Hukum waris adat dan hubungannya dengan HAM




A.      Pengertian Hukum Waris Adat

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 : 58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu.

Menurut Ter Haar,  hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya[4].
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah[5] :

1.      Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

2.      Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

3.      Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.

Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).  Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.

Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :

1. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.
Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan, pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan pewarisan individual.

2. Harta benda materiil dan imateriil.
Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu, yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat diperoleh dengan cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3) harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah kepada pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa fungsi :
a.         Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.
b.         Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.
c.         Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.
d.        Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.
Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :
a.         Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.
b.         Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka : hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).

3. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).

4. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.
Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :
a)         Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.
b)        Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.


B.       Pembagian Waris Menurut Hukum Adat
Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut :

1.    Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.

2.    Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu mendapat 1/20 bagian.

Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte)[7].
Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu[8]:

1.    Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.

2.    Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

3.    Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.[9]