadi dan Gino, 2006). Tujuan utama daripada perubahan organisasional adalah untuk meningkatkan kemampuan operasional dari setiap dan semua orang di dalam organisasi yang gilirannya memamng biasa tercermin dalam peningkatan kemampuan organisasi sebagai keseluruhan (Siagian,1982).
Menurut Budhi Paramita dalam tulisannya yang berjudul "Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia", budaya kerja dapat dibagi menjadi sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada waktu bekerja ( Supriyadi dan Gino, 2006).
Dewasa ini birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy (1998) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Menurut Islamy (1998) terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya.
Oleh sebab itu itu menciptakan iklim yang baik dan memuaskan pada birokrasi maka perlu dilakukan re code DNA atau perbaikan kembali sifat-sifat pelaku birokrasi. Hal tesebut merupakan titik awal dalam menciptakan budaya organisasi yang baik dalam menciptakan good governance.
Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi, berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup etika dan budaya kerja, masih banyak pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan norma-norma, etika dan aturan birokrasi yang baik. Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan kewenangan sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sehingga harapan akan suatu kultur birokrasi pemerintah yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai.
Fenomena seperti ini menunjukkan keadaan yang sangat memperihatinkan mengingat dewasa ini terdapat tantangan lokal, regional maupun global yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan ekonomi antar negara. Bila dilihat dari SDM aparatur pemerintah (pelaksana birokrasi) terdapat kelemahan yang cukup mencolok yakni adanya budaya aparatur yang belum mendukung terhadap upaya menerapkan dan mengaktualisasikan good governance.
Salah satu budaya yang juga merupakan bagian dari pewarisan pemerintah kolonial adalah adanya budaya birokrat yang ingin dilayani. Dalam konteks ini maka para aparatur birokrasi yang seharusnya melayani justru memiliki paradigma minta dilayani. Sehingga dalam kondisi ini terdapat pihak yang superior yakni birokrat, dan masyarakat yang inferior. Kondisi ini lazim disebut sebagai pola patron-client (Bappenas, 2004).
Pola patron-client ini telah mengakar dan menggejala hampir di keseluruhan level pemerintahan baik di tingkat pemerintah pusat, maupun di tingkat pemerintah daerah. Kondisi ini banyak dilatarbelakangi oleh pewarisan dan proses pembelajaran yang efektif utamanya ketika masa sentralisasi di jaman orde baru demikian kuat. Proses pembelajaran dari para pemimpin birokrasi di level yang lebih tinggi memperoleh peneguhan ketika kondisi hirarkis organisasi pemerintah demikian kuat, sehingga yang terjadi adalah internalisasi nilai bahwa para pelaksana sistem birokrasi adalah orang yang berhak dilayani oleh masyarakat yang meminta pelayanan kepadanya.
Di samping itu, kondisi politik di Indonesia yang mulai berubah sejak digaungkannya reformasi politik dan munculnya orde reformasi, nyatanya belum sepenuhnya memberikan pengaruh signifikan dalam proses pergeseran/perubahan paradigma pemerintah sebagai pelayan dan sekaligus fasilitator. Gaung perubahan paradigma “sikap melayani” pada aparatur pemerintah, belum terinternalisasi secara substansial, dan menunjukkan gejala belum berubahnya paradigma tersebut terutama bila dilihat secara aktual dan faktual pelayanan publik. Indikasinya adalah masih begitu banyaknya keluhan masyarakat yang mempersoalkan demikian sulitnya berurusan dengan birokrasi, dan terdapat kecenderungan birokrasi berpihak kepada golongan masyarakat kaya.
Harus disadari bahwa lemahnya penerapan dan aktualisasi prinsip-prinsip good governance banyak dipengaruhi oleh keadaan, yang mana pada dasarnya SDM birokrasi belum sepenuhnya memahami apa sebenarnya good governance. Pemahaman bahwa good governance adalah merupakan suatu syarat mutlak untuk memperbaiki kinerja pemerintah memang sudah dipahami. Namun good governance dalam konteks proses dan bagaimana mengaktualisasikannya masih banyak yang belum memahami secara utuh. Salah satu indikasinya antara lain adalah aspek transparansi yang merupakan salah satu dari prinsip good governance yang telah diterapkan yaitu antara lain dengan membuka dan memfasilitasi keluhan masyarakat, memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, akan tetapi dalam prakteknya bagaimana mengolah informasi dan digunakan untuk sebesar-besar menjadi pertimbangan yang berorientasi pelanggan masih belum diimplementasikan.
Jadi dalam hal ini aspek transparansi hanya dipahami dalam konteks keterbukaan saja, sedangkan aspek transparansi sebagai proses komunikasi dan memperoleh feedback belum dipahami secara tepat. Sehingga dengan demikian komunikasi konvergen yang diharapkan terjadi karena adanya aspek transparansi belum optimal terwujud.
Kondisi di atas mencerminkan masih lemahnya SDM aparatur dalam mengaktualisasikan good governance. Namun demikian perlu dipahami pengembangan SDM harus dilakukan secara simultan dan merupakan sinergi dengan pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi dalam hal ini diarahkan pada organisasi yang memberikan ruang untuk belajar.
Dalam pengembangan SDM terkait dengan penerapan dan aktualisasi good governance, maka dapat dilakukan pada pemberdayaan individu dan pemberdayaan kelompok. Pemberdayaan individu meliputi proses peningkatan kompetensi (Bappenas, 2004).
IV. KESIMPULAN
Untuk itu, pemerintah harus berupaya secara sungguh-sungguh untuk merubah sisi-sisi negatif dalam birokrasinya, sehingga ke depan mampu merespon dan beradaptasi dengan tantangan global yang semakin rumit dan kompleks. Berbagai fenomena di atas, hanya dapat diatasi dengan melakukan reformasi birokrasi secara tegas, jelas dan efektif. Kesadaran ini berasumsi bahwa reformasi politik yang yang sedang berlangsung belum akan memperoleh hasil yang optimal, manakala reformasi birokrasi belum dijalankan. Sehubungan dengan hal tersebut sedikitnya terdapat tiga hal mendasar yang digunakan sebagai pendekatan dalam rencana tindak reformasi birokrasi yang harus dilakukan, yakni kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia aparatur pemerintahan (Bappenas, 2004).
Pemerintahan yang baik memerlukan keterbukaan, sehingga dapat menerima, menyerap dan menjalankan inovasi-inovasi baru menuju ke arah yang lebih baik. Dalam rangka perbaikan sistem birokrasi di Indonesia, hal yang penting dan paling mendasar dengan melakukan pembenahan sumber daya aparatur dengan mempertimbangkan kinerja, dedikasi, loyalitas, rasa tanggung jawab, tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Dengan memperbaiki aparatur birokrasi saat ini yang masih dianggap “kurang maksimal” kinerjanya oleh banyak kalangan haltersebut akan mendorong terwujudnya budaya kerja pemerintahan menuju good governance dan clean governance kedepannya.
Eka Ari Wibawa, Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM
Globalisasi telah membuat lingkungan selalu bergelombang bagaikan kerasnya ombak di samudera, yang selalu mengguncang dan menggoyang perahu yang berada di tengah-tengah samudera tersebut. Dalam konteks organisasi, globalisasi telah menciptakan lingkungan vertikal di mana berbagai organisasi harus bertanding di atas perahu yang terus bergoyang dengan keras dan kencang. Era globalisasi yang bercirikan persaingan tersebut akan ditentukan oleh kualitas SDM.
Sepakat atau tidak, kualitas bangsa ini akan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianyaaparaturnya. Dan kualitas sebagai negara hukum tentu sangat tergantung pada kualitas SD kementerian di bidan hukum, yakni Kemenkumham. Imbasnya, kualitas SDM Kemenkumham, tergantung dari lembaga diklat aparatur yang ada, yaitu Badan Pengembangan SDM Hukum dan HAM.
Lembaga diklat merupakan salah satu pintu utama untuk memasukinya. Human investment melalui diklat bermutu, akan melahirkan SDM aparatur bermutu yang pada akhirnya diharapkan akan membawa Indonesia untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Salah satu komponen diklat yang mempunyai peranan sangat penting adalah pengajar, baik widyaiswara, pejabat struktural yang diminta “mengajar”, dan akademisi lain.
Untuk widyaiswara misalnya, jelas sudah memiliki uraian jabatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. 14 Tahun 2009, yaitu mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS. Hal ini berarti bahwa selain pada peserta pelatihan itu sendiri, keberhasilan peserta pelatihan dalam menyerap, mengerti dan memahami materi yang disampaikan dalam sebuah kegiatan pelatihan sebagian besar terletak di pundak widyaiswara.
Semua profesi dituntut profesionalis di bidangnya. Artinya, bekerja menurut kaidah profesi. Tuntutan tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam birokrasi, ketika tuntutan pelayan birokrasi semakin meningkat dalam kerangka good governance (Fanggidae, 2008). Dengan demikian, kesuksesan suatu program pengajaran diklat juga akan sangat ditentukan oleh profesionalisme yang dimiliki oleh widyaiswara. Widyaiswara yang profesional akan memiliki kompetensi (kemampuan mengajar dan kemampuan memfasilitasi) yang unggul dalam suatu proses pembelajaran.
Seandainya diklat dapat diasosiasikan sebagai sebatang pohon yang indah, maka widyaiswara dan pengajar lainnya lebih tepat diibaratkan sebagai akar pohon tersebut. Kekuatan dan kesuburan pohon diklat sangat tergantung kepada kualitas akarnya.
Memahami Kompetensi
Kata kompetensi merupakan saduran dari bahasa Inggris “Competence” yang berarti kemampuan atau kecakapan. Menurut Susanto (2003) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Kompetensi merupakan karakteristik diri yang menjadi pembeda antara performance yang sangat baik dengan performance yang biasa dalam suatu pekerjaan atau organisasi.
Ife (1995) menyatakan bahwa secara umum kompetensi dimaknai sama dengan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh seseorang (skills) untuk melakukan suatu pekerjaan. Sejalan pendapat tersebut, Mendiknas dalam SK. No. 045/U/2002, menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Istilah “professional” berarti a vocation in which professional knowledge of some department a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it (Usman, 1997). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.
Dari kedua pengertian di atas, terdapat benang merah antara kompetensi dan profesionalisme SDM kediklatan. Artinya, dalam membahas kompetensi kediklatan, berarti membahas profesionalisme perencana diklat, penyelenggara diklat, pengajar diklat, evaluator diklat, dan prasarana diklat. Untuk melakukan suatu kompetensi, seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, dan sikap. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Ada kompetensi yang lebih tergantung kepada pengetahuan, ada yang lebih tergantung pada proses.
Sehubungan dengan profesi tenaga kediklatan, baik yang bersifat administrator maupun keahlian mengajar sebagaimna widyaiswara, kompetensi harus ditekankan pada berpengetahuan yang up-to-date, serta mampu menciptakan proses pembelajaran yang kondusif dan humanis. Untuk mampu mengerjakan pekerjaan yang profesional, bagi tenaga kediklatan diperlukan pengenalan terhadap profesinya.
Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu profesi memerlukan special competence, yaitu kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkannya cara yang berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama.
Tenaga kediklatan professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kediklatan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai perencana, penyelenggara, pengevaluasi, dan pengajar secara maksimal. Atau dengan kata lain, memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya sehingga“wajib” mengetahui bagaimana seharusnya mereka merencanakan program kediklatan, bagaimana menyelenggarakan program kediklatan, bagaimana mengevaluasi program kediklatan, dan bagaiamna mengajar atau memfasilitasi kediklatan.
Untuk widyaiswara misalnya, harus peka dan tanggap terhadap perubahan, pembaharuan serta IPTEK yang terus berkembang sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan pekembangan zaman. Di sinilah tugas widyaiswara untuk berusaha meningkatkan wawasan ilmu pengetahuannya, meningkatkan kualitas pendidikannya (educational grade), sehingga dalam memfasilitasi dan menyampaikan materi kepada peserta diklat mampu mengikuti arus perkembangan atau tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman. Mengiringi perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka widyaiswara harus berupaya untuk terus meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kompetensi profesionalismenya.
Harus disadari, sebagai fasilitator diklat yang notabene pesertanya adalah orang dewasa (yang biasanya bersifat kritis), maka widyaiswara perlu membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang up-to-date. Terkadang sering terjadi, para peserta diklat lebih paham terhadap informasi atau pengetahuan yang sedang “in” (progressing information). Oleh karenanya, dengan selalu bertekad dan berupaya meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, maka wawasan widyaiswara diharapkan lebih baik dibandingkan peserta diklat atau setidak-tidaknya relatif sama, sehingga kredibilitas widyaiswara itu sendiri dimata peserta diklat dapat terjaga bahkan bisa semakin meningkat.
Setiap individu widyaiswara hendaknya menyadari, bahwa mereka dituntut untuk dapat secara mandiri mengembangkan dirinya, agar selalu belajar terus menerus dan berusaha agar dirinya dapat mencapai derajat profesionalisme mengingat tuntutan dan harapan masyarakat serta tantangan pekerjaan yang semakin meningkat.
Perlu adanya pengembangan Individu widyaiswara yang meliputi: pengembangan wawasan, pengembangan intelektual, pengembangan content expert, pengembangan dan peningkatan kemampuan dan keterampilan transfer expert, dan sikap mental serta prilaku. Oleh karenanya, widyaiswara agar mau dan mampu secara mandiri mengaplikasikannya, artinya tidak perlu menunggu tindakan nyata yang dilakukan oleh lembaga atau intansi di mana widyaiswara tersebut bernaung.
Berdasarkan uraian di atas, keterampilan-keterampilan yang dapat diaplikasikan ke dalam profesi tenaga kediklatan antara lain:
Speaking Skill, yaitu: keterampilan menyampaikan gagasan/berbicara. Sebagai tenaga kediklatan,diharapkan memiliki keterampilan berbicara, bagaimana mengungkapkan gagasan dan pendapat dengan baik, serta memberikan pengarahan dengan baik. Keterampilan ini dalam dunia kewidyaiswaraan merupakan kemampuan menyampaikan materi pelajaran dengan baik (transfer expert). Oleh karenanya, tenaga kediklatandiharapkan agar dapat berkomunikasi secara efektif. Untuk itu diperlukan penguasaan, tidak hanya keterampilan berkomunikasi secara verbal, tetapi juga secara non verbal, agar dapat mengkomunikasikan ide dengan jelas dan sistematis, dan jika terpaksa melontarkan kritik tidak sampai menyinggung perasaan peserta diklat, serta mampu merangsang audience (peserta diklat) untuk menanggapi usul yang dikemukakan.
Thinking Skill, yaitu: keterampilan berpikir/intelektual, merupakan kemampuan untuk mendayagunakan otak dengan optimal. Berpikir merupakan sebuah proses memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan masalah (problem solving), untuk itu diperlukan kemampuan berpikir kreatif, sistematis, integratif, logis/rasional, jernih, dan kritis. Dengan mengoptimalkan kemampuan berpikir, maka tenaga kediklatan dapat menganalisa kebutuhan diklat, menyusun struktur kurikulum, menyediakan modul kediklatan, dan mendesain program kediklatan yang nantinya dapat menjawab dan memecahkan setiap persoalan di lapangan kerja.
Interpersonal Skill, yaitu: keterampilan menjaga hubungan antarpribadi. Dalam berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan koordinasi antar tenaga kediklatan. Agar koordinasi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan, maka dibutuhkan adanya komunikasi. Selanjutnya, agar komunikasi berjalan efektif dibutuhkan hubungan interpersonal yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan jelek. Untuk mewujudkan terciptanya hubungan baik, tenaga kediklatan harus mampu mengembangkan sikap tenggang rasa, membangun kepercayaan antar tenaga kediklatan, tidak memaksakan kehendak diri sendiri, bersedia menolong dan ditolong, sedapat mungkin mampu meredam timbulnya bibit-bibit konflik dan apabila terjadi konflik mampu mengelola konflik dengan baik sehingga tidak berlarut dan meluas.
Network Skill, yaitu: keterampilan mengembangkan, membangun jaringan atau meluaskan hubungan kerja.Tenaga kediklatan diharapkan berjiwa kosmopolit, yaitu mampu membangun kontak dengan dunia luar organisasi kediklatan. Dengan membangun jaringan ke luar, maka akan bertambah wawasan, pandangan dan pola pikir.Tenaga kediklatan akan banyak terbantu dalam menyelesaikan berbagai persoalan tertentu dengan adanya informasi-informasi dari luar.
Growth Skill, yaitu: keterampilan mengembangkan diri. Tenaga kediklatan diharapkan, secara sadar, mau dan mampu untuk secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik mampu memperlihatkan kemampuan diri secara optimal, dan mampu mendorong diri sendiri untuk mengembangkan kapasitas prestasi secara optimal. Perlu kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk mau menjadi manusia pembelajar.
Dicipline, yaitu ketaatan dan kepatuhan serta kerelaan dalam menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap tenaga kediklatan secara sadar dan sukarela harus taat pada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar nilai atau norma yang telah ditetapkan baik yang berlaku di lingkup organisasi, masyarakat, dan agama. Perasaan memiliki dan kecintaan terhadap pekerjaan harus dikembangkan dan menjadi komitmen dalam diri setiap tenaga kediklatan, sehingga akan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi proseskediklatan yang ada.
Klaim Kompeten Atau Tidak?
Untuk dapat menyebut orang lain kompeten maupun tidak kompeten tentu harus ada standar pengukuran yang jelas, tidak serta merta berdsarkan rasa suka maupun rasa tidak suka. Oleh karenanya, penting untuk mendukung adanya uji kompetensi untuk semua pegawai, sebagaimana yang sudah berlangsung di beberapa kementrian lain semacam uji kompetensi guru dari tingkat PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan dosen.
Secara de fakto, bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan tidak bisa terbantahkan dalam sejarah bangsa. Jika mengingkarinya, berarti mengingkari juga perjuangan para pahlawan yang berkorban harta dan nyawa.
Secara de jure, Indonesia antara tahun 1945-1949 tidaklah secara benar-benar melaksanakan pemerintahan layaknya sebuah negara merdeka, karena harus menghadapi serangan balik Belanda yang ingin menguasai Indonesia. Analoginya dengan sertifikat diklat yang banyak, walau dengan predikat yang sangat memuaskan, masih banyak anggapan para aparatur kediklatan tidak seprofesional yang diharapkan, peningkatan kesejahteraan dalam remunerasi tidak sebanding dengan kepreofesionalannya, demikian juga produk alumni yang tidak jelas kontrol pengembangan kompetensinya.
Simpulannya, Uji Kompetensi akan seperti Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq, Belanda, sebuah pertemuan Indonesia dan Belanda yang berisi serah terima kekuasaan, setelah Belanda tidak berhasil baik secara kekerasan maupun perundingan menguasai Indonesia. Analoginya, uji kompetensi merupakan KMB-nya tenaga kediklatan untuk mempertegas kemampuan kepribadian, kemampuan teknis, kemampuan manajerial, dan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni dalam bentuk penguasaan kompetensi yang baik. Beranikah kita menguji kompetensi diri kita?
A.KESIMPULAN
Harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja.
Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
B. SARAN
1.)Kita harus bisa mengerti dan memahami apa itu yang disebut hak asasi manusia.
2.)Kita harus dapat mengimplementasikan tentang hukum dan ham kedalam kehidupan sehari
hari.
3.)Kita sebagai generasi muda haruslah peduli terhadap perkembangan hukum ham di Indonesia.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Azwar, Saifudin. 1995. Sikap Manusia. Penerbit Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
http://jurnal politik.bloqspot,com/2009/09/jurnal mengenai hukum dan ham.