Sifat Perjanjian Komisi





Perjanjian komisi adalah perjanjian antara komisioner dengan komiten, yakni perjanjian pemberi kuasa. Dari perjanjian ini timbul hubungan hukum yang bersifat tidak tetap dan sifat ini tidk diatur dalam undang – undang.



Mengenai persoalan ini ada beberapa pendapat, yaitu :

1.    Polak
      
Menurut polak, KUHD sendiri menganggap hubungan komisioner dan komitennya sebagai pemberi kuasa (last giving) yang diatur dalam kitab ketiga KUHS, pendapatnya ini didasarkan pada pasal 25 KUHD yang menegaskan :”pemberian hak-hak dalam pasal 81,82 dan 83 sama sekali tidak mengurangi hak menahan (retensi) yang diberikan kepada komisioner oleh pasal 1812 KUHS”.

      Menurut polak, perjanjian last giving antara komisioner dan komitennya suatu perjanjian last giving yang bersifat khusus.

Adapun kekhususannya terdapat dalam:

v  Seorang pemegang kuasa bertindak pada umumnya atas nama pemberi kuasa, seorang komisioner pada umumnya bertindak atas nama diri sendiri.
v  Pemegang kuasa bertindak tanpa upah, kecuali kalau diperjanjikan dengan upah (pasal 1794 KUHD). Komisoner mendapat provisi bila pekerjaannya sudah selesai (Pasal 76).
v  Akibat hukum perjanjian komisi ini banyak yang tidak diatur dalam undang – undang.

2.    Molegraaff

      Ia berpendapat bahwa hubungan komisioner dengan komitennya adalah suatu perjanjian campuran antara perjanjian last giving (Bab XVI kitab ke III KUHS) dan perjanjian untuk melakukan pekerjaan (Overeenkomst tot het verrichten van enkele hensten) yang diatur dalam pasal 1601 KUHS.

      Menurut Molegraff, perjanjian khususnya mengandung unsur perjanjian untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 KUHS) dan pada umumnya dapat pula digunakan (takluk) peraturan – peraturan tentang pemberian kuasa. Kalau ada pertentangan antara mereka maka diutamakan melakukan perjanjian pekerjaan (Pasal 1601 KUHS).
                
3.    Sukardono

      Dengan mendasarkan pada pasal 79 dan 85 KUHD, Prof. Sukardono menyetujui pendapat polak, yang mana dilihatnya didalam pasal 79 yang menyebutkan bahwa seseorang komisioner bertindak atas nama pengamatnya, maka segala hal dan kewajibannya pun terhadap pihak ketiga dikuasai oleh ketentuan – ketentuan tentang KUHS pada bab tentang pemberian kuasa.

Pendapat ini diperkuat dengan hak retensi yang diberikan kepada komisioner (pasal 85), hak retensi diberikan kepada pemegang kuasa (Pasal 1812 KUHP) dan hak retensi tidak diberikan kepada pemberi pelayanan berkala.
Hubungan antara komisioner dan komiten adalah sebagai pemegang kuasa dan pemberi kuasa. Komisioner bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah kepada pemberi kuasa dan pemberi kuasa bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan perintah dan pembayaran provisi.