Birokrasi Militer yang berwawasan HAM (Analisis kasus)



Analisis Artikel tentang birokrasi Militer yang berwawasan HAM


ARTIKEL 1
Tawuran Anggota KKO vs RPKAD
Bentrok ini diawali kemiripan warna baret RPKAD dan Tjakrabirawa. Menurut AKBP Mangil (DanDen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa) awal nya mereka meminjam baret RPKAD dan utk membedakan warna Tjakrabirawa menambah zat pewarna sehingga menjadi merah bata. Kemiripan ini sering menyulut perselisihan antara kedua kesatuan militer tsb. Para Anggota RPKAD berpendapat Tjakrabirawa tidak pantas memakai baret warna merah , semtaran Tjakrabirawa selalu merasa paling berjasa sebagai pengawal Presiden (panglima tertinggi).
Pertengahan tahun 64, jakarta sdg dibakar panas matahari Mayor Benny Moerdani (Komadan Batalyon 1 RPKAD) baru selesai main tenis dengan jip pulang ke cijantung. Persis pada jalan masuk menuju kompleks asrama berpapasan dengan truk ops RPKAD yang dimuat penuh anggota RPKAD berpakaian sipil. Benny mengamati tapi setelah melihat mereka bukan dari Yon 1 dia tidak merasa tertarik. “Pak, anak2 keluar semua…”, teriak petugas piket jaga. Benny langsung menginjak rem. “lho, emangnya ada apa ?”. “ tdk tau pak, anak-anak Yon 2 semua keluar asrama tanpa ijin.”
Pikiran Benny langsung bergerak cepat, keluar asrama tanpa ijin sudah melanggar prosedur militer. Tanpa pikir panjang dia langsung mutar arah dan mengikuti konvoi liar dari kejauhan. Pedoman yang dipakainya satu, truk paling belakang. Selepas jatinegara, Benny semakin mencium sesuatu yang tidak beres, sepanjang jalan warga masyarakat terlihat dilanda kepanikan. Beberapa bergerombol sambil menunjuk2 kearah pasar senen. Iring-iringan kendaraan berhenti diwilayah kramat raya. Nampak para anggota RPKAD (berpakaian sipil) berloncatan dan langsung berlarian ke arah simpang lima senen. “Wah kacau Pak, RPKAD gontok-gontok an dengan KKO”, jawab seorang yang sedang ikut berkerumun.
Sebuah keputusan segera melintas dikepala benny. Insiden ini harus segera dihentikan. Ia kemudian dengan berjalan kaki menembus orang lalu lalang yang sdg melarikan diri. Ketikan nampak seorang digotong masuk ke RSPAD dia langsung masuk dan bertemu dokter bekas anak buahnya di Pasukan naga. Dr. bem Mboi melaporkan anggota RPKAD berkelahi dengan pasukan Tjakrabirawa dari unsur KKO TNI AL. di ruangan perawatan tergeletak 3 orang RPKAD dan 10 KKO.
Keributan merupakan kelanjutan insiden di lapangan banteng, tanpa alasan yang jelas kedua belah pihak saling mengejek dan menjadi perkelahian massal. Para anggota RPKAD merasa tidak seimbang Karno jumlah KKO lebih banyak (Asrama KKO di Kwini bersebrangan jalan) kemudia menghubungi rekannya di cijantung.
Tanpa ragu benny segera meninggalkan RSPAD dan berjalan kaki ke asrama KKO Kwini , pada pos jaga kwini puluhan anggota KKO memakai seragam tjakrabirawa bersenjata lengkap sibuk bersiap2 mempertahankan asramanya. Benny masih dengan pakaian olahraga langsung melangkah masuk. Sebuah keanehan terjadi, petugas jaga depan markas segera memberi hormat.
Ternyata, sebagian dari anggota KKO yang sdh direkrut sebagai pasukan Tjakrabirawa ini dulu bekas anak buahnya di irian barat. Tentu saja mereka masih ingat mantan Komandan pasukan gerilya se Irian, meski siang itu Benny hanya memakai baju kaos.
Melihat benny masuk asrama kwini, isu segera menyebar di kalangan anak buahnya. “Pak Benny ditangkap, Pak Benny ditangkap KKO…” Mereka segera berebutan menduduki asrama perawat putri RSPAD, persis disamping Kwini. Dari lantai atas asrama perawat tsb, sepucuk Bazooka siap ditembakkan tepat mengarah ke dalam asrama KKO.
Sambil menunggu datangnya perintah tembak, para anggota RPKAD tidak melihat seorangpun anggota KKO muncul. Tetapi dari kejauhan, malahan nampak Benny melenggang keluar dari Kwini “Sudah, sudahlah pulang kalian semua…” teriak benny sambil melambaikan tangannya. Ia kemudian memerintahkan semua anggota RPKAD disekitar tempat itu , yg berpakaian sipil namun membawa beraneka macam senjata mundur dari wilayah sekeliling Kwini. Beberapa lagi masih kelihatan tetap ragu-ragu segera didorong oleh benny, diperintahkan naik keatas kendaraannya masing-masing. Mereka diminta kembali ke cijantung.
Warga masyarakat dipinggir jalan terheran-heran melihat tontonan ini. Pertempuran kedua pasukan elit yang semula dikuatirkan meletus mendadak saja berakhir. Setelah seorang berpakaian olahraga memerintahkan pasukan RPKAD naik kembali keatas truk.
Insiden berdarah antara pasukan RPKAD melawan Kesatuan Tjakrabirawa dari unsur KKO ini segera dibicarakan ditingkat atas. Keesokan hari benny menerima perintah untuk datang melapor ke Markas garnizun jakarta. Benny dipertemukan kembali dengan Mayor KKO saminu yang didampingi Kolonel CPM Sabur Komandan Resimen Tjakrabirawa.
Insiden di senen sepanjang hari itu ternyata tidak mungkin bisa disembunyikan dari perhatian presiden. Ketika keributan meletus di Istana negara sedang berlangsung pertemuan antara dokter militer. Ditengah pertemuan mendadak diinterupsi dan diminta seluruh tenaga dokter secepatnya harus datang ke RSPAD Karno dokter yang di RSPAD kewalahan menerima kiriman korban .
Usai dari garnizun Benny malahan menerima panggilan dari Istana. Presiden SoeKarno ingin mengetahui duduk perkara sebenarnya langsung dari tangan pertama. Tapi dengan datangnya panggilan ke istana justru yang muncul dalam pikiran benny adalah bagaimana harus menjelaskan peristiwa itu kepada bung karno. Dengan perasaan galau semacam itulah Benny melangkah kakinya memasuki istana kepresiden.
Bung Karno menerima kedatangan benny diberanda belakang istana merdeka. Selama pembicaraan dia lebih banyak diam terpaku, sementara Bung Karno dalam nada cerah bercerita panjang lebar. Inti pembicaraannya mengkisahkan dalam setiap negara selalu harus ada pasukan-pasukan elite. Tugas pasukan elite kecuali untuk bisa melindungi negara dari ancaman musuh juga tidak kalah pentingnya harus selalu siap sedia melindungi kepala Negara.
Tiba-tiba Bung Karno berkata,”Ben, saya menginginkan kamu menjadi anggota Tjakrabirawa.” Langsung kepala benny tersentak dan sesaat terdiam.Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sama sekali tidak pernah ada bayangan terlintas bahwa dia bakal menerima perintah semacam itu. Setelah membisu beberapa saat dan suasana menjadi agak tenang kembali, dengan perlahan keluar jawabannya,” Bapak Presiden, saya pengin jadi tentara betulan…”
Suasana senyap dalam beranda istana mendadak berubah. “Lho, apa kau pikir Tjakrabirawa bukan tentara…” teriak Bung karno dalam nada marah.
Benny sebenarnya bermaksud menjelaskan, dalam pandangannya pribadi sebagai seorang anggota militer, pasukan semacam Tjakrabirawa tidak ada nilainya. Sepanjang karir kemiliterannya dia sudah dilatih untuk menjadi anggota pasukan komando. Bagaimana mungkin ini semua dialihkan untuk sebuah penugasan yang sama sekali berbeda sifatnya.
Dalamm bayangannya, seorang anggota pasukan Tjakrabirawa setiap hari hanya bertugas berdiri bersiaga untuk menjaga keamanan pribadi seseorang. Meski yang sdg mereka jaga adalah seorang kepala negara, ttp utk benny itu semua bukan tugas seorang anggota militer profesional.,
Permintaan untuk menjadi anggota resimen tjakrabirawa ternyata sudah tidak muncul lagi dalam pembicaraan di beranda istana. Bung karno segera mengalihkannya kepada topik lain. Kini dengan suara perlahan-setengah berbisik dia berkata, “ Saya sebetulnya ingin anakku kimpoi dengan seorang pahlawan. Ya seperti engkau ini…”. Bung karno kembali mulai memakai kalimat-kalimat berbunga, melukiskan keinginan hatinya untuk bisa menjodohkan salah satu putrinya dengan anggota militer.
Dalam pembicaraan antar hati ke hati tsb, benny dengan cerdik segera bisa meloloskan diri. Maksud bung karno untuk menjadikan benny seorang menanti presiden – yang mungkin dilandasi dengan maksud baik- tentu tidak mungkin bisa dipenuhi nya. Benny sudah memiliki pilihan sendiri. Namun menghadapi seorang kepala negara dan orang tua yg merindukan datangnya menantu memang dia merasa perlu memilih kata-kata penolakan yang tidak menyinggung perasaan. Hari itu dua buah tawaran penting dari bung karno sudah berhasil dielaknnya. Benny bukan saja berhasil menolak secara halus keinginan bung karno untuk dia menjadi anggota resimen tjakrabirawa, ia juga tanpa harus menyakitkan lawan bicaranya bisa menghindar tawaran untuk menjadi seorang menantu Presiden.
Dengan perasaan lega benny kemudian bisa meninggalkan halaman istana kepresidenan tanpa menanggung beban. Jebakan bung karno dengan sangat cerdik berhasil dihindarkannya. Sebuah ketrampilan ber diplomasi yang mungkin tidak setiap orang kuasa untuk melakukannya. (Dikemudian hari pernikahan benny dengan pilihan hatinya malah dipestakan oleh bung karno di Istana Bogor)

ARTIKEL 2

 Birokrasi Militer


Militer dan politik
3 aliran
pertama militer yang berbasis karakteristik organiasi militer profesional barat: komando sentralistik, hirarki, disiplin dan kohesif. Fungsi militer adalah Management of violance
Kedua, intervensi militer dhasilkan dari kondisi lingkungan masyakat yang rendah dalam budaya politik yang menjadi perhatian pokok dari kehidupan infrastruktutr.
Ketiga, dinamisasi internal dari hirarki kemiliteran, kepentingan korporasi, ambisi pribadi.
Jenis2 militer dan intervensi dalam politik
Militer profesional:
Knowledge
Skill
Bersandar pada standar keprofesionalan pd management of violance
Militer jenis ini menyatakan mereka sebagai instrument negara.
Kadar intervensi kearah perpolitikan pada masyarakat sipil rendah.

Militer pretorian:
Keahlian dan pengetahuan tidak terspesialisasikan
Orientasinya mengarah pada pengabdian pada bangsa dan negara tetapi melalui dominasi kelompok, grup primodial dll.
Kecendrungan untuk melakukan intervensi bersifat permanen dan berkelanjutan

Militer revolusioner. Jenis militer ini memiliki keahlian dan pengetahuan profesional yang ditunjukan kepada nilai2 sosial dan politik.
Orientasi pengabdiannya bersifat pergerakan revolusioner.
Intervensi sebelum dan selama revolusi adalah tinggi
Setelah revolusi berkadar rendah.
Keterlibatan militer dalam politik
Berdasrkan fatah dalam iswandi
a. keterlibatan langsung dalam administrasi pemerintahan.
b, melibatkan dari dalam kehidupan politik.
c. mereka melibatkan diri dalam pengisian posisi2 sipil.
d. keterlibatan dalam penanganan konflik dengan memajukan sebagai wasit politik.
e. Militer pretorian otoriter
f. Terbentuknya junta militer.
Militer dan politik pemerintahan

Tiga model kontrol sipil (Eric Nordinger, Soldiers in Politics) antara lain:
Tradisional
Liberal
Panetrasi

Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama dibandingkan status dan kekayaan warisan.

Model Liberal dengan jelas mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi.

Model Panetrasi adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer..

ARTIKEL 3

Dominasi Militer dalam Birokrasi Pemerinahan Indonesia Tahun 1965-1975

Pada tahun 1949 – 1958 merupakan awal bagi militer untuk masuk dalam kegiatan politik Indonesia. Keterlibatan militer dalam politik semakin besar setelah kudeta 1965 yang merupakan tahap awal dari Orde Baru. Dalam sebuah pemerintahan baik dalam tingkat nasional ataupun subnasional para perwira militer banyak yang mengambil ahli. Dibawah pimpinan Jendral Soeharto kekuasaan militer dalam politik semakin melebarkan sayapnya. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya anggota militer yang ikut dalam mengatur sebuah pemerintahan dan tidak sedikit pula para anggota militer yang menjabat dalam birokrasi pemerintahan. Selain itu juga kekuasaan militer semakin kuat dalam sebuah Negara karena didukung oleh peranan dwifungsi ABRI yang menjadikan militer semakin tegak berdiri dalam perpolitikan di Indonesia. Karena dengan dwifungsi yang dimiliki ABRI, maka kekuatan militer mempunyai fungsi sekaligus, yang berfungsi sebagai militer juga berfungsi sebagai non militer.
Kekuatan militer dalam politik dibuktikan pula dalam sebuah seminar Angkatan Bersenjata di Bandung pada  tahun 1966 yang memutuskan tentang peranan militer (terutama tentara) dibidang sosial ekonomi dan politik Indonesia pasca 1965, seminar ini memutuskan bahwa dwifungsi militer harus menjadi ciri kehidupan politik Indonesia. Peranan utama tentara sejak saat itu hingga seterusnya tidak boleh lagi dianggap remeh. Selain itu militer juga merencanakan untuk menstrukturisasikan system politik penyelenggaraan pemilihan umum yang berdasarkan pada system distrik lebih dari pada system proporsional. Dan saran untuk menyelenggarakan pemilihan umum disambut oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan kemudian diteruskan oleh Jendral Soeharto. Dan pada sidang MPRS tahun 1966 memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu dua tahun yaitu sebelum tanggal 5 Juli 1968. Pemilihan umum ini sangat penting bagi militer karena akan mengabsahkan kedudukannya didalam pemerintahan Indonesia.
Tak dapat dielakkan bahwa kelahiran dan pertumbuhan Partai Golkar adalah bagian yang tak terelakkan dari pembesaran peran politik militer. Dengan demikian pilar utama yang dipilih oleh militer ketika itu adalah Golkar dengan jaringan kinonnya dan ABRI sebagai kekuatan baru yang memenangkan pergulatan politik di era Orde Lama dan sangat dominan dalam cikal bakal politik dimasa Orde Baru. Dan melalui kemenangan Golkar dalam sebuah pemilihan umum dari tahun 1966 sampai 1973 menjadikan kekuasaan  militer dalam pemerintahan Orde Baru semakin kuat.
Tak dapat dielakkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang selama ini kita rasakan tidak lepas dari perjuangan kekuatan militer yang kita miliki. Namun dalam perkembangannya militer tidak hanya bergerak dalam bidang pertahanan keamanan seperti pada sebelumnya militer dibentuk yaitu sebagai kelemahan untuk melindungi bangsa Indonesia dari gangguan keamanan. Keterlibatan militer dalam sebuah ta tanan kehidupan perpolitikan Indonesia. Hal ini dimulai ketika Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1957, setelah peranan partai-partai politik (dengan pengecualian PKI) dilumpuhkan dan UU Damra diberlakukan. Dan tujuan dari dibentukan Dewean Nasional adalah pura membantu kabinet dalam menjalankan program-programnya tapi pada kenyataannya dimaksudkan untuk mengambil alih peranan partai-partai politik. Kekuatan militer semakin meningkat pesat sesudah tahun 1957, tidak hanya dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang non militer. Setelah kudeta 1965 yang merupakan awal dari pemerintahan orde baru yang juga merupakan awal bagi militer untuk menjalankan kekuasaannya dalam sebuah birokrasi politik Indonesia.
Jendral Soeharto selaku pimpinan militer berupaya menggunakan suatu organisasi sebagai mesin pemilu untuk memperkuat dan mempertahankan kepentingan dan kedudukan tentara dalam pemerintahan. Dan organisasi yang dipilih Jendral Soeharto untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan tentara jatuh pada Sekber-Golkar. Militer  ternyata berhasil menggunakan Sekber-Golkar untuk memperkuat kekuasaannya dalam pemerintahan. Dan kemudian Sekber-Golkar yang dulunya hanya sebuah organisasi politik kini berubah menjadi sebuah politik yang besar dimasa orde baru yang kemudian akan memenangkan sebuah pemilihan umum pada masa orde baru.
Munculnya partai Golkar sebagai kekuatan baru sering dianggap sebagai kekuatan orde baru karena dalam kekuatan ini Golkar di dukung oleh 3  kekuatan dominan orde baru, yaitu (1) ABRI sebagai kekuatan kunci untuk melakukan tekanan atas kekuatan sipil yang mencoba mengganggu eksistensi Golkar, (2) Birokrasi dalam hal ini dibentuknya kokarmendagri sebagai cikal bakal munculnya “monoloyalitas” pegawai negeri kepada Golkar dan akhirnya dikukuhkan melalui KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) dan (3) Golkar dijadikan alat “orde baru” untuk melanggengkan kekuasaannya melalui formulasi yang dianggap demokratis dengan tata cara dan prosedur pemilihan umum, sidang umum MPR dan dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk menjaga stabilitas politik dan hubungan antara ABRI dan Golkar dibuat dua model struktur, yaitu (1) pada asas elit, disusunlah suatu jenjang keterwakilan anggota DPR mulai dari pusat hingga DPRD II dengan di imbangi oleh pengawasan dan kontrol dari ABRI, 2) Pada asas massa, dibuat kebijakan massa mengambang dengan ciri utama, massa ditingkat desa dan kecamatan dikontrol oleh Kabinsa dan Koramil.
Keharusan setiap partai untuk melaporkan semua kegiatannya ke dandim dan koramil merupakan upaya bagi Golkar. Tidak hanya sekedar melakukan kontrol terhadap parpol non golkar tetapi juga melakukan diskriminasi dalam penggunaan fasilitas kantor kodim dan koramil, serta berbagai fasilitas lain juga terjadi. Banyak pejabat-pejabat ABRI baik dari Kodim maupun Koramil yang ikut mengisi ceramah-ceramah yang dilakukan oleh Golkar, tidak hanya sekedar itu ABRI juga melakukan beberapa tindakan untuk menciptakan dan menekan arus massa. Dan semua ini adalah sinergi dari hubungan Golkar dan ABRI dalam menciptakan suatu model format politik yang mengurus lawan politiknya, untuk menciptakan single majority atau mayoritas tunggal. Dan pada pemilihan umum yang dilaksanakan pada masa orde baru tahun 1966, 1968 dan 1973 Golkar berhasil memenangkan pemilihan umum secara berturut-turut dengan Jenderal Soeharto selaku pemimpin militer sebagai Presidennya.
Selama orde baru militer tidak hanya mendominasi politik dalam negeri tetapi juga telah mendominasi politik luar negeri yang bersentuhan dengan masalah-masalah keamanan. Peranan militer dilembagakan dalam Deplu di tahun 1970 dengan pembentukan Direktorat Keamanan dan penerangan yang diketuai oleh seorang perwira militer yaitu Kolonel Hertasning yang kemudian di promosikan sebagai Brigadir Jendral.
Diluar Deplu terdapat lembaga-lembaga militer yang juga sangat berpengaruh dalam politik luar negeri Indonesia pada masa orde baru diantaranya adalah Hankam (Departemen Pertahanan Keamanan). Jendral Panggabean dan Jendral Poniman adalah mantan Menteri Pertahanan, Wakil Panglima Angkatan Bersenjata (Wapangab), Jendral Soemitro (1970 – 1974) adalah juga orang yang sangat berkuasa. Bakin adalah organisasi militer yang telah mewarnai politik luar negeri Indonesia, Bakin diketuai oleh seorang militer dan yang paling berpengaruh adalah Sutopo Yawono (1968 – 1974). Lemhannas, adalah organisasi lain dibawah Hankam yang mempengaruhi politik luar negeri. Lemhannas berperan sebagai “think-thank” dan militer Indonesia dan ada beberapa Jendral yang bertindak sebagai direktur lembaga ini salah satunya adalah Sayidiman Suryohadiprojo dan yang terakhir adalah Setneg (Sekretaris Negara) dipimpin oleh seorang sekretaris negara, seringkali seorang Perwira militer. Segneg diharapkan memainkan peran koordinasi dengan menteri-menteri kabinet atas nama Presiden yang merupakan pimpinan kabinet.
Dari lembaga-lembaga yang dikuasai oleh militer ini terbukti bahwa di era orde baru militer tidak hanya menguasai politik dalam negeri tapi juga menguasai politik luar negeri Indonesia.
Dari susunan-susunan ketiga kabinet tersebut dapat kita lihat bahwa militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan keamanan namun dalam bidang yang lain pun militer juga ikut terlibat di laluinya. Kita lihat dalam susunan Kabinet Ampera, disitu terdapat 11 anggota militer yang menjabat sebagai Menteri Negara. Sementara itu susunan Kabinet Pembangunan terdiri dari 18 Departemen dan 5 Menteri Negara dan ternyata terdapat 8  orang dan parpol 6 orang dari anggota ABRI dan 8 orang dari Non ABRI dan Non Parpol. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sekalipun mempunyai pangkat Jendral Titular namun dimasukkan dalam kategori Non ABRI dan Non Parpol. Dan susunan pada Kabinet Pembangunan II yang terdiri dari 22 Menteri Negara dan terdapat 4 orang yang berasal dari militer. Selain urusan dalam Negeri militer juga berperan aktif dalam urusan-urusan luar negeri. Militer berhasil dalam melangkahi lembaga-lembaga lain yang secara konvensional berkaitan dengan masalah-masalah politik luar negeri, seperti Departemen Luar Negeri Komisi 1 DPR dan Bappenas yang berwenang dalam masalah-masalah ekonomi dalam negeri dan luar negeri. Pada awalnya ada pertentangan antara militer dengan departemen luar negeri. Namun dalam hal ini militerlah yang muncul sebagai pemenang.
Akhirnya Jendral Soeharto sebagai pemimpin militer telah berhasil membawa militer ke puncak kejayaan pada masa orde baru.

ARTIKEL 4
Apakah Orde Reformasi Berhasil Mengeluarkan Indonesia dari Birokrasi Militer? (NII KW-9 Merupakan Upaya Membenturkan Ideologi Nasionalisme dengan Ideologi Islam?) 
Runtuhnya ORDE BARU yang didahului oleh People Power, mengantarkan Gus Dur ketampuk kepemimpinan Pasca Habibie yang dianggap masih satu paket dengan ORDE BARU . Walau dimasa peralihan ditangan BJ. Habibie terjadi berbagai perubahan Paradigma yang cukup signifikan tapi “ Brand Habibie sebagai kepanjangan ORDE BARU” tidak bisa dihilangkan. Baru pada era Gus Dur lah Orde Reformasi dicanangkan.
Mampukah Gus Dur melepaskan Negeri ini dari Birokrasi Militer ?
Ternyata Gus Dur mampu membuat satu langkah spektakuler dengan “ Mengembalikan Militer ke Barak” memutus jaring Politik ABRI dalam Partai Politik Praktis. Memutus kewenagan teritorial ABRI.
Akibat dari “ ulah “ Gus Dur ini, posisinya hanya bertahan tidak sampai setengah masa jabatan dan digeser oleh Megawati yang jelas mendapat dukungan dari TNI ( Hendro Priyono merupakan indikator nya ) Tapi hasil kerja Gus Dur sudah sangat luar biasa . TNI dipaksa harus melepaskan diri dari peran politiknya, system pengamanan diserahkan pada Polisi. Hal ini menjadikan akses TNI /BIN secara formal dengan Al Zaitun/ NII KW 9 terputus.
Walaupun akses secara resmi terputus , tapi hubungan operasionalnya tidak akan pernah berkurang. Seperti apa yang diungkapkan Hendro Priyono dalam wawancaranya di TV suasta, baru-baru ini. Kesalahan bukan ada pada BIN, karena BIN dimasa reformasi ini sudah tidak bisa lagi melakukan pembinaan atas lembaga yang dulu diciptakan BIN itulah kata Hendro Priyono sebagai satu pengakuan tak resmi bahwa Al Zaitun benar binaan Bin. Lebih lanjut H.P. menjelaskan Pemerintah tidak mungkin memerangi pemikiran dengan senjata, tapi akan melawan pemikiran dengan pemikiran pula. Itulah juga pengakuan tak resmi bahwa NII KW 9 merupakan upaya memerangi pemikiran tentang Negara Islam di Indonesia. Satu konsep perang pemikiran yang dicanagkan BIN, Terhadap sisa – sisa NII peninggalan Kartosuwiryo yang secara organisasi sudah tidak ada lagi. Seperti juga pengakuan Panji Gumilang NII telah terkubur di tahun 1962 dan Al Zaitun tidak ada hubungannya dengan NII. Satu kata diplomatis bahwa Al Zaitun memang sudah tidak ada kaitannya dengan NII nya Kartosuwiryo. Tapi benarkah tidak ada hubungannya dengan NII KW 9 binaan BIN ? yang secara tidak resmi tersirat dari apa yang dikatakan Hendro Priyono ?
Keterlibatan BIN secara langsung diranah Politik dan Pemerintahan yang tidak mungkin lagi pada orde REFORMASI ini, menjadikan peranannya dibelakang layar harus lebih solid. Beberapa KEBOHONGAN yang ditengarai dilakukan oleh Pemerintah kali ini ( SBY ) sebenarnya tidak akan terlepas dari tekanan yang dilakukan oleh kekuatan militer dibelakang layar. Di era Orde Baru Pemerintah tidak perlu melakukan kebohongan karena bisa dengan paksa melaksanakan apa yang ingin dilakukan tidak seperti saat ini.
Memang Birokrasi Militer itu sendiri, sebenarnya tidak perlu ditakutkan. Bahkan di Amerika Serikat sendiri sebagai Negara Maju dan Adi Kuasa , sebenarnya juga ada dibawah kekuatan Militer. Tidak ada yang bisa membantah bahwa Pentagon lah yang menguasai Gedung Putih bukan Gedung Putih yang menguasai Pentagon. Informasi-informasi dan data intelijen yang dimiliki Pentagon akan membawa arah pemikiran dan kebijakan Gedung Putih.
Akan tetapi, bila kekuatan Militer dipergunakan untuk memaksakan kehendak mayoritas apa lagi untuk memaksakan kehendak minoritas atas mayoritas diNegaranya sendiri, itulah yang menimbulkan masalah. Birokrasi Militer yang berhadapan dengan Rakyatnya sendiri. Birokrasi militer yang korup , itulah yang membahayakan . Jadi bukan Militernya tapi korupnya yang membahayakan. Kalau birokrasi sipil korup, masih ada Militer yang bisa mengendalikan tapi bila Birokrasi militer dan korup, maka kekuatan apa yang mampu mengendalikan ?
Militer Bersama Rakyat Negara ini Kuat.
Yang lebih membahayakan adalah Birokrasi Militer yang tunduk dibawah kekuatan militer negara lain. Inikah yang terjadi di Indonesia ? Indikasi itu ada , salah satunya adalah DENSUS 88. Apa bila kekuatan Militer tunduk pada data informasi Intelijen asing, hal ini sangat mungkin karena tak satupun Rahasia Negeri ini yang lepas dari pengamatan Mossad/CIA. Setiap kita membeli satu perangkat komunikasi yang canggih atau perangkat lunak yang handal , atau Satelit yang kita beli , semuanya pasti terhubung kesana.
Bangsa ini seperti telah kehilangan jati diri, era rezim Orde Baru yang jelas militeristik memang telah tumbang, tapi orde reformasi ini ternyata membawa Negeri ini lebih terpuruk dalam pengawasan kekuatan asing. Mengembalikan Militer kebarak seperti yang dilakukan oleh Gus Dur, sungguhi tidak ada artinya, bila akhirnya kita dihadapkan pada Pemerintahan yang menjadi kepanjangan kekuatan asing.
Yang lebih menyakitkan adalah upaya militer untuk membenturkan Ideologi yang dianut oleh sebagian besar penduduk Negeri ini dengan Ideologi Nasional yang sebenarnya telah disepakati sebagai Wadah Ideologi Bangsa. Perang Pemikiran yang dilakukan oleh BIN seperti yang disampaikan oleh Hendro Priyono sebenarnya tidak perlu ada. Pemikiran Asing yang berusaha membenturkan Panca Sila dengan Ideologi Islam sebenarnya adalah satu upaya yang tidak perlu dilakukan. Islam di Negeri ini merupakan salah satu sub system dari berbagai sub system yang memperkaya khasanah ideologi Bangsa ini yang memang sudah kita sepakati ber Bhinneka Tunggal Ika.





ARTIKEL 5
PELANGGARAN HAM; WARISAN (MAUT) KETERLIBATAN MILITER DALAM BISNIS
Menilai Pelanggaran HAM Dalam Bisnis-bisnis Militer
Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dipahami sebagai marwah yang melekat dan berharga (inherent dignity and worth) pada setiap manusia yang bersifat universal, tidak bisa dipisah-pisahkan (indivisible) dan tidak bisa dihilangkan. Hak-hak tersebut dilindungi oleh instrumen-instrumen internasional seperti Dekalarasi Universal HAM, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, instrumen HAM regional atau instrumen-instrumen HAM yang bersifat khusus seperti Konvensi Anti Penyiksaan. Keseluruhan instrumen internasional ini mewajibkan komitemen negara untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang berdiam di wilayah yurisdiksinya. Karenanya HAM mengatur hubungan antara individu-individu (human) dengan negara (state). HAM juga mengedepankan kesetaraan dan menolak segala bentuk pembedaan yang didasarkan pada ‘ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal-usul sosial, harta, kelahiran atau status-status lain. Secara umum HAM juga telah disepakati sebagai hukum internasional yang meskipun penekanannya kurang, namun dapat menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus memperlakukan individu-individu didalam wilayah yurisdiksinya.
Sebaliknya, individu-individu juga melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktek-praktek kekuasaan negara terhadap individu-individu, memastikan adanya kebebasan individu dalam berhubungan dengan negara, dan meminta negara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar individu-individu yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya. Disinilah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban (duty-bearer) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) HAM dan individu-individu yang berdiam di wilayah jurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights holder). Ketidakmampuan (inability) dan ketidakmauan (unwillingness) negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban di atas menyebabkan munculnya pelanggaran HAM.
Dalam teori hukum HAM, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah, suatu tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara yang mengancam dan melanggar hak asasi manusia (HAM) baik berupa kebijakan ataupun tindakan langsung. Karenanya, penilaian terhadap pelanggaran HAM melekat pada negara yang direpresentasikan oleh aparat negara (sipil dan militer). Pelanggaran HAM terjadi ketika aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung melakukan pelanggaran terhadap HAM seseorang, misalnya dengan cara melakukan penangkapan sewenang-wenang, menjatuhkan hukum mati dengan atau tanpa prosedur hukum, membatasi kebebasan berserikat, beragama dan berkeyakinan, menyiksa dan menghilangkan secara paksa. Dalam bentuk yang lain, pelanggaran HAM juga terjadi ketika aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya membiarkan terjadi pelanggaran terhadap HAM seseorang. Dalam kasus pertama, negara melalui aparatnya telah melakukan pelanggaran HAM secara langsung (committed by commission), dan pada kasus kedua aparat negara yang mengetahui tindak pelanggaran HAM secara langsung atau tindak kejahatan lainnya yang dilakukan aktor negara (state actor) dan aktor non-negara (non-state actor) melakukan pembiaran (committed by omnission).
Dalam hubungannya dengan praktek bisnis militer, maka pelanggaran HAM TNI dapat dilihat sebagai bagian dari kejahatan politik, kejahatan ekonomi, dan pembiaran terhadap kriminalitas. Pada tingkat tertentu, kejahatan politik dan kejahatan ekonomi tersebut dapat langsung dijelaskan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Sementara untuk pembiaran terhadap kriminalitas, maka pemunculan pelanggaran HAM bisa dilihat dari seberapa serius pemerintah mengambil tindakan pada kejahatan-kejahatan tersebut.
Sebagai sebuah kejahatan politik, pelanggaran HAM yang dilakukan biasanya berbasis pada lemahnya kontrol terhadap institusi militer dalam melakukan operasi-operasinya, tidak adanya pemberian fasilitas yang maksimal dalam penugasan-penugasan terhadap militer, dan tidak adanya regulasi yang mengatur mekanisme untuk mempersalahkan dan menjatuhkan hukuman. Keseluruhan kondisi tersebut telah menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), antara menjalankan tugas dan mencari penghasilan tambahan bagi institusi dan individu. Operasi militer yang digelar bisa ‘meluas’ dengan mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan ekonomi didalamnya. Sebagai contoh, di Aceh pada masa DOM sampai dengan tahun 2005, dengan dalih operasi sweeping pencarian anggota Gerakan Aceh Merdeka, militer bisa melakukan pemerasan dan perampasan terhadap supir-supir kendaraan angkutan umum, pemilik rumah atau pimpinan dayah (pesantren) setempat. Mereka ‘dengan terpaksa’ memberikan dan merelakan apa yang diminta atau dirampas militer untuk menghindari kesulitan-kesulitan berikutnya (dituduh anggota GAM, diintrogasi, ditahan, disiksa, bahkan dibunuh). Di beberapa wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, tentara memungut ‘upeti’ dari sejumlah pengusaha setempat, sebagai dukungan untuk logistik operasi mereka. Terbukanya peluang-peluang berbisnis sumber daya alam dan hasil hutan pada saat menjalankan operasi di perbatasan misalnya, menyebabkan bisnis-bisnis tersebut mapan dan dapat diwariskan pasukan-pasukan berikutnya yang datang bertugas. Bisnis-bisnis tersebut kemudian dikelola dalam skala besar, meningkatkan keuntungan militer, namun tidak memberikan hasil apa-apa bagi masyarakat setempat. Masyarakat tetap dalam posisi marjinal secara sosial-politik dan ekonomi, bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran bila dilihat dari sumber daya alam yang habis dan lingkungan yang rusak sebagai akibat bisnis-bisnis tersebut.
Sementara sebagai kejahatan ekonomi, bisnis-bisnis militer mendompleng bisnis-bisnis perusahaan-perusahaan lokal, nasional, multinasional. Kegiatan-kegiatan pengamanan, debt collector, dan beking telah menjadi ‘pekerjaan sampingan yang diprioritaskan’ baik oleh negara dalam hal pengamanan objek dan proyek vital, maupun oleh institusi militer sendiri ketika menjadi centeng perusahaan lokal atau nasional. Secara ‘tidak sadar’ sebenarnya terjadi pemerasan terus menerus terhadap kalangan pengusaha dan ketidakjelasan dedikasi militer, apakah untuk negara atau perusahaan tempat mereka ‘ditugaskan’. Dari sisi akuntabilitas dan netralitas juga dapat dipersalahkan, karena militer menerima pemasukan lain selain APBN dan tidak akan bisa berdiri netral ketika perusahaan menghadapi masalah dengan pekerjanya, masyarakat setempat, atau pemerintah daerah setempat. Sudah bisa dipastikan, bahwa umumnya modal yang masuk melalui perusahaan-perusahaan tersebut tidak membawa perubahan berarti bagi masyarakat setempat. Ketidaksiapan sumber daya manusia untuk bersaing dengan tenaga kerja ‘luar’ setempat telah meminggirkan mereka dari lingkaran perputaran modal. Kesenjangan ekonomi dan sosial ini jelas merupakan potensi ‘gangguan keamanan’ bagi perusahaan-perusahaan tersebut, dan militer menjadi berguna untuk mengatasi ‘gangguan keamanan’ tersebut. Disinilah pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi (manifest).
Untuk pelanggaran HAM yang merupakan kelanjutan dari tindak kriminalitas anggota militer, biasanya berkaitan dengan politik impunitas (impunity) oleh negara. Dalam kasus ini negara gagal untuk menuntut pertanggungjawaban atau mengadili secara adil dan akuntabel kasus-kasus kriminal dengan motif atau mengandung unsur bisnis oleh kalangan militer seperti perampokan, pemerasan, perdagangan manusia (human trafficking), perdagangan kayu ilegal (illegal logging), pembajakan, prostitusi, perjudian, perdagangan narkotika, perdagangan minuman keras, dan perdagangan senjata. Memang tidak mudah membongkar kejahatan semacam ini, namun juga tidak patut untuk juga tidak dituntaskan jika kasus-kasus tersebut menjurus pada keterlibatan militer. Ketidakmampuan dan ketidakmauan (inability and unwillingness) negara menuntaskan kasus-kasus ini juga memunculkan pelanggaran HAM berikutnya yang menyangkut pada pemulihan yang efektif (effective remedy) dan pemenuhan hak-hak korban. Kasus-kasus pelanggaran HAM semacam ini juga mengasumsikan bahwa sistem dan perangkat hukum yang ada juga bermasalah, sehingga tidak menutup kemungkinan menjerat pelaku lain sebagai pelanggar HAM dari aparat penegak hukum. Sementara individu militer yang bersangkutan, sejauh tidak ditemukan indikasi pelanggaran HAM sebagaimana dijelaskan di atas, diadili di pengadilan pidana umum.

KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.Birokrasi memiliki berbagai macam dasar moral di dalamnya, yaitu keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas persetujuan (musyawarah), Militer adalah kelompok yang memegang senjata.
Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil. dan prinsip perbaikan (betterment).
Jadi, birokrasi militer merupakan organisasi kekerasan fisik (militer)yang memiliki komando dengan bentuk piramid dengan fungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi suprmasi sipil dan prinsip perbaikan.
B.Saran
Saran penulis adalah sebaiknya birokrasi militer dapat menjalankan tugas nya dengan baik dan dapat melindungi hak asasi manusia bukan malah melanggar nya. Militer merupakan organisasi yang seharusnya menjaga keamanan negara tidak seharusnya melakukan pelanggaran HAM dalam bisnis-bisnis yang tidak seharusnya dilakukan.